Pada awal masa perkembangan, Kerajaan Kediri tidak banyak diketahui orang.
Prasasti Turun Hyang II (1044) yang dikeluarkan Kerajaan Jenggala hanya
memberitakan adanya perang saudara antara Jenggala dan Kediri sepeninggal Raja
Airlangga.
Sejarah Kerajaan Kediri atau Panjalu mulai diketahui oleh adanya Prasasti Sirah
Keting tahun 1104 atas nama Sri Jayawarsa. Sebelum Sri Jayawarsa, hanya raja Sri
Samarawijaya yang diketahui.
Letak kerajaan Kerajaan Kediri yakni di daerah Jawa Timur. Kerajaan Kediri
berpusat di Daha, atau sekitar Kota Kediri sekarang. Pusat Kerajaan Kediri tersebut
terletak di tepi Sungai Brantas, yang masa itu sudah menjadi jalur pelayaran yang
ramai.
- Shri Kameshwara
- Prabu Jayabaya
- Prabu Sarwaswera
- Prabu Kroncharyadipa
- Srengga Kertajaya
- Kertajaya
2. Barang-barang dagangan lain yang laku di pasaran, seperti emas, perak, daging,
kayu cendana, pinang, dan gerabah
3. Telah menggunakan uang yang terbuat dari emas sebagai alat pembayaran atau alat
tukar
4. Posisi Kerajaan Kediri sangat strategis dalam perdagangan Indonesia Timur dan
Indonesia Barat dengan kota pelabuhannya
Kaum Brahmana lalu meminta perlindungan Ken Arok. Ken Arok yang bercita-cita
memerdekakan Tumapel kekuasaan Kediri mencetuskan perang antara Kerajaan
Kediri dan Tumapel di dekat desa Ganter.
1. Prasasti Sirah Keting, berisi pemberian hadiah pada rakyat oleh Raja Jayawarsa
2. Prasasti Tulungagung dan Kertosono, berisi masalah keagamaan yang ditulis Raja
Bameswara (1117-1130 M)
4. Prasasti Jaring, memuat nama seperti Kebo Waruga dan Tikus Jinada
Latar belakang
Jaman dahulu, ketika Pulau Jawa diperintah oleh raja-raja yang tersebar di daerah-daerah, seperti
Raja Purnawarman memerintah di Kerajaan Tarumanegara; Maharani Shima memerintah di Kerajaan
Kalingga (atau "Holing"); dan Raja Sanjaya memerintah di Kerajaan Mataram Kuno, di Jawa
Timur terdapat pula sebuah kerajaan yang aman dan makmur. Kerajaan itu berada di daerah Malang
sekarang, di antara Sungai Brantas dan Sungai Metro, di dataran yang sekarang bernama Dinoyo,
Merjosari, Tlogomas, dan Ketawanggede di Kecamatan Lowokwaru, Malang. Kerajaan itu bernama
Kanjuruhan.
Bagaimana Kerajaan Kanjuruhan itu bisa berada dan berdiri di lembah antara Sungai Brantas dan Kali
Metro di lereng sebelah timur Gunung Kawi, yang jauh dari jalur perdagangan pantai atau laut? Kita
tentunya ingat bahwa pedalaman Pulau Jawa terkenal dengan daerah agraris, dan di daerah agraris
semacam itulah muncul pusat-pusat aktivitas kelompok masyarakat yang berkembang menjadi pusat
pemerintahan. Rupa-rupanya sejak awal abad masehi, agama Hindu dan Buddha yang menyebar di
seluruh kepulauan Indonesia bagian barat dan tengah, pada sekitar abad ke VI dan VII M sampai pula
di daerah pedalaman Jawa bagian timur, antara lain Malang. Karena Malang-lah kita mendapati bukti-
bukti tertua tentang adanya aktivitas pemerintahan kerajaan yang bercorak Hindu di Jawa bagian
timur.
Bukti itu adalah prasasti Dinoyo yang ditulis pada tahun Saka 682 (atau kalau dijadikan tahun masehi
ditambah 78 tahun, sehingga bertepatan dengan tahun 760 M). Disebutkan seorang raja yang bernama
Dewa Singha, memerintah keratonnya yang amat besar yang disucikan oleh api Sang Siwa. Raja
Dewa Singha mempunyai putra bernama Liswa, yang setelah memerintah menggantikan ayahnya
menjadi raja bergelar Gajayana. Pada masa pemerintahan Raja Gajayana, Kerajaan Kanjuruhan
berkembang pesat, baik pemerintahan, sosial, ekonomi maupun seni budayanya. Dengan sekalian para
pembesar negeri dan segenap rakyatnya, Raja Gajayana membuat tempat suci pemujaan yang sangat
bagus guna memuliakan Resi Agastya. Sang raja juga menyuruh membuat arca sang Resi Agastya
dari batu hitam yang sangat elok, sebagai pengganti arca Resi Agastya yang dibuat dari kayu oleh
nenek Raja Gajayana.
Dibawah pemerintahan Raja Gajayana, rakyat merasa aman dan terlindungi. Kekuasaan kerajaan
meliputi daerah lereng timur dan barat Gunung Kawi. Ke utara hingga pesisir laut Jawa. Keamanan
negeri terjamin. Tidak ada peperangan. Jarang terjadi pencurian dan perampokan, karena raja selalu
bertindak tegas sesuai dengan hukum yang berlaku. Dengan demikian rakyat hidup aman, tenteram,
dan terhindar dari malapetaka.
Raja Gajayana hanya mempunyai seorang putri, bernama Uttejana, seorang putri pewaris tahta
Kerajaan Kanjuruhan. Ketika dewasa, ia dijodohkan dengan seorang pangeran dari Paradeh bernama
Pangeran Jananiya. Akhirnya Pangeran Jananiya bersama Permaisuri Uttejana, memerintah kerajaan
warisan ayahnya ketika sang Raja Gajayana mangkat. Seperti para leluhurnya, mereka berdua
memerintah dengan penuh keadilan. Rakyat Kanjuruhan semakin mencintai rajanya. Demikianlah,
secara turun-temurun Kerajaan Kanjuruhan diperintah oleh raja-raja keturunan Raja Dewa Singha.
Semua raja itu terkenal akan kebijaksanaannya, keadilan, serta kemurahan hatinya.
Pada sekitar tahun 847 Masehi, Kerajaan Mataram Kuno di Jawa Tengah diperintah oleh Sri Maharaja
Rakai Pikatan Dyah Saladu, yang terkenal adil dan bijaksana. Dibawah pemerintahannya, Kerajaan
Mataram berkembang pesat. Ia disegani oleh raja-raja lain di seluruh Pulau Jawa. Keinginan untuk
memperluas wilayah Kerajaan Mataram Kuno selalu terlaksana, baik melalui penaklukan maupun
persahabatan. Kerajaan Mataram Kuno terkenal di seluruh Nusantara, bahkan sampai ke
mancanegara. Wilayahnya luas, kekuasaannya besar, tentaranya kuat, dan penduduknya sangat
banyak.
Perluasan Kerajaan Mataram Kuno itu sampai pula ke Pulau Jawa bagian timur. Tidak ada bukti atau
tanda bahwa terjadi penaklukan dengan peperangan antara Kerajaan Mataram Kuno dengan Kerajaan
Kanjuruhan. Ketika Kerajaan Mataram Kuno diperintah oleh Sri Maharaja Rakai Watukura Dyah
Balitung, raja Kanjuruhan menyumbangkan sebuah bangunan candi perwara (pengiring) di komplek
Candi Prambanan yang dibangun oleh Sri Maharaja Rakai Pikatan tahun 856 M (dulu bernama “Siwa
Greha”). Candi pengiring (perwara) itu ditempatkan pada deretan sebelah timur, tepatnya di sudut
tenggara. Kegiatan pembangunan semacam itu merupakan suatu kebiasaan bagi raja-raja daerah
kepada pemerintah pusat. Maksudnya agar hubungan kerajaan pusat dan kerajaan di daerah selalu
terjalin dan bertambah erat.
Kerajaan Kanjuruhan saat itu praktis di bawah kekuasaan Kerajaan Mataram Kuno. Walaupun
demikian Kerajaan Kanjuruhan tetap memerintah di daerahnya. Hanya setiap tahun harus melapor ke
pemerintahan pusat. Di dalam struktur pemerintahan Kerajaan Mataram Kuno zaman Dyah Balitung,
raja Kanjuruhan lebih dikenal dengan sebutan Rakryan Kanuruhan, artinya “Penguasa daerah” di
Kanuruhan. Kanuruhan sendiri rupa-rupanya perubahan bunyi dari Kanjuruhan. Karena sebagai raja
daerah, maka kekuasaan seorang raja daerah tidak seluas ketika menjadi kerajaan yang berdiri sendiri
seperti ketika didirikan oleh nenek moyangnya dulu. Kekuasaaan raja daerah di Kanuruhan yang
dapat diketahui waktu itu adalah daerah di lereng timur Gunung Kawi.
Diperkirakan sepeninggal Airlangga kedua kerajaan terjadi konflik. Berdasarkan Prasasti Sirah Keting
(1104 M) diketahui bahwa muncul nama raja Sri Jayawarsa yang dianggap raja pertama Kediri.
Kerajaan Kediri berpusat di Daha atau yang sekarang ini dikenal dengan Kota Kediri. Pusat kerajaan
berada di tepi sungai Brantas yang dahulu menjadi akses pelayaran.
Situs Tondowongso
Arca Dewa Siwa Catur Muka
Prasasti Sirah Keting yang menjelaskan pemberian hadiah kepada rakyat oleh Raja Jayawarsa
Prasasti Tulungagung dan Kertosono yang berisi masalah keagamaan yang ditulis Raja
Bameswara
Prasasti Ngantang yang menjelasakan pemberian hadiah pada rakyat Ngantang
Prasasti Jaring menjelaskan Kebo Waruga dan Tikus Jinada
Prasasti Kamula menjelaskan keberhasilan Raja Kertajaya memerangi musuh di Katang.
Sejarah Kerajaan Singasari
Kerajaan Singasari merupakan kerajaan bercorak Hindu-Buddha yang berasal dari Malang, Jawa
Timur. Kerajaan ini didirikan oleh Ken Arok yang bergelar Sri Rajasa Bathara Sang Amurwabhumi
pada tahun 1222 M. Kerajaan Singasari mencapai masa puncak kejayaan pada tahun 1272-1292 M
pada masa pemerintahan Kertanegara. Dibawah pemerintahan Kertanegara, Kerajaan Singasari
mampu memperluas kekuasaannya hingga Bali, Sunda, sebagian Kalimantan dan sebagian Sumatera.
Kerajaan Majapahit mencapai masa kejayaan pada masa pemerintahan Hayam Wuruk dan Patih
Gajah Mada pada tahun 1350 hingga 1389. Semasa pemerintahan Hayam Wuruk, Majapahit mampu
mempersatukan Sumatera, Semenanjung Malaya, Kalimantan, Sulawesi, Nusa Tenggara, Maluku,
Papua, Tumasik (Singapura) dan beberapa wilayah Filipina.
Selain menguasai Nusantara, Majapahit juga berhubungan baik dengan kerajaan lain seperti Campa,
Kamboja, Siam, Burma Selatan, Vietnam dan Cina. Kerajaan Majapahit memiliki sumber sejarah
diantaranya kitab Negarakertagama, Pararaton, prasasti serta berita.
Penamaan Majapahit didasarkan pada nama buah maja yang banyak ditemukan diwilayah Trowulan
serta memiliki rasa yang pahit. Wilayah Majapahit berkembang hingga mampu menarik simpati
penduduk Daha dan Tumapel. Niat balas dendam Raden Wijaya terbantu lebih cepat setelah adanya
pasuka Khubilai Khan yang tiba pada 1293. Setelah mengalahkan Jaya Katwang, Raden Wijaya
kemudian menyerang pasukan Mongol dibawah Kubulaikhan. Setelah mengalahkan Mongol dan
Kediri, Raden Wijaya kemudian diangkat menjadi raja pada tanggal 15 bulan Kartika tahun 1215.
Setelah diangkat sebagai raja, Raden Wijaya kemudian bergelar Kertarajasa Jayawardhana.
Pemberontakan di Majapahit
1. Pemberontakan Ranggalawe
2. Pemberontakan Lembu Sora
3. Pemberontakan Nambi
4. Pemberontakan Kuti
5. Pemberontakan Tanca
6. Pemberontakan Sadeng-Keta
Masa Kejayaan Kerajaan Majapahit
Selama berjalannya Kerajaan Majapahit banyak terjadi pemberontakan. Kerajaan Majapahit mencapai
masa kejayaan ketika masa kepemimpinan Hayam Wuruk (1350-1389 M). Masa kejayaan Majapahit
tidak terlepas dari peran Gajah Mada yang berhasil menumpas pemberontakan serta mampu
menyatukan Nusantara. Sumpah Palapa yang dicetuskan oleh Gajah Mada memiliki arti untuk
menaklukkan Nusantara dibawah Majapahit. Tercatat wilayah Majapahit meliputi Sumatera,
Semenanjung Malaya, Kalimantan, Sulawesi, Nusa Tenggara, Maluku, Papua, Tumasik (Singapura)
dan Filipina.
Selain memperluas wilayah, Majapahit juga menjalin hubungan dengan kerajaan disekitar Asia
Tenggara. Kejayaan Majapahit tidak terlepas dari armada laut dibawah Mpu Nala. Berkat strategi dan
kekuatan militernya Majapahit mampu menstabilkan wilayahnya serta memperluas wilayah. Selama
berjaya Kerajaan Majapahit menjadi pusat perdagangan dengan komoditas ekspor yaitu lada, garam
dan lengkeng.
Raja-raja Kerajaan Majapahit
Raden Wijaya (1293-1309 M)
Sri Jayanagara (1309-1328 M)
Tribhuwana Tunggadewi (1328-1350 M)
Hayam Wuruk (1350-1389 M)
Wikramawardhana (1389-1429 M)
Dyah Ayu Kencana Wungu (1429-1447 M)
Prabu Brawijaya I (1447-1451 M)
Prabu Brawijaya II (1451-1453 M)
Prabu Brawijaya III (1456-1466 M)
Prabu Brawijaya IV (1466-1468 M)
Prabu Brawijaya V (1468 -1478 M)
Prabu Brawijaya VI (1478-1489 M)
Prabu Brawijaya VII (1489-1527 M)
Keruntuhan Kerajaan Majapahit
Pasca meninggalnya Gajah Mada dan Hayam Wuruk Kerajaan Majapahit mengalami kemunduran.
Hal ini diakibatkan oleh kurang cakapnya penerus Hayam Wuruk untuk mengelola wilayah kekuasaan
Majapahit. Berikut adalah faktor runtuhnya Majapahit :
Prasasti
Prasasti Kudadu, Prasasti Sukamerta, Prasasti Prapancasapura, Prasasti Wringin Pitu, Prasasti Wurare,
Prasasti Balawi, Prasasti Parung, Prasasti Biluluk, Prasasti Karang Bogem, Prasasti Katiden, dan
Prasasti Canggu Prasasti Jiwu.
Candi
Candi Tikus, Candi Bajang Ratu, Candi Wringin Lawang, Candi Brahu, Candi Pari, Candi Penataran,
Candi Jabung, Candi Sukuh, Candi Cetho, Candi Wringin Branjang, Candi Surawana Candi Minak
Jinggo, Candi Rimbi, Candi Kedaton, dan Candi Sumberjati.
Kerajaan Blambangan
Kerajaan Blambangan atau Belambangan adalah kerajaan yang berada di Semenanjung
Blambangan, Ujung timur Pulau Jawa. Kerajaan Blambangan dianggap sebagai kerajaan
bercorak Hindu terakhir di Pulau Jawa. Diketahui bahwa Kerajaan Blambangan dulunya
merupakan kota pelabuhan, bagian dari Majapahit Timur. Pada tahun 1527 menjadi tempat
pelarian bagi keturunan raja Majapahit Girindrawardhana Dyah Ranawijaya, yang tersingkir
karena diserang oleh Kesultanan Demak.
Sejarah Blambangan
Menjelang awal abad ke-15, pada tahun 1489, cucu Lembu Miruda (penguasa Tengger), putra Menak
Sembar (penguasa Lumajang) yang bernama Bima Koncar telah meneguhkan dirinya sebagai
penguasa Lumajang dan Semenanjung Blambangan yang memerintah hingga tahun 1500.
Dari laporan Tome Pires, Bima Koncar memiliki putra bernama Menak Pentor, memerintah antara
1500-1546, yang berhasil memperluas wilayah Blambangan. Di bawah kekuasaan Menak Pentor,
Blambangan menjadi kerajaan yang kuat, kaya, dan makmur. Wilayahnya meliputi Lumajang di
bagian selatan dan Panarukan di utara, hingga ujung timur Pulau Jawa. Letaknya pun cukup strategis,
karena dikelilingi oleh lautan di ketiga sisinya, sehingga banyak memiliki pelabuhan. Salah satu
pelabuhan di pesisir utara Blambangan yang paling terkenal adalah Panarukan. Berita dari Serat
Kanda menyebutkan, bahwa Dyah Ranawijaya, setelah Daha jatuh ke pasukan Demak, melarikan diri
ke Panarukan (kini nama kecamatan di Kab. Situbondo, Jawa Timur, utara Banyuwangi). Panarukan
sendiri ketika itu merupakan sebuah pelabuhan yang cukup ramai dan sejak abad ke-14 telah menjadi
salah satu pangkalan kapal terpenting bagi Kerajaan Majapahit, dan menjadi salah satu persinggahan
bagi kapal-kapal yang hendak melanjutkan pelayaran ke Maluku untuk berdagang rempah-rempah.
Dengan tibanya Dyah Ranawijaya di kota pelabuhan ini, wilayah Panarukan bisa dianggap sebagai
kelanjutan Majapahit. Dan berdasarkan penuturan orang Hindia Belanda kemudian, daerah Panarukan
ini dapat diidentifikasi sebagai Kerajaan Blambangan. Hal ini sesuai berita Portugis yang
menyebutkan adanya utusan Kerajaan Hindu dari Panarukan ke Malaka pada 1528—setahun setelah
Dyah Ranawijaya diserang Demak. Utusan dari Panarukan ini bermaksud mendapatkan dukungan
orang-orang Portugis, yang tentunya bermaksud menghadang pengaruh Islam-Demak di Jawa. Bukti
lain bahwa Panarukan adalah bagian dari Blambangan adalah peristiwa terbunuhnya Sultan
Trenggana raja ke-3 Demak pada 1546. Pada saat Kerajaan Demak memperlebar wilayah
kekuasaannya di bawah kepemimpinan Sultan Trenggana, sebagian wilayah Jawa Timur berhasil
dikuasainya, termasuk Pasuruan yang ditaklukan pada 1545 dan sejak saat itu menjadi kekuatan Islam
yang penting di ujung timur Jawa. Akan tetapi, usaha Demak menaklukkan Blambangan mengalami
kendala karena kerajaan ini menolak Islam. Bahkan, pada 1546, Sultan Trenggana sendiri terbunuh di
dekat Panarukan, setelah selama tiga bulan tidak mampu menembus kota Panarukan.
Setelah Demak mundur, giliran Kerajaan Gelgel dan Kerajaan Mengwi dari Bali yang menyerang dan
merebut Blambangan dari Menak Pentor. Hingga antara tahun 1546-1572, Blambangan berada di
bawah kekuasaan Kerajaan Gelgel.
Pada 1572, cucu Bima Koncar, putra Menak Djinggo bernama Sontoguno, berhasil merebut
Panarukan dari Kerajaan Gelgel-Mengwi dan memperkuat kembali kerajaan Blambangan, beribukota
di Baluran. Selama masa kekuasaan Sontoguno, Blambangan mendapat kunjungan delegasi Portugis,
yang berhasil mengajak beberapa keluarga kerajaan Blambangan masuk Katolik.
Pada tahun 1597, giliran Blambangan diserang oleh pasukan Pasuruan yang dibantu Kesultanan
Demak. Setelah mengalahkan aliansi Pasuruan-Demak, Sontoguno digantikan oleh Pangeran
Singosari atau Prabhu Tawang Alun I. Kemudian pada tahun 1638, giliran Kesultanan
Mataram menyerang dan menduduki Blambangan, hingga membuat Tawang Alun I terpaksa
melarikan diri, sedangkan putra mahkotanya, Mas Kembar, menjadi tawanan.
Dibawah kekuasaan Kesultanan Mataram, pada tahun 1645, Mas Kembar naik tahta dengan
gelar Prabhu Tawang Alun II, Blambangan kembali menyatakan diri sebagai wilayah yang
merdeka, dan akibatnya pertempuran antara Mataram dan Blambangan pun terjadi kembali, dan
berakhir dengan kemenangan Mataram. Menyebabkan Tawang Alun II melarikan diri dan pada tahun
1649 memindahkan pusat kerajaan Blambangan ke wilayah selatan, ke daerah Macanputih dan
pelabuhan utama ke Muncar. Dibawah pemerintahan Tawang Alun II, kerajaan Blambangan maju
dengan pesat di mana kekuasaannya menyatu dari Bali, Banyuwangi, Jember hingga ke Lumajang.
Kemudian, usaha para penguasa Mataram dalam menundukkan Blambangan mengalami kegagalan.
Hal ini mengakibatkan kawasan Blambangan (dan Banyuwangi pada umumnya) tidak pernah masuk
ke dalam budaya Jawa Tengah. Maka dari itu, sampai sekarang kawasan Banyuwangi memiliki ragam
bahasa yang cukup berbeda dengan bahasa Jawa baku. Pengaruh Bali-lah yang lebih menonjol pada
berbagai bentuk kesenian dari wilayah Blambangan.
Kisah yang paling mengesankan adalah kemarahan Dipati Rayi yang sangat sakti dia juga
adalah murid Ki Buyut Wongsokaryo yang juga guru dari Gusti Prabhu Tawang Alun.
Kesaktian Dipati Rayi atau Prabhu Sosronegoro membuat Kedhaton Macan Putih hancur,
para agul agul berperang secara lingsem (malu). Dipati Rayi yang mengamuk dan
merusak Kedhaton Macan Putih baru berhenti karena meninggal akibat senjata Ki Buyut
Wongsokaryo, gurunya sendiri, yaitu Tulup Ki Baru Klitik.
Akhir perang ini mengakibatkan Gusti Prabhu Macanapuro, Gusti Prabhu Sosronegoro (Dipati Rayi),
Pangeran Pati maupun Gusti Prabu Danurejo seluruhnya tewas.
Gusti Prabhu Danurejo (Pangeran Putro) memiliki permasuri:
Mpu Withadarma
Mpu Bhajrastawa
Mpu Lempita
Mpu Gnijaya
Mpu Wiranatha
Mpu Purwanatha (ayah Ken Dedes)
Ken Dedes
Mahisa Wonga Teleng
Mahisa Campaka
Dyah Lembu Tal
Raden Wijaya
Tribhuwana Tunggadewi
Dyah Nertaja dan Singhawardhana
o Wikramawardhana
o Kertawijaya
o Suraprabhawa
o Dyah Ranawijaya
Singhawardhana dan Putri Tengger
o Lembu Miruda (Minak Anisraya), (diangkat
oleh Wikramawardhana sebagai Penguasa Tengger, dibawah kekuasaan Bhre
Wirabhumi)
Keturunan Lembu Miruda[sunting | sunting sumber]
Gede Buyut
Mas Ayu Widharba
Mas Lanang Dangiran (Mbah Mas Brondong) menurunkan:
o Mas Aji Reksonegoro
o Mas Danuwiryo
Mas Senepo (Mas Kembar) (Tawang Alun II)
Mas Lego menurunkan:
o Mas Surangganti
o Mas Surodilogo (Mbah Kopek)
Silsilah Tawang Alun II[sunting | sunting sumber]
Putra Tawang Alun I, Mas Senepo (Mas Kembar) inilah yang kemudian memindahkan ibukota
Blambangan ke Kedhaton Macan Putih (sekarang daerah Macanputih, Kabat, Banyuwangi)
bergelar Kangjeng Susuhunan Prabhu Tawang Alun II, di mana dia memerintah pada wilayah
Kerajaan Blambangan 1649 hingga 1691. Kangjeng Susuhunan Prabhu Tawang Alun II memiliki
beberapa istri dan selir, sehingga menjadi beberapa garis keturunan.
Kangjeng Susuhunan Prabhu Tawang Alun II, memiliki putra putri dari:
Arkeologi[sunting | sunting sumber]
Beberapa penemuan sejarah yang menjadi objek cukup menarik dari peninggalan kerajaan
blambangan adalah Tembok Rejo, berupa tembok bekas benteng kerajaan Blambangan sepanjang
lebih kurang 5 km terpendam pada kedalaman 1 - 0.5 m dari permukaan tanah dan membentang dari
masjid pasar muncar hingga di areal persawahan Desa Tembok Rejo.
Siti Hinggil atau oleh masyarakat lebih di kenal dengan sebutan setinggil yang artinya Siti adalah
tanah, Hinggil/inggil adalah tinggi. Objek Siti Hinggil ini berada di sebelah timur pertigaan pasar
muncar (lebih kurang 400 meter arah utara TPI/Tempat Pelelangan ikan). Siti Hinggil ini merupakan
pos pengawasan pelabuhan/syah bandar yang berkuasa pada masa kerajaan Blambangan, berupa batu
pijakan yang terletak di atas gundukan batu tebing yang mempunyai "keistimewaan" untuk
mengawasi keadaan di sekitar teluk Pang Pang dan Semenanjung Blambangan. Beberapa benda
peninggalan sejarah Blambangan yang kini tersimpan di museum daerah berupa Guci dan asesoris
gelang lengan, sedangkan kolam dan Sumur kuno yang ditemukan masih berada di sekitar Pura
Agung Blambangan yaitu di Desa Tembok Rejo kecamatan Muncar Kabupaten Banyuwangi.
Di samping itu pada lokasi Keraton Macan Putih didaerah Kabat, Banyuwangi didapati relief
arkeologi dan benda benda yang terkubur saat ini dilokasi seluas 44 Hektar yang telah menjadi
persawahan dan kebun sering didapati benda arkeologi milik kerajaan, beberapa puing tembok batas
kerajaan pun terkubur rusak dan hancur, masyarakat setempat sering memindahkan dan atau
menyimpan puing puing tersebut. Ditemui juga beberapa koleksi di beberapa museum
di Belanda yang berisi gambar, foto maupun artefak Keraton Macan Putih.
Setelah Keraton Macan Putih hancur penerus Raja Blambangan yaitu Mas Jaka Rempeg (Pangeran
Jagapati) mendirikan Kerajaan Bayu yang berada di sekitar Rawa Bayu (Bayu, Songgon,
Banyuwangi), kerajaan ini tidak bertahan lama hanya beberapa bulan saja, karena terjadi
perang Puputan Bayu 1771-1772. Disini dapat ditemukan beberapa sisa artefak dan bekas peperangan
dengan VOC.
Hingga kini meskipun Kerajaan sudah hancur Para kerabat Kerajaan secara turun temurun tetap
menjaga beberapa pusaka penting peninggalan Kerajaan.