Asal-Usul Galuh
Menurut Poerbatjaraka (Iskandar, 1998: 14), galuh berasal dari bahasa Sansekerta
galu yang berarti perak atau permata. Selain itu, galu juga biasa dipergunakan untuk
Senada diungkapkan Iskandar (1997: 96), menyebutkan bahwa secara tradisional oleh
orang Jawa Barat, galeuh atau inti. Dari pengertian tersebut timbul pergeseran kata inti
menjadi hati, sebagai inti dari manusia. Dalam pengertian lain, kata galeuh disejajarkan
dengan kata galih, kata halus dari beuli (beli). Wajar jika dalam perkembangan selanjutnya,
Adapun pendapat yang diungkapkan Sukardja (2002: 2), menyebutkan bahwa kata
galuh terkait dengan ilmu kagaluhan, yakni ilmu yang mengajarkan tentang falsafah
kehidupan manusia. Dalam pada itu, galuh diartikan sebagai permata, tetapi bukan permata
yang berkilauan melainkan permata kehidupan. Permata kehidupan kelak itu letaknya di
tengah-tengah hati, istilah dalam bahasa Sunda Galuh Galeuhna Galih. Permata kehidupan
itu adalah kejujuran menjalani hidup, yang berarti hidup haruslah jujur agar tercapai
kesempurnaan dan terhindar dari segala godaan yang menyengsarakan. Ilmu kagaluhan itu
Sedangkan seorang sejarawan W.J. van der Meulen (1988: 76), mengungkapkan
bahwa kata galuh berasal dari kata saka loh yang berarti dari sungai asalnya, dan dalam
dialek Banyumas menjadi sagaluh atau segaluh. Selanjutnya van der Meulen
mengemukakan juga tentang adanya tiga kerajaan Galuh, antara lain sebagai berikut:
1. Galuh Purba (Galuh lama) yang berpusat di daerah Ciamis (Jawa Barat);
2. Galuh Utara (Galuh Baru = Galuh Lor = Galuh Luar) yang berpusat di daerah Dieng;
dan
pemerintahan Rahiyang Kedul, yang selalu terancam oleh kedua Galuh lain dalam perebutan
kekuasaan.
Menurut Wildan (Ekadjati, 1997: 2), cerita tentang awal berdirinya Kerajaan Galuh
diungkapkan terutama dalam sumber sejarah berupa naskah. Sumber-sumber berupa naskah
unsur-unsur mitos, dongeng, legenda, dan unsur-unsur yang bersifat historis. Sumber
sejarah berupa naskah itu biasanya tertulis pada daun atau kertas, umumnya isinya panjang
karena berupa cerita atau bahasan. Kalau menceritakan suatu kerajaan atau daerah, biasanya
diceritakan sejak mulai berdiri hingga masa ditulisnya naskah tersebut. Semakin dekat jarak
waktu penulisan naskah dengan waktu terjadinya peristiwa, maka semakin tinggi nilainya
Beberapa naskah yang menceritakan tentang Kerajaan Galuh, antara lain: Carios
Wiwitan Raja-Raja di Pulo Jawa, Wawacan Sajarah Galuh, Sejarah Galuh Bareng
tergolong sumber primer karena ditulis sezaman atau lebih mendekati zaman Kerajaan
Galuh. Sanghyang Siksakandang Karesian ditulis pada 1518, ketika Kerajaan Sunda masih
ada, Carita Parahyangan ditulis pada 1580, setahun setelah Kerajaan Sunda runtuh.
Adapun mengenai asal-usul Kerajaan Galuh, naskah Wawacan Sajarah Galuh
Diceritakan bahwa Nabi Adam dan Istrinya, Babu Hawa, adalah manusia pertama yang
hidup di bumi ini. Mereka mempunyai 79 anak yang terdiri atas 40 anak laki-laki dan 39
anak perempuan. Putra-putra Nabi Adam itulah yang kemudian menjadi cikal-bakal
manusia di seluruh dunia, antara lain di Melayu, Arab, Sunda, Jawa, Turki, Afrika, Amerika,
Palembang, Sambas, Malaka, Pulau Pinang, Judah, Bali, Ambon, Bugis, Riau, dan Cina.
Ratu Galuh berhasil mendirikan sebuah nagara di Lakbok setelah mengalahkan Nurana,
penguasa makhluk halus. Selanjutnya, ketika terjadi banjir besar pada zaman Nabi Nuh,
Ratu Galuh dan pengikutnya berhasil menyelamatkan diri dengan naik ke Gunung Padang
dan Gunung Galunggung yang diciptakannya. Setelah banjir surut, Ratu Galuh meminta
rakyatnya mencari tempat untuk mendirikan negara baru. Untuk sementara, ia menetap di
Bojonglopang. Untuk ibukota negara baru ditetapkan di sebuah tempat di mana ditemukan
batu persegi berwarna putih, yaitu di daerah pertemuan Sungai Cimuntur, di bagian mudik
Karangkamulyan. Selain itu, tempat tersebut dijatuhi cahaya yang keluar dari gunung
meletus karena terpanah seribu Guntur. Di sanalah Ratu Galuh mendirikan negara baru yang
diberi nama Bojong Galuh. Kerajaan Bojong Galuh mengalami masa kejayaan. Ratu Galuh
Setelah lama memerintah, Ratu Galuh meninggalkan keraton untuk menjadi pertapa.
Patihnya yang bernama Ki Bondan diserahi tahta, dan berkat cincin raja yang disebut soca
ludira, sang patih berganti rupa menjadi sang Ratu Galuh. Ternyata, sang patih
mengkhianati janjinya untuk tetap setia kepada raja, ia bertindak sewenang-wenang. Salah
seorang raja putra raja, Ciung Wanara, memberi hukuman dengan memasukkannya ke
dalam kurungan besi yang dikunci dari luar. Karena perbuatannya, Ciung Wanara berselisih
dengan saudaranya, Hariang Banga. Perkelahian yang berlangsung berhari-hari itu berakhir
dengan pemufakatan bahwa Pulau Jawa akan dibagi dua. Ciung Wanara menjadi raja di
Pajajaran dengan gelar Adipati Sangkala Dewa (Pandu Dewa), sedangkan Hariang Banga
berkuasa di Majapahit dengan gelar Adipati Sangkala Wisa. Sangkala Wisa berkuasa di
Medang Kambulan selama 150 tahun kemudian digantikan oleh seorang wanita bernama
Dipati Kalawijangga yang memerintah selama 8 tahun dengan pusat kerajaan di Roban.
Pajajaran. Raja ini bermaksud membangun keraton di Kutapinggan, Cilacap. Wilayah itu
semula termasuk wilayah Galuh, lalu menjadi kekuasaan Jawa karena Nyi Kurawat
diperistri Sunan Mataram. Perbatasan kerajaan Galuh ialah Losari di sebelah timur, Gunung
Galunggung dan Sungai Cikunir di sebelah barat, dan Sungai Ciwulan di sebelah selatan.
Cerita selanjutnya, kisah tentang 14 bupati yang memerintah Galuh, dimulai dari
bupati pertama, Sangiang Permana, hingga bupati ke-14, Dipati Arya Kusumah Di Ningrat.
kehancuran. Para pengikut raja di Pajajaran yang tidak mau masuk Islam melarikan diri ke
beberapa tempat, antara lain ke Panjalu, Kawali, dan Kuningan. Sangiang Permana
digantikan oleh anaknya, Prabu Di Galuh, sebagai bupati ke-2. Selanjutnya, digantikan
Sangiang Dipati. Pada masa pemerintahan bupati ke-2 dan ke-3 itu, agama Islam masuk ke
Galuh atas usaha Sunan Gunung Jati dan diterima dengan sukarela oleh mereka dan rakyat
Galuh.
Kekuasaan Mataram masuk ke Galuh pada masa pemerintahan bupati ke-4, Dipati
Galuh Imbanagara. Ia kemudian digantikan oleh anaknya, Raden Panji Aria Jayanagara.
Pada masa pemerintahan bupati ke-5 itu, Kabupaten Galuh dibagi menjadi tiga bagian atas
perintah Sultan Mataram, yaitu Imbanagara, Ciamis, dan Utama. Bupati-bupati Galuh
berikutnya secara berurutan, yaitu Raden Angganaya, Raden Suta Di Nata, Kusumah
Dinata, Raden Candra Nagara (Kusumah Di Nata), Nata Adi Kusumah, Raden Wira di
Parahyangan. Naskah ini ditulis pada tahun 1580, setahun setelah Kerajaan Sunda runtuh.
Dengan demikian, Carita Parahyangan berasal dari masa pra-Islam, yakni tatkala
kekuasaan dan kebudayaan Hindu masih mewarnai masyarakat Jawa Barat. Naskahnya
sendiri ditemukan di daerah Ciamis dan ditulis dengan bahasa dan aksara Sunda (Kuno).
Carita Parahyangan (kropak 406) memulai kisah dengan menyebutkan nama sejumlah
tokoh yang dianggap tokoh fiktif dan lebih bersifat mitos. Kisahnya dimulai oleh Sang
Resiguru yang beranak Rajaputra. Rajaputra beranak Sang Kandiawan dan Sang
menggantikannya menjadi raja dan negaranya lebih dikenal dengan nama Galuh. Sang
Kerajaan Sunda. Selain itu, terdapat pula kerajaan-kerajaan kecil, seperti Kendan,
Sang Wretikandayun mempunyai empat orang saudara, yaitu Sang Makukuhan yang
menjadi tukang ngahuma (berladang), Sang Karungkalah yang menjadi tukang moro
(berburu), Sang Katungmaralah yang menjadi tukang nyadap (penyadap), dan Sang
Batara Dangiang Guru di Galunggung dan Rahiangtang Kidul menjadi Batara Hiang Buyut
di Denuh.
dengan istri Rahiangtang Sempakwaja bernama Pwah Rababu sehingga mempunyai anak
bernama Sang Sena. Adapun Sempakwaja sendiri dari Pwah Rababu mempunyai dua orang
putra, yaitu Rahiang Purbasora dan Rahiang Demunawan. Sang Sena kemudian
Kekuasaan Sang Sena di Galuh pun hanya selama 7 tahun. Kekuasaannya kemudian direbut
Sang Sena mempunyai anak yang bernama Rakean Jambri yang kemudian dijadikan
menantu oleh Tohaan di Sunda (Yang Dipertuan di Sunda). Rakean Jambri kemudian
pulang ke Galuh untuk membalas dendam kepada Purbasora. Kekuasaan Purbasora hanya
berlangsung selama 7 tahun. Ia digantikan oleh Rakean Jambri bergelar Rahiang Sanjaya.
Rahiang Sanjaya wafat di Medang. Selanjutnya, yang menjadi raja di Galuh adalah
Sang Seuweukarma, putra Rahiang Sempakwaja. Sementara di Sunda, yang berkuasa adalah
Rahiang Tamperan, putra Sanjaya. Tamperan kemudian digantikan oleh anaknya, Sang
Manistri, memerintah selama 60 tahun. Manistri mempunyai dua orang anak, yang sulung
menjadi raja di Sunda, sedangkan yang kedua, Sang Tariwulan menjadi raja di Galuh selama
7 tahun. Tariwulan digantikan oleh anaknya, Sang Welengan, memerintah selama 7 tahun
pula. Selanjutnya, Welengan digantikan menantunya, Rakryan Wuwus, yang juga adalah
putra Raja Sunda. Ia memerintah selama 72 tahun. Selanjutnya diurutkan nama raja-raja
yang memerintah di Galuh hingga kepada Prabu Maharaja yang memerintah selama 7 tahun.
Putrinya yang bernama Tohaan menginginkan mas kawin yang besar. Itulah sebabnya
banyak orang pergi ke Jawa, tidak mau bersuami Sunda. Terjadilah perang di Majapahit
yang dikenal dengan sebutan Pasundan Bubat atau Perang Bubat (Lubis, 2003:67-69).
awalnya kerajaan Galuh berbeda dengan Kerajaan Sunda. Di samping itu, terdapat pula
kerajaan-kerajaan lain, yaitu Kendan, Kuningan, Denuh, dan Galunggung. Hubungan antara
Kerajaan Galuh dengan Kerajaan Sunda terjalin ketika Rakean Jambri, putra Sang Sena,
menjadi penguasa di Galuh dan Sunda. Keturunan Sanjaya kemudian menjadi penguasa
Galuh dan Sunda berikutnya. Adanya saudara-saudara raja yang berprofesi sebagai
mengindikasikan bahwa itulah mata pencaharian utama masyarakat Galuh pada masa itu.
Untuk meneliti secara historis, kapan Kerajaan Galuh didirikan, dapat dilacak dari
sumber-sumber sezaman berupa prasasti. Ada beberapa prasasti yang memuat nama
“Galuh”, meskipun tanpa disertai penjelasan tentang lokasi dan waktunya. Dalam prasasti
berangka tahun 910, Raja Balitung disebut sebagai “Rakai Galuh”. Dalam prasasti Siman
berangka tahun 943, disebutkan bahwa “kadatwan rahyangta i mdang i bhumi mataram
ingwatu galuh”.
Kemudian dalam sebuah piagam yang dikenal sebagai piagam Calcutta disebutkan
bahwa “para musuh penyerang Airlangga lari ke Galuh dan barat; mereka dimusnahkan
dalam tahun 1031”. Selain itu, dalam beberapa prasasti di Jawa Timur dan dalam Kitab
(diprakirakan ditulis pada abad ke-15), disebutkan sebuah tempat bernama “Hujung Galuh”
yang terletak di tepi Sungai Brantas. Tampaknya, dari prasasti-prasasti ini, yang dimaksud
dengan Galuh belumlah jelas kaitannya dengan Galuh di Jawa Barat. Oleh karena itu,
berikut ini dikemukakan prasasti yang lebih dekat ke Jawa Barat (Hutomo dalam Iskandar,
1998: 15-16).
Dalam sebuah prasasti berangka tahun 732, ditemukan di halaman percandian Gunung
Wukir di Dukuh Canggal (dekat Muntilan sekarang), disebutkan bahwa “Sanjaya telah
menggantikan raja sebelumnya yang bernama Sanna”. Tampaknya isi prasasti ini ada
hubungannya dengan sebuah naskah yang ditulis pada abad ke-16, yaitu Carita
Parahyangan. Naskah ini mengungkapkan bahwa Raja Sena yang berkuasa di Galuh
dikalahkan oleh Rahyang Purbasora, saudara seibu sang raja. Raja Sena dibuang ke Gunung
Merapi bersama keluarganya, dan setelah dewasa Sanjaya berhasil mengalahkan Sanghyang
Purbasora. Nama “Galuh” sebagai ibukota disebut berkali-kali dalam naskah ini. Selain itu,
nama-nama tempat yang disebutkan dalam naskah ini pada umumnya terletak di Jawa Barat
bagian timur. Jadi, dapat disimpulkan bahwa abad ke-8 Masehi pernah ada Raja Sanjaya
Sumber sejarah lainnya mengenai Kerajaan Galuh di Tatar Sunda berupa enam buah
prasasti tanpa angka tahun di Astana Gede, Kawali, Ciamis Utara. Prasasti tersebut bernama
Prasasti Kawali ditulis dengan bahasa dan aksara Sunda Kuno. Dalam Prasasti Kawali
disebutkan adanya seorang raja yang dikenal sebagai Prabu Raja Wastu yang menguasai
Kota Kawali, kratonnya disebut Surawisesa. Dari prasasti ini dapat diketahui pula, bahwa
Prabu Raja Wastu telah membuat parit di sekeliling kraton. Di samping itu, ia telah membuat
kemudian, berbuat kebajikan sehingga dengan demikian dapat hidup lama dan berbahagia
di dunia. Pengharapan seperti ini ternyata juga dapat ditemukan dalam naskah Sanghyang
Tokoh Niskala Wastu Kancana ini ternyata juga disebut dalam prasasti Batutulis, dan
prasasti Kebantenan. Dalam prasasti Batutulis, disebutkan bahwa Rahyang Niskala Wastu
sebagai “…maka nguni ka susuhunan ayeuna di pakwan pajajaran…” artinya “tokoh yang
Dewa Niskala atau Rahyang Ningrat Kancana, dalam naskah ini tidak disebutkan namanya,
tetapi di sebut sebagai Tohaan di Galuh (artinya “Yang di Pertuan di Galuh”), di makamkan
di Gunung Tilu. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa Prabu Maharaja yang gugur
di Bubat adalah Raja Sunda. Ia digantikan oleh anaknya yang bernama Prabu Niskala Wastu
Kancana sebagai Raja Sunda yang berkedudukan di Kawali. Ia disebut sebagai Tohaan di
Galuh. Kota Kawali ini, merupakan pusat kekuasaan Kerajaan Sunda di Jawa Barat bagian
timur, letaknya tidak jauh dari Kerajaan Galuh pada masa Raja Sanjaya (Lubis, 2000: 25).
Dalam Carita Parahyangan disebutkan pula Bahawa Tohaan di Galuh digantikan oleh
anaknya sendiri yang bernama Sang Ratu Jayadewata. Dalam prasasti Kebantenan, Ia hanya
disebut sebagai “Yang kini menjadi susuhunan di Pakuan Pajajaran”. Tokoh ini dapat
disamakan dengan raja yang disebut dalam prasasti Batutulis, yaitu “Prabu Galuh
Dewataprana Sri Baduga Maharaja Ratu Haji di Pakuan Pajajaran Sri Sang Ratu Dewata
(lihatlah kesamaan nama “Ratu Dewata” dalam kedua prasasti). Dengan demikian, jelaslah
Selanjutnya, dari Carita Parahyangan, sumber sezaman dengan masa akhir Kerajaan
Sunda, dapat diketahui bahwa setelah Sri Baduga Maharaja, yang menjadi raja adalah Prabu
Surawisesa yang dalam sumber-sumber Portugis dikenal sebagai Ratu Samiam. Setelah itu,
ia digantikan berturut-turut oleh Prabu Ratudewata, Sang Ratu Saksi, Tohaan di Majaya,
dan yang terakhir Nusiya Mulya yang dikalahkan oleh Maulana Yusuf dan Kerajaan Banten
pada tahun 1579, sehingga berakhirlah Kerajaan Sunda (Lubis, 2000: 26).
ditinggalkan tidak ada kevakuman kekuasaan. Hal ini terbukti ketika Kerajaan Sunda runtuh
di Pakuan Pajajaran, di Galuh masih memerintah Prabu Cipta Sanghiang di Galuh, putra
Prabu Haur Kuning. Ketika Pakuan Pajajaran diislamkan oleh Banten, Galuh pun
diislamkan oleh Cirebon. Islam dikembangkan dari Cirebon ke Galuh melalui Maharaja
Kawali. Ceritanya adalah demikian: Putera mahkota Galuh, yang bernama Ujang Ngekel,
jatuh Cinta kepada puteri Maharaja Kawali yang bernama Tanduran di Anjung. Oleh karena
Ujang Ngekel masih beragama Hindu, maka Maharaja Kawali melaporkan hal ini kepada
Sultan Cirebon. Ujang Ngekel dipersilahkan datang ke Cirebon, dan ternyata ia bersedia
memeluk agama Islam walaupun adat asli Galuh yang masih bernafaskan Hindu waktu itu
tidak dilarang untuk dilakukan. Setelah Prabu Sanghyang Cipta di Galuh meninggal, Ujang
Ngekel naik tahta dengan nama gelar Prabu Galuh Cipta Permana dan berkedudukan di Gara
Berpindahya pusat kekuasaan dari Kawali ke Pakuan Pajajaran setidaknya telah membuat
itu pula membuat nama kerajaan lebih dikenal sebagai Kerajaan Sunda Pajajaran. Padahal,
kerajaan itu pada hakikatnya adalah Kerajaan Galuh Raya (TPSG, 1972: vi; Lubis dkk, 2003: