Anda di halaman 1dari 16

Nama : Danang Rizky Pradita

Kelas : XII TPM


SEJARAH KERAJAAN DI JAWA TIMUR

 Kerajaan Kediri: Sejarah Berdiri, Masa Kejayaan,


dan Keruntuhan
Kerajaan Kediri atau Kerajaan Panjalu adalah sebuah kerajaan besar yang berdiri
pada abad ke-12 antara tahun 1042-1222. Kerajaan ini merupakan bagian dari
Kerajaan Mataram Kuno. Kerajaan Kediri bercorak Hindu.
Sejarah berdirinya Kerajaan Kediri
Kerajaan Kediri bermula dari perintah Raja Airlangga untuk membagi kerajaan
menjadi dua bagian pada tahun 1041 Masehi. Pembagian kerajaan dimaksudkan untuk
menghindari pertikaian, seperti dikutip dari buku Ensiklopedia Sejarah Lengkap
Indonesia dari Era Klasik sampai Kontemporer oleh Adi Sudirman.

Wilayah kerajaan Raja Airlangga dikenal sebagai Kahuripan. Pembagian kerajaan


tersebut dilakukan Brahmana sakti bernama Empu Bharada. Kedua kerajaan tersebut
dikenal sebagai Kerajaan Jenggala (Kahuripan) dan Panjalu (Kediri). Kerajaan ini
dibatasi oleh Gunung Kawi dan Sungai Brantas, seperti dikisahkan dalam prasasti
Mahaksubya (1289 M), kitab Negarakertagama (1365 M), dan kitab Calon Arang (1540
M).

Pada awal masa perkembangan, Kerajaan Kediri tidak banyak diketahui orang.
Prasasti Turun Hyang II (1044) yang dikeluarkan Kerajaan Jenggala hanya
memberitakan adanya perang saudara antara Jenggala dan Kediri sepeninggal Raja
Airlangga.

Sejarah Kerajaan Kediri atau Panjalu mulai diketahui oleh adanya Prasasti Sirah
Keting tahun 1104 atas nama Sri Jayawarsa. Sebelum Sri Jayawarsa, hanya raja Sri
Samarawijaya yang diketahui.

Letak kerajaan Kerajaan Kediri yakni di daerah Jawa Timur. Kerajaan Kediri
berpusat di Daha, atau sekitar Kota Kediri sekarang. Pusat Kerajaan Kediri tersebut
terletak di tepi Sungai Brantas, yang masa itu sudah menjadi jalur pelayaran yang
ramai.

Raja Kerajaan Kediri

- Shri Jayawarsa Digjaya Shastraprabhu

- Shri Kameshwara

- Prabu Jayabaya

- Prabu Sarwaswera
- Prabu Kroncharyadipa

- Srengga Kertajaya

- Kertajaya

Kehidupan Ekonomi Kerajaan Kediri


Kehidupan ekonomi Kerajaan Kediri dapat diketahui melalui kronik-kronik Cina yang
menyebutkan di antaranya sebagai berikut:

1. Kediri menghasilkan banyak beras

2. Barang-barang dagangan lain yang laku di pasaran, seperti emas, perak, daging,
kayu cendana, pinang, dan gerabah

3. Telah menggunakan uang yang terbuat dari emas sebagai alat pembayaran atau alat
tukar

4. Posisi Kerajaan Kediri sangat strategis dalam perdagangan Indonesia Timur dan
Indonesia Barat dengan kota pelabuhannya

5. Pajak rakyat berupa hasil bumi

Kehidupan Sosial Kerajaan Kediri


Masyarakat Kediri tidak menganut sistem kasta, seperti disampaikan dalam kitab
Lubdhaka. Dalam kitab tersebut disampaikan, tinggi rendahnya martabat seseorang
tidak ditentukan oleh dasar keturunan dan kedudukan, tetapi berdasarkan tingkah
lakunya.

Masa Kejayaan Kerajaan Kediri


Masa kejayaan Kerajaan Kediri terjadi pada kepemimpinan Jayabaya. Jayabaya
dikenal dengan kepemimpinan politik dan ramalan-ramalannya yang dibukukan dalam
Jongko Joyoboyo. Di samping itu, sikap merakyat dan visi Jayabaya yang jauh ke
depan membuatnya dikenang.

Runtuhnya Kerajaan Kediri


Runtuhnya Kerajaan Kediri terjadi pada masa kekuasaan Raja Kertajaya, seperti
dikisahkan dalam kitab Pararaton dan Nagarakertagama. Pada tahun 1222, Kertajaya
dianggap telah melanggar agama dan memaksa Brahmana menyembahnya sebagai
dewa.

Kaum Brahmana lalu meminta perlindungan Ken Arok. Ken Arok yang bercita-cita
memerdekakan Tumapel kekuasaan Kediri mencetuskan perang antara Kerajaan
Kediri dan Tumapel di dekat desa Ganter.

Keberhasilan Ken Arok mengalahkan Kertajaya menandai runtuhnya Kerajaan Kediri


yang kemudian menjadi kekuasaan Tumapel atau Kerajaan Singasari.

Sumber Sejarah Kerajaan Kediri


Sumber sejarah Kerajaan Kediri dikutip dari buku Pasti Bisa Sejarah Indonesia untuk
SMA/MA Kelas X oleh Ganesha Operation:
1. Kronik Cina Chu Fan Chi karangan Chu Ju Kua. Buku Ling Wai Tai Ta karangan
Chu Ik Fei juga menerangkan keberadaan Kerajaan Kediri pada abad ke-12 dan ke-13
M.

2. Prasasti-prasasti Kerajaan Kediri

Peninggalan Kerajaan Kediri


Peninggalan Kerajaan Kediri salah satunya yang diyakini yaitu Situs Tondowongso
pada awal tahun 2007.Sejumlah arca kuno peninggalan Kerajaan Kediri yang
ditemukan di Desa Gayam, Kediri tersebut tergolong langka karena untuk pertama
kalinya ditemukan patung Dewa Siwa Catur Muka atau bermuka empat.

Prasasti Kerajaan Kediri juga menjadi peninggalan, di antaranya yaitu:

1. Prasasti Sirah Keting, berisi pemberian hadiah pada rakyat oleh Raja Jayawarsa

2. Prasasti Tulungagung dan Kertosono, berisi masalah keagamaan yang ditulis Raja
Bameswara (1117-1130 M)

3. Prasasti Ngantang, menerangkan pemberian hadiah pada rakyat Ngantang.


Hadiahnya berupa sebidang tanah yang telah dibebaskan pajaknya oleh Raja Jayabaya
(1135 M)

4. Prasasti Jaring, memuat nama seperti Kebo Waruga dan Tikus Jinada

5. Prasasti Kamula, menerangkan keberhasilan Raja Kertajaya, memerangi musuh-


musuhnya di Katang.
 Kerajaan Kanjuruhan
Kanjuruhan adalah sebuah kerajaan bercorak Hindu di Jawa Timur, yang pusatnya berada di
dekat Kota Malang sekarang. Kanjuruhan diduga telah berdiri pada abad ke-8 Masehi (masih sezaman
dengan Kerajaan Taruma di sekitar Bekasi dan Bogor sekarang). Bukti tertulis mengenai kerajaan ini
adalah Prasasti Dinoyo. Rajanya yang terkenal adalah Gajayana. Peninggalan lainnya adalah Candi
Badut dan Candi Karangbesuki

Latar belakang
Jaman dahulu, ketika Pulau Jawa diperintah oleh raja-raja yang tersebar di daerah-daerah, seperti
Raja Purnawarman memerintah di Kerajaan Tarumanegara; Maharani Shima memerintah di Kerajaan
Kalingga (atau "Holing"); dan Raja Sanjaya memerintah di Kerajaan Mataram Kuno, di Jawa
Timur terdapat pula sebuah kerajaan yang aman dan makmur. Kerajaan itu berada di daerah Malang
sekarang, di antara Sungai Brantas dan Sungai Metro, di dataran yang sekarang bernama Dinoyo,
Merjosari, Tlogomas, dan Ketawanggede di Kecamatan Lowokwaru, Malang. Kerajaan itu bernama
Kanjuruhan.
Bagaimana Kerajaan Kanjuruhan itu bisa berada dan berdiri di lembah antara Sungai Brantas dan Kali
Metro di lereng sebelah timur Gunung Kawi, yang jauh dari jalur perdagangan pantai atau laut? Kita
tentunya ingat bahwa pedalaman Pulau Jawa terkenal dengan daerah agraris, dan di daerah agraris
semacam itulah muncul pusat-pusat aktivitas kelompok masyarakat yang berkembang menjadi pusat
pemerintahan. Rupa-rupanya sejak awal abad masehi, agama Hindu dan Buddha yang menyebar di
seluruh kepulauan Indonesia bagian barat dan tengah, pada sekitar abad ke VI dan VII M sampai pula
di daerah pedalaman Jawa bagian timur, antara lain Malang. Karena Malang-lah kita mendapati bukti-
bukti tertua tentang adanya aktivitas pemerintahan kerajaan yang bercorak Hindu di Jawa bagian
timur.
Bukti itu adalah prasasti Dinoyo yang ditulis pada tahun Saka 682 (atau kalau dijadikan tahun masehi
ditambah 78 tahun, sehingga bertepatan dengan tahun 760 M). Disebutkan seorang raja yang bernama
Dewa Singha, memerintah keratonnya yang amat besar yang disucikan oleh api Sang Siwa. Raja
Dewa Singha mempunyai putra bernama Liswa, yang setelah memerintah menggantikan ayahnya
menjadi raja bergelar Gajayana. Pada masa pemerintahan Raja Gajayana, Kerajaan Kanjuruhan
berkembang pesat, baik pemerintahan, sosial, ekonomi maupun seni budayanya. Dengan sekalian para
pembesar negeri dan segenap rakyatnya, Raja Gajayana membuat tempat suci pemujaan yang sangat
bagus guna memuliakan Resi Agastya. Sang raja juga menyuruh membuat arca sang Resi Agastya
dari batu hitam yang sangat elok, sebagai pengganti arca Resi Agastya yang dibuat dari kayu oleh
nenek Raja Gajayana.
Dibawah pemerintahan Raja Gajayana, rakyat merasa aman dan terlindungi. Kekuasaan kerajaan
meliputi daerah lereng timur dan barat Gunung Kawi. Ke utara hingga pesisir laut Jawa. Keamanan
negeri terjamin. Tidak ada peperangan. Jarang terjadi pencurian dan perampokan, karena raja selalu
bertindak tegas sesuai dengan hukum yang berlaku. Dengan demikian rakyat hidup aman, tenteram,
dan terhindar dari malapetaka.
Raja Gajayana hanya mempunyai seorang putri, bernama Uttejana, seorang putri pewaris tahta
Kerajaan Kanjuruhan. Ketika dewasa, ia dijodohkan dengan seorang pangeran dari Paradeh bernama
Pangeran Jananiya. Akhirnya Pangeran Jananiya bersama Permaisuri Uttejana, memerintah kerajaan
warisan ayahnya ketika sang Raja Gajayana mangkat. Seperti para leluhurnya, mereka berdua
memerintah dengan penuh keadilan. Rakyat Kanjuruhan semakin mencintai rajanya. Demikianlah,
secara turun-temurun Kerajaan Kanjuruhan diperintah oleh raja-raja keturunan Raja Dewa Singha.
Semua raja itu terkenal akan kebijaksanaannya, keadilan, serta kemurahan hatinya.
Pada sekitar tahun 847 Masehi, Kerajaan Mataram Kuno di Jawa Tengah diperintah oleh Sri Maharaja
Rakai Pikatan Dyah Saladu, yang terkenal adil dan bijaksana. Dibawah pemerintahannya, Kerajaan
Mataram berkembang pesat. Ia disegani oleh raja-raja lain di seluruh Pulau Jawa. Keinginan untuk
memperluas wilayah Kerajaan Mataram Kuno selalu terlaksana, baik melalui penaklukan maupun
persahabatan. Kerajaan Mataram Kuno terkenal di seluruh Nusantara, bahkan sampai ke
mancanegara. Wilayahnya luas, kekuasaannya besar, tentaranya kuat, dan penduduknya sangat
banyak.
Perluasan Kerajaan Mataram Kuno itu sampai pula ke Pulau Jawa bagian timur. Tidak ada bukti atau
tanda bahwa terjadi penaklukan dengan peperangan antara Kerajaan Mataram Kuno dengan Kerajaan
Kanjuruhan. Ketika Kerajaan Mataram Kuno diperintah oleh Sri Maharaja Rakai Watukura Dyah
Balitung, raja Kanjuruhan menyumbangkan sebuah bangunan candi perwara (pengiring) di komplek
Candi Prambanan yang dibangun oleh Sri Maharaja Rakai Pikatan tahun 856 M (dulu bernama “Siwa
Greha”). Candi pengiring (perwara) itu ditempatkan pada deretan sebelah timur, tepatnya di sudut
tenggara. Kegiatan pembangunan semacam itu merupakan suatu kebiasaan bagi raja-raja daerah
kepada pemerintah pusat. Maksudnya agar hubungan kerajaan pusat dan kerajaan di daerah selalu
terjalin dan bertambah erat.
Kerajaan Kanjuruhan saat itu praktis di bawah kekuasaan Kerajaan Mataram Kuno. Walaupun
demikian Kerajaan Kanjuruhan tetap memerintah di daerahnya. Hanya setiap tahun harus melapor ke
pemerintahan pusat. Di dalam struktur pemerintahan Kerajaan Mataram Kuno zaman Dyah Balitung,
raja Kanjuruhan lebih dikenal dengan sebutan Rakryan Kanuruhan, artinya “Penguasa daerah” di
Kanuruhan. Kanuruhan sendiri rupa-rupanya perubahan bunyi dari Kanjuruhan. Karena sebagai raja
daerah, maka kekuasaan seorang raja daerah tidak seluas ketika menjadi kerajaan yang berdiri sendiri
seperti ketika didirikan oleh nenek moyangnya dulu. Kekuasaaan raja daerah di Kanuruhan yang
dapat diketahui waktu itu adalah daerah di lereng timur Gunung Kawi.

Kekuasaan Rakryan Kanjuruhan


Daerah kekuasaan Rakryan Kanuruhan meliputi watak Kanuruhan. Watak adalah suatu wilayah yang
luas, yang membawahi berpuluh-puluh wanua (desa). Jadi kemungkinan daerah Watak itu dapat
ditentukan hampir sama atau setingkat dengan kabupaten saat ini. Dengan demikian Watak
Kanuruhan membawahi wanua-wanua (desa-desa) yang terhampar seluas lereng sebelah timur
Gunung Kawi sampai lereng barat Pegunungan Tengger-Semeru ke selatan hingga pantai selatan
Pulau Jawa.
Menurut sumber tertulis berupa prasasti yang ditemukan di sekitar Malang, nama-nama desa (wanua)
yang berada di wilayah (watak) Kanuruhan adalah sebagai berikut:

1. Daerah Balingawan (sekarang Desa Mangliawan,Kecamatan Pakis),


2. Daerah Turryan (sekarang Desa Turen, Kecamatan Turen),
3. Daerah Tugaran (sekarang Dukuh Tegaron, Kelurahan Lesanpuro),
4. Daerah Kabalon (sekarang Dukuh Kabalon Cemarakandang),
5. Daerah Panawijyan (sekarang Kelurahan Palowijen, Kecamatan Blimbing),
6. Daerah Bunulrejo (yang dulu bukan bernama Desa Bunulrejo pada zaman Kerajaan
Kanuruhan), dan
7. Daerah-daerah di sekitar Malang Barat seperti: Wurandungan (sekarang Dukuh
Kelandungan – Landungsari), Karuman, Merjosari, Dinoyo, Ketawanggede, yang di
dalam beberapa prasasti disebut-sebut sebagai daerah tempat gugusan kahyangan
(bangunan candi) di dalam Watak Kanuruhan.
Jadi wilayah kekuasaan Rakryan Kanuruhan dapat dikatakan mulai dari daerah Landungsari (barat),
Palowijen (utara), Pakis (timur), dan Turen (selatan). Istimewanya, selain berkuasa di daerahnya
sendiri, pejabat Rakryan Kanuruhan ini juga menduduki jabatan penting dalam pemerintahan
Kerajaan Mataram Kuno sejak zaman Raja Balitung, yaitu sebagai pejabat yang mengurusi urusan
administrasi kerajaan. Begitulah sekilas tentang jabatan Rakryan Kanuruhan yang memiliki
keistimewaan dapat berperan di dalam struktur pemerintahan kerajaan pusat, yang tidak pernah
dilakukan oleh pejabat (Rakryan) yang lainnya, dalam sejarah Kerajaan Mataram Kuno sampai
dengan zaman Kerajaan Majapahit.
 Sejarah Kerajaan Kediri

Sejarah Kerajaan Kediri


Kerajaan Kediri atau bernama Kerajaan Panjalu diperkirakan berdiri pada abad ke 12 antara tahun
1042-1222. Letak Kerajaan Keidir ada di tepi Sungai Brantas, Jawa Timur. Kerajaan ini dahulu adalah
bagian dari Kerajaan Mataram Kuno dengan corak Hindu. Kerajaan Kediri diawali oleh Airlangga
yang membagi wilayah kerajaan Kahuripan menjadi dua pada tahun 1041 M yang dilakukan oleh
Empu Bharada. Kedua kerajaan tersebut kemudian menjadi Jenggala dan Panjalu. Kedua kerajaan ini
dibatasi oleh Gunung Kawi dan Sungai Brantas.

Diperkirakan sepeninggal Airlangga kedua kerajaan terjadi konflik. Berdasarkan Prasasti Sirah Keting
(1104 M) diketahui bahwa muncul nama raja Sri Jayawarsa yang dianggap raja pertama Kediri.
Kerajaan Kediri berpusat di Daha atau yang sekarang ini dikenal dengan Kota Kediri. Pusat kerajaan
berada di tepi sungai Brantas yang dahulu menjadi akses pelayaran.

Raja Kerajaan Kediri


 Shri Jayawarsa Digjaya Shastraprabhu
 Shri Kameshwara
 Prabu Jayabaya
 Prabu Sarwaswera
 Prabu Kroncharyadipa
 Srengga Kertajaya
 Kertajaya
Kehidupan Ekonomi Kerajaan Kediri
Dari kronik Cina disebutkan bahwa Kerajaan Kediri merupakan penghasil beras. Komoditas barang
perdagangan dari Kediri diantaranya emas, perak, daging, kayu cendana, pinang dan gerabah. Dalam
hal perdagangan, Kediri sudah menggunakan uang yang terbuat dari emas sebagai alat tukarnya.
Posisi Kerajaan Kediri yang strategis membuat Kerajaan Kediri menjadi kota pelabuhan dari jalur
perdagangan Indonesia Timur dan Barat. Kerajaan Kediri juga menerapkan sistem pajak bagi
rakyatnya berupa hasil bumi.

Kehidupan Sosial Kerajaan Kediri


Berdasarkan Kitab Ludhaka, sistem kasta di Kerajaan Kediri bukan berasal dari keturunan layaknya
sistem kasta di Hindu pada umumnya. Namun, sistem kasta di Kerajaan Kediri didasarkan pada
tingkah lakunya.

Masa Kejayaan Kerajaan Kediri


Kerajaan Kediri mencapai masa kejayaan pada masa pemerintahan Jayabaya. Raja Jayabaya dikenal
sebagai pemimpin politik yang dapat meramalkan masa depan melalui Jangka Jayabaya yang
dikarangnya. Selain itu, karena Jayabaya memiliki visi kedepan membuat Jayabaya selalu dikenang.

Keruntuhan Kerajaan Kediri


Kerajaan Kediri diperkirakan runtuh pada tahun 1222 ketika masa pemerintahan raja Kertajaya. Raja
Kertajaya dianggap sebagai sosok yang sangat kejam yang mengklaim hanya Dewa Siwa yang dapat
mengalahkannya. Kertajaya dianggap telah melanggar agama dan memaksa Brahmana untuk
menyembah Kertajaya layaknya dewa. Melalui perlindungan Ken Arok, para Brahmana kemudian
mendukung Ken Arok untuk melakukan pemberontakan yang dikenal sebagai Perang Ganter.
Keberhasilan Ken Arok membuat Kerajaan Kediri mengalami keruntuhan untuk selanjutnya menjadi
kekuasaan Tumapel atau Kerajaan Singasari.
Peninggalan Kerajaan Kediri
Berikut adalah peninggalan Kerajaan Kediri

 Situs Tondowongso
 Arca Dewa Siwa Catur Muka
 Prasasti Sirah Keting yang menjelaskan pemberian hadiah kepada rakyat oleh Raja Jayawarsa
 Prasasti Tulungagung dan Kertosono yang berisi masalah keagamaan yang ditulis Raja
Bameswara
 Prasasti Ngantang yang menjelasakan pemberian hadiah pada rakyat Ngantang
 Prasasti Jaring menjelaskan Kebo Waruga dan Tikus Jinada
 Prasasti Kamula menjelaskan keberhasilan Raja Kertajaya memerangi musuh di Katang.
 Sejarah Kerajaan Singasari
Kerajaan Singasari merupakan kerajaan bercorak Hindu-Buddha yang berasal dari Malang, Jawa
Timur. Kerajaan ini didirikan oleh Ken Arok yang bergelar Sri Rajasa Bathara Sang Amurwabhumi
pada tahun 1222 M. Kerajaan Singasari mencapai masa puncak kejayaan pada tahun 1272-1292 M
pada masa pemerintahan Kertanegara. Dibawah pemerintahan Kertanegara, Kerajaan Singasari
mampu memperluas kekuasaannya hingga Bali, Sunda, sebagian Kalimantan dan sebagian Sumatera.

Sejarah Kerajaan Singasari


Pendirian Kerajaan Singasari tidak terlepas dari tokoh Ken Arok. Ken Arok awalnya hanya menjabat
sebagai pengawal dari seorang akuwu di Tumapel bernama Tunggul Ametung. Ken Arok membunuh
Tunggul Ametung dan menikahi istrinya, Ken Dedes. Setelah menjabat sebagai adipati Tumapel, Ken
Arok bersekutu dengan para Brahmana dan melakukan pemberontakan di Kerajaan Kediri.
Pemberontakan yang dilakukan oleh Ken Arok memaksa Raja Kertajaya, raja Kediri menyerahkan
kekuasaannya dan bepindah ke Kerajaan Singasari. Ken Arok kemudian menjabat sebagai raja dari
Kerajaan Tumapel atau dinamakan Kerajaan Singasari.

Raja – Raja Kerajaan Singasari


 Ken Arok (1222-1227 M)
 Anusapati (1227-1248 M)
 Tohjaya (1248 M)
 Wisnuwardhana (1248-1272 M)
 Kertanegara (1272-1292 M)
Kehidupan Sosial Kerajaan Singasari
Kehidupan sosial Kerajaan Singasari berubah – ubah menyesuaikan pemimpinnya. Pada masa
pemerintahan Ken Arok, rakyat Singasari sangat terjamin. Pasca wafatnya Ken Arok, akibat konflik
keluarga kerajaan menyebabkan kehidupan sosial rakyatnya tidak mendapat perhatian. Ketika masa
pemerintahan Kertanegara masyarakat Singasari kembali teratur.

Kehidupan Politik Kerajaan Singasari


Kehidupan politik Kerajaan Singasari ditandai dengan adanya konflik keluarga Kerajaan Singasari
yang membuat kerajaan mengalami pergantian kepemimpinan. Pada masa pemerintahan Kertanegara,
Kerajaan Singasari melakukan ekspedisi Pamalayu untuk memperluas wilayah Kerajaan Singasari.

Masa Kejayaan Kerajaan Singasari


Kerajaan Singasari mencapai masa kejayaan pada masa pemerintahan Kertanegara. Kerajaan
Singasari menguasai seluruh Jawa, Madura, Bali, Nusa Tenggara, Kalimantan, Sulawesi, Maluku,
Melayu dan Semenanjung Melayu. Kertanegara dikenal sebagai raja yang menginginkan penyatuan
atas wilayah Nusantara dibawah Singasari. Untuk mencapai cita – cita tersebut, Kertanegara
menerapkan upaya berikut :

 Perluasan daerah dan hubungan dengan luar negeri


 Pengiriman ekspedisi ke Sumatera yang terkenal dengan ekspedisi Pamalayu (1275 M)
 Memantapkan struktur pemerintahan Singasari
 Agama Hindu dan Buddha sama-sama berkembang
Selain memperluas wilayah, Kertanegara juga mengembangkan perdagangan dan pelayaran.
Komoditas ekspor Singasari diantaranya beras, emas, kayu cendana dan rempah – rempah.
Pengausaan jalur perdagangan dari Selat Malaka hingga kepulauan Maluku menjadi bukti kebesaran
Kerajaan Singasari.

Runtuhnya Kerajaan Singasari


Keruntuhan Kerajaan Singasari terjadi pada masa pemerintahan Kertanegara. Runtuhnya Singasari
dikarenakan lemahnya pertahanan Singasari akibat terlalu mementingkan urusan luar negeri daripada
dalam negeri. Jayakatwang dari Kediri melakukan penyerangan ke Singasari. Dampaknya,
Kertangeara wafat dan Kerajaan Singasaripun runtuh.

Peninggalan Kerajaan Singasari


 Candi Kidal
 Candi Singasari
 Candi Jago
 Candi Katang Lumbang
 Candi Kangenan
 Prasasti Singasari
 Prasasti Malurung
 Sejarah Kerajaan Majapahit
erajaan Majapahit merupakan kerajaan Hindu Buddha terbesar di Indonesia yang berdiri pada abad ke
13 hingga abad ke 16. Wilayah kekuasaan Majapahit mencapai hampir seluruh Nusantara. Majapahit
didirikan oleh Raden Wijaya pada tahun 1293, seorang menantu dari Kertanegara, raja terakhir
Singasari.

Kerajaan Majapahit mencapai masa kejayaan pada masa pemerintahan Hayam Wuruk dan Patih
Gajah Mada pada tahun 1350 hingga 1389. Semasa pemerintahan Hayam Wuruk, Majapahit mampu
mempersatukan Sumatera, Semenanjung Malaya, Kalimantan, Sulawesi, Nusa Tenggara, Maluku,
Papua, Tumasik (Singapura) dan beberapa wilayah Filipina.

Selain menguasai Nusantara, Majapahit juga berhubungan baik dengan kerajaan lain seperti Campa,
Kamboja, Siam, Burma Selatan, Vietnam dan Cina. Kerajaan Majapahit memiliki sumber sejarah
diantaranya kitab Negarakertagama, Pararaton, prasasti serta berita.

Sejarah Singkat Majapahit


Sejarah Kerajaan Majapahit tidak terlepas dari Kerajaan Singasari. Raden Wijaya merupakan menantu
Kertanegara, raja Kerajaan Singasari. Pada tahun 1292 M, terjadi pemberontakan di Singasari yang
dilakukan oleh Jayakatwang yang menyebabkan runtuhnya Singasari. Pada waktu itu Raden Wijaya
melarikan diri bersama Arya Wiraraja. Raden Wijaya kemudian mendiami sebuah hutan di Trowulan
yang merupakan tanah sima pada masa Kerajaan Singasari. Wilayah ini kemudian dinamakan
Majapahit.

Penamaan Majapahit didasarkan pada nama buah maja yang banyak ditemukan diwilayah Trowulan
serta memiliki rasa yang pahit. Wilayah Majapahit berkembang hingga mampu menarik simpati
penduduk Daha dan Tumapel. Niat balas dendam Raden Wijaya terbantu lebih cepat setelah adanya
pasuka Khubilai Khan yang tiba pada 1293. Setelah mengalahkan Jaya Katwang, Raden Wijaya
kemudian menyerang pasukan Mongol dibawah Kubulaikhan. Setelah mengalahkan Mongol dan
Kediri, Raden Wijaya kemudian diangkat menjadi raja pada tanggal 15 bulan Kartika tahun 1215.
Setelah diangkat sebagai raja, Raden Wijaya kemudian bergelar Kertarajasa Jayawardhana.

Pemberontakan di Majapahit
1. Pemberontakan Ranggalawe
2. Pemberontakan Lembu Sora
3. Pemberontakan Nambi
4. Pemberontakan Kuti
5. Pemberontakan Tanca
6. Pemberontakan Sadeng-Keta
Masa Kejayaan Kerajaan Majapahit
Selama berjalannya Kerajaan Majapahit banyak terjadi pemberontakan. Kerajaan Majapahit mencapai
masa kejayaan ketika masa kepemimpinan Hayam Wuruk (1350-1389 M). Masa kejayaan Majapahit
tidak terlepas dari peran Gajah Mada yang berhasil menumpas pemberontakan serta mampu
menyatukan Nusantara. Sumpah Palapa yang dicetuskan oleh Gajah Mada memiliki arti untuk
menaklukkan Nusantara dibawah Majapahit. Tercatat wilayah Majapahit meliputi Sumatera,
Semenanjung Malaya, Kalimantan, Sulawesi, Nusa Tenggara, Maluku, Papua, Tumasik (Singapura)
dan Filipina.

Selain memperluas wilayah, Majapahit juga menjalin hubungan dengan kerajaan disekitar Asia
Tenggara. Kejayaan Majapahit tidak terlepas dari armada laut dibawah Mpu Nala. Berkat strategi dan
kekuatan militernya Majapahit mampu menstabilkan wilayahnya serta memperluas wilayah. Selama
berjaya Kerajaan Majapahit menjadi pusat perdagangan dengan komoditas ekspor yaitu lada, garam
dan lengkeng.
Raja-raja Kerajaan Majapahit
 Raden Wijaya (1293-1309 M)
 Sri Jayanagara (1309-1328 M)
 Tribhuwana Tunggadewi (1328-1350 M)
 Hayam Wuruk (1350-1389 M)
 Wikramawardhana (1389-1429 M)
 Dyah Ayu Kencana Wungu (1429-1447 M)
 Prabu Brawijaya I (1447-1451 M)
 Prabu Brawijaya II (1451-1453 M)
 Prabu Brawijaya III (1456-1466 M)
 Prabu Brawijaya IV (1466-1468 M)
 Prabu Brawijaya V (1468 -1478 M)
 Prabu Brawijaya VI (1478-1489 M)
 Prabu Brawijaya VII (1489-1527 M)
Keruntuhan Kerajaan Majapahit
Pasca meninggalnya Gajah Mada dan Hayam Wuruk Kerajaan Majapahit mengalami kemunduran.
Hal ini diakibatkan oleh kurang cakapnya penerus Hayam Wuruk untuk mengelola wilayah kekuasaan
Majapahit. Berikut adalah faktor runtuhnya Majapahit :

 Banyak wilayah taklukkan yang melepaskan diri


 Terdapat konflik perebutan takhta
 Meletusnya Perang Paregreg
 Semakin berkembangnya pengaruh Islam di Jawa
Kerajaan Majapahit berakhir pada tahun 1527 setelah mendapatkan serangan dari pasukan Sultan
Trenggana dari Demak. Sejak saat itu wilayah kekusaan Majapahit berpindah ke Kerajaan Demak.

Peninggalan Kerajaan Majapahit


Berikut adalah peninggalan Kerajaan Majapahit :

Prasasti
Prasasti Kudadu, Prasasti Sukamerta, Prasasti Prapancasapura, Prasasti Wringin Pitu, Prasasti Wurare,
Prasasti Balawi, Prasasti Parung, Prasasti Biluluk, Prasasti Karang Bogem, Prasasti Katiden, dan
Prasasti Canggu Prasasti Jiwu.

Candi
Candi Tikus, Candi Bajang Ratu, Candi Wringin Lawang, Candi Brahu, Candi Pari, Candi Penataran,
Candi Jabung, Candi Sukuh, Candi Cetho, Candi Wringin Branjang, Candi Surawana Candi Minak
Jinggo, Candi Rimbi, Candi Kedaton, dan Candi Sumberjati.
 Kerajaan Blambangan
Kerajaan Blambangan atau Belambangan adalah kerajaan yang berada di Semenanjung
Blambangan, Ujung timur Pulau Jawa. Kerajaan Blambangan dianggap sebagai kerajaan
bercorak Hindu terakhir di Pulau Jawa. Diketahui bahwa Kerajaan Blambangan dulunya
merupakan kota pelabuhan, bagian dari Majapahit Timur. Pada tahun 1527 menjadi tempat
pelarian bagi keturunan raja Majapahit Girindrawardhana Dyah Ranawijaya, yang tersingkir
karena diserang oleh Kesultanan Demak.

Sejarah Blambangan
Menjelang awal abad ke-15, pada tahun 1489, cucu Lembu Miruda (penguasa Tengger), putra Menak
Sembar (penguasa Lumajang) yang bernama Bima Koncar telah meneguhkan dirinya sebagai
penguasa Lumajang dan Semenanjung Blambangan yang memerintah hingga tahun 1500.
Dari laporan Tome Pires, Bima Koncar memiliki putra bernama Menak Pentor, memerintah antara
1500-1546, yang berhasil memperluas wilayah Blambangan. Di bawah kekuasaan Menak Pentor,
Blambangan menjadi kerajaan yang kuat, kaya, dan makmur. Wilayahnya meliputi Lumajang di
bagian selatan dan Panarukan di utara, hingga ujung timur Pulau Jawa. Letaknya pun cukup strategis,
karena dikelilingi oleh lautan di ketiga sisinya, sehingga banyak memiliki pelabuhan. Salah satu
pelabuhan di pesisir utara Blambangan yang paling terkenal adalah Panarukan. Berita dari Serat
Kanda menyebutkan, bahwa Dyah Ranawijaya, setelah Daha jatuh ke pasukan Demak, melarikan diri
ke Panarukan (kini nama kecamatan di Kab. Situbondo, Jawa Timur, utara Banyuwangi). Panarukan
sendiri ketika itu merupakan sebuah pelabuhan yang cukup ramai dan sejak abad ke-14 telah menjadi
salah satu pangkalan kapal terpenting bagi Kerajaan Majapahit, dan menjadi salah satu persinggahan
bagi kapal-kapal yang hendak melanjutkan pelayaran ke Maluku untuk berdagang rempah-rempah.
Dengan tibanya Dyah Ranawijaya di kota pelabuhan ini, wilayah Panarukan bisa dianggap sebagai
kelanjutan Majapahit. Dan berdasarkan penuturan orang Hindia Belanda kemudian, daerah Panarukan
ini dapat diidentifikasi sebagai Kerajaan Blambangan. Hal ini sesuai berita Portugis yang
menyebutkan adanya utusan Kerajaan Hindu dari Panarukan ke Malaka pada 1528—setahun setelah
Dyah Ranawijaya diserang Demak. Utusan dari Panarukan ini bermaksud mendapatkan dukungan
orang-orang Portugis, yang tentunya bermaksud menghadang pengaruh Islam-Demak di Jawa. Bukti
lain bahwa Panarukan adalah bagian dari Blambangan adalah peristiwa terbunuhnya Sultan
Trenggana raja ke-3 Demak pada 1546. Pada saat Kerajaan Demak memperlebar wilayah
kekuasaannya di bawah kepemimpinan Sultan Trenggana, sebagian wilayah Jawa Timur berhasil
dikuasainya, termasuk Pasuruan yang ditaklukan pada 1545 dan sejak saat itu menjadi kekuatan Islam
yang penting di ujung timur Jawa. Akan tetapi, usaha Demak menaklukkan Blambangan mengalami
kendala karena kerajaan ini menolak Islam. Bahkan, pada 1546, Sultan Trenggana sendiri terbunuh di
dekat Panarukan, setelah selama tiga bulan tidak mampu menembus kota Panarukan.
Setelah Demak mundur, giliran Kerajaan Gelgel dan Kerajaan Mengwi dari Bali yang menyerang dan
merebut Blambangan dari Menak Pentor. Hingga antara tahun 1546-1572, Blambangan berada di
bawah kekuasaan Kerajaan Gelgel.
Pada 1572, cucu Bima Koncar, putra Menak Djinggo bernama Sontoguno, berhasil merebut
Panarukan dari Kerajaan Gelgel-Mengwi dan memperkuat kembali kerajaan Blambangan, beribukota
di Baluran. Selama masa kekuasaan Sontoguno, Blambangan mendapat kunjungan delegasi Portugis,
yang berhasil mengajak beberapa keluarga kerajaan Blambangan masuk Katolik.
Pada tahun 1597, giliran Blambangan diserang oleh pasukan Pasuruan yang dibantu Kesultanan
Demak. Setelah mengalahkan aliansi Pasuruan-Demak, Sontoguno digantikan oleh Pangeran
Singosari atau Prabhu Tawang Alun I. Kemudian pada tahun 1638, giliran Kesultanan
Mataram menyerang dan menduduki Blambangan, hingga membuat Tawang Alun I terpaksa
melarikan diri, sedangkan putra mahkotanya, Mas Kembar, menjadi tawanan.
Dibawah kekuasaan Kesultanan Mataram, pada tahun 1645, Mas Kembar naik tahta dengan
gelar Prabhu Tawang Alun II, Blambangan kembali menyatakan diri sebagai wilayah yang
merdeka, dan akibatnya pertempuran antara Mataram dan Blambangan pun terjadi kembali, dan
berakhir dengan kemenangan Mataram. Menyebabkan Tawang Alun II melarikan diri dan pada tahun
1649 memindahkan pusat kerajaan Blambangan ke wilayah selatan, ke daerah Macanputih dan
pelabuhan utama ke Muncar. Dibawah pemerintahan Tawang Alun II, kerajaan Blambangan maju
dengan pesat di mana kekuasaannya menyatu dari Bali, Banyuwangi, Jember hingga ke Lumajang.
Kemudian, usaha para penguasa Mataram dalam menundukkan Blambangan mengalami kegagalan.
Hal ini mengakibatkan kawasan Blambangan (dan Banyuwangi pada umumnya) tidak pernah masuk
ke dalam budaya Jawa Tengah. Maka dari itu, sampai sekarang kawasan Banyuwangi memiliki ragam
bahasa yang cukup berbeda dengan bahasa Jawa baku. Pengaruh Bali-lah yang lebih menonjol pada
berbagai bentuk kesenian dari wilayah Blambangan.

Keruntuhan Blambangan[sunting | sunting sumber]


Perang Saudara keturunan Tawang Alun II[sunting | sunting sumber]
ketika Kangjeng Susuhunan Prabhu Tawang Alun II wafat tahun 1691 terjadi pengangkatan Pangeran
Pati sebagai Raja Blambangan Macan Putih. Pangeran Pati dikalahkan, namun kemudian pangeran
Putro (Danurejo) menjadi raja, tercatat perang saudara tersebut berlangsung lama dan baik
Macanapuro, Danurejo dan Sosronegoro (Dipati Rayi) sempat memimpin Blambangan menjadi raja
namun hanya sebentar mengingat perang perebutan kekuasaan tersebut terus menerus berlangsung.
Perang saudara setelah meninggalnya Sinuhun Gusti Prabhu Tawang Alun II, membuat kedathon
macan putih menjadi rusak.

 Kisah yang paling mengesankan adalah kemarahan Dipati Rayi yang sangat sakti dia juga
adalah murid Ki Buyut Wongsokaryo yang juga guru dari Gusti Prabhu Tawang Alun.
Kesaktian Dipati Rayi atau Prabhu Sosronegoro membuat Kedhaton Macan Putih hancur,
para agul agul berperang secara lingsem (malu). Dipati Rayi yang mengamuk dan
merusak Kedhaton Macan Putih baru berhenti karena meninggal akibat senjata Ki Buyut
Wongsokaryo, gurunya sendiri, yaitu Tulup Ki Baru Klitik.
Akhir perang ini mengakibatkan Gusti Prabhu Macanapuro, Gusti Prabhu Sosronegoro (Dipati Rayi),
Pangeran Pati maupun Gusti Prabu Danurejo seluruhnya tewas.
Gusti Prabhu Danurejo (Pangeran Putro) memiliki permasuri:

 Mas Ayu Gendhing dari perkawinan tersebut memiliki Putra:


o Pangeran Agung Dupati
 Dari selir (kakak Ipar Gusti Agung Mengwi/Raja Mengwi) dia berputra:
o Mas Sirno/ Pangeran Wilis/ Wong Agung Wilis.
Karena kacaunya perang saudara, Pangeran Agung Dupati dan Pangeran Mas Sirno diungsikan,
setelah perang berakhir, Pangeran Agung Dupati diangkat Menjadi Raja Blambangan yang
bergelar Sinuhun Gusti Prabhu Danuningrat memerintah Blambangan Kedhaton Macan putih pada
tahun 1736-1763
Perang melawan VOC[sunting | sunting sumber]
Di akhir abad ke-17, setelah meninggalnya Danuningrat pada tahun 1763, VOC secara sepihak
menyatakan bahwa Blambangan adalah wilayah kekuasaannya, maka pada 1767-1768,
terjadilah Perang Wilis, yang dipimpin oleh Wong Agung Wilis melawan VOC.[1] Setelah Wong
Agung Wilis dikalahkan, kemudian terjadi Perang Bayu pada tahun 1771-1772, dan menjadi perang
habis-habisan (puputan) pasukan Blambangan yang dipimpin oleh Pangeran Jagapati melawan
pasukan VOC. Setelah Jagapati kalah dan terbunuh, VOC mengisi kekosongan pemerintahan dan
menggabungkan Blambangan kedalam karesidenan Besuki, dengan mengangkat Mas Alit bergelar
KRT Wiroguno sebagai Bupati Pertama.
Setelah dipimpin oleh KRT Wiroguno inilah dinasti Kerajaan Blambangan secara pasti dan tepercaya
telah memeluk Islam. Generasi diatas KRT Wiroguno tidak terdapat sumber tepercaya telah memeluk
Agama Islam.
Runtuhnya Kerajaan Blambangan, bagi Bali merupakan suatu peristiwa yang sangat berarti dari segi
kebudayaan. Para raja Bali percaya bahwa nenek-moyang mereka berasal dari Majapahit. Dengan
masuknya Blambangan ke dalam kekuasaan VOC, Bali menjadi lepas dari Jawa.

Silsilah Kerajaan Blambangan[sunting | sunting sumber]


Silsilah Wangsa Blambangan[sunting | sunting sumber]

 Mpu Withadarma
 Mpu Bhajrastawa
 Mpu Lempita
 Mpu Gnijaya
 Mpu Wiranatha
 Mpu Purwanatha (ayah Ken Dedes)
 Ken Dedes
 Mahisa Wonga Teleng
 Mahisa Campaka
 Dyah Lembu Tal
 Raden Wijaya
 Tribhuwana Tunggadewi
 Dyah Nertaja dan Singhawardhana
o Wikramawardhana
o Kertawijaya
o Suraprabhawa
o Dyah Ranawijaya
 Singhawardhana dan Putri Tengger
o Lembu Miruda (Minak Anisraya), (diangkat
oleh Wikramawardhana sebagai Penguasa Tengger, dibawah kekuasaan Bhre
Wirabhumi)
Keturunan Lembu Miruda[sunting | sunting sumber]

 Lembu Miruda (Minak Anisraya) (memerintah Tengger, Lumajang), menurunkan:


 Minak Sembar (Mas Sembar) (memerintah Pager, Lumajang), menurunkan:
 Minak Koncar (Bima Koncar) (Penguasa Lumajang dan Semenanjung Blambangan pada
tahun 1489-1500), menurunkan:
o Minak Pentor (memerintah di Babadan, Lumajang tahun 1500-1546)
o Minak Cucu (memerintah di Panarukan, Candi Bang (Kedathon Baluran)):
Minak Cucu disebut juga Minak Djinggo penguasa Djinggan, dia berputra:
 Sontoguno yang memerintah di Kedathon Baluran pada 1572
hingga 1597.
o Minak Gadru (memerintah di Prasada, Lumajang), menurunkan:
 Minak Lampor yang memerintah di (Werdati, Teposono,
Lumajang), Menurunkan:
 Minak Lumpat (Prabhu Rebut Payung)
(memerintah di Werdati, Lumajang), berputra:
 Minak Seruyu (Tawang Alun I) 1597-
1638
 Minak Luput (Sebagai Senopati)
 Minak Sumendhe (sebagai Karemon (Agul Agul))
Silsilah Tawang Alun I[sunting | sunting sumber]
Minak Lumpat mempunyai putra yaitu Minak Seruyu disebut juga Pangeran
Singosari bergelar Prabhu Tawang Alun I. Pada masa pemerintahannya, Tawang Alun I
menaklukkan Mas Kriyan dan seluruh keluarga Mas Kriyan, sehingga tidak ada keturunannya.
Kemudian Prabhu Tawang Alun I menjadi penguasa wilayah Kedawung (Lumajang) dan Candi Bang
(Baluran) pada tahun 1597-1638.
Prabhu Tawang Alun I memiliki Putra :

 Gede Buyut
 Mas Ayu Widharba
 Mas Lanang Dangiran (Mbah Mas Brondong) menurunkan:
o Mas Aji Reksonegoro
o Mas Danuwiryo
 Mas Senepo (Mas Kembar) (Tawang Alun II)
 Mas Lego menurunkan:
o Mas Surangganti
o Mas Surodilogo (Mbah Kopek)
Silsilah Tawang Alun II[sunting | sunting sumber]
Putra Tawang Alun I, Mas Senepo (Mas Kembar) inilah yang kemudian memindahkan ibukota
Blambangan ke Kedhaton Macan Putih (sekarang daerah Macanputih, Kabat, Banyuwangi)
bergelar Kangjeng Susuhunan Prabhu Tawang Alun II, di mana dia memerintah pada wilayah
Kerajaan Blambangan 1649 hingga 1691. Kangjeng Susuhunan Prabhu Tawang Alun II memiliki
beberapa istri dan selir, sehingga menjadi beberapa garis keturunan.
Kangjeng Susuhunan Prabhu Tawang Alun II, memiliki putra putri dari:

 Mas Ayu Rangdiyah dari Mataram, berputra:


o Pangeran Pati
o Pangeran Putro (Danurejo)
 Pangeran Agung Dupati
 Wong Agung Wilis
 Mas Ayu Dewi Sumekar (Blater) menurunkan:
o Dalem Patih Sasranegoro (Pangeran Dipati Rayi)
o Pangeran Keta (Ketanegara)
o Dalem Agung Macanapuro
o Pangeran Macanegara
o Pangeran Gajah Binarong
 Dari para selir menurunkan:
o Mas Dalem Jurang mangun
o Mas Dalem Puger
o Mas Dalem ki Janingrat
o Mas Dalem Wiroguno, menurunkan:
 Mas Bagus Puri, menurunkan:[2]
 Mas Rempeg (Pangeran Jagapati)
 Mas Suratman
 Mas Alit (Temenggung Wiraguna I, Bupati
Banyuwangi pertama)
 Mas Talib (Temenggung Wiraguna II, Bupati
Banyuwangi kedua)
 Mas Ayu Nawangsari
 Mas Ayu Rahinten
 Mas Ayu Patih.
o Mas Dalem Wiroluko
o Mas Dalem Wiroludro
o Mas Dalem Wilokromo
o Mas Dalem Wilo Atmojo
o Mas Dalem Wiroyudo
o Mas Dalem Wilotulis

Arkeologi[sunting | sunting sumber]
Beberapa penemuan sejarah yang menjadi objek cukup menarik dari peninggalan kerajaan
blambangan adalah Tembok Rejo, berupa tembok bekas benteng kerajaan Blambangan sepanjang
lebih kurang 5 km terpendam pada kedalaman 1 - 0.5 m dari permukaan tanah dan membentang dari
masjid pasar muncar hingga di areal persawahan Desa Tembok Rejo.
Siti Hinggil atau oleh masyarakat lebih di kenal dengan sebutan setinggil yang artinya Siti adalah
tanah, Hinggil/inggil adalah tinggi. Objek Siti Hinggil ini berada di sebelah timur pertigaan pasar
muncar (lebih kurang 400 meter arah utara TPI/Tempat Pelelangan ikan). Siti Hinggil ini merupakan
pos pengawasan pelabuhan/syah bandar yang berkuasa pada masa kerajaan Blambangan, berupa batu
pijakan yang terletak di atas gundukan batu tebing yang mempunyai "keistimewaan" untuk
mengawasi keadaan di sekitar teluk Pang Pang dan Semenanjung Blambangan. Beberapa benda
peninggalan sejarah Blambangan yang kini tersimpan di museum daerah berupa Guci dan asesoris
gelang lengan, sedangkan kolam dan Sumur kuno yang ditemukan masih berada di sekitar Pura
Agung Blambangan yaitu di Desa Tembok Rejo kecamatan Muncar Kabupaten Banyuwangi.
Di samping itu pada lokasi Keraton Macan Putih didaerah Kabat, Banyuwangi didapati relief
arkeologi dan benda benda yang terkubur saat ini dilokasi seluas 44 Hektar yang telah menjadi
persawahan dan kebun sering didapati benda arkeologi milik kerajaan, beberapa puing tembok batas
kerajaan pun terkubur rusak dan hancur, masyarakat setempat sering memindahkan dan atau
menyimpan puing puing tersebut. Ditemui juga beberapa koleksi di beberapa museum
di Belanda yang berisi gambar, foto maupun artefak Keraton Macan Putih.
Setelah Keraton Macan Putih hancur penerus Raja Blambangan yaitu Mas Jaka Rempeg (Pangeran
Jagapati) mendirikan Kerajaan Bayu yang berada di sekitar Rawa Bayu (Bayu, Songgon,
Banyuwangi), kerajaan ini tidak bertahan lama hanya beberapa bulan saja, karena terjadi
perang Puputan Bayu 1771-1772. Disini dapat ditemukan beberapa sisa artefak dan bekas peperangan
dengan VOC.
Hingga kini meskipun Kerajaan sudah hancur Para kerabat Kerajaan secara turun temurun tetap
menjaga beberapa pusaka penting peninggalan Kerajaan.

Anda mungkin juga menyukai