Anda di halaman 1dari 6

Kerajaan Kediri

Hasil Kebudayaan
Kehidupan budaya Kerajaan Kediri terutama dalam bidang sastra berkembang
pesat. Pada masa pemerintahan Jayabaya kitab Bharatayuda berhasil digubah oleh
Mpu Sedah dan Mpu Panuluh. Selain itu Mpu Panuluh menulis kitab Hariwangsa dan
Gatotkacasrayaa. Selanjutnya pada masa pemerintahan Kameswara muncul kitab
Smaradhahana yang ditulis oleh Mpu Dharmaja serta kirab Lubdaka dan
Wertasancaya yang ditulis oleh Mpu Tanakung. Pada masa pemerintahan Kertajaya
terdapat Pujangga bernama Mpu Monaguna yang menulis kitab Sumansantaka dan
Mpu Triguna yang menulis kitab Kresnayana.
Di bidang kebudayaan, khususnya sastra, masa Kahuripan dan Kediri berkembang
pesat, antara lain sebagai berikut.

1) Pada masa Dharmawangsa berhasil disadur kitab Mahabarata ke dalam bahasa


Jawa Kuno yang disebut kitab Wirataparwa. Selain itu juga disusun kitab hukum
yang bernama Siwasasana.
2) Di zaman Airlangga disusun kitab Arjuna Wiwaha karya Empu Kanwa.
3) Masa Jayabaya berhasil digubah kitab Bharatayudha oleh Empu Sedah dan Empu
Panuluh. Di samping itu, Empu Panuluh juga menulis kitab Hariwangsa dan
Gatotkacasraya.
4) Masa Kameswara berhasil ditulis kitab Smaradhahana oleh Empu Dharmaja. Kitab
Lubdaka dan Wertasancaya oleh Empu Tan Akung.

Kehidupan sosial masyarakat Kediri cukup baik karena kesejahteraan rakyat meningkat
masyarakat hidup tenang, hal ini terlihat dari rumah-rumah rakyatnya yang baik, bersih, dan rapi,
dan berlantai ubin yang berwarna kuning, dan hijau serta orang-orang Kediri telah memakai kain
sampai di bawah lutut. Dengan kehidupan masyarakatnya yang aman dan damai maka seni dapat
berkembang antara lain kesusastraan yang paling maju adalah seni sastra. Hal ini terlihat dari
banyaknya hasil sastra yang dapat Anda ketahui sampai sekarang.
Hasil sastra tersebut, selain seperti yang telah dijelaskan pada uraian materi sebelumnya juga
masih banyak kitab sastra yang lain yaitu seperti kitab Hariwangsa dan Gatotkacasraya yang
ditulis Mpu Panuluh pada masa Jayabaya, kitab Simaradahana karya Mpu Darmaja, kitab
Lubdaka dan Wertasancaya karya Mpu Tan Akung, kitab Kresnayana karya Mpu Triguna dan

kitab Sumanasantaka karya Mpu Monaguna. Semuanya itu dihasilkan pada masa pemerintahan
Kameswara.
Penemuan Situs Tondowongso pada awal tahun 2007, yang diyakini sebagai peninggalan
Kerajaan Kadiri diharapkan dapat membantu memberikan lebih banyak informasi tentang
kerajaan tersebut. Beberapa arca kuno peninggalan Kerajaan Kediri. Arca yang ditemukan di
desa Gayam, Kediri itu tergolong langka karena untuk pertama kalinya ditemukan patung Dewa
Syiwa Catur Muka atau bermuka empat.
Kehidupan sosial kemasyarakatan pada zaman Kerajaan Kediri dapat kita lihat dalam kitab
Ling-Wai-Tai-Ta yang disusun oleh Chou Ku-Fei pada tahun 1178 M. Kitab tersebut
menyatakan bahwa masyarakat Kediri memakai kain sampai bawah lutut dan rambutnya
diurai. Rumah-rumahnya rata-rata sangat bersih dan rapi. Lantainya dibuat dari ubin yang
berwarna kuning dan hijau. Pemerintahannya sangat memerhatikan keadaan rakyatnya
sehingga pertanian, peternakan,
Dan juga terdapat beberapa golongan dalam masyarakat pada masa kerajaan ini, yaitu :
1. Golongan masyarakat pusat (kerajaan)
yaitu masyarakat yang terdapat dalam lingkungan raja dan beberapa kaum kerabatnya serta
kelompok pelayannya.
2. Golongan masyarakat thani (daerah)
yaitu golongan masyarakat yang terdiri atas para pejabat atau petugas pemerintahan di
wilayah thani (daerah).
3. Golongan masyarakat non pemerintah
yaitu golongan masyarakat yang tidak mempunyai kedudukan dan hubungan dengan
pemerintah secara resmi atau masyarakat wiraswasta. Kediri memiliki 300 lebih pejabat yang
bertugas mengurus dan mencatat semua penghasilan kerajaan. Di samping itu, ada 1.000
pegawai rendahan yang bertugas mengurusi benteng dan parit kota, perbendaharaan kerajaan,
dan gedung persediaan makanan.
Peninggalan Kerajaan Kediri
Prasasti

a. Prasasti Banjaran yang berangka tahun 1052 M menjelaskan kemenangan Panjalu


atau Kadiri atas Jenggala
b. Prasasti Hantang tahun 1135 atau 1052 M menjelaskan Panjalu atau Kadiri pada
masa Raja Jayabaya.Pada prasasti ini terdapat semboyan Panjalu Jayati yang artinya
Kadiri Menang.Prasasti ini di keluarkan sebagai piagam pengesahan anugerah untuk
penduduk Desa Ngantang yang setia pada Kadiri selama perang dengan Jenggala.Dan
dari Prasasti tersebut dapat di ketahui kalau Raja Jayabhaya adalah raja yang berhasil
mengalahkan Janggala dan mempersatukannya kembali dengan Kadiri.
Prasasti Jepun 1144 M

Prasasti Talan 1136 M Seni sastra juga mendapat banyak perhatian pada zaman Kerajaan Kadiri.
Pada tahun 1157 Kakawin Bharatayuddha ditulis oleh Mpu Sedah dan diselesaikan Mpu
Panuluh. Kitab ini bersumber dari Mahabharata yang berisi kemenangan Pandawa atas Korawa,
sebagai kiasan,kemenangan.
Prasasti Kamulan
Prasasti Kamulan ini berada di Desa Kamulan, Trenggalek, Jawa Timur.
Prasasti ini dibuat dan dikeluarkan pada masa pemerintahan Raja Kertajaya,
pada tahun 1194 Masehi, atau 1116 Caka. Melalui prasasti ini disebutkan
bahwa hari jadi dari Kabupaten Trenggalek sendiri tepatnya pada hari Rabu
Kliwon, tanggal 31 Agustus 1194.

Prasasti Jaring
Prasasti Jaring yang bertanggal 19 November 1181. Isinya berupa
pengabulan permohonan penduduk desa Jaring melalui Senapati Sarwajala
tentang anugerah raja sebelumnya yang belum terwujud.Dalam prasasti
tersebut diketahui adanya nama-nama hewan untuk pertama kalinya dipakai
sebagai nama depan para pejabat Kadiri, misalnya Menjangan Puguh, Lembu
Agra, dan Macan Kuning.
Prasasti Talan
Prasasti Talan/ Munggut terletak di Dusun Gurit, Kabupaten Blitar. Prasasti ini
berangka tahun 1058 Saka (1136 Masehi). Cap prasasti ini adalah berbentuk
Garudhamukalancana pada bagian atas prasasti dalam bentuk badan
manusia dengan kepala burung garuda serta bersayap. Isi prasasti ini
berkenaan dengan anugerah sima kepada Desa Talan yang masuk wilayah
Panumbangan memperlihatkan prasasti diatas daun lontar dengan cap
kerajaan Garudamukha yang telah mereka terima dari Bhatara Guru pada
tahun 961 Saka (27 Januari 1040 Masehi) dan menetapkan Desa Talan
sewilayahnya sebagai sima yang bebas dari kewajiban iuran pajak sehingga
mereka memohon agar prasasti tersebut dipindahkan diatas batu dengan cap
kerajaan Narasingha.
Raja Jayabhaya mengabulkan permintaan warga Talan karena kesetiaan yang
amat sangat terhadap raja dan menambah anugerah berupa berbagai
macam hak istimewa.

Candi

Candi Penataran
Candi termegah dan terluas di Jawa Timur ini terletak di lereng barat daya
Gunung Kelud, di sebelah utara Blitar, pada ketinggian 450 meter dpl. Dari
prasasti yang tersimpan di bagian candi diperkirakan candi ini dibangun
pada masa Raja Srengga dari Kerajaan Kediri sekitar tahun 1200 Masehi
dan berlanjut digunakan sampai masa pemerintahan Wikramawardhana,
Raja Kerajaan Majapahit sekitar tahun 1415.

Candi Tuban
Massa pun beralih ke Candi Tuban, dinamakan demikian karena candi ini
terletak di Dukuh Tuban, Desa Domasan, Kecamatan Kalidawir, Kabupaten
Tulungagung. Candi ini terletak sekitar 500 meter dari Candi Mirigambar.
Candi Tuban sendiri hanya tersisa kaki candinya. Setelah dirusak, candi ini
dipendam dan kini diatas candi telah berdiri kandang kambing, ayam dan
bebek.

Sastra
Di bidang kebudayaan yang paling menonjol adalah perkembangan seni sastra dan
pertunjukkan wayang. Di Kediri dikena dengan adanya wayang Panji. Beberapa
karya sastra yang terkenal adalah :

Kitab Baratayuda

Ditulis pada zaman Jayabaya oleh Empu Sedah beserta Empu Panuluh, untuk
memberikan gambaran terjadinya perang saudara atara Panjalu melawan Jenggala
dan digambarkan dengan perang antara Kurawa dan Pandawa yang masing-masing
merupakan keturunan Barata. Disamping itu Empu Panuluh juga menggubah
Kitab Kakawin Hariwangsa dan Gatotkacasraya.

Kitab Kresnayana

Ditulis oleh Empu Triguna pada zaman Jayaswara. Isinya mengenai perkawinan
Kresna dan dewi Rukmini.

Kitab Samaradhana

Ditulis oleh Empu Darmaja pada zaman Kameswari. Menceritakan sepasang suami
istri yaitu Smara dan rati yang menggoda Dewa Syiwa bertapa. Mereka kena kutuk
dan mati terbakar oleh api (dahana). Akan tetapi, mereka dihidupkan kembali dan
menjelma sebagai Kameswara dan permaisurinya.

Kitab Lubdaka

Ditulis oleh Empu Tan Akung pada zaman kameswara. Menceritakan peburu
bernama Lubdaka yang sudah banyak membunuh. Roh yang semestinya masuk
neraka menjadi masuk surga karena melakukan pemujaan secara istimewa kepada
Dewa Syiwa. Disamping itu, Tan Akung juga menulis Kitab Wertasancaya.

Kitab Mahabarata (Wirataparwa)

Pada masa Dharmawangsa, berhasil disadur Kitab Mahabarata ke dalam


bahasa Jawa Kuno yang disebut Kitab Wirataparwa. Selain itu juga disusun
kitab hukum yang bernama Siwasasana.

Kitab Arjuna Wiwaha

Di zaman Airlangga, disusun Kitab Arjuna Wiwaha karya Empu Kanwa.

Kitab Samasantaka

Kitab Samanasantaka karangan Empu Managuna yang mengisahkan


Bidadari Harini yang terkena kutuk Begawan Trenawindu.

Pada zaman Kediri karya sastra berkembang pesat. Hasil karya sastra pada Zaman Kediri
antara lain:
1) Kakawin Bharatayudha yang ditulis oleh Empu Sedah dan Empu Panuluh.
Isinya memperingati kemenangan Janggala atas Panjalu semasa raja Jayabaya.
2) Kitab Kresnayana karangan Empu Triguna, isinya menceritakan riwayat Kresna. Ia dikenal
sebagai seorang anak yang nakal, tetapi sangat dikasihani oleh setiap orang karena ia suka
menolong. Selain itu, ia mempunyai kesaktian yang luar biasa. Setelah dewasa ia kawin
dengan Dewi Rukmini.
3) Kitab Sumarasantaka karangan Empu Monaguna, isinya menceritakan bidadari Harini yang
kena kutuk kemudian menjelma menjadi seorang putri. Ketika masa kutukannya habis, ia
kembali lagi ke kahyangan.
4) Kitab Hariwangsa dan Gatotkacasraya ditulis oleh Empu Panuluh. Kitab Hriwangsa isinya
menceritakan tentang perkawinan antara Kresna dengan Dewi Rukmini.
5) Kitab Smaradhahana, karya Empu Dharmaja.

6) Kitab Lubdaka dan Kitab Wrtasancaya, karya Empu Tan Akung.

Akhir pemerintahan kerajaan Kediri


Runtuhnya kerajaan Kediri dikarenakan pada masa pemerintahan Kertajaya ,
terjadi pertentangan dengan kaum Brahmana. Mereka menggangap Kertajaya
telah melanggar agama dan memaksa meyembahnya sebagai dewa. Kemudian
kaum Brahmana meminta perlindungan Ken Arok , akuwu Tumapel. Perseteruan
memuncak menjadi pertempuran di desa Ganter, pada tahun 1222 M. Dalam
pertempuarn itu Ken Arok dapat mengalahkan Kertajaya, pada masa itu
menandai berakhirnya kerajaan Kediri.
Setelah Ken Arok mengalahkan Kertajaya, Kadiri menjadi suatu wilayah dibawah
kekuasaan Singhasari

Runtuhnya Kediri
Runtuhnya kerajaan Kediri dikarenakan pada masa pemerintahan Kertajaya , terjadi pertentangan
dengan kaum Brahmana. Mereka menggangap Kertajaya telah melanggar agama dan memaksa
meyembahnya sebagai dewa. Kemudian kaum Brahmana meminta perlindungan Ken Arok ,
akuwu Tumapel. Perseteruan memuncak menjadi pertempuran di desa Ganter, pada tahun 1222
M. Dalam pertempuarn itu Ken Arok dapat mengalahkan Kertajaya, pada masa itu menandai
berakhirnya kerajaan Kediri.
Setelah berhasil mengalah kan Kertanegara, Kerajaan Kediri bangkit kembali di bawah
pemerintahan Jayakatwang. Salah seorang pemimpin pasukan Singasari, Raden Wijaya, berhasil
meloloskan diri ke Madura. Karena perilakunya yang baik, Jayakatwang memperbolehkan Raden
Wijaya untuk membuka Hutan Tarik sebagai daerah tempat tinggalnya. Pada tahun 1293, datang
tentara Mongol yang dikirim oleh Kaisar Kubilai Khan untuk membalas dendam terhadap
Kertanegara. Keadaan ini dimanfaatkan Raden Wijaya untuk menyerang Jayakatwang. Ia
bekerjasama dengan tentara Mongol dan pasukan Madura di bawah pimpinan Arya Wiraraja
untuk menggempur Kediri. Dalam perang tersebut pasukan Jayakatwang mudah dikalahkan.
Setelah itu tidak ada lagi berita tentang Kerajaan Kediri.

Anda mungkin juga menyukai