Anda di halaman 1dari 16

Carita Parahyangan

Carita Parahiyangan merupakan nama suatu naskah Sunda kuna yang dibuat pada akhir abad ke-16, yang
menceritakan sejarah Tanah Sunda, utamanya mengenai kekuasaan di dua ibukota Kerajaan Sunda yaitu
Keraton Galuh dan keraton Pakuan. Naskah ini merupakan bagian dari naskah yang ada pada koleksi
Museum Nasional Indonesia Jakarta dengan nomor register Kropak 406. Naskah ini terdiri dari 47 lembar
daun lontar ukuran 21 x 3 cm, yang dalam tiap lembarna diisi tulisan 4 baris. Aksara yang digunakan
dalam penulisan naskah ini adalah aksara Sunda.[1]

Penelitian Sunting

Untuk pertama kalinya naskah ini diteliti oleh K.F. Holle, kemudian diteruskan oleh C.M. Pleyte.
Kemudian naskah ini dialihbahasakan oleh Purbacaraka, sebagai tambahan terhadap laporan mengenai
Batu Tulis di Bogor. Upaya ini diteruskan oleh H. ten Dam (tahun 1957) dan J. Noorduyn (laporan
penelitiannya dalam tahun 1962 dan 1965). Selanjutnya naskah ini juga diteliti oleh beberapa sarjana
Sunda, di antaranya Ma'mun Atmamiharja, Amir Sutaarga, Aca, Ayatrohaédi, serta Édi S. Ékajati dan
Undang A. Darsa.

Isi Sunting

Naskah Carita Parahiyangan menceritakan sejarah Sunda, dari awal kerajaan Galuh pada zaman
Wretikandayun sampai runtuhnya Pakuan Pajajaran (ibukota Kerajaan Sunda akibat serangan Kesultanan
Banten, Cirebon dan Demak.

Sempakwaja dan Mandiminyak Sunting

Rahiyang Sanjaya Sunting

Perang Bubat Sunting

Dalam menceritakan Prabu Maharaja, anaknya Aki Kolot, disebutkan sebagai berikut:

Manak deui Prebu Maharaja, lawasniya ratu tujuh tahun, kena kabawa ku kalawisaya, kabancana ku
seuweu dimanten, ngaran Tohaan. Mundut agung dipipanumbasna. Urang réya sangkan nu angkat ka
Jawa, mumul nu lakian di Sunda. Pan prangrang di Majapahit.

yang artinya sebagai berikut:


Karena anak, Prabu Maharaja yang menjadi raja selama tujuh tahun, kena bencana, terbawa celaka oleh
anaknya, karena Putri meminta terlalu banyak. Awalnya mereka pergi ke Jawa, sebab putri tidak mau
bersuami orang Sunda. Maka terjadilah perang di Majapahit.

Prabu Surawisesa Sunting

Prabu Surawisesa, putranya Ratu Jayadewata, mewarisi kekuasaan Kerajaan Sunda dalam masa yang
tidak menguntungkan sebab ada pemberontakan di bebberapa wilayah (Banten, Sunda Kalapa dan
Cirebon). Dalam masa kekuasaannya, yang selama 14 tahun, Prabu Surawisesa memimpin seribu prajurit
dalam 15 kali perang.

Disilihan inya ku Prebu Surawisésa, inya nu surup ka Padarén, kasuran, kadiran, kuwamén. Prangrang
limawelas kali hanteu éléh, ngalakukeun bala sariwu. Prangrang ka Kalapa deung Aria Burah. Prangrang
ka Tanjung. Prangrang ka Ancol kiyi. Prangrang ka Wahanten girang. Prangrang ka Simpang. Prangrang ka
Gunungbatu. Prangrang ka Saungagung. Prangrang ka Rumbut. Prangrang ka Gunung. Prangrang ka
Gunung Banjar. Prangrang ka Padang. Prangrang ka Panggoakan. Prangrang ka Muntur. Prangrang ka
Hanum. Prangrang ka Pagerwesi. Prangrang ka Medangkahiyangan. Ti inya nu pulang ka Pakwan deui.
hanteu nu nahunan deui, panteg hanca di bwana. Lawasniya ratu opatwelas tahun.

Dalam tradisi lisan, Prabu Surawisesa terkenal dengan nama Mundinglaya Dikusumah.

Nama Tempat yang disebut dalam naskah Sunting

Naskah Carita Parahiyangan benyak menyebut nama tempat / wilayah yang termasuk dalam kekuasaan
Sunda dan juga tempat-tempat lain di pulau Jawa dan pulau Sumatra. Sebagian dari nama-nama tempat
tersebut masih ada sampai sekarang. Nama-nama tempat tersebut di antaranya adalah:

Ancol: Ancol, Jakarta Utara

Arile, di Kuningan

Balamoha

Balaraja

Balitar

Barus

Batur
Berawan

Cilotiran

Cimara-upatah

Cina

Ciranjang

Cirebon: Cirebon

Datar

Demak: Demak

Demba, nusa

Denuh: wewengkon pakidulan

Galuh: Kerajaan Galuh, salah satu pusat pemerintahan Kerajaan Sunda

Galunggung; gunung Galunggung

Gegelang

Gegeromas

Gunung

Gunung Banjar

Gunungbatu

Gunung Merapi

Hanum

Hujung Cariang

Huluwesi, Sanghiyang

Jampang

Jawa: wilayah orang Jawa (bagian barat pulau Jawa)

Jawakapala

Jayagiri
Kahuripan

Kajaron

Kalapa: pelabuhan utama Sunda, disebut juga Sunda Kalapa

Keling

Kemir

Kendan: kerajaan yang berada di sekitar gunung Kendan di wilayah Nagreg, tempat ditemukannya
banyak batu obsidian yang disebut batu kendan.

Kiding

Kikis

Kreta

Kuningan: pusat kabupaten Kuningan

Lembuhuyu

Majapahit: kerajaan Majapahit

Majaya

Malayu: kerajaan Malayu di Sumatra

Mananggul

Mandiri

Medang

Medangjati

Medang Kahiangan

Menir

Muntur

Nusalarang

Padang

Padarén

Pagajahan
Pagerwesi

Pagoakan

Pajajaran: Pakuan Pajajaran, pusat pemerintahan Kerajaan Sunda, yang berlokasi di kota Bogor sekarang

Pakuan: Pakuan Pajajaran

Pangpelengan

Paraga

Parahiyangan

Patégé

Puntang: gunung Puntang

Rajagaluh: Rajagaluh, Majalengka

Rancamaya, Sanghiyang: wilayah sebelah barat Ciawi, Bogor, sekarang dijadikan permahan mewah

Rumbut

Salajo

Saung Agung

Saunggalah

Simpang

Sumedeng

Sunda: kerajaan Sunda yang pusatnya di Pakuan Pajajaran, Bogor, dan pernah juga berpusat di Galuh,
Ciamis.

Taman

Tanjung

Tarum: Citarum

Tasik

Tiga, gunung

Wahanten-girang: Banten Girang

Wanakusuma, gunung
Winduraja

Wiru

Referensi

Prasasti Canggal

Prasasti Canggal, disimpan di Museum Nasional Republik Indonesia, Jakarta.

Prasasti Canggal (juga disebut Prasasti Gunung Wukir atau Prasasti Sanjaya) adalah prasasti dalam
bentuk candra sengkala berangka tahun 654 Saka atau 732 Masehi[1] yang ditemukan di halaman Candi
Gunung Wukir di desa Kadiluwih, kecamatan Salam, Magelang, Jawa Tengah.

Prasasti yang ditulis pada stela batu ini menggunakan aksara Pallawa dan bahasa Sanskerta.[1] Prasasti
dipandang sebagai pernyataan diri Raja Sanjaya pada tahun 732 sebagai seorang penguasa universal dari
Kerajaan Mataram Kuno.

Isi Sunting

Prasasti ini menceritakan tentang pendirian lingga (lambang Siwa) di desa Kunjarakunja oleh Sanjaya.
Diceritakan pula bahwa yang menjadi raja mula-mula adalah Sanna, kemudian digantikan oleh Sanjaya
anak Sannaha, saudara perempuan Sanna.

Terjemahan bebas isi prasasti adalah sebagai berikut:[2]

Bait 1 : Pembangunan lingga oleh Raja Sanjaya di atas gunung

Bait 2-6 : Pujaan terhadap Dewa Siwa, Dewa Brahma, dan Dewa Wisnu

Bait 7 : Pulau Jawa yang sangat makmur, kaya akan tambang emas dan banyak menghasilkan padi. Di
pulau itu didirikan candi Siwa demi kebahagiaan penduduk dengan bantuan dari penduduk
Kunjarakunjadesa
Bait 8-9 : Pulau Jawa yang dahulu diperintah oleh raja Sanna, yang sangat bijaksana, adil dalam
tindakannya, perwira dalam peperangan, bermurah hati kepada rakyatnya. Ketika wafat Negara
berkabung, sedih kehilangan pelindung.

Bait 10-11 : Pengganti raja Sanna yaitu putranya bernama Sanjaya yang diibaratkan dengan matahari.
Kekuasaan tidak langsung diserahkan kepadanya oleh raja Sanna tetapi melalui kakak perempuannya
(Sannaha)

Bait 12 : Kesejahteraan, keamanan, dan ketentraman Negara. Rakyat dapat tidur di tengah jalan, tidak
usah takut akan pencuri dan penyamun atau akan terjadinya kejahatan lainnya. Rakyat hidup serba
senang.

Kunjarakunja-desa dapat berarti "tanah dari pertapaan Kunjara", yang diidentifikasikan sebagai tempat
pertapaan Resi Agastya, seorang maharesi Hindu yang dipuja di India selatan. Dalam epik Ramayana,
diceritakan bahwa Rama, Sinta, dan Laksmana mengunjungi pertapaan Agastya di gunung Kunjara.

Referensi Sunting

^ a b Rahardjo, Supratikno (2011). Peradaban Jawa: Dari Mataram Kuno sampai Majapahit Akhir, cet. 2,
hlm. 482. Komunitas Bambu, Jakarta. ISBN 979-3731-90-7.

^ Sumantri, Yeni Kurniawati. Rangkuman Materi Perkuliahan: Sejarah Indonesia Kuno. Fakultas
Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial, Universitas Pendidikan Indonesia.

Prasasti Ligor

Prasasti Ligor merupakan prasasti yang terdapat di Ligor (sekarang Nakhon Si Thammarat, selatan
Thailand). Prasasti ini merupakan pahatan ditulis pada dua sisi, bagian pertama disebut prasasti Ligor A
atau dikenal juga dengan nama manuskrip Viang Sa sedangkan di bagian lainnya disebut dengan prasasti
Ligor B yang beraksara Kawi dan berangka tahun 775.[1] [2] Prasasti Ligor B mungkin dibuat oleh
Mahārāja dyāḥ Pañcapaṇa kariyāna Paṇaṃkaraṇa, raja dari wangsa Wangsa Sailendra.[3]

Penafsiran teks Sunting

Dari manuskrip Ligor A ini berisikan berita tentang raja Sriwijaya, raja dari segala raja yang ada di dunia,
yang mendirikan Trisamaya caitya untuk Kajara.[4]
Sedangkan dari manuskrip Ligor B berangka tahun 775, beraksara Kawi berisikan berita tentang nama
Visnu yang bergelar Sri Maharaja, dari keluarga Śailendravamśa serta dijuluki dengan
Śesavvārimadavimathana (pembunuh musuh-musuh yang sombong tidak bersisa).[1][5]

Prasasti Nalanda merupakan sebuah prasasti yang terdapat di Nalanda, Bihar, India.

Penafsiran teks Sunting

Prasasti ini berangka tahun 860, dari penafsiran manuskrip menyebutkan Sri Maharaja di Suwarnadwipa,
Balaputradewa anak Samaragrawira, cucu dari Śailendravamsatilaka (mustika keluarga Śailendra) dengan
julukan Śrīviravairimathana (pembunuh pahlawan musuh), raja Jawa yang kawin dengan Tārā, anak
Dharmasetu.[1]

Prasasti Nalanda yang berisi tentang permintaan Raja Balaputradewa kepada Raja Nalanda agar
mengakui haknya atas Raja Syailendra. Prasasti ini juga menyatakan bahwa Raja Dewa Paladewa
membebaskan 5 buah desa dari pajak untuk membiayai mahasiswa Sriwijaya yang belajar di Nalanda.

Simak lebih lanjut di Brainly.co.id - https://brainly.co.id/tugas/2425951#readmore

Prasasti Nalanda disebutkan bahwa raja Balaputradewa dari Suwarnabhumi (Sriwijaya) meminta pada
raja Dewapaladewa agar memberikan sebidang tanah untuk pembangunan asrama yang digunakan
sebagai tempat bagi para pelajar agama Buddha yang berasal dari Sriwijaya. Disebutkan juga dalam
prasasti itu, bahwa Balaputradewa adalah putra Samaragrawira, yaitu raja Jawa dari Dinasti Syailendra.

Prasasti Kelurak

Prasasti Kelurak

Prasasti Kelurak merupakan prasasti batu berangka tahun 782 M yang ditemukan di dekat Candi
Lumbung, Desa Kelurak, di sebelah utara Kompleks Percandian Prambanan, Jawa Tengah.
Keadaan batu prasasti Kelurak sudah sangat aus, sehingga isi keseluruhannya kurang diketahui. Secara
garis besar, isinya adalah tentang didirikannya sebuah bangunan suci untuk arca Manjusri atas perintah
Raja Indra yang bergelar Sri Sanggramadhananjaya. Menurut para ahli, yang dimaksud dengan bangunan
tersebut adalah Candi Sewu, yang terletak di Kompleks Percandian Prambanan. Nama raja Indra tersebut
juga ditemukan pada Prasasti Ligor dan Prasasti Nalanda peninggalan kerajaan Sriwijaya.

Prasasti Kelurak ditulis dalam aksara Pranagari, dengan menggunakan bahasa Sanskerta. Prasasti ini kini
disimpan dengan No. D.44 di Museum Nasional, Jakarta.

Prasasti Kayumwungan

Prasasti Kayumwungan adalah sebuah prasasti pada lima buah penggalan batu yang ditemukan di Dusun
Karangtengah, Kabupaten Temanggung, Jawa Tengah, sehingga lebih dikenal juga dengan nama prasasti
Karangtengah. Prasasti ini ditulis dengan aksara Jawa Kuna, mempergunakan dua bahasa. Baris 1-24
ditulis dalam bahasa Sanskerta, baris selanjutnya ditulis bahasa Jawa Kuna. Masing-masing bahasa
menunjuk pada angka tahun 746 Saka atau 824 Masehi.

Isi

Isi tulisan pada bagian berbahasa Sanskerta adalah tentang seorang raja bernama Samaratungga.
Anaknya bernama Pramodawardhani mendirikan bangunan suci Jinalaya serta bangunan bernama
Wenuwana (Sansekerta: Venuvana, yang berarti "hutan bambu") untuk menempatkan abu jenazah 'raja
mega', sebutan untuk Dewa Indra. Mungkin yang dimaksud adalah raja Indra atau Dharanindra dari
keluarga Sailendra.

Bagian Jawa Kuna menyebutkan bahwa pada 10 Kresnapaksa bulan Jyestha tahun 746 Saka atau 824
Masehi, Rakai Patapan pu Palar meresmikan tanah sawah di Kayumwungan menjadi tanah sima atau
tanah perdikan (daerah bebas pajak).

Casparis mengaitkan bangunan Wenuwana ini dengan candi Mendut, sedangkan Soekmono
mengaitkannya dengan candi Ngawen atas dasar persamaan bunyi nama. Sementara bangunan yang
disebut Jinalaya diduga merujuk kepada Borobudur

Prasasti Kayumwungan

Prasasti Kayumwungan adalah sebuah prasasti pada lima buah penggalan batu yang ditemukan di Dusun
Karangtengah, Kabupaten Temanggung, Jawa Tengah, sehingga lebih dikenal juga dengan nama Prasasti
Karangtengah. Prasasti ini ditulis dengan aksara Jawa Kuno, mempergunakan dua bahasa. Baris 1-24
ditulis dalam bahasa Sanskerta, baris selanjutnya ditulis bahasa Jawa Kuno. Masing-masing bahasa
menunjuk pada angka tahun 746 Saka atau 824 Masehi.

Isi Sunting

Isi tulisan pada bagian berbahasa Sanskerta adalah tentang seorang raja bernama Samaratungga.
Anaknya bernama Pramodawardhani mendirikan bangunan suci Jinalaya serta bangunan bernama
Wenuwana (Sansekerta: Venuvana, yang berarti "hutan bambu") untuk menempatkan abu jenazah 'raja
mega', sebutan untuk Dewa Indra. Mungkin yang dimaksud adalah raja Indra atau Dharanindra dari
keluarga Sailendra.

Bagian Jawa Kuno menyebutkan bahwa pada 10 Kresnapaksa bulan Jyestha tahun 746 Saka atau 824
Masehi, Rakai Patapan pu Palar meresmikan tanah sawah di Kayumwungan menjadi tanah sima atau
tanah perdikan (daerah bebas pajak).

Casparis mengaitkan bangunan Wenuwana ini dengan candi Mendut, sedangkan Soekmono
mengaitkannya dengan candi Ngawen atas dasar persamaan bunyi nama. Sementara bangunan yang
disebut Jinalaya diduga merujuk kepada Borobudur.

Informasi tekstual mengenai Candi Borobudur sangat terbatas berkenaan dengan pembangunan atau
tujuan dibangunnya candi tersebut. Terdapat suatu prasasti yang menyebut nama Sri Kahulunan yang
dkeluarkan pada tahun 824 M. Prasasti tersebut menyebut nama Sri Kahulunan sebagai tokoh yang
menganugerahkan tanahnya di desa Tri Tepusan untuk pemeliharaan tempat suci bernama Kamulan I
Bhumisambhara, tempat asal muasal Bhumisambhara.

Nama Bhumisambhara memiliki keterkaitan dengan sebutan Borobudur di masa kini. Terlebih dalam
prasasti ini muncul juga sebutan lain bagi bangunan ini sebaga da avidam, yaitu bangunan berlapis
sepuluh yang sangat tepat dengan jumlah tingkatan pada Candi Borobudur. Gelar Sang Putri Sri
Kahulunan telah dikaitkan dengan Dyah Pramodhawardhani putri Rakai Warak Dyah Manara yang juga
dikenal sebagai Raja Samaratugga dari Dinasti Syailendra. Dengan demikian sangat mungkin bahwa
penguasa ini adalah pembangun Candi Borobudur.
Menurut Casparis, berdasarkan interpretasinya bahwa pendiri Candi Borobudur adalah Samaratutungga
yang memerintah tahun 782 – 812 M pada masa dinasti Syailendra. Candi Borobudur dibangun untuk
memuliakan agama Buddha.

Prasasti Sojomerto

Gambar prasasti.

Prasasti Sojomerto merupakan peninggalan Wangsa Sailendra yang ditemukan di Desa Sojomerto,
Kecamatan Reban, Kabupaten Batang, Jawa Tengah. Prasasti ini beraksara Kawi dan berbahasa Melayu
Kuno. Prasasti ini tidak menyebutkan angka tahun, berdasarkan taksiran analisis paleografi diperkirakan
berasal dari kurun akhir abad ke-7 atau awal abad ke-8 masehi.

Prasasti ini bersifat keagamaan Siwais.[1] Isi prasasti memuat keluarga dari tokoh utamanya, Dapunta
Selendra, yaitu ayahnya bernama Santanu, ibunya bernama Bhadrawati, sedangkan istrinya bernama
Sampula. Prof. Drs. Boechari berpendapat bahwa tokoh yang bernama Dapunta Selendra adalah cikal-
bakal raja-raja keturunan Wangsa Sailendra yang berkuasa di Kerajaan Mataram Hindu.

Bahan prasasti ini adalah batu andesit dengan panjang 43 cm, tebal 7 cm, dan tinggi 78 cm.[2] Tulisannya
terdiri dari 11 baris yang sebagian barisnya rusak terkikis usia.

Teks prasasti Sunting

Alih aksara prasasti:[1]

... – ryayon çrî sata ...

... _ â kot

... namah ççîvaya

bhatâra parameçva

ra sarvva daiva ku samvah hiya


– mih inan –is-ânda dapû

nta selendra namah santanû

namânda bâpanda bhadravati

namanda ayanda sampûla

namanda vininda selendra namah

mamâgappâsar lempewângih

Penafsiran prasasti Sunting

Terjemahan inskripsi yang terbaca:

Sembah kepada Siwa Bhatara Paramecwara dan semua dewa-dewa

... dari yang mulia Dapunta Selendra

Santanu adalah nama bapaknya, Bhadrawati adalah nama ibunya, Sampula adalah nama bininya dari
yang mulia Selendra.

Share

Prasasti Sojomerto

Prasasti Sojomerto merupakan salah satu prasasti yang termasuk peninggalan Kerajaan Mataram Kuno di
wilayah Jawa Tengah. Prasasti ini ditemukan di Desa Sojomerto, Kecamatan Reban, Kabupaten Batang,
Provinsi Jawa Tengah. Tulisan pada prasasti ini dipahatkan pada sebuah batu andesit berukuran panjang
43 cm, tebal 7 cm dan tinggi 78 cm menggunakan aksara Jawa Kuno (KAWI) dan ditulis dalam dialek
Bahasa Melayu Kuno. Berdasarkan penggunaan hurufnya, prasasti ini diperkirakan berasal dari abad VII
Masehi. Aksara Jawa Kuno (KAWI) yang digunakan pada prasasti ini merupakan salah satu
pengembangan dari aksara Pallava Grantha yang merupakan aksara induk bagi sejumlah dialek bahasa di
kawasan Asia Tenggara (Baybayin, Mon, Champa, Khmer, Thai, Java, Bali, Batak, Sunda dll)
Periodisasi dari penggunaan Bahasa Kawi itu sendiri meliputi kurun waktu yang cukup panjang (±800
tahun). Dimulai pada masa Kerajaan Mataram Kuno hingga Kesultanan Mataram Islam yang notabene
berada pada wilayah yang berdekatan, sehingga sering kali ditemukan perbedaan dalam bentuk
aksaranya. Pada Prasasti Sojomerto, bentuk aksara Kawi yang digunakan adalah berasal dari periodisasi
awal seperti dijelaskan oleh gambar berikut.

Isi Prasasti

Isi dari Prasasti Sojomerto termuat dalam 11 baris tulisan yang sebagian telah rusak termakan usia.
Menceritakan mengenai keberadaan seorang negarawan yang dihormati, bernama Dapunta Selendra. Ia
memuja Dewa Siwa dan memiliki seorang Ayah bernama Santanu, seorang Ibu bernama Bhadrawati
serta beristrikan seseorang bernama Sampula. Berdasarkan tinjauan etimologi, sebutan “Dapunta
Selendra” memiliki kemiripan dengan tokoh bernama “SYAILENDRA”. Oleh karena itu, Prof. Drs. Boechari
beranggapan bahwa Dapunta Selendra adalah merupakan tokoh pendiri dari Dinasti Syailendra yang
pernah berkuasa di wilayah Jawa Tengah antara abad 7 Masehi hingga 10 Masehi. Secara lengkap, isi dari
prasasti tersebut adalah sebagai berikut.

… – ryayon çrî sata …

… _ â kot

… namah ççîvaya

bhatâra parameçva

ra sarvva daiva ku samvah hiya

– mih inan –is-ânda dapû

nta selendra namah santanû

namânda bâpanda bhadravati

namanda ayanda sampûla

namanda vininda selendra namah

mamâgappâsar lempewângih
Prasasti Kalasan

Prasasti Kalasan

Prasasti Kalasan adalah prasasti peninggalan Wangsa Sanjaya dari Kerajaan Mataram Kuno yang
berangka tahun 700 Saka atau 778 M. Prasasti yang ditemukan di kecamatan Kalasan, Sleman,
Yogyakarta, ini ditulis dalam huruf Pranagari (India Utara) dan bahasa Sanskerta.

Prasasti ini menyebutkan, bahwa Guru Sang Raja berhasil membujuk Maharaja Tejahpura Panangkarana
(Kariyana Panangkara) yang merupakan mustika keluarga Sailendra (Sailendra Wamsatilaka) atas
permintaan keluarga Syailendra, untuk membangun bangunan suci bagi Dewi Tara dan sebuah biara bagi
para pendeta, serta penghadiahan desa Kalasan untuk para sangha (komunitas kebiarawan dalam Agama
Buddha). Bangunan suci yang dimaksud adalah Candi Kalasan.

Prasasti ini kini disimpan dengan No. D.147 di Museum Nasional, Jakarta.

Prasasti Kalasan

Prasasti adalah piagam atau dokumen yang ditulis pada bahan yang keras dan tahan lama. Penemuan
prasasti pada sejumlah situs arkeologi, menandai akhir dari zaman prasejarah, yakni babakan dalam
sejarah kuno Indonesia yang masyarakatnya belum mengenal tulisan, menuju zaman sejarah, dimana
masyarakatnya sudah mengenal tulisan.

Salah satu bukti adanya zaman prasejarah dari Kerajaan Mataram Kuno adalah Prasasti Kalasan. Prasasti
Kalasan adalah salah satu prasasti peninggalan Wangsa Sanjaya yang berasal dari Kerajaan Mataram
Kuno. Prasasti Kalasan ini memiliki angka tahun 700 Saka atau setara dengan tahun 778 M. Prasasti ini
dulu ditemukan di kecamatan Kalasan, Sleman, Yogyakarta, diketahui Prasasti Kalasan ini ditulis dalam
huruf Pranagari (India Utara) dan bahasa Sanskerta.
Prasasti Kalasan ini menyebutkan, bahwa Guru Sang Raja yang telah berhasil membujuk Maharaja
Tejahpura Panangkarana (Kariyana Panangkara) ia merupakan mustika keluarga Sailendra (Sailendra
Wamsatilaka) atas permintaan keluarga Syailendra, untuk membangun bangunan suci bagi Dewi Tara dan
sebuah biara bagi para pendeta, serta penghadiahan desa Kalasan untuk para sanggha (umat Buddha).
Bangunan suci yang dimaksud adalah Candi Kalasan.

Prasasti Kalasan dapat digunakan sebagai bukti yang konkrit dalam memahami pernyataan mengenai
kerajaan Hindu-Buddha di Nusantara. Khususnya adalah pada masa kerajaan mataram kuno.

Prasasti Kalasan ini kini disimpan dengan No. D.147 di Museum Nasional, Jakarta. Prasasti lain yang
merupakan prasasti peninggalan Mataram Kuno yaitu Prasasti Canggal, Prasasti Mantyasih, Prasasti
Kelurak, Prasasti Ratu Boko, dan Prasasti Nalanda.

Prasasti Siwagrha

Prasasti Siwagrha

Prasasti Shivagrha adalah prasasti yang berasal dari Kerajaan Medang, Jawa Tengah, tertulis
chandrasengkala ”Wwalung gunung sang wiku” yang bermakna angka tahun 778 Saka (856 Masehi).
Prasasti ini dikeluarkan oleh Dyah Lokapala (Rakai Kayuwangi) segera setelah berakhirnya pemerintahan
Rakai Pikatan. Prasasti ini menyebutkan deskripsi kelompok candi agung yang dipersembahkan untuk
dewa Siwa disebut Shivagrha (Sanskerta: rumah Siwa) yang cirinya sangat cocok dengan kelompok candi
Prambanan.[1]

Kini prasasti ini disimpan di Museum Nasional Indonesia, Jakarta, dengan nomor inventoris No. D.28.

Prasasti Siwagrha

Prasasti Siwagrha berangka tahun 778 Saka (856 M) dengan candrasengkala “Wwalung gunung sang
wiku”. Prasasti ini yang berbentuk batu ini berbahasa dan aksara Jawa Kuno, dan kini menjadi koleksi
Museum Nasional dengan No. Inventaris D.28.
Prasasti ini berisi tentang peresmian bangunan suci untuk Dewa Siwa, yaitu Siwagraha dan Saiwalaya
serta sekaligus memberikan uraian terperinci mengenai sebuah kompleks bangunan suci agama Siwa,
yang menurut para ahli adalah kompleks Candi Prambanan yang diresmikan oleh Rakai Pikatan.

Prasasti ini menyebutkan peperangan antara Raja Balaputra dan Rakai Pikatan. Karena kalah perang,
Balaputra melarikan diri dan membangun tempat pertahanan di atas kaki bukit Ratu Boko, sebagai tanda
kemenangannya dalam pertempuran melawan Balaputradewa yang berlangsung di bukit Boko. Atas
kemenangan Rakai Pikatan terhadap Balaputradewa, tampaknya Candi Prambanan dibangun sebagai
simbol kebangkitan kerajaan Mataram Kuna setelah sebelumnya mengalami masa tidak stabil, antara lain
akibat peperangan dan perpindahan ibukota sebanyak tiga kali.

Prasasti ini dikeluarkan oleh Dyah Lokapala (Rakai Kayuwangi) segera setelah berakhirnya pemerintahan
Rakai Pikatan, di mana dimana dalam prasasti Siwagrha disebutkan tentang adanya seorang raja yang
mengundurkan diri dan menyerahkan tahta kepada anaknya yaitu Rakai Kayuwangi Dyah Lokapala. Rakai
Pikatan terkenal dengan konsepnya Wasesa Tri Dharma yang berarti tiga sifat yang mempengaruhi
kehidupan manusia. ***

Anda mungkin juga menyukai