Anda di halaman 1dari 28

TUGAS KELOMPOK SEJARAH

KERAJAAN KEDIRI

KELAS X MIPA 1

Anggota Kelompok :

1. Lenting Wulan A.

2. Difa Syamsiah
3. Devita Aulia

4. M. Julian Firdaus

5. M. Nawfal Aqeel

A. Latar Belakang

Sesungguhnya kota Daha sudah ada sebelum Kerajaan Kadiri berdiri. Daha
merupakan singkatan dari Dahanapura, yang berarti kota api. Nama ini terdapat dalam
prasasti Pamwatan yang dikeluarkan Airlangga tahun 1042. Hal ini sesuai dengan berita
dalam Serat Calon Arang bahwa, saat akhir pemerintahan Airlangga, pusat kerajaan
sudah tidak lagi berada di Kahuripan, melainkan pindah ke Daha.

Pada akhir November 1042, Airlangga terpaksa membelah wilayah kerajaannya


karena kedua putranya bersaing memperebutkan takhta. Putra yang bernama Sri
Samarawijaya mendapatkan kerajaan barat bernama Panjalu yang berpusat di kota baru,
yaitu Daha. Sedangkan putra yang bernama Mapanji Garasakan mendapatkan kerajaan
timur bernama Janggala yang berpusat di kota lama, yaitu Kahuripan.

Menurut Nagarakretagama, sebelum dibelah menjadi dua, nama kerajaan yang


dipimpin Airlangga sudah bernama Panjalu, yang berpusat di Daha. Jadi, Kerajaan
Janggala lahir sebagai pecahan dari Panjalu. Adapun Kahuripan adalah nama kota lama
yang sudah ditinggalkan Airlangga dan kemudian menjadi ibu kota Janggala.

Pada mulanya, nama Panjalu atau Pangjalu memang lebih sering dipakai daripada
nama Kadiri. Hal ini dapat dijumpai dalam prasasti-prasasti yang diterbitkan oleh raja-
raja Kadiri. Bahkan, nama Panjalu juga dikenal sebagai Pu-chia-lung dalam kronik
Cina berjudul Ling wai tai ta (1178).

Nama "Kediri" atau "Kadiri" sendiri berasal dari kata Khadri yang berasal dari
bahasa Sansekerta yang berarti pohon pacé atau mengkudu (Morinda citrifolia). Batang
kulit kayu pohon ini menghasilkan zat perwarna ungu kecokelatan yang digunakan
dalam pembuatan batik, sementara buahnya dipercaya memiliki khasiat pengobatan
tradisional.

B. Perkembangan Kerajaan

Masa-masa awal Kerajaan Panjalu atau Kadiri tidak banyak diketahui. Prasasti
Turun Hyang II (1044) yang diterbitkan Kerajaan Janggala hanya memberitakan adanya
perang saudara antara kedua kerajaan sepeninggal Airlangga.

Sejarah Kerajaan Panjalu mulai diketahui dengan adanya prasasti Sirah Keting
tahun 1104 atas nama Sri Jayawarsa. Raja-raja sebelum Sri Jayawarsa hanya Sri
Samarawijaya yang sudah diketahui, sedangkan urutan raja-raja sesudah Sri Jayawarsa
sudah dapat diketahui dengan jelas berdasarkan prasasti-prasasti yang ditemukan.

Kerajaan Panjalu di bawah pemerintahan Sri Jayabhaya berhasil menaklukkan


Kerajaan Janggala dengan semboyannya yang terkenal dalam prasasti Ngantang (1135),
yaitu Panjalu Jayati, atau Panjalu Menang.
Pada masa pemerintahan Sri Jayabhaya inilah, Kerajaan Panjalu mengalami masa
kejayaannya. Wilayah kerajaan ini meliputi seluruh Jawa dan beberapa pulau di
Nusantara, bahkan sampai mengalahkan pengaruh Kerajaan Sriwijaya di Sumatra.

Hal ini diperkuat kronik Cina berjudul Ling wai tai ta karya Chou Ku-fei tahun
1178, bahwa pada masa itu negeri paling kaya selain Cina secara berurutan adalah Arab,
Jawa, dan Sumatra. Saat itu yang berkuasa di Arab adalah Bani Abbasiyah, di Jawa ada
Kerajaan Panjalu, sedangkan Sumatra dikuasai Kerajaan Sriwijaya.

Chou Ju-kua menggambarkan di Jawa penduduknya menganut 2 agama : Buddha


dan Hindu. Penduduk Jawa sangat berani dan emosional. Waktu luangnya untuk
mengadu binatang. Mata uangnya terbuat dari campuran tembaga dan perak.

Buku Chu-fan-chi menyebut Jawa adalah maharaja yang punya wilayah jajahan :
Pai-hua-yuan (Pacitan), Ma-tung (Medang), Ta-pen (Tumapel, Malang), Hi-ning
(Dieng), Jung-ya-lu (Hujung Galuh, sekarang Surabaya), Tung-ki (Jenggi, Papua Barat),
Ta-kang (Sumba), Huang-ma-chu (Papua), Ma-li (Bali), Kulun (Gurun, mungkin
Gorong atau Sorong di Papua Barat atau Nusa Tenggara), Tan-jung-wu-lo (Tanjungpura
di Borneo), Ti-wu (Timor), Pingya-i (Banggai di Sulawesi), dan Wu-nu-ku (Maluku).

Penemuan Situs Tondowongso pada awal tahun 2007, yang diyakini sebagai
peninggalan Kerajaan Kadiri diharapkan dapat membantu memberikan lebih banyak
informasi tentang kerajaan tersebut.

C. Perkembangan Politik
Mapanji Garasakan memiliki jangka waktu pemerintahan yang sebentar, yang
kemudian digantikan oleh Raja Mapanji Alanjung tahun 1052 sampai 1059 M. setelah
itu digantikan kembali oleh Sri Maharaja Amarotsaha. Pertempuran yang terjadi dari
Janggala dan Panjalu, ternyata masih berlangsung sampai 60 tahun berikutnya.
Walaupun tak ada berita dan informasi lagi mengenai kepastian kedua kerajaan tersebut,
sampai muncul Kerajaan Bameswara di Kediri pada tahun 1116 sampai 1136 M.
Di masa itu Ibu Kota Panjalu telah dipindahkan dari Daha ke Kediri, sehingga
menjadi lebih dikenal dengan sebutan Kerajaan Kediri. Raja Bameswara mengenakan
lencana yang bentuknya tengkorak, yang bertaring di bagian atas bulan sabit. Yang
disebut dengan Candrakapala. Setelah Raja tersebut turun tahta, lalu dilanjutkan oleh
Jayabhaya yang berhasil mengalahkan Jenggala.

D. Perkembangan Ekonomi
Kediri merupakan kerajaan agraris dan maritim. Masyarakat yang hidup di daerah
pedalaman bermata pencaharian sebagai petani. Hasil pertanian di daerah pedalaman
Kerajaan Kediri sangat melimpah karena didukung oleh kondisi tanah yang subur. Hasil
pertanian yang melimpah memberikan kemakmuran bagi rakyat.

Masyarakat yang berada di daerah pesisir hidup dari perdagangan dan pelayaran.
Pada masa itu perdagangan dan pelayaran berkembang pesat. Para pedagang Kediri
sudah melakukan hubungan dagang dengan Maluku dan Sriwijaya.

Pada masa itu, mata uang yang terbuat dari emas dan campuran antara perak,
timah, dan tembaga sudah digunakan. Hubungan antara daerah pedalaman dan daerah
pesisir sudah berjalan cukup lancar. Sungai Brantas banyak digunakan untuk lalu lintas
perdagangan antara daerah pedalaman dan daerah pesisir.

Kehidupan perekonomian di Kerajaan Kediri memiliki beberapa jenis usaha


seperti perdagangan, pertanian dan juga peternakan yang dikenal sebagai penghasil
kapas, beras dan ulat sutra. Hal ini menyebabkan kehidupan ekonomi Kerajaan Kediri
terbilang makmur. Hal itu dapat dilihat dari kerajaan yang mampu memberikan
penghasilan tetap, untuk para pegawainya berupa hasil bumi. Hal ini juga diperoleh dari
keterangan Kitab Chi Fan Chi, dan Kitab Ling Wai Tai Ta.

E. Perkembangan Sosial dan Budaya


Kondisi masyarakat Kediri sudah teratur. Penduduknya sudah memakai kain
sampai di bawah lutut, rambut diurai, serta rumahnya bersih dan rapi. Dalam
perkawinan, keluarga pengantin wanita menerima maskawin berupa emas. Orang-orang
yang sakit memohon kesembuhan kepada dewa dan Buddha.

Perhatian raja terhadap rakyatnya sangat tinggi. Hal itu dibuktikan pada kitab
Lubdaka yang berisi tentang kehidupan sosial masyarakat pada saat itu. Tinggi
rendahnya martabat seseorang bukan berdasarkan pangkat dan harta bendanya, tetapi
berdasarkan moral dan tingkah lakunya. Raja juga sangat menghargai dan menghormati
hak-hak rakyatnya. Akibatnya, rakyat dapat leluasa menjalankan aktivitas kehidupan
sehari-hari.

Pada zaman Kediri karya sastra berkembang pesat. Banyak karya sastra yang
dihasilkan. Pada masa pemerintahan Jayabaya, raja pernah memerintahkan kepada
Empu Sedah untuk mengubah kitab Bharatayuda ke dalam bahasa Jawa Kuno. Karena
tidak selesai, pekerjaan itu dilanjutkan oleh Empu Panuluh. Dalam kitab itu, nama
Jayabaya disebut beberapa kali sebagai sanjungan kepada rajanya. Kitab itu berangka
tahun dalam bentuk candrasangkala, sangakuda suddha candrama (1079 Saka atau 1157
M). Selain itu, Empu Panuluh juga menulis kitab Gatutkacasraya dan Hariwangsa.

Pada masa pemerintahan Kameswara juga ditulis karya sastra, antara lain sebagai
berikut.

1. Kitab Wertasancaya, yang berisi petunjuk tentang cara membuat syair yang baik.
Kitab itu ditulis oleh Empu Tan Akung.
2. Kitab Smaradhahana, berupa kakawin yang digubah oleh Empu Dharmaja. Kitab
itu berisi pujian kepada raja sebagai seorang titisan Dewa Kama. Kitab itu juga
menyebutkan bahwa nama ibu kota kerajaannya adalah Dahana.
3. Kitab Lubdaka, ditulis oleh Empu Tan Akung. Kitab itu berisi kisah Lubdaka
sebagai seorang pemburu yang mestinya masuk neraka. Karena pemujaannya
yang istimewa, ia ditolong dewa dan rohnya diangkat ke surga.
Selain karya sastra tersebut, masih ada karya sastra lain yang ditulis pada zaman Kediri,
antara lain sebagai berikut.

1. Kitab Kresnayana karangan Empu Triguna yang berisi riwayat Kresna sebagai
anak nakal, tetapi dikasihi setiap orang karena suka menolong dan sakti. Kresna
akhirnya menikah dengan Dewi Rukmini.
2. Kitab Samanasantaka karangan Empu Managuna yang mengisahkan Bidadari
Harini yang terkena kutuk Begawan Trenawindu.

Adakalanya cerita itu dijumpai dalam bentuk relief pada suatu candi. Misalnya,
cerita Kresnayana dijumpai pada relief Candi Jago bersama relief Parthayajna dan
Kunjarakarna.

F. Pemerintah dan Kehidupan Bermasyarakat

Sampai masa awal pemerintahan Jayabaya, kekacauan akhir pertentangan dengan


Janggala terus berlangsung. Baru pada tahun 1135 M Jayabaya berhasil memadamkan
kekacauan itu. Sebagai bukti, adanya kata-kata panjalu jayati pada prasasti Hantang.
Setelah kerajaan stabil, Jayabaya mulai menata dan mengembangkan kerajaannya.

Kehidupan kerajaan kediri menjadi teratur. Rakyat hidup makmur. Mata


pencaharian yang penting adalah pertanian dengan hasil utamanya padi. Pelayaran dan
perdagangan juga berkembang . Hal ini dipotong oleh Angkatan laut kediri yang cukup
tangguh. Armada laut kediri mampu menjamin keamanaan perairan Nusantara. Di kediri
telah ada Senopati Sarwajala [panglima angkatan laut]. Bahkan Sriwijaya yang pernah
mengakui kebesaran kediri, yang telah mampu mengembangkan pelayaran dan
perdagangan. Barang perdagangan di kediri antara lain emas, perak, gading, kayu
cendana, dan pinang. Kesadaran rakyat tentang pajak sudah tinggi. Rakyat menyerahkan
barang atau sebagian hasil buminya kepada pemerintah.

Menurut berita di Cina, kitab ling-wai-tai-ta diterangkan bahwa dalam kehidupan


sehari-hari orang-orang memakai kain sampai di bawah lutut. Rambutnya diurai.
Rumah-rumah mereka bersih dan teratur, lainya ubin yang berwarna kuning dan
hijau. Dalam perkawinan, keluarga pengantin wanita menerima maskawin berupa emas.
Rajanya berpakaian suetera, memakai sepatu, dan perhiasan emas. Rambutnya
disanggul ke atas. Kalau berpergian, raja naik gajah atau kereta yang diiringi oleh 500
sampai 700 prajurit.

G. Kehidupan Beragama

Corak agama masyarakat Kediri masa kerajaan disimpulkan dari peninggalan-


peninggalan arkeologi yang ditemukan di wilayah Kediri. Candi Gurah dan Candi
Tondo Wongso menunjukkan latar belakang agama Hindu, khususnya Siwa. Petirtaan
Kepung kemungkinan besar juga bersifat Hindu, karena tidak tampak unsur-unsur
Budhisme pada bangunan tersebut.

Beberapa prasasti menyebutkan nama abhiseka raja yang berarti penjelmaan


Wisnu. Namun, hal ini tidak langsung membuktikan bahwa wisnuisme berkembang
pada saat itu. Sebab, landasan filosofis yang dikenal di Jawa pada masa itu selalu
menganggap Raja Saa dan Dewa Wisnu sebagai pelindung rakyat, dunia atau kerajaan.

H. Silsilah
Raja-Raja Kerajaan Kediri

Sebagai kerajaan yang Bisa termasyhur Kediri pernah diperintah oleh delapan
raja mulai dari awal berdirinya hingga masa keruntuhan. Dari kedelapan raja-raja yang
pernah memerintah hanya Prabu Jayabaya yang mampu mengantarkan kerajaan di
Kediri mencapai masa keemasannya.

Adapun urutan dari 8 raja Kediri yang pernah berkuasa di zamannya iyalah sebagai
berikut :

1. Sri Jayawarsa
Sejarah ini bisa diketahui dari sebuah prasasti Sirah Keting (1104 M) yang mana
adalah raja Sri Jayawarsa sangat perhatian terhadap rakyatnya. Hal ini terbukti pada
masa pemerintahannya Sri Jayawarsa sering memberikan hadiah terhadap rakyat desa
sebagai penghargaan atas jasanya.

2. Sri Bameswara

Banyak meninggalkan prasasti-prasasti yang tersebar di daerah Kertosono dan


Tulung Agung. Prasasti peninggalan dari raja Sri Bameswara ini lebih banyak memuat
hal-hal mengenai keagamaan. Sehingga melalui prasasti ini bisa diketahui kalau
keadaan pemerintahannya pada jaman dulu sangatlah baik.

3. Prabu Jayabaya
Kerajaan Kediri pernah mengalami masa keemasan pada waktu pemerintahan
Prabu Jayabaya. Strategi kepemimpinannya dalam upaya memakmurkan dan
mensejahterakan rakyat memang sangat mengagumkan sekali. Sehingga membuat
segala macam tumbuhan yang ditanam bisa tumbuh menghijaukan menghasilkan
perkebunan dan pertanian melimpah ruah.

4. Sri Sarwaswera

Sejarah tentang kerjaan yang di pimpin oleh Sri Sarwaswera ini didasarkan atas
prasasti Padelegan II (1159) serta prasasti Kahyunan (1161). Raja Sri Sarwaswera
sangat dikenal sebagai raja yang sangat taat beragama serta berbudaya. Menurutnya
tujuan akhir dari hidup manusia adalah moksa (pemanunggalan jiwatma dan
paramatma).

5. Sri Aryeswara
Raja Sri Aryeswara merupakan raja Kediri yang berkuasa sekitar tahun 1171, hal
ini berdasarkan prasasti Angin 23 Maret 1171. Ganesha merupakan lambang kerajaan di
masa pemerintahan raja Sri Aryeswara namun tidak diketahui kapan masa
pemerintahannya ini berakhir.

6. Sri Gandra

Pada masa pemerintahan raja Sri Gandra ini banyak yang menggunakan
nama hewan sebagai gelar kepangkatan seseorang dalam istana. Nama-nama ini
menunjukkan tinggi rendahnya pangkat seseorang di istana kerajaan seperti nama
gajah, tikus dan kebo.

7. Sri Kameswara

Melalui sejarah prasasti Ceker 1182 serta Kakawin Smaradhana bisa diketahui
tentang masa kejayaan pemerintahan raja Sri Kameswara. Pada masa pemerintahannya
tahun 1182 – 1185 M seni sastra mengalami perkembangan yang sangat pesat. Banyak
cerita-cerita rakyat yang sangat terkenal pada masa itu seperti misalnya cerita Panji
Semirang.

8. Sri Kertajaya
Pemerintahan raja Sri Kertajaya berlangsung dari tahun 1190 – 1222 Masehi yang
terkenal dengan nama “Dandang Gendis”.b Selama pemerintahan raja Sri Kertajaya
kestabilan Kerajaan Kediri selalu menurun karena hubungannya dengan kaum
Brahmana semakin kurang bagus. Maka terjadilah perang antara sang raja Sri Kertajaya
dengan Ken Arok yang didukung oleh kaum Brahmana. Peperangan ini terjadi sekitar
tahun 1222 M di dekat Ganter dengan kemenangan di tangan Ken arok.

Peninggalan Kerajaan

Ada beberapa jenis-jenis peninggalan dari masa kerajaan Hindu terbesar di Indonesia
ini.

Peninggalan ini ada yang berupa prasasti dan ada pula yang berupa kitab (karya sastra)
yang sangat terkenal. Adapun peninggalan dari kerajaan Hindu Kediri ini berupa
prasasti adalah :

Turun Hyang (974 Saka/1052 M)

Banjaran (974 Saka/1052)

Padlegan (1038 Saka/1116)

Hantang (1057 Saka/1135 M)

Jaring ( 1103 Saka/1181)

Lawudan (1127 Saka/1205)

Pada jaman Kediri kitab (karya sastra) mengalami suatu perkembangan yang sangat
pesat sekali. Sehingga banyak karya sastra yang terkenal yang telah dihasilkan pada
masa kerajaan Hindu ini.

Diantara peninggalan kerajaan yang berupa kitab (karya sastra) yang sangat terkenal
yaitu antara lain adalah :

 Wertasancaya karangan Mpu Tan Akung.


 Lubdaka karangan Mpu Tan Akung.
 Smaradhahana gubahan Mpu Dharmaja.
 Samanasantaka karangan Mpu Monaguna.
 Kresnayana karangan Mpu Triguna.
 Gatotkacasraya serta Kitab Hariwangsa gubahan Mpu Panuluh.
 Baharatayuda gubahan Mpu Sedah dan Mpu Panuluh
Semua kitab (karya sastra) tersebut saling mengajarkan kepada seluruh umat di dunia
untuk saling berbuat kebaikan.

I. Kesenian
Perubahan bidang kesenian dari zaman Kediri dibatasi pada seni arsitektur saja.
Dahului, orang mempertanyakan mengapa masa Kerajaan Kediri tidak menghasilkan
candi-candi seperti periode sebelumnya atau sesudahnya, ternyata beberapa tahun
kemudian satu demi satu kesenian ditemukan.

Profil candi Gurah yang masih tersisa mempunyai pelipit sisi genta pada kaki
candi perwara, sedangkan candi induknya mempunyai makara pada ujung bawah
tangga. Ciri-ciri ini menunjukkan gaya seni Jawa Tengah pada abad ke VII -X Masehi.

Akan tetapi, arca-arca yang sangat indah ini juga menunjukkan gaya seni
Singasari pada abad XIII Masehi. Perbedaan gaya seni ini belum dapat dijelaskan
dengan memuaskan. Meskipun ada tanda-tanda bahwa Candi Gurah pernah dibangun
kembali (diperbesar), namun arca-arca tersebut tidak berasal dari tahapan kemudian,
apalagi arca-arca yang lebih tua tidak pernah ditemukan.

Dari sumuran candi ditemukan bata berinskripsi yang dari segi paleografi,
tulisannya berasal dari abad XI-XII Masehi. Inskripsi singkat ini dapat dipakai sebagai
patokan untuk menentukan pertanggalan dari arca Gurah. Soejmono menyebutkan
bahwa candi Gurah ini sebagai mata rantai antara seni Jawa Tengah dan Jawa Timur.

Seperti candi Gurah, candi Kepung dan Tanda Wongso juga memiliki ciri yang
sama, yaitu pelipit sisi genta di candi Kepung dan arca-arca Tondo Wongso yang mirip
arca Gurah. Diperkirakan ketiga candi tersebut berasal dari masa Kediri pada abad XI-
XII Masehi.

J. Peninggalan
Ada banyak bukti peninggalan sejara dari Kerajaan Kediri yang masih bisa kita
lihat hingga sekarang, baik itu berupa candi, arca, prasasti dan juga berbagai kitab
sastra. Untuk mengetahui secara lengkap apa saja peninggalan Kerajaan Kediri, kali ini
akan kami jelaskan secara lengkap untuk anda.

1. Candi Tondowongso

Candi Tondowongso berada di Desa Gayam, Kecamatan Gurah, Kediri, Jawa


Timur yang ditemukan belum lama ini yakni pada tahun 2007. Arsitektur dari arca dan
bentuk bangunan yang ditemukan disekitar candi memperlihatkan jika bangunan ini
dibangun pada abad ke-9 yakni disaat pusat politik dipindahkan dari Jawa Tengah
menuju wilayah Jawa Timur.

Meskipun menjadi penemuan di era modern, namun sampai saat ini keadaan dari
Candi Tondowongso beserta kompleks disekelilingnya masih sangat memperihatinkan
dan belum mendapat perhatian dari pemerintah. Candi Tondowongso dengan luas 1
hektar ini menjadi penemuan terbesar sejarah Indonesia pada 30 tahun terakhir. Profesor
Soekmono juga pernah menemukan satu buah arca pada lokasi yang sama di tahun 1957
dan penemuan situs Candi Tondowongso ini diawali dari penemuan beberapa arca oleh
pengrajin batu setempat.

2. Candi Panataran
Candi Panataran terletak di lereng Gunung Kelud Barat Daya di Utara Kota Blitar
pada ketinggian 450 meter dari permukaan laut dan menjadi candi paling indah dan
besar di Jawa Timur. Dari beberapa prasasti yang juga ditemukan di sekitar candi, maka
diketahui jika candi ini dibangun sekitar abad ke-12 sampai 14 Masehi pada masa
pemerintahan Raja Srengga sampai Raja Wikramawardhana. Sistem Candi Panataran
dan terasnya berundak memakai susunan batu andesity yang saling mengunci.

Candi Panataran atau Candi Palah ini adalah sebuah candi bersifat keagamaan
Hindu Siwaitis dan pada Kitab Desawarnana atau Nagarakretagama yang dibuat pada
tahun 1365, Candi ini dikatakan menjadi bangunan suci yang sudah dikunjungi Raja
Hayam Wuruk saat ia melakukan perjalanan keliling Jawa Timur.

Kompleks Candi Panataran – Kompleks Candi Panataran ini terdiri dari beberapa
bangunan yang pada bagian candi utama di sisi Timur ada sebuah sungai dan kompleks
candi disusun memakai pola linear dengan beberapa candi perwara serta balai pendopo
yang ada di bagian depan candi utama. Pola susun candi ini agak tidak beraturan dan
menjadi ciri khas dari langgam Jawa Timur yang berkembang di masa Kediri dan
Majapahit. Kompleks candi ini berdiri di area seluas 12.946 meter yang dibagi menjadi
3 bagian kecuali untuk bagian tenggara dan dipisahkan oleh 2 buah dinding.

Sejarah Candi Panataran – Relief yang ada pada candi ini berbentuk medalion
serta kotak panel. Nama asli Candi Panataran yakni Candi Palah tertulis dalam Prasasti
Palah yang dibangun pada tahun 1194 oleh Raja Syrenngra bergelar Sri Maharaja Sri
Sarweqwara Triwikramawataranindita Çrengalancana Digwijayottungadewa dengan
masa pemerintahan Kediri dari tahun 1190 hingga 1200. Candi gunung digunakan
sebagai tempat upacara pemujaan untuk menghindari bahaya yang disebabkan karena
Gunung Kelud sering meletus. Dalam Kitab Negarakretagama yang ditulis Mpu
Prapanca diceritakan tentang perjalanan yang dilakukan oleh Raja Hayam Wuruk yang
memerintah dari tahun 1350 sampai dengan 1389 ke Candi Palah untuk melaksanakan
pemujaan pada Hyang Acalapat perwujudan Siwa sebagai Girindra. Di masa
pemerintahan Jayanegara, Candi Panataran mulai mendapat perhatian dan dilanjutkan
kembali oleh Tribuanatunggadewi dan Hayam Wuruk.

3. Candi Gurah
Peninggalan Kerajaan Kediri selanjutnya adalah Candi Gurah. Candi Gurah
berada di Kecamatan Gurah, Kediri, Jawa Timur yang ditemukan pada tahun 1957 dan
letaknya berada di 2 km dari situs Candi Tondowongso. Candi Gurah ini berukuran 9 x
9 meter. Ada persamaan dari Candi Gurah dan Candi Tondowongso yakni Arca
Brahma, Surya, Candra, Yoni dan Nandi. Selain itu, penempatan arca dikedua candi
tersebut juga sama meskipun pada bangunan tempat arca Candra, Surya dan juga Nandi
dari Candi Tondowongso belum terlihat jelas bentuknya.

Profesor Soekmono menduga jika Candi Gurah ada dalam satu kompleks yang
sama dengan Candi Tondowongso sebab mempunyai ciri khas yang adalah gaya
peralihan antara candi Jawa Tengah dengan candi Jawa Timur. Karena itu, penelitian
menyeluruh untuk Candi Tondowongso sangat penting untuk dilakukan sebab sampai
saat ini belum ada wujud nyata dari bentuk bangunan gaya peralihan tersebut.

4. Candi Mirigambar

Candi Mirigambar merupakan candi peninggalan dari Kerajaan Kediri


selanjutnya yang ditemukan pada sebuah lapangan di Desa Mirigambar, Kecamatan
Sumbergempol, Tulungagung, Jawa Timur. Menurut perkiraan, candi ini dibangun pada
tahun 1214 sampai dengan 1310 Saka dengan material yang terbuat dari bata merah
seperti halnya pada candi lain di wilayah Jawa Timur. Salah seorang petinggi dari Desa
Mirigambar di tahun 1965 melindungi Candi Mirigambar tersebut dari ikonklastik
sehingga candi ini masih bisa kita lihat hingga sekarang. Ikonklastik sendiri merupakan
perbuatan menghancurkan berbagai kebudayaan yang dianggap sebagai berhala.

Struktur candi ini terbuat dari batu bata merah, dimana pada dinding candi
terdapat relief patung yang diukir. Pada bagian kanan depan terdapat relief 2 tokoh
lelaki yang sedang mengapit 2 tokoh perempuan dan pada salah satu tokoh lelaki
bertubuh besar dan terdapat relief seorang tokoh lelaki yang sedang berdiri. Pada bagian
tepi halaman candi sebelah Utara ada tumpukan batu bata merah yang menurut cerita
merupakan reruntuhan dari candi lainnya yang juga ditemukan di sekitar Candi
Mirigambar tersebut. Pada bagian tepi halaman selatan juga terdapat lempengan batu
andesit dan terukir tahun 1310c atau 1388 Masehi.

5. Candi Tuban
Candi Tuban yang menjadi salah satu peninggalan dari Kerajaan Kediri ini, kini
hanya menyisakan reruntuhannya saja yang terletak di 500 meter dari Candi
Minigambar. Saat ini, Candi Tuban sudah tertutup dengan tanah sehingga tidak
memungkinkan untuk dibangun kembali. Pada saat ini, diatas timbunan Candi Tuban
sudah dijadikan kandang beberapa hewan ternak.

6. Prasasti Kamulan

Prasasti Kamulan ditemukan di Desa Kamulan, Kabupaten Trenggalek, Jawa


Timur yang dibuat pada tahun 1194 Masehi atau 1116 Saka yakni pada masa
pemerintahan Raja Kertajaya. Prasasti Kamulan ini berisi tentang berdirinya Kabupaten
Trenggalek pada Rabu Kliwon tanggal 31 Agustus 1194.

Dalam prasasti ini tertulis nama Kediri yang diserang Raja Kerajaan sebelah
Timur dan pada tanggal yang tertulis dalam prasasti adalah tanggal 31 Agustus 1191.
Ukiran yang ada pada prasasti ini masih bisa terlihat dengan jelas dan bisa anda lihat
dengan mengunjungi langsung lokasi Prasasti Kamulan tersebut.

7. Prasasti Galunggung
Peninggalan Kerajaan Kediri selanjutnya adalah prasasti Galunggung. Prasasti
Galunggung ditemukan di Rejotangan, Tulungagung dengan ukuran 160 x 80 x 75 cm
dengan memakai huruf Jawa Kuno sebanyak 20 baris kalimat. Aksara yang terdapat
pada prasasti ini sudah tidak terlalu jelas terbaca karena sudah ada bagian yang rusak,
akan tetapi hanya bagian tahun saja yang masih bisa terbaca dengan jelas yakni tahun
1123 Saka. Pada bagian depan prasasti ini terdapat lambang sebuah lingkaran dan pada
bagian tengah lingkaran terdapat gambar persegi panjang dan juga beberapa logo atau
gambar.

8. Prasasti Jaring

Prasasti Jaring dibuat pada 19 November 1181 dengan isi yang menerangkan
tentang pengabulan permohonan penduduk dukuh jaring lewat senapati Sarwajala yakni
keinginan yang tidak sempat diwujudkan oleh raja sebelumnya. Prasasti Jaring ini
menyebutkan jika pejabat Kediri mempunyai gelar atau sebutan dengan menggunakan
nama hewan seperti Menjangan Puguh, Lembu Agra serta Macan Kuning.

9. Prasasti Panumbangan
Prasasti Panumbangan dibuat pada 2 Agustus 1120 yang dikeluarkan oleh
Maharaja Bameswara dengan isi tentang penetapan Desa Panumbangan sebagai Sima
Swatantra atau desa bebas pajak.

10. Prasasti Talan

Prasasti Talan ditemukan di Desa Gurit, Blitar, Jawa Timur yang dibuat tahun
1136 Masehi atau 1058 Saka. Isi dari prasasti ini adalah tentang penetapan masuknya
Desa Talan ke wilayah Panumbang yang sudha terbebas dari pajak. Pada prasasti ini
dilengkapi dengan pahatan Garudhamukalanca yakni pahatan berupa tubuh manusia
dengan sayap dan kepala garuda.

11. Prasasti Sirah Keting

Berisi tentang pemberian tanah dari Raja Jayawarsa untuk rakyat Desa Sirah
Keting berkat jasanya untuk Kerajaan Kediri.
12. Prasasti Kertosono

Berisi tentang masalah keagaamaan dari masa pemerintahan Raja Kameshwara.

13. Prasasti Ngantang

Berisi tentang pemberian tanah bebas pajak oleh Jayabaya untuk Desa Ngantang
berkat jasanya mengabdi pada Kerajaan Kediri. Pada Prasasti ini tertulis angka tahun
1057 Saka atau 1135 Masehi yang ditemukan di Desa Ngantang, Malang dan sekarang
menjadi koleksi dari Museum Nasional. Saat penduduk dari Hantang dan juga 12 desa
masuk dalam wilayah menghadap raja dengan perantara guru raja yakni Mpungku
Naiyayikarsana yang memohon agar prasasti tersebut didharmakan di Gajapada dan
Nagapuspa yang ditulis diatas daun lontar dan kemudian dipindahkan ke batu dan
ditambah lagi dengan anugerah dari Raja Jayabhaya itu sendiri.

Permohonan tersebut lalu dikabulkan oleh raja sebab rakyat Hantang sudah
menunjukkan baktinya yang sesungguhnya pada raja yakni dengan menyerahkan cancu
tan pamusuh dan cancu ragadaha dan juga disaat ada sebuah aksi untuk memisahkan
diri, mereka tetap setia dengan selalu memihak Raja Jayabhaya.

14. Prasasti Padelegan

Berisi tentang bakti yang dilakukan penduduk Desa Padegelan pada Raja
Kameshwara. Prasasti Padelegan ini memiliki bentuk stella dengan puncak kurawal
berukutan 145 cm, lebar atas 81 cml lebar bawah 70 cm dan tebal 18 cm. Aksara Jawa
Kuno yang terdapat pada prasasti ini sudah banyak yang aus, namun berhasil terbaca
oleh Oud Javansche Oorkonde dan dalam prasasti ini terdapat penanggalan angka tahun
1038 Saka atau 11 Januari 1117 Masehi. Prasasti ini menjadi prasasti pertama yang
dikeluarkan Raja Bameswara sehingga menjadi prasasti pertama Kerajaan Kediri
sesudah menjalani masa kelam Raja Samarawijaya yang memerintah pada tahun 1042
Masehi sampai dengan 1044 Masehi dan berkuasa di Daha sesudah pembagian kerajaan
oleh Raja Airlangga.

Prasasti ini tersimpan di Museum Panataran, Kabupaten Blitar yang dimana pada
bagian atas prasasti terdapat sebuah ornamen lancana yang disebut dengan
Candrakapala. Candrakapala lancana ini digambarkan dengan kepala tengkorak yang
terlihat bagian tulang pipi dan dahi menonjol, bentuk mata bulat besar seperti sedang
terbelalak dan senyuman yang menyeringai lebar dengan 2 buah gigi besar di bagian
depan dan gigi taring di bagian kanan dan kiri sehingga terlihat sangat menyeramkan.
Pada bagian dahi juga terdapat bulatan sedikit melengkung yang kemungkinan
merupakan bentuk bulan sabit dengan kedua ujung yang menghadap ke bawah.

15. Prasasti Ceker

Prasasti yang berisi tentang anugrah yang diberikan raja untuk penduduk Desa
Ceker yang sudah mengabdi untuk kemajuan Kerajaan Kediri.

16. Kitab Kakawin Bharatayudha


Kitab Kakawin Bharatayudha dikarang oleh Mpu Sedah dan juga Mpu Panuluh
dengan isi Kitab yang menceritakan tentang perjuangan yang dilakukan oleh Raja
Jenggala, Jayabaya dan akhirnya berhasil menaklukan Panjalu. Kisah perjuangan Raja
Jayabaya ini dianalogikan menjadi kisah peperangan dari Kurawa dan Pandawa di
dalam kisah Mahabarata. Prasasti ini mnurut perkiraan dibuat pada tahun 1079 Saka
atau 1157 Masehi di pemerintahan Prabu Jayabaya dan selesai ditulis pada 6 November
1157. Pada bagian awal kitab sampai ke kisah Prabu Salya ke medan perang merupakan
karya dari Mpu Sedah dan kemudian dilanjutkan oleh Mpu Panuluh.

Menurut cerita, saat Mpu Sedah ingin menulis tentang kecantikan dari Dewi
Setyawati permaisuri dari Prabu Salya, ia memerlukan contoh agar tulisannya bisa
berhasil sehingga putri Prabu Jayabaya diberikan, namun Mpu Sedah berbuat tidak baik
sehingga ia dihukum dan karyanya diberikan pada orang lain. Namun, menurut Mpu
Panuluh, sesudah karya dari Mpu Sedah hampir seleai yakni saat menceritakan Prabu
Salya yang berangkat ke medan perang maka ia tidak tega untuk melanjutkan ceritanya
tersebut sehingga meminta Mpu Panuluh untuk meneruskan kitab tersebut dan cerita ini
diungkap pada akhir kakawin Bharatayuddha.

17. Kitab Kresnayana

Peninggalan Kerajaan Kediri selanjutnya adalah kitab kresnayana. Kitab


Kresnayana dikarang oleh Mpu Triguna yang isinya menceritakan tentang riwayat hidup
Kresna yakni seorang anak yang mempunyai kekuatan besar akan tetapi sangat senang
menolong orang lain. Dalam Kitab ini diceritakan tentang Kresna yang sangat disukai
oleh rakyat dan ia menikah dengan Dewi Rukmin. Apabila diartikan secara harafiah,
maka Kresnayana berarti perjalanan Krena ke negeri Kundina tempat Sang Rukmini.
Dewi Rukmini, putri dari Prabu Bismaka di negeri Kundina tersebut sudah dijodohkan
dengan Suniti yang merupakan raja negeri Cedi. Akan tetapi, ibu dari Rukmini yakni
Dewi Pretukirti lebih ingin putrinya menikah dengan Kresna. Oleh sebab itu, pada hari
besar yang semakin dekat, Suniti dan Jarasanda pamannya datang ke Kundina dan
Pretukirti serta Rukmini secara diam-diam memberitahu Kresna untuk datang secepat
mungkin dan Rukmini serta Krena melarikan diri. Mereka kemudian dikejar oleh Suniti,
Jarasanda serta Rukma adik dari Rukmini sekaligus bersama dengan tentara mereka.
Kresna lalu berhasil semua dan hampir saja membunuh Rukma, akan tetapi Rukmini
mencegahnya lalu mereka berdua pergi ke Dwarwati lalu menggelar pesta
pernikahannya disana.

18. Kitab Sumarasantaka

Kitab Sumarasantaka dikarang oleh Mpu Monaguna yang menceritakan tentang


kutukan Harini yakni seorang bidadari dari khayangan yang sudah berbuat kesalahan
dan ia dikutuk menjadi manusia. Harini lalu tinggal di bumi selama beberapa saat
sampai kutukan tersebut selesai.

19. Kitab Gatotkacasraya


Kitab Gatotkacasraya dikarang oleh Mpu Panuluh yang menceritakan tentang
kisah kepahlawanan dari Gatotkaca yang sudah berhasil menyatukan Abimayu yang
adalah putra dari Arjuan dengan Siti Sundhari.

20. Kitab Smaradhana

Kitab Smaradhana dikarang oleh Mpu Dharmaja yang isinya menceritakan


tentang kisah Dewa Kama serta Dewi Ratih yang merupakan sepasang suami istri
menghilang secara misterius sebab terkena api yang keluar dari mata ketiga Dewa
Syiwa. Saat Batara Siwa sedang pergi untuk bertapa, Indralaya dikunjungi oleh para
musuh yakni raksasa dengan rajanya bernama Nilarudraka. Karena Batara Siwa sangat
serius dengan tapanya, maka ia seolah lupa dengan keadaan di khayangan. Agar Batara
Siwa bisa teringat dan kembali ke khayangan, maka paa dewa mengutus Batara
Kamajaya untuk menjemput Batara Siwa. Batara Kamajaya mencoba berbagai cara
seperti panah bunga, namun Batara Siwa tetap tidak bergeming dari tapanya yang
akhirnya dilepaskannya panah pancawisesa yakni hasrat mendengar yang merdu, hasrat
mengenyam yang lezat, hasrat meraba yang halus, hasrat mencium yang harum dan
hasrat memandang yang serba indah.

Karena panah pancawisesa tersebut, akhirnya Batara Siwa merasa rindu dengan
Dewi Uma, akan tetapi saat mata ketiganya yang berada di tengah dahi mengetahui jika
itu perbuatan dari Batara Kamajaya, maka ia menatap Batara Kamajaya yang membuat
dirinya hancur. Dewi Ratih yang merupakan istri dari Batara Kamajaya lalu
melaksanakan bela dengan menceburkan dirinya dalam api yang telah membakar
suaminya dan para dewa memanjatkan ampun atas semua kejadian tersebut supaya
mereka bisa dihidupkan kembali, akan tetapi permintaan tersebut tidak dikabulkan dan
jiwa sabda Batara Kamajaya turun ke dunia lalu masuk ke hati laki-laki, sementara
Dewi Ratih masuk ke jiwa wanita.

Saat Siwa duduk berdua dengan Dewi Uma, para dewa datang mengunjungi
termasuk Dewa Indra beserta gajahnya Airawata yang sangat dahsyat sehingga
membuat Dewi Uma ketakutan melihatnya. Dewi Uma lalu melahirkan putra berkepala
gajah yang dinamakan Ganesha. Saat raksasa Nilarudraka datang ke khayangan, maka
Ganesha bertanding melawannya dan membuat Ganesha terus bertambah besar dan
semakin kuat sehingga musuh bisa dikalahkan dan para dewa bersukacita.

21. Arca Buddha Vajrasattva

Arca Buddha Vajrasattva berasal dari Kerajaan Kediri pada abad ke-10 atau ke-
11 yang sekarang ini menjadi koleksi dari Museum fur Indische Kunst, Berlin, Dahlem,
Jerman.

22. Kitab Hariwangsa

Kitab Hariwangsa adalah sebuah karya sastra Jawa Kuno yang menceritakan
bentuk kakawin Prabu Kresna titisan Batara Wisnu yang menikah dengan Dewi
Rukmini dari negeri Kundina, yakni putri dari Prabu Bismaka dan Rukmini merupakan
titisan dari Dewi Sri. Hariwangsa jika diartikan secara harafiah berarti garis keturunan
Wisnu. Isi dari kitab ini menceritakan tentang Kresna yang berjalan di taman dan
dikunjungi oleh Batara Narada yang mengatakan jika calon istrinya adalah titisan dari
Dewi Sri, akan tetapi Prabu Jarasanda sudah ingin menikahkan dengan Raja Cedi
bernama Prabu Cedya.

Prabu Kresna lalu menculik Dewi Rukmini dan pada malam sebelum pesta
pernikahan, Kresna datang lalu membawwa Rukmini, sementara banyak tamu yang
sudah datang. Prabu Bismaka menjadi marah dan berunding dengan raja lain yang
datang dan mereka semua takut menghadapi Kresna yang sangat sakti tersebut.
Jarasanda lalu meminta Yudistira dan para Pandawa untuk membantu mereka dan
kemudian utusan di kirim ke Yudistira yang membuatnya menjadi bingung, sebab tugas
kesatria adalah melindungi dunia serta berperang melawan hal buruk.

Kresna sendiri adalah sahabat dari para Pandawa, akan tetapi karena
perbuatannya tersebut maka ia harus dihukum. Bima menjadi marah besar dan ingin
membunuh utusan Jarasanda tersebut namun Arjuna mencegahnya dan tidak beberapa
lama kemudian, mereka dikunjungi oleh duta Prabu Kresna yang ingin meminta
bantuan. Akan tetapi karena sudah membuat janji, maka Yudistira menolaknya sambil
berpesan pada duta tersebut jika Prabu Kresna tidak perlu khawatir sebab ia sangat
sakti. Para Pandawa lima lalu berangkat ke negeri Karawira tempat berkuasanya Prabu
Jarasanda yang lalu menyerang Dharawati, negeri Prabu Kresna.

Kresna lalu bersipa menghadapi musuh dan dibantu oleh kakanya Sang Baladewa
dan mereka berdua membunuh banyak musuh termasuk Jarasanda, para korawa, Bima,
Nakula dan Sahadewa, sedangkan Yudistira dibius oleh Kresna sehingga tidak mampu
bergerak. Kresna lalu berperang melawan Arjuna dan hampir saja kalah, kemudian
turun Batara Wisnu dari surga sehingga Kresna yang merupakan titisan Wisnu pun
berubah menjadi Wisnu. Yudistira yang sudah siuman lalu meminta Wisnu agar
menghidupkan semua yang tewas di medan perang dan Wisnu mengabulkannya dengan
menghujani amerta sehingga semua bisa hidup kembali termasuk Jarasanda dan mereka
semua datang ke pernikahan Kresna di Dwarawati. Kitab ini ditulis oleh Mpu Panuluh
di saat pemerintahan Prabu Jayabaya.

K. Kitab
Kerajaan kediri merupakan kerajaan yang ada di jawa timur dan berdiri antara
tahun 1042-1222 dengan menjadikan kota Daha sebagai pusat kerajaan ( saat ini
menjadi kota Kediri ). Lamanya waktu pemerintahan kerajaan kediri di tanah Jawa dan
didukung pula dengan cukup banyak empu yang sangat ahli menulis karya sastra yang
berisi cerita, pujian, riwayat hidup yang kemudian di tulis dan dijadikan kitab-kitab
yang cukup populer.

Sangat cepatnya perkembangan karya sastra pada masa kerajaan kediri, membuat
banyak empu yang membuat karya sastra berupa kitab dan saat itu juga pihak kerajaan
mendukung para pujangga atau empu yang ahli dalam menulis syair dan sebagainya.
Maka tidak heran bila isi dari karya sastra tersebut hanya berkisah tentang silsilah,
riwayat hidup dan masa kejayaan para raja yang berkuasa dan keluarganya. Berikut ada
beberapa kitab karya sastra peninggalan kerajaan kediri :

Kakawin Bharatayudha

Kitab ini merupakan karangan dari dua orang pujangga yang cukup terkenal yaitu
Empu Sedah dan Empu Panuluh. Didalamnya menceritakan tentang kisah perjuangan
dan kepahlawanan dari raja Jayabaya sebagai raja Jenggala yang berhasil menaklukkan
kerajaan Panjalu. Didalamnya juga menceritakan tentang peperangan yang terjadi
selama 18 hari antara keluarga Kurawa dan Pandawa.

Kitab Kresnayana

Kitab Kresnayana adalah karangan Empu Triguna yang didalamnya berisi tentang
riwayat hidup seorang anak yang bernama Kresna, anak tersebut memiliki kekuatan
yang sangat luar biasa, namun suka menolong orang lain yang membuat ia cukup
disukai oleh orang-orang. Walaupun ia adalah anak yang nakal. Diceritakan juga
mengenai pernikahannya dengan seorang putri cantik bernama Dewi Rukmini.
Kitab Sumarasantaka

Kitab ini dikarang oleh Empu Monaguna, didalamnya menceritakan mengenai


kisah kutukan terhadap seorang bidadari khayangan yang melakukan kesalahan.
Bidadari tersebut bernama Harini, ia dikutuk menjadi manusia dan tinggal untuk
beberapa lama di bumi. Setelah masa kutukannya selesai, sang bidadari kembali ke
kayangan.

Kitab Gatotkacasraya

Kitab ini ditulis oleh Empu Panuluh, didalamnya bercerita tentang kisah
kepahlawanan Gatotkaca yang berjasa mempersatukan cinta (Pernikahan) antara
Abimayu, putra Arjuna dengan Siti Sundhari.
Kitab Smaradhana

Kitab smaradhana ini ditulis oleh seorang empu bernama Empu Dharmaja
didalamnya mengisahkan sepasang suami istri yang hilang secara misterius setelah
terkena api yang keluar dari mata ketiga Dewa Syiwa. Suami-istri tersebut adalah Dewa
Kama dan Dewi Ratih

L. Masa Kejayaan
Kemashuran kerajaan yang didirikan oleh Airlangga – di tanah Kahuripan atau
Sidoarjo yang kemudian dipinahkan ke Daha atau Dahanapura – itu, yang sering kita
sebut dengan kerajaan Kahuripan, dan pada masa kejayaannya kerajaan tersebut mampu
menaklukkan dan menguasai hampir semua kerajaan-kerajaan yang ada disepanjang
pulau Jawa, Bali, dan tanah Sriwijaya atau sebagian dari daerah Sumatra sewarnabumi.
Pun kemudian harus disayangkan, bila akhirnya runtuh dari dalam. (Sebuah pelajaran
yang sangat berharga tentunya buat bangsa ini. Bangsa indonesia yang mashur dan kini
hampir runtuh karena digerogoti koruptor dari dalam)- Betapa sangat ironis, kerajaan
Kahuripan runtuh bukan karena serangan dari luar. Akan tetapi disebabkan oleh satu
perpecahan yang terjadi dari dalam kerajaan itu sendiri.

Adalah sebuah kata “keadilan” menjadi satu harga mati yang mesti dijalankan
oleh seorang raja, dan hal tersebut ternyata menjadi satu dilema tersendiri buat Prabu
Airlangga ketika tahun 1042m Kerajaan itu harus di bagi menjadi dua bagian.
Dikarenakan, kedua-putra Airlangga yang sama-sama ingin menjadi Raja, mereka
sama-sama minta tahta. Maka, sebagai Orang Tua yang bijak dan sekaligus seorang
Raja yang adil – mau tak mau – dibagilah kerajaan tersebut menjadi dua bagian: Ibu
kota Dahanapura atau Ibukota baru diberikan pada Sri Samarawijaya sedangkan Ibu
Kota lama, Kahuripan yang ada di Sidoharjo diberikan kepada putranya yang lainnya
yakni Mapanji Garasekan.

Dan, seiring lajunya waktu, pada perkembangan selanjutnya kota praja di Daha
tersebut berubah nama menjadi kerajaan “Panjalu” adapun Kahuripan atau kota lama
yang diberikan pada Mapanji Garasekan berubah nama menjadi Kerajaan “Jenggala”.

M. Masa Runtuh
Runtuhnya kerajaan kediri terjadi karena pada masa pemerintahan Kertajaya
terjadi pertentangan dengan kaum Brahmana. Kaum Brahmana menganggap bahwa
Kertajaya langgar agama dan memaksa menyembahnya sebagai dewa. Selanjutnya,
kaum Brahmana Brahmana meminta perlindungan Ken Arok, akuwu Tumapel.
Perseteruan memuncak menjadi pertempuran di desa Ganter, pada tahun 1222 M.
Dalam pertempuran tersebut Kertajaya berhasil dikalahkan oleh Ken Arok.

Setelah berhasil mengalahkan Kertanegara, Kerajaan Kediri bangkit kembali di


bawah pemerintahan Jayakatwang. Salah seorang pemimpin pasukan Singasari, Raden
Wijaya, berhasil meloloskan diri ke Madura. Karena memiliki perilaku yang baik,
Jayakatwang memperbolehkan Raden Wijaya untuk membuka Hutan Tarik sebagai
daerah tempat tinggalnya.

Pada tahun 1293, tentara Mongol yang dikirim oleh Kaisar Kubilai Khan datang
untuk membalas dendam terhadap Kertanegara. Keadaan tersebut dimanfaatkan Raden
Wijaya untuk menyerang Jayakatwang. Raden Wijaya kemudian bekerjasama dengan
tentara Mongol dan pasukan Madura di bawah pimpinan Arya Wiraraja untuk
menyerang Kediri. Dalam perang tersebut pasukan Jayakatwang kalah dan setelah itu
tidak ada lagi berita tentang Kerajaan Kediri.

Anda mungkin juga menyukai