Anda di halaman 1dari 7

KEMBALINYA MAHESA JENAR

“Ki sanak, siapakah nama Ki Sanak?

Dari manakah asal Ki Sanak? Sebab dari pengamatan kami, Ki Sanak bukanlah
orang daerah kami… ”

Ia memakai blangkon ikat lembaran. Badannya gagah, tinggi-besar. Pakaian


yang dikenakannya sangat bersahaja : lurik hijau gadung melati (hijau tua). Di
telinga kirinya sering terselip bunga melati. Ia mengembara dari desa satu ke
desa lain, dari satu kedemangan ke kedemangan lain.

Ia seorang pengikut Syeh Siti Jenar. Ia gelisah karena Syeh Siti Jenar dieksekusi
mati oleh para wali. Mulanya, ia seorang perwira Demak yang sangat disegani
bernama Rangga Tohjaya. Lalu ia pergi meninggalkan Demak, menyusuri hutan
dan lereng-lereng gunung di Jawa Tengah. Mengubah nama
menjadi Mahesa Jenar. Mencari sepasang keris: Nagasasra dan Sabuk Inten
yang syahdan bisa tetap mempertahankan kewibawaan Demak.

Bila ada sebuah sosok fiksi yang namanya pernah begitu populer di seluruh
pelosok Jawa Tengah, itulah mungkin Mahesa Jenar. Mahesa Jenar ciptaan
almarhum S.H. (Singgih Soehadi) Mintardja adalah pendekar dalam cerita
bersambung Nagasasra Sabuk Inten. Mungkin para kritikus menganggap karya
ini sebagai "sastra picisan", namun harus diakui pencapaiannya mungkin tak
bisa ditandingi novel-novel serius kita mana pun.

Nagasasra dikenal dibaca dari tukang becak sampai para pegawai. Ia


menyentuh imajinasi kalangan jelata, merakyat, hingga sampai banyak orang
menamakan anaknya dengan nama pendekar dalam kisah ini.

Gaya berbaju lurik Mahesa pernah menjadi tren di kalangan seniman


Yogya,bahkan klub sepak bola seperti PSIS Semarang sampai sekarang mereka
menyebut dirinya “tim Mahesa Jenar”.

Karya S.H. Mintardja ini awalnya dimuat secara rutin (tiap hari) di harian
Kedaulatan Rakyat (KR) pada 1966. Kemudian dibukukan seluruhnya menjadi
64 jilid, tiap jilid 80 halaman. Saat cetakan kedua, dipadatkan menjadi 32
jilid dengan tebal 160 halaman. Di masa lalu, amat mudah menemukan seri
Nagasasra di warung-warung koran, warung rokok, atau kios buku di Yogya.

S.H. Mintardja adalah pelopor kisah genre silat Indonesia. Sebelumnya,cerita-


cerita silat Cina telah banyak digemari masyarakat, baik yang saduran seperti
terjemahan O.K.T (Oey Kim Tiang) dan Gan Kok Liang alias Gan K.L. maupun
yang karangan sendiri seperti karya-karya Asmaraman Sukowati Kho Ping Hoo.
Tapi gara-gara S.H. Mintardja memunculkan Nagasasra, Kho Ping Hoo pun
mencoba menulis silat Jawa. Ia membuat Badai Laut Selatan, Kuda Putih dari
Mataram, dan sebagainya. Lalu muncullah generasi para penulis silat Jawa,
mulai dari Herman Pratikto yang menulis Bende Mataram sampai Arswendo
Atmowiloto yang menciptakan Senopati Pamungkas.

Almarhum S.H. Mintardja sering disapa Pak Singgih di masa lalu bekerja sebagai
pegawai negeri di bidang kesenian Departemen Pendidikan dan Kebudayaan
Provinsi Yogyakarta. Ia selalu berpenampilan rapi dan sederhana.
Dari masa muda, ia memang bergelut di dunia seni. Setamat SMA bersama
Kirdjomulyo, Nasjah Jamin Widjaja, dan Sumitro, misalnya, ia mendirikan
majalah Fantasia dan majalah film Intermezzo. Lalu ia menjadi aktor dalam grup
drama Ratma, yang dipimpin Kirdjomulyo.

Banyak yang menganggap cerita Mahesa Jenar mencari keris Nagasasra Sabuk
Inten menggambarkan ketersingkiran Mintardja sebagai orang PNI di zaman
Orde Baru. Sutradara ketoprak Bondan Nusantara termasuk yang
menafsirkannya demikian. Mintardja menganggap Orde Baru cenderung arogan.
Kepada Bondan, ia pernah mengatakan bahwa ia menyikapi situasi politik yang
sedang berjalan saat itu. "Mahesa Jenar lambang pendekar yang ‘dibuang’oleh
negara, tapi mengabdi tanpa pamrih. Ini nasionalisme Pak Singgih," kata
Bondan.

Kisah Nagasasra Sabuk Inten memang bercerita tentang kekuasaan dengan


latar belakang gonjang-ganjing Demak Bintoro. Sidang para wali di Kesultanan
Demak memutuskan mengeksekusi Siti Jenar dan kemudian murid-muridnya: Ki
Kebo Kenanga atau Ki Ageng Pengging. Mahesa Jenar adalah murid Ki Ageng
Pengging.

Ki Kebo Kenanga meninggalkan seorang putra bernama Mas Karebet yang


dibesarkan Nyi Ageng Tingkir. Mahesa Jenar mencari putra itu. Sebab, di kala
kecil Sunan Kalijaga telah melihat tanda-tanda Mas Karebet bakal menjadi
penguasa. Mahesa Jenar juga mencari Nagasasra dan Sabuk Inten, sepasang
pusaka warisan Majapahit yang hilang. Tapi ternyata kedua keris itu juga
diperebutkan oleh golongan hitam. Mereka juga percaya, bila memiliki sepasang
keris itu, bisa sah mendirikan pemerintahan tandingan yang
menyaingi kekuasaan Demak.

Sesungguhnya, soal konflik para wali dengan Syeh Siti Jenar alias Syeh Lemah
Abang itu akan menarik apabila dieksplorasi lebih jauh. Tapi, dalam Nagasasra,
S.H. Mintardja tidak banyak mengisahkan perseteruan para wali.
Mungkin karena Mintardja seorang penganut Katolik. "Dia sendiri pernah
mengatakan, karena tidak menguasai Islam, dia tidak berani menulis lebih
banyak tentang para wali," kata Bondan Nusantara. Sebagai seorang Katolik
kejawen, agaknya S.H. Mintardja lebih menuliskan paham-paham kejawennya.
S.H. Mintardja terlihat tak menyukai kekerasan. Mahesa Jenar bila bertempur
dikisahkan tidak pernah membunuh kalau tidak terpaksa. Seburuk apa pun tokoh
itu, tidak sampai dibunuh. Tokoh-tokoh golongan hitam yang sepanjang hidupnya
bengis, pada akhir hidupnya--saat sekarat--meninggal dengan penyesalan.
Seperti Sima Rodra penyamun dari Gunung Tidar, atau Lowo Ijo penguasa hutan
Mentaok, mereka berdua jahanam sejak awal, tapi mati dengan keikhlasan
sebuah pertobatan.

"S.H. Mintardja ini banyak membaca babad dan berbagai serat," kata sejarawan
UGM, Prof Joko Suryo. Menurut dia, banyak nama tokoh Nagasasra seperti Ki
Ageng Pengging, Kebo Kanigara, Joko Tingkir, yang memang ada dalam cerita
sejarah.

Berbagai lokasi yang digunakan dalam setting Nagasasra semuanya juga lokasi
konkret, macam Lereng Merbabu, Rawa Pening, Gunung Slamet, Gunung Tidar,
Nusakambangan. S.H. Mintardja dikenal kerabatnya sebelum menulis cerita
selalu mensurvei sendiri lokasi sambil membawa peta. Saat mensurvei lokasi
antara Merapi dan Merbabu, ia sampai menyusuri dari daerah Selo.

Keris Nagasasra dan Sabuk Inten, misalnya, juga bagi pencinta keris di Jawa
dianggap dua keris yang ampuh. "Keris Nagasasra dan Sabuk Inten itu memang
benar-benar ada," kata Sugeng Wiyono, ahli keris Yogya. Keris Nagasasra
menurut dia berwarna keunguan, dibuat oleh Mpu Supa Madrangki yang hidup
pada zaman Majapahit. Keris ini memiliki luk 13, simbolisasi kebangunan jiwa.
Sementara Sabuk Inten dibuat oleh Mpu Domas, juga dari Kerajaan Majapahit,
memiliki luk 11, berwarna putih kekuningan. Keris ini menjadi simbolisasi welas
asih.

Saat ini keris-keris tersebut disimpan di Keraton Solo (tahun 1974, menurut
Ensiklopedi Keris karya Bambang Harsrinuksmo, keris ini dibuatkan warangka
Baru dari kayu cendana wangi). Banyak tiruan keris ini, menurut Sugeng yang
beredar di mana-mana sampai kini dimiliki perseorangan kolektor ataupun
pejabatdan diperjualbelikan dengan harga beragam dari Rp 200 ribu hingga
sekitar Rp 4 miliar. Kedua keris ini memang menjadi makin populer saat S.H.
Mintardja mencipta kisah Nagasasra.

Berbagai ajian yang dimiliki para pendekar dalam Nagasasra juga sumber
imajinasinya berasal dari khazanah kebatinan populer Jawa. Paling tidak ada
tiga ajian dahsyat dalam kisah Nagasasra. Ajian Sastra Birawa yang dimiliki
Mahesa Jenar, ajian Lebur Seketi milik Gajah Sora, putra Ki Ageng Sora
Dipayana, dan ajian Lembu Sekilan yang dikuasai Joko Tingkir. Antara Sastra
Birawa dan Lebur Seketi seimbang. Bila Mahesa Jenar menghantamkan Sasra
Birawa kepada Gajah Sora, tangannya seolah tertahan selapis baja yang
tebalnya sedepa yang bisa balik memukulnya. Sedangkan Lembu Sekilan dimiliki
oleh Jaka Tingkir. Ini ilmu aneh yang membuat semua serangan tak dapat
menyentuh tubuh Joko Tingkir.
S.H. Mintardja sendiri menurut sang istri, Suhartini, pernah belajar silat Jawa, di
antaranya Perisai Sakti, tapi tidak mendalami. "Bapak ikut silat hanya untuk
olahraga," katanya. Tapi agaknya S.H. Mintardja paham seluk-beluk kebatinan
Jawa. "Saya kira pengetahuan kebatinan Pak Singgih cukup tinggi," kata Prof
Djoko Prayitno, ketua dan pendekar pencak silat Jawa: Persatuan Hati. Pencak
silat Jawa, menurut Prof Joko Prayitno, dasar gerakannya seperti tarian, tidak
brutal. Pencak Jawa filosofinya wiraga
(mengolah raga), wirama (mengolah irama hidup), wirasa (mengolah rasa).

Yang disajikan S.H. Mintardja dalam Nagasasra banyak olah rasa ini.
Misalnya ketika Mahesa Jenar ditatar di gua Karang Tumaritis oleh Ki Kebo
Kanigara untuk menyempurnakan ilmunya, Sasra Birawa. "Ilmu ngrogoh sukma
yang dialami Mahesa Jenar itu, dalam kebatinan Jawa bisa dilakukan," tutur Prof
Joko Prayitno.

Tapi, karena arahnya lebih ke olah rasa, ia melihat jurus-jurus silat yang
ditampilkan para pendekar ciptaan S.H. Mintardja sangat kalah detail dibanding
cerita silat Cina seperti yang disadur OKT atau Gan K.L. "S.H. Mintardja kalau
sudah menulis perkelahian, misalnya bila pendekarnya
menampilkan tendangan, tidak dijelaskan dengan jurus apa atau menghindar
dengan jurus apa. Hanya paling-paling tertulis tubuhnya digeser, mundur
selangkah, tubuh direndahkan… ."

Harus diakui, kemampuan dan kepekaan S.H. Mintardja mencampuradukkan


tokoh-tokoh ciptaannya sendiri dengan sejarah, lokasi-lokasi konkret, mitos yang
hidup di masyarakat, yang membuat karya ini mampu menancap dalam-dalam di
benak masyarakat dusun-dusun Jawa Tengah. Apalagi, pada tahun 1980-an,
drama radio penuh dengan ketoprak--yang menampilkan lakon Mahesa Jenar.
"Kalau Pasingsingan datang, terasa mencekam," demikian Nyoman
Agung,seorang wartawan penggemar Nagasasra, teringat masa kecilnya saat
mendengarkan drama radio itu. Pasingsingan adalah seorang tokoh golongan
hitam misterius yang memiliki beberapa macam ilmu golongan putih. Ia selalu
berjubah dan berkedok topeng kasar.

Hampir semua kelompok ketoprak top di Yogya dahulu, seperti Dahono


Mataram, Suryo Mataram, Wargo Mulyo, memainkan lakon Mahesa Jenar. "Saya
ingat betul, waktu itu bukan hanya kelompok ketoprak di Yogya, tapi ketoprak
seluruh Jawa Tengah dan Jawa Timur mementaskan lakon Mahesa Jenar," tutur
Bondan Nusantara. Setiap malam Jumat, misalnya, Siswo Budoyo dari
Tulungagung menampilkan lakon Mahesa Jenar, sementara Ketoprak Darmo
Mudo dari Semarang mementaskannya setiap malam Kamis. Menurut Bondan,
ketoprak tobong itu berkeliling dari kota ke kota, kecamatan ke kecamatan.
Judul yang pernah dipentaskan, misalnya, Dedah Prambanan, Nyabrang Alas
Tambak Boyo, Saresehan Rawa Pening. Semua itu diambil dari episode Mahesa
Jenar, tapi dipotong-potong.
Akibat begitu populernya, menurut Andang Suprihadi Purwanto, putra sulung
S.H. Mintardja, kala ayahnya masih hidup, banyak pasangan suami-istri yang
datang menemui Singgih untuk meminta restu memberi nama anaknya sesuai
dengan nama pendekar dalam Nagasasra. Ada juga yang meminta izin
mendirikan perguruan silat dengan nama Pandan Alas meniru nama Ki Ageng
Pandan Alas, pendekar sepuh ciptaan S.H. Mintardja yang pandai menembang
dalam Nagasasra.

Hasmi, kreator tokoh Gundala Putra Petir, mengakui inspirasinya tentang


Gundala datang dari membaca Nagasasra. Dalam Nagasasra, S.H. Mintardja
menyebut-nyebut nama Ki Ageng Selo dan ular gundala. Sesuai dengan legenda
Jawa, Ki Ageng Selo diyakini bisa menangkap petir. Ki Ageng adalah teman
sepermainan Mahesa Jenar. Petir dalam cerita disebut senjata para dewa dalam
bentuk simbol ular gundala. Batara Wisnu memiliki ular gundala seta, Batara
Kala memiliki ular gundala wereng yang bisa menimbulkan bunga api di udara.

Yang lucu, akibat membaca Nagasasra, banyak juga orang yang kemudian
mencari makam para tokoh yang ada dalam cerita itu. Andang Suprihadi
Purwanto mengenang, pernah suatu hari seseorang datang ke rumahnya. Orang
itu menyampaikan kepada S.H. Mintardja bahwa ternyata makam Mahesa Jenar
dan Pasingsingan Sepuh benar-benar ada. Kuburan Mahesa di Demak dan
Pasingsingan Sepuh di dekat Gunung Telomoyo. S.H. Mintardja hanya
tersenyum dan memberi tahu itu tidak mungkin karena Mahesa Jenar itu fiktif,
buatan dia sendiri.

Andang sendiri, yang pelaku kejawen, suatu hari pernah mencari makam Kebo
Kenanga dan Kebo Kanigoro. Ia menemukan makam itu di daerah Pengging.
Kedua makam itu dikelilingi benteng. Yang mengherankan, ada sebuah makam
kecil di luar benteng, tanpa nama. Ketika ia menanyakan kepada juru kunci,
dijawab bahwa itu adalah makam Endang Widuri, pendekar perempuan di
Nagasasra. Sesampai di rumah, dengan semangat Andang menceritakan hal itu
kepada
ayahnya: "Tidak mungkin. Wong, Widuri itu nama fiktif, asli buatanku," kata
Singgih seperti ditirukan Andang.

Nagasasra bukanlah cerita bersambung terpanjang yang dibuat S.H. Mintardja.


Cerita silat terpanjang yang pernah ditulis S.H. Mintardja adalah Api di Bukit
Menoreh. Cerita ini pertama kali dimuat di harian Kedaulatan Rakyat tahun 1968,
setelah pemuatan Nagasasra selesai. Dalam bentuk cetakan buku, Api di Bukit
Menoreh ada 396 jilid. Tatkala berjalan menulis Api di Bukit Menoreh, Almarhum
juga menulis cerita bersambung silat lain di harian Suluh Marhain: Pelangi di
Langit Singosari. Sampai akhir hayat sang pengarang,
cerita Api di Bukit Menoreh itu belum selesai dibuat.
Yang sulit dibayangkan adalah bagaimana S.H. Mintardja memiliki energi untuk
tiap hari sanggup kontinu menyerahkan naskah karangannya kadang di dua
koran yang berbeda (biasanya sepanjang tiga lembar mesin tik tiap koran).
Menurut Joko Budiarto, editor harian Kedaulatan Rakyat, apabila S.H. Mintardja
berhalangan tidak mengirim naskah, redaksi KR selalu dibanjiri telepon
menanyakan kenapa cerita bersambung tak muncul.

S.H. Mintardja melahirkan karya-karyanya dari sebuah rumah sederhana di


Gedong Kiwo MJ/801, di sekitar Pojok Beteng Kulon, Yogyakarta. Menurut
istrinya, Ibu Suhartini, dahulu ia menyediakan ruang khusus untuk mengetik bagi
suaminya di lantai dua, tapi justru ruang favorit Mintardja adalah
ruang makan. "Kalau sepi, bapak tidak produktif. Kalau menulis, bapak harus di
tempat yang bisa berinteraksi dengan orang lain," kata Suhartini mengenang.

Kebiasaan lain, setiap kali selesai menulis naskah terutama sandiwara radio,
S.H. Mintardja selalu meminta istrinya itu membaca lebih dahulu sebelum
naskah itu diserahkan ke sutradara. "Kalau ibu belum oke, bapak belum akan
menyerahkan ke sutradara," kata Andang. Agaknya, itu karena
Suhartini dahulu adalah pengisi suara sandiwara radio.

S.H. Mintardja menurut keluarganya tidak pernah mempunyai stok cerita.


Ceritanya mengalir, improve. Pengetahuan sejarahnya yang kuat membuatnya
tidak pernah kehabisan ide untuk mengangkat kembali cerita-cerita yang hampir
antiklimaks. Maria Kadarsih, pengasuh sandiwara radio, teman S.H. Mintardja,
misalnya, pernah melihat, dalam bekerja Almarhum menyiapkan beberapa mesin
ketik sekaligus. "Jadi kalau bosen atau buntu dengan kisah satu, ia ganti ke
mesin tik lain dengan cerita lain," kata Maria Kadarsih.
Untuk memudahkan cara kerja Mintardja, suatu kali sebuah penerbit berniat
membelikan Mintardja komputer, yang kala itu masih sangat mahal, tapi
Mintardja menolak dengan alasan lebih senang mendengar detak bunyi mesin tik
di malam hari.

Pada akhir kehidupan, S.H. Mintardja banyak menulis lakon ketoprak. Salah satu
karya S.H. Mintardja yang dikagumi Sultan Hamengku Buwono X adalah naskah
ketoprak berjudul Sumunaring Suryo ing Gagat Raino. Dipentaskan
November 1996 di Keraton Yogya. Ceritanya tentang alih kekuasaan dari Pajang
ke Mataram. Seperti juga cerita Nagasasra yang berakhir dengan Joko Tingkir
menggantikan Sultan Trenggana, memindahkan pusat dari Demak ke Pajang,
cerita ini membawa pesan politik halus tentang suksesi. Saat itu, kita ingat terjadi
tuntutan masyarakat agar Soeharto turun.

S.H. Mintardja meninggal 18 Januari 1999 pada umur 66 tahun di Rumah Sakit
Bethesda karena sakit jantung. Pada waktu wafat, tulisannya Mendung di Atas
Cakrawala masih dimuat bersambung sampai episode ke 848 di harian Bernas,
Yogya. Sepeninggal Mintardja, bukan berarti Mahesa Jenar mati. Terakhir tahun
lalu, 2005, di Yogya, dalam Festival Kesenian Yogya 2005, didukung Wali Kota
Yogya, para pemain ketoprak senior dan yunior muda dari 14 kecamatan di
Yogya bergabung bersama dan menampilkan lakon Mahesa Jenar.
Adegan ketoprak akbar itu diawali dengan sumpah Mahesa Jenar :
"Aku ora bali ing Kraton Demak Bintoro kalamun durung bisa nggawa keris
Nagasasra-Sabuk Inten… " (Aku tak akan kembali ke Keraton Demak sebelum
membawa keris Nagasasra dan Sabuk Inten.)

Anda mungkin juga menyukai