Anda di halaman 1dari 6

YAYASAN BALAPUTRA SALAKANAGARA

Salakanagara, Antara Mitos Atau Fakta


Bagi orang Pandeglang, nama Kerajaan Salakanagara sudah tak asing lagi. Walaupun begitu,
masyarakat masih banyak yang menyangsikan keberadaannya lantaran belum ditemukan secara
konkret peninggalan sejarah kerajaan tersebut. Akibatnya, nama Kerajaaan Salakanagara berada di
area antara mitos dan fakta.

Walaupun begitu, Yayasan Balaputra Salakanagara (YBS) tetap menyakini bahwa Kerajaan
Salakanagara benar benar eksis di abad 130 Masehi lantaran namanya disebutkan di beberapa
literatur. Diantaranya oleh N. J. Krom dalam buku Het Hindoe- Tijdperk, tahun 1938 yang
menguraikan bahwa;

“Berita Tiongkok di tahun 132 Masehi, radja “Ye-Tiao” yang bernama “Pien” mengirimkan utusan,
dan radja “Tiao-pien” tersebut memperoleh hadiah kehormatan. Dalam pada itu, nama Ye-tiao dari
bahasa sansekerta yang artinya sama dengan Yawadwipa atau Yabadiu”

Menurut Ayatrohaedi, nama Tiao-pien dalam bahasa Sansekerta miliki arti yang sama dengan
Dewawarman. Tiao artinya Dewa, dan Pien artinya Warman.

Pendapat N. J. Krom ini, sama dengan apa yang dikemukakan oleh D.G.E. Hall, Guru Besar Emiritus
Sejarah Asia Tenggara Universitas London. Namun Hall lebih jelas menerangkan bahwa saat
kedatangan utusan raja Ye-Tiao yang bernama Tiao-Pien di tahun 132 itu, kekuasaan berada di masa
Dinasti Han. Dikemukakan juga bahwa upacara penerimaan langsung dilakukan oleh Kaisar Han,
untuk menerima utusan yang membawa hadiah kehormatan dari seorang raja Ye-tiao bernama Tiao-
pien.

Pendapat D. G. E. Hall, dipertegas lagi oleh Sartono Kartodirdjo, sebagaimana yang dikemukakan
dalam buku Sejarah Nasianal Indonesia II. Selain itu, dalam buku Geographike, kita bertemu kembali
dengan nama-nama tempat yang berhubungan dengan logam mulia, yaitu emas dan perak. Tempat-
tempat tersebut ialah Argyre Chora, yaitu negeri Perak, Chryse Chora, negeri emas dan Chryse
Chersonensos, semenanjung emas. Kitab ini menyebutkan pula nama tempat Iabadiou, yaitu Pulau
Enjelai. Claudius Ptolemeus, dalam bukunya Geographia memberitakan, bahwa di dunia Timur
terdapat Iabadiou yang subur dan banyak menghasilkan emas. Di ujung Barat Iabadio terletak (kota)
Argyre. Iabadiou dapat dicapai setelah melalui 5 pulau Barousai dan 3 pulau Sabadibai.

Berita yang paling meyakinkan tentang kerajaan tertua di Nusantara adalah dengan ditemukannya
peta yang dibuat oleh Claudius Ptolomeus. Ahli matematika dan astronom dari Alexandria ini adalah
orang pertama yang membuat catatan perjalanan letak Asia dalam bentuk peta yang dibuat pada
tahun 165 M. Dalam peta ini digambarkan tentang jalur pelayaran dari Eropa ke Tiongkok, melalui
India, Utara Sumatera, kemudian menyusuri pantai Barat Sumatera, Pulau Panaitan, Selat Sunda,
Vietnam, terus melalui Laut Natuna Utara sampai ke Tiongkok. Kartografer Eropa pada abad ke-15-
17 mana pun yang hendak mencari tahu lokasi dan sejarah Nusantata, mulanya berangkat dari
keterangan Claudius Ptolemeus ini.
Maka, bila kedua berita dari Tiongkok dan Ptolemeus ini digabungkan, dengan sendirinya diduga
kuat, bahwa hal tersebut menyangkut sebuah kerajaan di ujung Barat Pulau Jawa.

Pada materi yang sama, Prof Ir Anwas Adiwilaga berdasarkan penelitiannya yang dikutip oleh Drs
H.A Mudjahid Chudari dan editor Mufti Ali Ph.D dalam buku Catatan Masalalu Banten
mengemukakan pendapatnya, bahwa di Pulau Panaitan pada kira-kira tahun 130 M pernah berdiri
satu kerajaan yang merupakan kerajaan tertua di pulau Jawa bagian barat. Kerajaan ini bernama
Salakanagara atau Negeri Perak dengan pusatnya di kota Rajatapura, yang terletak di pesisir barat
Pandeglang. Raja pertamanya bernarna Dewawarman yang kekuasannya meliputi: Kerajaan
Agrabinta di Pulau Panaitan, Kerajaan Agnynusa di Pulau Krakatau, dan daerah ujung Selatan
Surnatera. Dengan demikian, seluruh Selat Sunda dapat dikuasai Dewawarman I, sehingga ia digelari
Aji Raksa Gapurasagara atau Raja Penguasa Gerbang Lautan.

Anwas Adiwilaga menduga, Rajatapura berada di Pulau Panaitan karena di pulau ini ditemukan
patung Ganesha dan patung Siwa dengan tanda ardachandra (bulan sabit) di dahinya.Sedangkan
menurut Voderman, Patung-patung itu diperkirakan berasal dari abad ke-14 atau ke-15.

Berkaitan dengan hal tersebut, kemudian ditemukan pula beberapa patung di sekitar Gunung
Pulasari sehingga Claude Guillot mengemukakan bahwa arca-arca itu merupakan kelompok arca
dewa yang terdapat dalam setiap candi Siwa, yaitu Dewa Siwa, Agastya (titisan Siwa), Durga (yaitu
sakti atau pasangan Siwa yang disebut dengan Parvati ) dan Ganesha (putra Siwa yang berupa gajah),
serta lingga (lambang laki laki).

Selain itu, YBS juga mengacu pada naskah-naskah kuno karya Pangeran Wangsakerta Cirebon abad
ke-17, telah menjadi sumber yang berharga bagi kesejarahan. Nama Pangeran Wangsakerta mulai
menarik minat kalangan sejarah, setelah diterbitkan naskah Carita Purwaka Caruban Nagari tahun
1972, yang ditulis oleh Pangeran Arya Cirebon tahun 1720. Naskah tersebut, memberitakan,bahwa
cerita itu disusun berdasarkan naskah Pustaka Nagara Kretabhumi karya Pangeran Wangsakerta,
berkenaan dengan pernah adanya Kerajaan dengan raja-rajanya yang memakai nama Warman
sebagai pendahulu Kerajaan Sunda. Warman yang dimaksud adalah Dewawarman dan
keturunannya. Dalam naskah Pustaka Rajyarajya i Bhumi Nusantara parwa I sarga 1 yang merupakan
bagian dari Kitab Wangsakerta diceritakan bahwa sebelum kerajaan Salakanagara berdiri, di Pesisir
Barat Jawa Barat sudah ada sebuah wilayah yang dipimpin penghulu atau penguasa wilayah pesisir
Jawa Kulwan (Barat) sebelah Barat, namanya terkenal, Aki Tirem atau Sang Aki Luhur Mulya
namanya yang lain. Saat itu, tepatnya awal pertama tahun Saka di sini telah banyak orang-orang
negeri Bharata (India) tiba di Pulau Jawa dan pulau-pulau di bumi Nusantara. Karena Nusantara
terkenal sebagai tanah yang gembur dan subur. Di antara mereka, yang tiba di Pulau Jawa, ada yang
berdagang dan mengusahakan pelayanan, ada yang mengajarkan Sanghyang Agama (ajaran agama),
ada yang mengungsi dan menghindarkan diri dari bahaya yang akan membinasakan dirinya karena
negara asalnya dilanda peperangan.

Dari sekian banyak pendatang, yang terbanyak berasal dari wangsa Salankayana dan wangsa Pallawa
di bumi negeri Bharata (India). Para pendatang itu bersahabat dengan penghulu dan warga
masyarakat dan berbaur dalam kehidupan sehari-hari. Tak jarang, pendatang dan penduduk lokal
terlibat kisah cinta sebagaimana Dewawarman dengan puteri Sang Aki Luhur Mulya, bernama
Pwahaci Larasati hingga akhirnya putri sang penghulu diperisteri oleh Sang Dewawarman.
Dewawarman ini, disebut oleh mahakawi sebagai Dewawarman pertama.

Tatkala Aki Tirem sakit, sebelum meninggal, ia menyerahkan kekuasaannya kepada Dewawarman,
keputusan itu diterima oleh semua penduduk. Setelah Aki Tirem wafat, Sang Dewawarman
menggantikannya dengan nama nobat Prabu Darmalokapala Dewawarman Haji Raksa Gapura
Sagara, sedangkan isterinya, Pohaci Larasati menjadi permaisuri, dengan nama nobat, Dewi Dwani
Rahayu. Kerajaannya diberi nama Salakanagara atau Negara Perak. Ibukotanya diberi nama
Rajatapura. Rajata artinya sama dengan Salaka yaitu sebutan lain untuk perak. Sedangkan Pura
artinya kota.

Daerah kekuasaan Salakanagara, meliputi Jawa Kulwan dan laut di antara Pulau Jawa dengan
Sumatera, oleh karenanya, daerah-daerah sepanjang pantainya, dijaga pasukan Sang Dewawarman.
Perahu yang berlayar dari Timur ke Barat dan sebaliknya, harus berhenti dan membayar pajak. Saat
itu, ada beberapa pelabuhan di pesisir Jawa Kulwan, antara lain Nusa Mandala (mungkin Pulau
Panaitan), Nusa Api (Krakatau), dan pesisir Sumatera bagian Selatan. Selain itu, ada pelabuhan atau
area milik Kerajaan Salakanagara yang dikenal dengan nama Teluk Lada yang oleh Pelaut Portugis
sekira tahun 1432 atau 1569 menyebutnya dengan nama “Pepper Bay” yang artinya Teluk Lada.

Atas dasar itu, YBS terus melakukan berbagai ekspedisi, eksplorasi dan penelitian melalui berbagai
sumber. Hal ini lantaran rekonstruksi sejarah tak bisa dicapai hanya dengan mengandalkan satu
sumber saja sebagaimana pendapat G.R. Elton dan Henri Pirenne.

Maka, kami mulai menelusuri aneka sumber yang memungkinkan diantaranya melalui sumber
Filologi atau ilmu yang mempelajari tulisan dan bahasa pada naskah-naskah kuno pada lontar,
daluwang atau kertas; Epigrafi, ilmu yang mempelajari tulisan dan bahasa kuno pada batu, kayu,
logam, yang dikenal sebagai prasasti; Arkeologi, ilmu yang mempelajari benda-benda peninggalan
peradaban manusia dimasa lalu (artefak). Tak hanya itu, kami juga menelusuri dongeng, cerita,
tambo, wawacan, legenda, mitos,sasakala, babad yang beredar di kalangan masyarakat hingga
akhirnya bertemu dengan kisah Gajah Gumarang.

Kisahnya adalah kisah yang diceritakan di kalangan masyarakat Kampung Pamatang secara turun
temurun mengenal sebuah kisah tentang asal usul sebuah senjata pusaka yang bernama Gadjah
Barong. Senjata ini diduga adalah cikal bakal senjata khas suku Sunda yaitu Kujang. Jadi, kisah itu
adalah kisah huru hara perebutan kekuasaan antara Laksamana Gadjah Barunang atau Sang
Kodramauta dari Kerajaan Bharata di India dengan Mangkubumi Kerajaan Salakanagara yaitu
Panglima Sarwajala Senapati Skadamuka Jayasatru yang bernama Gadjah Gumarang yang
kerajaannya terpusat di Rajatapura yang kini diduga berada di Pamatang.

Dalam cerita lisan masyarakat itu, diceritakan bahwa konflik ini bermula dari wafatnya Dewawarman
VII pada 340 Masehi dan meninggalkan penerus bernama Sphatikarnawa atau kelak dikenal sebagai
Ratu Arcamanik yang saat itu masih belum cukup umur untuk menjabat.

Namun, sebelum Dewawarman VII wafat, terjadi sebuah peristiwa yang diduga memantik konflik
selanjutnya. Peristiwa itu adalah ketika kecantikan Arcamanik memikat hati saudara sepupunya yang
juga Panglima perang dari kerajaan Bharata yaitu Gadjah Barunang. Maka, datanglah Gadjah
Barunang ke Salakanagara untuk melamar Arcamanik. Tak dinyana, lamaran ini ditolak lantaran
Arcamanik tak menyukai Gadjah Barunang yang kabarnya memiliki fisik yang tak terlalu tampan
penolakan ini lantaran Dewawarman VII menyerahkan sepenuhnya jawaban kepada putrinya.
Dengan hati dongkol dan perasaan malu, Gadjah Barunang pulang ke Bharata. Namun ia bertekad
kembali tak hanya untuk mempersunting Arcamanik namun juga menguasai Salakanagara sebagai
Raja.

Waktu berlalu, kehidupan di Rajatapura terus berjalan. Dewawarman VII meninggal dan Arcamanik
dilantik menjadi maharani. Lantaran belum cukup umur, selama menjabat ia didampingi oleh
seorang wali atau mangkubumi yang menjadi penasehatnya yaitu Senapati Skadamuka Jayasatru
Gadjah Gumarang sampai umurnya mencukupi. Maka selama 100 hari atau Sakerti, Arcamnik berada
dalam pengasuhan Gadjah Gumarang dan istrinya yang baik hati Nyai Randa Kasih.

Tak dinyana, pengasuhan ini membawa masalah baru karena dalam hati Arcamanik mulai tumbuh
benih benih cinta terlarang yang bermula dari kekaguman atas kecakapan dan ketampanan
penasihatnya Gadjah Gumarang. Maka, muncullah kisah cinta terlarang antara keduanya.

Tanpa disadari, hal terlarang mengundang bala. Saat sedang menikmati indahnya cinta sembunyi
sembunyi, tiba-tiba masalah lama bersemi kembali. Panglima Gadjah Barunang bersama pasukannya
tiba-tiba menyerbu Salakanagara. Gadjah Gumarang dan Arcamanik terancam jiwanya karena
dilempari tombak saat sedang makan bersama. Beruntung bidikan tombak Gadjah Barunang meleset
dan mengenai batu sehingga menimbulkan bunyi nyaring ketika besi membentur besi atau dalam
lidah masyarakat lokal disebut golomprang. Hingga kini area itu disebut Blok Cigolomprang karena
selain mengenang bunyi golomprang area itu dialiri mata air atau dalam Bahasa Sunda disebut Cai
atau Ci.

Untuk menghindari kejaran Gadjah Barunang, Arcamanik dan Gadjah Gumarang berpindah pindah
tempat. Malang, Gadjah Barunang makin merangsek hingga akhirnya Gadjah Gumarang memilih
mengorbankan diri dan menghadapi Gadjah Barunang dan pasukannya hingga tewas. Sementara
Arcamanik diam dalam persembunyiannya sebagaimana diinstruksikan oleh Gadjah Gumarang dan
tak bisa ditemukan. Atas kejadian ini, Gadjah Barunang berhasil menjalankan kudeta dan akhirnya
menjadi Raja Salakanagara. Malang tak dapat ditolak, tepat di hari ke-100 aau Sakerti, jabatannya,
Gadjah Barunang yang sedang berburu tertimpa batu besar hingga tewas. Mendengar hal itu,
Arcamanik keluar dari persembunyiannya dan kemudian kembali menjadi Maharani Salakanagara.
Maka untuk mengenang keberanian dan pengorbanan Panglima Gadjah Gumarang dibuatlah senjata
pusaka Salakanagara yaitu Gadjah Barong yang diduga sebagai cikal bakal senjatang Kudjang.

Bermula dari dongeng itu, kami berupaya merekonstruksi sejarah dimana sebenarnya letak kerajaan
yang terkenal dengan Teluk Lada tersebut, dan apa kaitan dua nama tokoh tersebut dengan hewan
gajah. Sekadar informasi, nama bagi kalngan bangsawan seringkali disamakan dengan hewan hewan
yang dianggap perkasa diantaranya Gajah. Selain itu, Gajah juga merupakan putra dari Dewa Siwa
dan Dewi Parvati yaitu Ganesha. Dalam upaya itu, YBS memperhitungkan berbagai hal diantaranya
kondisi geografis Teluk Lada Purba dengan area yang kini disebut Teluk Lada apakah sama atau
berbeda karena di abad ke 6 Masehi pernah er. Selain itu, kami juga berpatokan pada keterangan
pada naskah Pustaka Rajyarajya I Bhumi Nusantara parwa I sarga 1 menyebutkan bahwa kampung
kampung di Salakanagara beraneka ragam luasnya. Ada yang besar ada yang kecil kampung besar
ada di tepi laut, atau tidak jauh dari muara sungai.

Jika asumsi ini dipergunakan sebagai dasar pemikiran, maka, terdapat tiga aliran sungai besar yang
bermuara di Teluk Lada Purba, yaitu Sungai Cikadueun, Sungai Cilémér dan Sungai Ciliman. Ketiga
sungai ini, 1980 tahun yang lalu, mungkin saja bisa dilayari hingga jauh kepedalaman, dan di tiga
daerah aliran sungai ini pula, kemungkinan kota Rajatapura berada. Persoalannya, dari ketiga sungai
besar itu, mana yang alirannya menuju pusat ibukota Salakanagara?.

Pertama kami akan mengajak saudara untuk memperhitungkan kondisi topografinya. Sekian ribu
tahun berlalu, tentu sudah berubah di masa kini. Apalagi dari naskah Raja Purwa yang ditulis oleh
Ronggowarsito, di abad ke-6 Gunung Watuwara (diduga Gunung Karang) dan Gunung Kapi (Gunung
Krakatau Purba ) meletus bersamaan sehingga menimbulkan gelombang tsunami bahkan mengubah
iklim. Tak hanya di Salakanagara, letusan dua gunung itu berdampak hingga daratan Eropa. Apa yang
ditulis Ki Ronggowarsito ini disetujui oleh arkeolog dunia David Keys dalam bukunya Kastratof. Oleh
karena itu daerah yang semula adalah aliran sungai kami duga berubah jadi daratan karena Pulau
Jawa dan Sumatera pun yang semula bersatu pasca peristiwa tersebut menjadi terpisah.

Hipotesa para ahli tersebut membuat keyakinan kami makin kuat, apalagi di tahun 1980-an,
masyarakat daerah Bojén Kecamatan Sobang, sempat ramai ketika masyarakat menemukan bangkai
sebuah perahu ketika menggali sumur diarea pesawahan. Apa arti penemuan bangkai perahu di
pedalaman Bojén...? Besar kemungkinan, sekitar Bojén, Perdana, Pagelaran, Cimoyan Kecamatan
Patia dan Bojong Manik di Kecamatan Sindangresmi yang sering alami bencana banjir, merupakan
fyord (cekungan) garis pantai Teluk Lada purba.

Jika dilihat dari toponimi aliran sungai, maka Ciliman lah yang memiliki kemungkinan. Apalagi ditilik
dari namanya, kata Ci menunjukan aliran air (sungai), sedangkan “liman” (Sanskrit) memiliki arti
Gajah. Keberadaan gajah dalam mitologi Hindu dikenal dengan nama Ganesya. Dari toponimi Ciliman
ini, hipotesa awal keberadaan kota Rajatapura di daerah aliran sungai Ciliman sepertinya menjadi
tambah lengkap dengan adanya Prasasti Cidanghyang peninggalan Raja Purnawarman dari
Tarumanagara, disisi sungai Cidanghyang yang merupakan anak sungai Ciliman.

Lalu dimana letak persisnya Rajatapura? Kami mendapatkan petunjuk dari pantun Gedé “Pakuan
Pakulonan” (saat ini banyak orang menyebut Pantun Bogor atau Pantun Bogor Pakulonan) dalam
episode “Curug Sipadaweruh”, diceritakan bahwa :

“….Sa’acan Urang Hindi ngaraton di Kadu Héjo ogéh, Karuhun urang mah geus baroga agama, anu
disarebut agama sunda téa…”.

Penyebutan tempat Kadu Hejo sebagai lokasi keraton atau istana dalam carita pantun tersebut,
menjadi titik terang untuk dijadikan pijakan awal penelusuran kota Rajatapura. Apabila yang
dimaksud “Urang Hindi” (orang India yang beragama Hindu) di sini adalah sosok tokoh
Dewawarman. Lalu dimana Kadu Hejo yang dimaksud? Soalnya di Pandeglang terdapat sejumlah
daerah yang bernama Kaduhejo. Ada Kecamatan Kaduhejo yang merupakan kecamatan diantara
Kecamatan Majasari dan Cimanuk. Ada pula Kaduhejo di Desa Sanghyang Dengdek di lereng gunung
Pulosari atau di tempat lain.

Pencarian kami lagi lagi merujuk pada sumber kami sebelumnya bahwa Rajatapura Salakanagara
terletak di tepi laut, maka hipotesa bahwa Kaduhejo eks ibukota Rajatapura di 3 tempat diatas
menjadi gugur.

Akhirnya pencarian kami kembali ke Pamatang, tempat foklor Gajah Gumarang dan Gajah Barunang
kami temukan. Dari konteks toponimi Pamatang, orang-orang yang sudah berumur, di desa
tetangganya yaitu Majau, yang lokasinya berada disebelah barat laut Pamatang, menyebut
Pamatang sebagai “Puser Dayeuh”, ada juga yang menyebut “Dayeuh Kolot”. yang dalam bahasa
Sunda, Puser Dayeuh berarti “Pusat Kota” dan Dayeuh Kolot berarti “Kota Tua”. Kata Puser Dayeuh
dan Dayeuh Kolot untuk menyebutkan Pamatang masa lalu, menjadi relevan untuk lebih dieksplorasi
ketika yang sedang ditelusuri adalah kota tua yang berstatus sebagai Ibu Kota. Rajatapura sebagai
ibu kota kerajaan Salakanagara. Hal ini menyusul penemuan batu gajah serta batu Siwa Family di
area pesawahan Blok Cigolomprang yang semula sempat terendam di dalam tanah sawah.Hal
tersebut makin menambah keyakinan kami bahwa Pamatang adalah Rajatapura, ibukota
Salakanagara yang sempat hilang dan terpendam ribuan tahun lalu. Tinggalan yang sudah terungkap
kini sedang diteliti oleh tim dari Arkeologi Nasional (Arkenas).

Dalam kesempatan diskusi secara virtual, Guru Besar Arkeologi UI dan juga Arkenas Prof. Agus Aris
Munandar memberikan komentar :
1. Adanya arca Lingga, Yoni dan Ganesa dalam satu batu besar yang dipahat, sebelumnya
hanya ada diketahui di wilayah Gunung Penanggungan, Jawa Timur. Sebagai mana diketahui, bahwa
Gunung Penanggungan, sama statusnya dengan Gunung Pulosari sebagai “serpihan Gunung Meru”
yang disimpan di bagian barat tanah Jawa sebagai mana di jelaskan oleh Guillot yang menafsirkan
Naskah Tangtu Panggelaran.

2. Posisi lokasi penemuan arca Lingga, Yoni dan Ganesa, berada dalam garis lurus Puncak
Pulasari disebelah utara dan Prasasti Cidanghyang, Munjul yang disebut sebagai wilayah Jambudipa.
Bentuk arca ganesa seperti arca yang tidak selesai dikerjakan, itu pendapat yang keliru, pada saat
tertentu di awal masa klasik ada trend membuat arca pemujaan seperti yang tidak selesai
dikerjakan.

3. Perkampungan tua yang ada disekitar arca, biasanya perkampungan yang bersifat non
profan. Tidak setiap penduduk dapat menghuni wilayah perkampungan itu, hanya penduduk
berstatus pembesar dan pendeta. Biasanya, dipusat perkampungan ada sebuah bangunan
peribadatan.

4. Bila melihat bentuk arca, sepertinya banyak penghuni wilayah yang menganut agama Siwa.
Apalagi jika disekitar wilayah itu, banyak deitemukan tanaman Pole (Alstonia scholaris) yang dikenal
dengan nama lokal lainnya Lamé, atau Lamo. (Dalam mitologi Hindu, tanaman lamé ada dimuka
bumi, karena hasil persetubuhan antara Dewa Siwa dengan Dewi Uma setelah lama berpisah. Daun
Lamé ini dalam kepercayaan Siwa, dipergunakan sebagai bahan campuran persembahan serta
daunnya ditumbuk dibuat boreh yang dioleskan dibagian kening pada saat beribadah).

Selain keberadaan arca ganesa, didapatkan juga informasi mengenai toponimi Pamatang. Dari
berbagai sumber lokal, diketahui kata Pamatang berasal dari kata “timbangan” yang merata,
kemudian disebutkan juga, Pamatang dalam bahasa sunda sebagai areal perburuan yang spesifik
dengan hewan buruan kijang. Pamatang juga disebut sebagai “jalan yang mirip pematang sawah”,
yang jalurnya-jalurnya saling berpotongan serta bisa dipergunakan sebagai jalan manusia. Secara
faktual, jalur jalan-jalan disekitar kampung Pamatang, tertata rapi dimana semua rumah menghadap
kejalan. Penataan lanskap jalan kampung, layaknya sebuah kompleks perumahan moderen. Tidak
ada yang mengetahui, siapa yang membuat desain tata kampung yang demikian rapih, sumber lokal
mengatakan bahwa jalan-jalan yang ada, memang sudah seperti itu, dan tidak ada yang mengetahui
siapa yang membuatnya.

Atas hal tersebut, ijinkan kami mengajak saudara dan rekan rekan sekalian untuk turut mencatat
sejarah dalam pencarian bukti ilmiah untuk mendukung hipotesa kami tentang Pamatang sebagai
Rajatapura dengan ikut serta dalam ekspedisi menemukan tinggalan sejarah eks Rajatapura, the Lost
City Of Salakanagara. (Disarikan dari Dokumen “Salakanagara Mitos atau Fakta”, karya penulis
Budi Prakoso, Ketua Dewan Pembina Yayasan Balaputra Salakanagara)

Anda mungkin juga menyukai