Dari manakah asal Ki Sanak? Sebab dari pengamatan kami, Ki Sanak bukanlah
orang daerah kami… ”
Ia seorang pengikut Syeh Siti Jenar. Ia gelisah karena Syeh Siti Jenar dieksekusi
mati oleh para wali. Mulanya, ia seorang perwira Demak yang sangat disegani
bernama Rangga Tohjaya. Lalu ia pergi meninggalkan Demak, menyusuri hutan
dan lereng-lereng gunung di Jawa Tengah. Mengubah nama
menjadi Mahesa Jenar. Mencari sepasang keris: Nagasasra dan Sabuk Inten
yang syahdan bisa tetap mempertahankan kewibawaan Demak.
Bila ada sebuah sosok fiksi yang namanya pernah begitu populer di seluruh
pelosok Jawa Tengah, itulah mungkin Mahesa Jenar. Mahesa Jenar ciptaan
almarhum S.H. (Singgih Soehadi) Mintardja adalah pendekar dalam cerita
bersambung Nagasasra Sabuk Inten. Mungkin para kritikus menganggap karya
ini sebagai "sastra picisan", namun harus diakui pencapaiannya mungkin tak
bisa ditandingi novel-novel serius kita mana pun.
Karya S.H. Mintardja ini awalnya dimuat secara rutin (tiap hari) di harian
Kedaulatan Rakyat (KR) pada 1966. Kemudian dibukukan seluruhnya menjadi
64 jilid, tiap jilid 80 halaman. Saat cetakan kedua, dipadatkan menjadi 32
jilid dengan tebal 160 halaman. Di masa lalu, amat mudah menemukan seri
Nagasasra di warung-warung koran, warung rokok, atau kios buku di Yogya.
Almarhum S.H. Mintardja sering disapa Pak Singgih di masa lalu bekerja sebagai
pegawai negeri di bidang kesenian Departemen Pendidikan dan Kebudayaan
Provinsi Yogyakarta. Ia selalu berpenampilan rapi dan sederhana.
Dari masa muda, ia memang bergelut di dunia seni. Setamat SMA bersama
Kirdjomulyo, Nasjah Jamin Widjaja, dan Sumitro, misalnya, ia mendirikan
majalah Fantasia dan majalah film Intermezzo. Lalu ia menjadi aktor dalam grup
drama Ratma, yang dipimpin Kirdjomulyo.
Banyak yang menganggap cerita Mahesa Jenar mencari keris Nagasasra Sabuk
Inten menggambarkan ketersingkiran Mintardja sebagai orang PNI di zaman
Orde Baru. Sutradara ketoprak Bondan Nusantara termasuk yang
menafsirkannya demikian. Mintardja menganggap Orde Baru cenderung arogan.
Kepada Bondan, ia pernah mengatakan bahwa ia menyikapi situasi politik yang
sedang berjalan saat itu. "Mahesa Jenar lambang pendekar yang ‘dibuang’oleh
negara, tapi mengabdi tanpa pamrih. Ini nasionalisme Pak Singgih," kata
Bondan.
Sesungguhnya, soal konflik para wali dengan Syeh Siti Jenar alias Syeh Lemah
Abang itu akan menarik apabila dieksplorasi lebih jauh. Tapi, dalam Nagasasra,
S.H. Mintardja tidak banyak mengisahkan perseteruan para wali.
Mungkin karena Mintardja seorang penganut Katolik. "Dia sendiri pernah
mengatakan, karena tidak menguasai Islam, dia tidak berani menulis lebih
banyak tentang para wali," kata Bondan Nusantara. Sebagai seorang Katolik
kejawen, agaknya S.H. Mintardja lebih menuliskan paham-paham kejawennya.
S.H. Mintardja terlihat tak menyukai kekerasan. Mahesa Jenar bila bertempur
dikisahkan tidak pernah membunuh kalau tidak terpaksa. Seburuk apa pun tokoh
itu, tidak sampai dibunuh. Tokoh-tokoh golongan hitam yang sepanjang hidupnya
bengis, pada akhir hidupnya--saat sekarat--meninggal dengan penyesalan.
Seperti Sima Rodra penyamun dari Gunung Tidar, atau Lowo Ijo penguasa hutan
Mentaok, mereka berdua jahanam sejak awal, tapi mati dengan keikhlasan
sebuah pertobatan.
"S.H. Mintardja ini banyak membaca babad dan berbagai serat," kata sejarawan
UGM, Prof Joko Suryo. Menurut dia, banyak nama tokoh Nagasasra seperti Ki
Ageng Pengging, Kebo Kanigara, Joko Tingkir, yang memang ada dalam cerita
sejarah.
Berbagai lokasi yang digunakan dalam setting Nagasasra semuanya juga lokasi
konkret, macam Lereng Merbabu, Rawa Pening, Gunung Slamet, Gunung Tidar,
Nusakambangan. S.H. Mintardja dikenal kerabatnya sebelum menulis cerita
selalu mensurvei sendiri lokasi sambil membawa peta. Saat mensurvei lokasi
antara Merapi dan Merbabu, ia sampai menyusuri dari daerah Selo.
Keris Nagasasra dan Sabuk Inten, misalnya, juga bagi pencinta keris di Jawa
dianggap dua keris yang ampuh. "Keris Nagasasra dan Sabuk Inten itu memang
benar-benar ada," kata Sugeng Wiyono, ahli keris Yogya. Keris Nagasasra
menurut dia berwarna keunguan, dibuat oleh Mpu Supa Madrangki yang hidup
pada zaman Majapahit. Keris ini memiliki luk 13, simbolisasi kebangunan jiwa.
Sementara Sabuk Inten dibuat oleh Mpu Domas, juga dari Kerajaan Majapahit,
memiliki luk 11, berwarna putih kekuningan. Keris ini menjadi simbolisasi welas
asih.
Saat ini keris-keris tersebut disimpan di Keraton Solo (tahun 1974, menurut
Ensiklopedi Keris karya Bambang Harsrinuksmo, keris ini dibuatkan warangka
Baru dari kayu cendana wangi). Banyak tiruan keris ini, menurut Sugeng yang
beredar di mana-mana sampai kini dimiliki perseorangan kolektor ataupun
pejabatdan diperjualbelikan dengan harga beragam dari Rp 200 ribu hingga
sekitar Rp 4 miliar. Kedua keris ini memang menjadi makin populer saat S.H.
Mintardja mencipta kisah Nagasasra.
Berbagai ajian yang dimiliki para pendekar dalam Nagasasra juga sumber
imajinasinya berasal dari khazanah kebatinan populer Jawa. Paling tidak ada
tiga ajian dahsyat dalam kisah Nagasasra. Ajian Sastra Birawa yang dimiliki
Mahesa Jenar, ajian Lebur Seketi milik Gajah Sora, putra Ki Ageng Sora
Dipayana, dan ajian Lembu Sekilan yang dikuasai Joko Tingkir. Antara Sastra
Birawa dan Lebur Seketi seimbang. Bila Mahesa Jenar menghantamkan Sasra
Birawa kepada Gajah Sora, tangannya seolah tertahan selapis baja yang
tebalnya sedepa yang bisa balik memukulnya. Sedangkan Lembu Sekilan dimiliki
oleh Jaka Tingkir. Ini ilmu aneh yang membuat semua serangan tak dapat
menyentuh tubuh Joko Tingkir.
S.H. Mintardja sendiri menurut sang istri, Suhartini, pernah belajar silat Jawa, di
antaranya Perisai Sakti, tapi tidak mendalami. "Bapak ikut silat hanya untuk
olahraga," katanya. Tapi agaknya S.H. Mintardja paham seluk-beluk kebatinan
Jawa. "Saya kira pengetahuan kebatinan Pak Singgih cukup tinggi," kata Prof
Djoko Prayitno, ketua dan pendekar pencak silat Jawa: Persatuan Hati. Pencak
silat Jawa, menurut Prof Joko Prayitno, dasar gerakannya seperti tarian, tidak
brutal. Pencak Jawa filosofinya wiraga
(mengolah raga), wirama (mengolah irama hidup), wirasa (mengolah rasa).
Yang disajikan S.H. Mintardja dalam Nagasasra banyak olah rasa ini.
Misalnya ketika Mahesa Jenar ditatar di gua Karang Tumaritis oleh Ki Kebo
Kanigara untuk menyempurnakan ilmunya, Sasra Birawa. "Ilmu ngrogoh sukma
yang dialami Mahesa Jenar itu, dalam kebatinan Jawa bisa dilakukan," tutur Prof
Joko Prayitno.
Tapi, karena arahnya lebih ke olah rasa, ia melihat jurus-jurus silat yang
ditampilkan para pendekar ciptaan S.H. Mintardja sangat kalah detail dibanding
cerita silat Cina seperti yang disadur OKT atau Gan K.L. "S.H. Mintardja kalau
sudah menulis perkelahian, misalnya bila pendekarnya
menampilkan tendangan, tidak dijelaskan dengan jurus apa atau menghindar
dengan jurus apa. Hanya paling-paling tertulis tubuhnya digeser, mundur
selangkah, tubuh direndahkan… ."
Yang lucu, akibat membaca Nagasasra, banyak juga orang yang kemudian
mencari makam para tokoh yang ada dalam cerita itu. Andang Suprihadi
Purwanto mengenang, pernah suatu hari seseorang datang ke rumahnya. Orang
itu menyampaikan kepada S.H. Mintardja bahwa ternyata makam Mahesa Jenar
dan Pasingsingan Sepuh benar-benar ada. Kuburan Mahesa di Demak dan
Pasingsingan Sepuh di dekat Gunung Telomoyo. S.H. Mintardja hanya
tersenyum dan memberi tahu itu tidak mungkin karena Mahesa Jenar itu fiktif,
buatan dia sendiri.
Andang sendiri, yang pelaku kejawen, suatu hari pernah mencari makam Kebo
Kenanga dan Kebo Kanigoro. Ia menemukan makam itu di daerah Pengging.
Kedua makam itu dikelilingi benteng. Yang mengherankan, ada sebuah makam
kecil di luar benteng, tanpa nama. Ketika ia menanyakan kepada juru kunci,
dijawab bahwa itu adalah makam Endang Widuri, pendekar perempuan di
Nagasasra. Sesampai di rumah, dengan semangat Andang menceritakan hal itu
kepada
ayahnya: "Tidak mungkin. Wong, Widuri itu nama fiktif, asli buatanku," kata
Singgih seperti ditirukan Andang.
Kebiasaan lain, setiap kali selesai menulis naskah terutama sandiwara radio,
S.H. Mintardja selalu meminta istrinya itu membaca lebih dahulu sebelum
naskah itu diserahkan ke sutradara. "Kalau ibu belum oke, bapak belum akan
menyerahkan ke sutradara," kata Andang. Agaknya, itu karena
Suhartini dahulu adalah pengisi suara sandiwara radio.
Pada akhir kehidupan, S.H. Mintardja banyak menulis lakon ketoprak. Salah satu
karya S.H. Mintardja yang dikagumi Sultan Hamengku Buwono X adalah naskah
ketoprak berjudul Sumunaring Suryo ing Gagat Raino. Dipentaskan
November 1996 di Keraton Yogya. Ceritanya tentang alih kekuasaan dari Pajang
ke Mataram. Seperti juga cerita Nagasasra yang berakhir dengan Joko Tingkir
menggantikan Sultan Trenggana, memindahkan pusat dari Demak ke Pajang,
cerita ini membawa pesan politik halus tentang suksesi. Saat itu, kita ingat terjadi
tuntutan masyarakat agar Soeharto turun.
S.H. Mintardja meninggal 18 Januari 1999 pada umur 66 tahun di Rumah Sakit
Bethesda karena sakit jantung. Pada waktu wafat, tulisannya Mendung di Atas
Cakrawala masih dimuat bersambung sampai episode ke 848 di harian Bernas,
Yogya. Sepeninggal Mintardja, bukan berarti Mahesa Jenar mati. Terakhir tahun
lalu, 2005, di Yogya, dalam Festival Kesenian Yogya 2005, didukung Wali Kota
Yogya, para pemain ketoprak senior dan yunior muda dari 14 kecamatan di
Yogya bergabung bersama dan menampilkan lakon Mahesa Jenar.
Adegan ketoprak akbar itu diawali dengan sumpah Mahesa Jenar :
"Aku ora bali ing Kraton Demak Bintoro kalamun durung bisa nggawa keris
Nagasasra-Sabuk Inten… " (Aku tak akan kembali ke Keraton Demak sebelum
membawa keris Nagasasra dan Sabuk Inten.)