Anda di halaman 1dari 3

Kerajaan Kediri

Kerajaan Kediri yang berdiri pada abad XI Masehi merupakan kelanjutan dari Kerajaan Medang
Kamulan yang didirikan oleh Mpu Sindok dari Dinasti Isyana.

1. Kondisi Geografis
Kerajaan Kediri terletak di pedalaman Jawa Timur. Kegiatan perekonomian Kediri sangat
bergantung pada Sungai Brantas. Pada masa Kerajaan Kediri Sungai Brantas sudah menjadi
jalur pelayaran yang ramai.
Masyarakat Kerajaan Kediri memanfaatkan Sungai Brantas untuk mengembangkan sistem
pertanian sawah dengan irigasi yang teratur. Adanya beberapa gunung api yang aktif di bagian
hulu sungai seperti Gunung Kelud dan Gunung Semeru menyebabkan banyak material vulkanik
yang mengalir ke Sungai Brantas. Material vulkanik tersebut meningkatkan kesuburan tanah
di sekitar aliran sungai. Kesuburan tanah tersebut menjadi modal besar bagi Kerajaan Kediri
untuk mengembangkan pertaniannya.

2. Kehidupan Politik
Raja pertama Kediri bernama Samarawijaya. Saat memerintah Kediri, ia sering berselisih dengan
Mapanji Garasakan yang berkuasa di Jenggala. Keduanya merasa berhak atas seluruh takhta
Raja Airlangga (Kerajaan Medang Kamulan) yang meliputi hampir seluruh wilayah Jawa Timur
dan sebagian Jawa Tengah. Perselisihan antara Samarawijaya dan Mapanji Garasakan akhirnya
menimbulkan perang saudara yang berlangsung hingga 1052 Masehi. Dalam perang saudara
tersebut Samarawijaya berhasil menaklukkan Jenggala.
Puncak kejayaan Kerajaan Kediri terjadi pada masa pemerintahan Jayabaya (1135–1157 Masehi).
Pada saat itu, wilayah kekuasaan Kediri meliputi seluruh bekas wilayah Kerajaan Medang
Kamulan. Selama menjadi Raja Kediri, Jayabaya berhasil menguasai kembali Jenggala yang
sempat memberontak ingin memisahkan diri. Keberhasilan Raja Jayabaya ini diberitakan dalam
prasasti Hantang yang berangka tahun 1135 Masehi. Prasasti ini memuat tulisan berbunyi
Panjalu jayati yang artinya Panjalu menang. Prasasti tersebut dikeluarkan sebagai piagam
pengesahan anugerah dari Jayabaya bagi penduduk Desa Hantang yang setia pada Kediri
selama perang melawan Jenggala.
Nama Jayabaya kemudian diabadikan dalam kitab Bharatayuda sebagai tanda kemenangan
atas Jenggala. Kitab merupakan sebuah kakawin yang digubah oleh Mpu Sedah dan Mpu
Panuluh. Bharatayuda memuat kisah perang perebutan takhta Kerajaan Hastinapura antara
keluarga Pandawa dan Kurawa. Bharatayuda merupakan salah satu episode cerita yang terdapat
dalam epos Mahabharata dari India. Sejarah pertikaian antara Jenggala dan Panjalu (Kediri)
mirip dengan kisah dari India tersebut sehingga kitab Bharatayuda dianggap sebagai bentuk
legitimasi (klaim) Jayabaya untuk memperkuat kekuasaannya atas seluruh wilayah bekas
Kerajaan Medang Kamulan. Untuk menunjukkan kebesaran dan kewibawaan sebagai Raja
Kediri, Jayabaya menyatakan dirinya sebagai keturunan Airlangga dan titisan Dewa Wisnu.
Selanjutnya, ia menetapkan lencana narasinga sebagai lambang Kerajaan Kediri.
Kerajaan Kediri mulai mengalami kemunduran pada masa pemerintahan Kertajaya (1190–1222
Masehi). Raja Kertajaya membuat kebijakan yang tidak populer dengan mengurangi hak-hak
kaum brahmana. Kondisi ini menyebabkan banyak kaum brahmana mengungsi ke wilayah
Tumapel yang dipimpin oleh Ken Arok. Melihat kejadian ini Kertajaya memutuskan menyerang
Tumapel guna memerangi kaum brahmana dan Ken Arok. Akan tetapi, dalam pertempuran di
Desa Ganter, pasukan Kediri mengalami kekalahan dan Kertajaya terbunuh. Sejak saat itu riwayat
Kerajaan Kediri berakhir dan kedudukannya digantikan oleh Kerajaan Singasari.

3. Kehidupan Ekonomi
Kerajaan Kediri menggantungkan kegiatan perekonomian pada sektor pertanian dan
perdagangan. Sebagai kerajaan agraris, Kediri memiliki lahan pertanian yang baik di sekitar
Sungai Brantas. Pertanian Kediri menghasilkan banyak beras dan menjadikannya sebagai
komoditas perdagangan utama. Sektor perdagangan Kediri dikembangkan melalui jalur
pelayaran Sungai Brantas. Selain beras, barang-barang yang diperdagangkan di Kediri antara
lain emas, perak, kayu cendana, rempah-rempah, dan pinang.
Pedagang Kediri memiliki peran penting dalam kegiatan perdagangan di wilayah Asia. Mereka
memperkenalkan rempah-rempah dalam perdagangan dunia. Para pedagang Kediri membawa
rempah-rempah ke sejumlah bandar di Indonesia bagian barat, yaitu Sriwijaya dan Ligor.
Selanjutnya, rempah-rempah dibawa ke India, Teluk Persia, dan Laut Merah. Komoditas ini
kemudian diangkut oleh kapal-kapal Venesia menuju Eropa. Dengan demikian, wilayah Maluku
mulai dikenal dalam lalu lintas perdagangan dunia berkat Kediri.

4. Kehidupan Agama
Masyarakat Kediri merupakan penganut ajaran agama Hindu Syiwa. Hal ini terlihat dari berbagai
peninggalan arkeologi yang ditemukan di wilayah Kediri. Peninggalan tersebut berupa arca-arca
di candi Gurah dan Tondowongso. Arca-arca tersebut menunjukkan latar belakang agama Hindu
Syiwa. Para penganut agama Hindu Syiwa menyembah Dewa Syiwa. Dewa Syiwa dipercaya
dapat menjelma menjadi Syiwa Maha Dewa (Maheswara), Dewa Maha Guru, dan Makala. Salah
satu bentuk pemujaan terhadap Dewa Syiwa yang dilakukan oleh para pendeta adalah dengan
mengucapkan mantra yang disebut Mantra Catur Dasa Syiwa atau empat belas wujud Syiwa.

5. Kehidupan Sosial Budaya


Pada masa pemerintahan Jayabaya, struktur pemerintahan Kerajaan Kediri sudah teratur.
Berdasarkan kedudukannya dalam pemerintahan, masyarakat Kediri dibedakan menjadi tiga
golongan sebagai berikut.
a. Golongan masyarakat pusat (kerajaan), yaitu kaum kerabat raja, kelompok pelayan raja,
dan masyarakat yang terdapat dalam lingkungan raja.
b. Golongan masyarakat thani (daerah), yaitu golongan masyarakat yang terdiri atas para
pejabat atau petugas pemerintahan di wilayah thani (daerah).
c. Golongan masyarakat nonpemerintah, yaitu golongan masyarakat yang tidak mempunyai
kedudukan dan hubungan dengan pemerintah secara resmi.
Kebudayaan Kerajaan Kediri mengalami perkembangan pesat, terutama dalam bidang sastra.
Beberapa karya sastra yang terkenal sebagai berikut.
a. Kitab Bharatayudha
Kitab Bharatayudha ditulis pada zaman Jayabaya untuk memberikan gambaran terjadinya
perang saudara antara Panjalu melawan Jenggala. Perang saudara tersebut digambarkan
dengan perang antara Kurawa dan Pandawa yang masing-masing merupakan keturunan
Barata.
b. Kitab Kresnayana
Kitab Kresnayana ditulis oleh Mpu Triguna pada masa pemerintahan Raja Jayaswara. Kitab
ini menjelaskan tentang perkawinan antara Kresna dan Dewi Rukmini.
c. Kitab Smaradahana
Kitab Smaradahana ditulis pada zaman Raja Kameswari oleh Mpu Darmaja. Kitab ini
menceritakan tentang sepasang suami istri Smara dan Rati yang menggoda Dewa Syiwa
yang sedang bertapa. Smara dan Rati kena kutuk dan mati terbakar oleh api (dahana)
karena kesaktian Dewa Syiwa. Akan tetapi, kedua suami istri tersebut dihidupkan kembali
dan menjelma sebagai Kameswara dan permaisurinya.
d. Kitab Lubdaka
Kitab Lubdaka ditulis oleh Mpu Tanakung pada zaman Raja Kameswara. Kitab ini bercerita
tentang seorang pemburu bernama Lubdaka. Pada suatu ketika Lubdaka mengadakan
pemujaan yang istimewa terhadap Dewa Syiwa sehingga rohnya yang semestinya masuk
neraka menjadi masuk surga.

Anda mungkin juga menyukai