Anda di halaman 1dari 3

Wayang Madya adalah salah satu jenis seni pertunjukan wayang di Indonesia khususnya di Jawa.

Bentuk
figurnya merupakan perpaduan antara Wayang Purwa dan Wayang Gedog yakni bagian bawahnya
meniru Wayang Gedog (berkain rapekan dan memakai keris).

Wayang Madya diciptakan oleh K.G.P.A.A. Mangkunegara IV di Surakarta pada tahun 1870 – 1873 M,
karena beliau tertarik dari isi buku Pustaka Raja Madya karangan R. Ng. Ranggawarsita. Mangku-negara
ke IV berkeinginan membuat tokoh yang baru untuk mewujudkan isi cerita tersebut dan setelah jadi
disebut Wayang Madya.

Dalam manuskrip Wiwit Jawa Ringgit Madya dijelaskan sebagai berikut: “Miturut ungeling Serat Pakem
Madya, pemut nalika Panjenengan dalem Kanjeng Gusti Pangeran AdipatiArya Mangkunegara IV karsa
amurwani iyasa ringgit madya, anuju ing dinten Senen Legi, tanggal kaping sanga, wulan Ramelan tahun
Je, ga (1) la (7) ya (9) pa (8), sinengkalan Ngesti Trus Carita Buda. Dumugi mbabar sarta lajeng
kagiyaraken wonten tanggal kaping 2, wulan Rabyangulakir, warsa Wawu angka ga (1) pa (8) o (0) ga (1),
sinengkalan Iku Kombul Pangesthining Bala).

Dengan munculnya Wayang Madya itu maka ada penghubung antara Wayang Kulit Purwa dengan
Wayang Gedog, karena Wayang Madya itu me-nampilkan lakon dari Parikesit Grogol sampai dengan
meninggalnya Prabu Daneswara di Mendang Ka-mulyan. Dengan demikian ada mata rantai yang meng-
hubungkan mitos raja-raja Jawa dengan para pahlawan dalam epos Ramayana dan Mahabarata.

Selanjutnya Mangkunegara IV tahun 1880 me-nyusun lakon-lakon Wayang Madya dalam bentuk
balungan lakon dan disertai gending untuk iringannya.

Lakon-lakon yang disusun itu antara lain: Lakon Babad Mamenang, Pelem Ciptarasa, Narayana Wahya,
Kijing Nirmala, Haji Darma, Mayangkara, Singawulung, Merusupadma, Kitiran Mancawarna,
Narasingamurti dan sebagainya.

Pakeliran Wayang Madya diiringi dengan gamelan laras slendro dengan gending-gending yang disusun
Mangkunegara IV sendiri. Gending-gending Wayang Madya itu antara lain: gending Kepiswara untuk
ade-gan jejer pertama, gending Padmiswara untuk adegan kedatonan, gending Pancaniti untuk adegan
Paseban Jawi, gending Runggingcala untuk adegan sabrang raksasa dan sebagainya.

Setelah pada pemerintahan Paku Buwana X (1893-1939) diadakan beberapa perubahan dalam Wayang
Madya.
Perubahan yang mencolok antara lain tokoh panakawan yang semula berpasangan seperti: Jumput dan
Cleput, Bados dan Badagos, Capa dan Capi, Dudul dan Dulit, Cabaya dan Satuna, semua itu panakawan
kanan. Maka sejak Paku Buwana X, panakawan ter-sebut di atas diganti dengan panakawan Wayang
Purwa yakni: Semar, Gareng dan Petruk. Sedangkan panakawan kiri yang semula bernama Wrekangsa
dan Wrekasa, diganti dengan Togog dan Bilung. Demikian pula iringannya diganti gamelan pelog dengan
gending-gending Wayang Purwa yang dimainkan dalam laras pelog seperti gending Karawitan, Titipati,
Kedhaton Bentar, Gandakusuma yang berlaras pelog.

Wayang Madya dewasa ini tidak berkembang dan kurang populer karena masyarakat telah mendarah
daging terhadap Wayang Purwa. Faktor yang lain Wayang Madya jarang dipentaskan di luar tembok
keraton, sehingga masyarakat kurang akrab terhadap genealogi Wayang Madya. Walaupun Wayang
Madya tidak populer namun kira-kira tahun 1950-1960 dalang-dalang dari Klaten sering mementaskan
lakon Wayang Madya dengan menggunakan Wayang Purwa.

Lakon-lakon yang sering dipentaskan itu antara lain: lakon Mayangkara, Sudarsana Kethok, Umbulsari
Baladewa Mukswa, Bandhung Bandawasa dll.

Dalang-dalang yang mementaskan di antaranya: Almarhum Ki Pujasumarta, Ki Tiksnasudarsa, Ki


Pringgawiratma, KI Harjasupana dan Ki Gandawijaya.

Anda mungkin juga menyukai