Anda di halaman 1dari 9

Daftar Kerajaan Hindu-Buddha Tersohor di Indonesia

1. Kerajaan Kutai Martapura

Prasasti Yupa.
Menurut kajian yang dilakukan oleh Muhammad Sarip (2021) dalam bukunya
berjudul Kerajaan Martapura dalam Literasi Sejarah Kutai 400–1635, kerajaan Hindu tertua
di Nusantara adalah Martapura (bukan Martadipura) di Kecamatan Muara Kaman, bukan
Kutai Kertanegara (berdiri abad ke-14). Hal itu didasarkan dari Prasasti Yupa atau monumen
batu bertulis yang ditemukan dua tahap, yaitu tahun 1879 dan 1940.
Yupa berjumlah tujuh buah itu mayoritas menceritakan kemakmuran periode Mulawarman.
Kini, ketujuh batu Yupa tersebut berada di Museum Nasional. Adapun kitab klasik
berjudul Surat Salasilah Raja dalam Negeri Kutai Kertanegara setebal 132 halaman dari
tahun 1849 adalah sumber autentik untuk penulisan sejarah Kerajaan Kutai Kertanegara.
Kitab tersebut ditulis oleh Khatib Muhammad Thahir, seorang Banjar yang menjadi juru tulis
Kerajaan Kutai Kertanegara. Kitab ini beraksara Jawi (teksnya menggunakan huruf Arab,
sedangkan bahasanya Melayu). Kitab ini dapat menjadi sumber sejarah dengan menyisihkan
bagian dongengnya, meskipun tergolong susastra yang bercampur dengan mitologi
pengagungan. Naskah asli kitab itu saat ini disimpan di Perpustakaan Negeri Berlin, Jerman.
Temuan tujuh buah Yupa menjadi awal pengungkapan kerajaan tertua Nusantara.
Berdasarkan penjelasan dari Sarip, ada tiga nama tersohor di Kerajaan Kutai Martapura yang
disebut di dalam Yupa. Pertama, Kundungga (bukan Kudungga) yang oleh kaum brahmana
Hindu masa itu ditulis sebagai ayah pendiri kerajaan, bukan raja pertama.
Kedua, Aswawarman putra Kundungga, raja pertama Martapura. Ketiga, Mulawarman putra
Aswawarman, raja termasyhur yang membawa kejayaan Martapura hingga bisa berderma
sapi sebanyak 20.000 ekor untuk kaum brahmana. Tidak ada catatan lebih lanjut sosok yang
menjadi penerus Mulawarman.
Namun, Muhammad Fahmi (2016) melalui penelitiannya yang berjudul Kerajaan Kutai
Kartanegara ing Martadipura dan Peran Raja dalam Pengembangan Agama Islam di
Kerajaan Kutai Abad ke-17 dan 18 menyebutkan penguasa Kerajaan Kutai Martapura antara
lain:
 Maharaja Kundungga Anumerta Dewawarman;
 Maharaja Aswawarman;
 Maharaja Mulawarman;
 Maharaja Sri Aswawarman;

1
 Maharaja Marawijayawarman;
 Maharaja Gajayanawarman;
 Maharaja Tunggawarman;
 Maharaja Jayanagawarman;
 Maharaja Nalasingawarman;
 Maharaja Nala Parana Tungga;
 Maharaja Gadinggawarman Dewa;
 Maharaja Indrawarman Dewa;
 Maharaja Sanggawarman Dewa;
 Maharaja Candrawarman;
 Maharaja Prabu Mula Tungga Dewa;
 Maharaja Nala Indra Dewa;
 Maharaja Indra Mulyawarman Dewa;
 Maharaja Sri Langka Dewa;
 Maharaja Guna Parana Dewa;
 Maharaja Wijayawarman;
 Maharaja Indra Mulya;
 Maharaja Sri Aji Dewa;
 Maharaja Mulia Putera;
 Maharaja Nala Pandita;
 Maharaja Indra Paruta Dewa;
 Maharaja Dermasatia.
Selanjutnya, Salasilah Kutai lantas mengungkap proses runtuhnya Kerajaan Martapura
dengan raja terakhirnya, Dermasatia. Sarip membahas di subbab tersendiri mengenai ekspansi
yang dilakukan oleh Kutai Kertanegara tahun 1635 ketika diperintah raja ke-8, Aji Pangeran
Sinum Panji Mendapa.
Ringkasnya, terjadi perang selama tujuh hari tujuh malam sampai dua raja berhadapan saling
tikam, yang berujung kematian Dermasatia. Kekalahan Martapura ini menandai
keruntuhannya, sekaligus pencaplokan wilayah oleh Kutai Kertanegara. Sejak itu, kerajaan
pemenang melengkapi namanya menjadi Kutai Kertanegara ing Martapura.
Era Kerajaan Kutai sebenarnya berakhir tahun 1960, tetapi sejak 2001 dihidupkan lagi
sebagai bentuk pelestarian sejarah dan budaya, tanpa adanya wewenang memerintah. Agak
berbeda dari sebelumnya, kerajaan itu bernama Kutai Kartanegara ing Martadipura.
Kartanegara dengan “a” bukan “e”, Martadipura bukan Martapura.
Soal ini, Sarip tidak luput mengulasnya. Perihal Kartanegara, baginya tidak begitu fatal
karena “Kartanegara” dan “Kertanegara” mempunyai arti yang tetap sama. Namun lain
halnya dengan Martadipura, yang tidak bisa dibenarkan karena mengubah nama dengan
menyisipkan suku kata yang tidak perlu.
Nama Martadipura sebagai perubahan dari kata Martapura baru muncul pada 1980-an. Bupati
Kutai periode 1965–1979, Ahmad Dahlan mengungkapkan, idenya berasal dari Drs. Anwar
Soetoen, seorang pejabat Pemerintah Daerah Kabupaten Tingkat II Kutai.
Soetoen berpikiran bahwa antara kata “marta” dan “pura” perlu disisipkan kata depan “di”
sebagai pengganti “ing”. Menurutnya, kata depan “di” memiliki arti yang sama dengan kata
“ing” dalam bahasa Jawa Kawi. Dahlan mengungkap kasus ini dalam bukunya
tentang Salasilah Kutai yang terbit tahun 1981.
Sarip di dalam bukunya turut membahas kekeliruan nama Kundungga menjadi Kudungga,
yang terlanjur mengakar selama beberapa tahun terakhir. Tak kalah penting, hasil kerja Sarip
memunculkan pertanyaan mengenai penamaan museum di Tenggarong yang dinamai
Mulawarman, bukan Aji Batara Agung Dewa Sakti sebagai pendiri Kutai Kertanegera,

2
padahal museum ini merupakan bekas istana Kutai Kertanegara, bukan saksi sejarah Kutai
Martapura.
Belum lagi ditambah patung Lembu Suwana yang menyambut para pengunjung museum juga
berpotensi memunculkan anggapan kalau hewan itu tunggangan Raja Mulawaman. Lembu
Suwana sebenarnya adalah hewan mitologis tunggangan Aji Batara Agung Dewa Sakti.
2. Kerajaan Tarumanagara
Tarumanagara atau Kerajaan Taruma merupakan sebuah kerajaan yang pernah berkuasa di
wilayah barat pulau Jawa pada abad ke-5 hingga abad ke-7 M. Tarumanagara merupakan
salah satu kerajaan tertua di Nusantara yang meninggalkan catatan sejarah dan peninggalan
artefak di sekitar lokasi kerajaan. Peninggalan-peninggalan itu memperlihatkan jika
Tarumanagara merupakan kerajaan Hindu aliran Waisnawa.
Kata tarumanagara berasal dari kata taruma dan nagara. Nagara artinya kerajaan atau
negara, sedangkan taruma berasal dari kata “tarum” yang merupakan nama sungai yang
membelah Jawa Barat, yaitu Ci Tarum. Temuan arkeologis yang berada di muara Ci Tarum
adalah percandian yang luas, yaitu Percandian Batujaya dan Percandian Cibuaya, yang
diduga merupakan peradaban peninggalan Kerajaan Tarumanagara.
Salah satu prasasti yang dijadikan sebagai sumber sejarah keberadaan Kerajaan
Tarumanagara adalah Prasasti Ciaruteun. Lokasi prasasti tersebut berada di Desa Ciaruteun,
Kecamatan Cibungbulang, Kabupaten Bogor.
Prasasti ini ditemukan di aliran Sungai Ciaruteun, Bogor pada 1863 dan terbagi menjadi dua
bagian, yaitu Prasasti Ciaruteun A yang tertulis dengan aksara Pallawa dan bahasa Sanskerta
terdiri atas empat baris puisi India atau irama anustubh (irama yang ditemukan dalam puisi
Veda dan Sanskerta klasik), serta Prasasti Ciaruteun B yang berisikan goresan telapak kaki
dan motif laba-laba yang belum diketahui maknanya.
Menurut juru kunci Prasasti Ciaruteun, simbol yang terdapat di prasasti tersebut menandakan
Raja Purnawarman yang gagah perkasa dan berkuasa. Prasasti ini memiliki ukuran panjang 2
meter, tinggi 1,5 meter, dan berbobot 8 ton.
Alih aksara dari prasasti ini sebaagai berikut.
Baris pertama: vikkrantasya vanipateh
Baris kedua: srimatah purnnavarmmanah
Baris ketiga: tarumanagarendrasya
Baris keempat: visnor=iva padadvayam ||
Artinya adalah sebagai berikut.
“Inilah sepasang (telapak) kaki, yang seperti (telapak kaki) Dewa Wisnu, ialah telapak kaki
Yang Mulia Purnnawarman, raja di negara Taruma (Tarumanagara), raja yang gagah
berani di dunia”.
Berdasarkan pesan yang terdapat di Prasasti Ciaruteun, dapat diketahui bahwa prasasti ini
dibuat pada abad ke-5 dan menginformasikan bahwa saat itu terdapat Kerajaan
Tarumanagara, yang dipimpin oleh Raja Purnawarman yang memuja Dewa Wisnu.
Kerajaan Tarumanagara telah dipengaruhi oleh kebudayaan India, yang dibuktikan dengan
nama raja yang berakhiran -warman dan tapak kaki yang menandakan kuasa pada zamannya.
Pada 1863, prasasti ini sempat hanyut diterjang banjir, sehingga tulisan yang ada menjadi
terbalik, kemudian pada 1903 prasasti ini dikembalikan ke tempat semula. Barulah pada
1981, prasasti ini dilindungi.
Sumber berita lain yang membuktikan berdirinya Kerajaan Tarumanagara berasal dari berita
Tiongkok, berupa catatan perjalanan Fa-Hien (penjelajah dari Tiongkok) dalam bentuk buku
dengan judul Fa-Kuo-Chi, yang menyebutkan bahwa pada awal abad ke-5 M banyak orang
brahmana dan animisme di Ye-Po-Ti (sebutan untuk Javadwipa, tetapi ada pendapat lain
yang menyatakan jika Ye-Po-Ti adalah Way Seputih di Lampung).

3
Pada 414, Fa-Hien datang ke tanah Jawa untuk membuat catatan sejarah Kerajaan To-lo-mo
(Kerajaan Tarumanagara) dan singgah di Ye-Po-Ti selama 5 bulan. Selain itu, berita Dinasti
Sui menuliskan bahwa utusan To-lo-mo telah datang dari sebelah selatan pada 528 dan 535.
Berita Dinasti Tang selanjutnya menuliskan bahwa utusan To-lo-mo telah datang pada 666
dan 669. Berdasarkan berita-berita tersebut, dapat diketahui bahwa Kerajaan Tarumanagara
berkembang antara tahun 400–600, yang saat itu dipimpin oleh Purnawarman dengan wilayah
kekuasaan hampir seluruh Jawa Barat.
Adapun raja-raja yang pernah memerintah Kerajaan Tarumanagara antara lain:
 Jayasingawarman (358–382);
 Dharmayawarman (382–395);
 Purnawarman (395–434);
 Wisnuwarman (434–455);
 Indrawarman (455–515);
 Candrawarman (515–535);
 Suryawarman (535–561);
 Kertawarman (561–628);
 Sudhawarman (628–639);
 Hariwangsawarman (639–640);
 Nagajayawarman (640–666);
 Linggawarman (666–669).
3. Kerajaan Medang
Catatan awal Kerajaan Medang ada dalam prasasti Canggal (732), yang ditemukan di dalam
kompleks Candi Gunung Wukir di Dusun Canggal, barat daya Kabupaten Magelang. Prasasti
ini ditulis dalam bahasa Sanskerta dan menggunakan aksara Pallawa. Isinya menceritakan
tentang pendirian Siwalingga (lambang Siwa) di daerah Kuñjarakuñjadeça (Kunjarakunja),
yang terletak di pulau bernama Yawadwipa (Jawa) yang diberkahi dengan banyak beras dan
emas.
Pembentukan lingga berada di bawah perintah Sanjaya. Prasasti ini menceritakan bahwa di
Yawadwipa dahulu diperintah oleh raja Sanna, yang bijaksana, adil dalam tindakannya,
perwira dalam peperangan, bermurah hati kepada rakyatnya. Setelah mangkatnya Sanna
negara berkabung, jatuh dalam perpecahan. Pengganti Sanna adalah putra Sannaha (saudara
perempuannya) yang bernama Sanjaya. Sanjaya menaklukkan daerah-daerah di sekitar
kerajaannya dan pemerintahannya yang bijak memberkati tanahnya dengan kedamaian dan
kemakmuran bagi semua rakyatnya.
Kisah Sanna, Sannaha, dan Sanjaya juga dijelaskan dalam Carita Parahyangan, sebuah
naskah yang disusun sekitar akhir abad ke-16. Secara garis besar, kisah dari naskah Carita
Parahyangan memiliki kesamaan tokoh dengan Prasasti Canggal.
Meskipun manuskrip itu tampaknya didramatisasi dan tidak memberikan perincian tertentu
tentang periode tersebut, tetapi nama dan tema cerita yang hampir persis dengan Prasasti
Canggal tampaknya menegaskan bahwa manuskrip tersebut didasarkan atas peristiwa sejarah.

4
Candi Prambanan.
Periode pemerintahan Rakai Panangkaran ke Dyah Balitung (rentang antara 760–910) yang
berlangsung selama 150 tahun, menjadi penanda puncak kejayaan dari peradaban Jawa kuno.
Pada periode ini marak munculnya seni dan arsitektur Jawa kuno, seperti sejumlah candi dan
monumen megah didirikan membentang cakrawala dataran Kedu dan dataran Kewu. Candi
yang paling terkenal adalah Candi Sewu dan Prambanan.
4. Kerajaan Sriwijaya

Candi Muara Takus dianggap telah ada pada zaman keemasan Sriwijaya, sehingga beberapa
sejarawan menganggapnya sebagai salah satu peninggalan dari Kerajaan Sriwijaya.
Sriwijaya merupakan sebuah kerajaan maritim yang berada di Sumatra, tetapi kekuasaannya
mencapai Jawa, Kalimantan, Sulawesi, Semenanjung Malaya, Thailand, Kamboja dan
lainnya. Sriwijaya berasal dari bahasa Sanskerta, sri yang berarti “bercahaya”
dan vijaya yang berarti “kemenangan”.
Kerajaan Sriwijaya mula-mula berdiri sekitar tahun 600 dan bertahan hingga tahun 1377.
Kerajaan Sriwijaya merupakan salah satu kerajaan yang sempat terlupakan, yang kemudian
dikenalkan kembali oleh sarjana Prancis, bernama George Cœdès pada tahun 1920-an.

5
George Cœdès memperkenalkan kembali Sriwijaya berdasarkan penemuannya dari prasasti
dan berita dari Tiongkok. Penemuan George Coedes kemudian dimuat dalam koran
berbahasa Belanda dan Indonesia. Sejak saat itu, Kerajaan Sriwijaya mulai dikenal kembali
oleh masyarakat.
Hilangnya kabar mengenai keberadaan Sriwijaya diakibatkan oleh sedikitnya jumlah
peninggalan yang ditinggalkan oleh Kerajaan Sriwijaya sebelum runtuh. Beberapa penyebab
runtuhnya Kerajaan Sriwijaya antara lain:
 Serangan dari Dinasti Chola dari Koromandel, India Selatan (1017 dan 1025). Serangan
ini berhasil menawan raja Sriwijaya dan kemudian Dinasti Chola menjadi berkuasa atas
Kerajaan Sriwijaya. Akibat dari serangan ini, kedudukan Sriwijaya di Nusantara mulai
melemah;
 Munculnya Kerajaan Melayu, Dharmasraya. Setelah melemahnya kekuasaan Dinasti
Chola, kemudian muncullah Kerajaan Dharmasraya yang mengambil alih Semenanjung
Malaya dan juga menekan keberadaan Sriwijaya;
 Alasan lain yang menyebabkan runtuhnya Sriwijaya adalah perang dengan kerajaan lain
seperti Singasari, Majapahit, serta Dharmasraya. Selain sebagai penyebab runtuhnya
Sriwijaya, perang ini juga menyebabkan banyak peninggalan Sriwijaya yang rusak atau
hilang, sehingga keberadaannya sempat terlupakan selama beberapa abad.
Perkembangan agama Buddha selama masa Sriwijaya dapat diketahui berdasarkan laporan I-
Tsing. Sebelum melakukan studi ke Universitas Nalanda di India, I-Tsing melakukan
kunjungan ke Sriwijaya. Berdasarkan catatan I-tsing, Sriwijaya merupakan rumah bagi
sarjana Buddha dan menjadi pusat pembelajaran agama Buddha.
Hal itu membuktikan bahwa selama masa Kerajaan Sriwijaya, agama Buddha berkembang
sangat pesat. Selain itu, I-tsing juga melaporkan bahwa di Sriwijaya terdapat aliran Buddha
Theravada (kadang disebut Hinayana) dan Mahayana. Buddhisme di Sriwijaya selanjutnya
mendapat pengaruh dari aliran Vajrayana dari India.
Pesatnya perkembangan agama Buddha di Sriwijaya juga didukung oleh seorang Mahaguru
Buddhis di Sriwijaya, yaitu Sakyakirti. Nama Sakyakirti ini berasal dari I-tsing yang
berkenalan saat singgah di Sriwijaya. Selain Mahaguru Buddhis, I-tsing juga melaporkan ada
perguruan Buddha yang memiliki hubungan baik dengan Universitas Nalanda, India,
sehingga ada cukup banyak orang yang mempelajari Buddhisme di kerajaan ini. Dalam
catatannya, I-tsing juga menulis ada lebih dari 1.000 pendeta yang belajar Buddhisme di
Sriwijaya.
5. Kerajaan Kadiri
Masa-masa awal Kerajaan Kadiri atau Panjalu tidak banyak diketahui. Prasasti Turun Hyang
II (1044) yang dikeluarkan oleh Kerajaan Janggala hanya memberitakan adanya perang
saudara antara kedua putra Airlangga.
Pada akhir November 1042, Airlangga terpaksa membelah wilayah kerajaannya karena kedua
putranya bersaing memperebutkan takhta. Putra yang bernama Sri Samarawijaya
mendapatkan kerajaan barat bernama Panjalu dan pusatnya di kota baru, yaitu Daha. Adapun
putranya yang bernama Mapanji Garasakan mendapatkan kerajaan timur bernama Janggala
dan pusatnya di kota lama, yaitu Kahuripan.
Menurut Nagarakretagama, sebelum dibelah menjadi dua, kerajaan yang dipimpin Airlangga
sudah bernama Panjalu dan pusatnya di Daha. Jadi, Kerajaan Janggala lahir sebagai pecahan
dari Panjalu. Adapun Kahuripan adalah nama kota lama yang sudah ditinggalkan Airlangga
dan kemudian menjadi ibu kota Janggala.
Pada mulanya, nama Panjalu atau Pangjalu memang lebih sering dipakai daripada nama
Kadiri. Hal ini dapat dijumpai dalam prasasti-prasasti yang diterbitkan oleh raja-raja Kadiri.
Nama Panjalu juga dikenal sebagai Pu-chia-lung dalam kronik Tiongkok berjudul Ling wai

6
tai ta (1178). Nama “Kediri” atau “Kadiri” sendiri berasal dari kata bahasa
Sansekerta, khadri, yang berarti pacé atau Morinda citrifolia (mengkudu).

Ketika diperintah oleh Sri Jayabhaya, Panjalu mengalami masa kejayaannya. Wilayah
kerajaan ini meliputi seluruh Jawa dan beberapa pulau di Nusantara, bahkan sampai
mengalahkan pengaruh Kerajaan Sriwijaya.
Jayabhaya juga dipercaya menulis ramalan dalam tradisi Jawa yang dikenal dengan Jangka
Jayabaya atau Ramalan Jayabaya. Ramalan ini dikenal di kalangan masyarakat Jawa dan
dilestarikan secara turun-temurun oleh para pujangga.
Asal usul utama Serat Ramalan Jayabaya dapat dilihat di Kitab Musasar yang digubah oleh
Sunan Giri Prapen. Sekalipun banyak keraguan keasliannya, tetapi bait pertama kitab tersebut
yang menuliskan bahwa Jayabaya yang membuat ramalan-ramalan tersebut.
6. Kerajaan Singhasari

Candi Singhasari dibangun sebagai tempat pemuliaan Kertanegara, raja terakhir Kerajaan
Singhasari.
Berdasarkan Prasasti Kudadu, nama resmi Kerajaan Singhasari adalah Kerajaan Tumapel.
Menurut Nagarakretagama, ibu kota Kerajaan Tumapel bernama Kutaraja ketika pertama kali
didirikan tahun 1222.
Pada 1253, Raja Wisnuwardhana awalnya mengangkat putranya yang bernama Kertanagara
sebagai yuwaraja (putra mahkota) dan mengganti nama ibu kota kerajaan menjadi Singhasari.
Nama Singhasari yang merupakan nama ibu kota kemudian justru lebih terkenal daripada
nama Tumapel.
Inilah yang membuat Kerajaan Tumapel pun terkenal pula dengan nama Kerajaan Singhasari.
Nama Tumapel juga muncul dalam kronik Tiongkok dari Dinasti Yuan dengan ejaan Tu-ma-
pan.
Berdasarkan keterangan di Pararaton, Tumapel awalnya hanya sebuah daerah bawahan
Kerajaan Panjalu. Adapun yang menjabat sebagai akuwu (setara camat) Tumapel saat itu
adalah Tunggul Ametung. Dia mati dibunuh dengan cara tipu muslihat oleh pengawalnya
sendiri yang bernama Ken Arok, yang kemudian menjadi akuwu baru. Ken Arok juga yang
mengawini istri Tunggul Ametung yang bernama Ken Dedes. Ken Arok kemudian berniat
melepaskan Tumapel dari kekuasaan Kerajaan Kadiri.
Pada 1254, terjadi perseteruan antara Kertajaya, raja Kerajaan Kadiri, dengan kaum
brahmana. Para brahmana lalu menggabungkan diri dengan Ken Arok yang mengangkat

7
dirinya menjadi raja pertama Tumapel dengan gelar Sri Rajasa Sang Amurwabhumi. Perang
melawan Kerajaan Kadiri meletus di Desa Ganter yang dimenangkan oleh pihak Tumapel.
Nagarakretagama juga menyebut tahun yang sama untuk pendirian Kerajaan Tumapel, tetapi
tidak menyebutkan adanya nama Ken Arok. Dalam naskah itu, pendiri kerajaan Tumapel
bernama Ranggah Rajasa Sang Girinathaputra yang berhasil mengalahkan Kertajaya raja
Kerajaan Kadiri.
Prasasti Mula Malurung atas nama Kertanagara tahun 1255 kemudian menyebutkan jika
pendiri Kerajaan Tumapel adalah Bhatara Siwa. Nama ini kemungkinan adalah gelar
anumerta dari Ranggah Rajasa, karena dalam Nagarakretagama arwah pendiri Kerajaan
Tumapel tersebut dipuja sebagai Siwa.
Selain itu, Pararaton juga menyebutkan bahwa, Ken Arok lebih dulu menggunakan julukan
Bhatara Siwa sebelum maju dalam perang melawan Kerajaan Kadiri.
7. Kerajaan Majapahit
Majapahit adalah sebuah kerajaan kuno di Indonesia yang pernah berdiri dari sekitar tahun
1293 hingga 1500 M. Kerajaan ini mencapai puncak kejayaan pada masa kekuasaan Hayam
Wuruk yang berkuasa dari tahun 1350 hingga 1389. Kerajaan Majapahit adalah kerajaan
Hindu-Buddha terakhir yang menguasai Semenanjung Malaya dan dianggap sebagai salah
satu dari negara terbesar dalam sejarah Indonesia.
Majapahit banyak meninggalkan tempat-tempat suci, sisa-sisa sarana ritual keagamaan masa
itu. Bangunan-bangunan suci ini dikenal dengan nama candi, pemandian suci (pertirtan) dan
gua-gua pertapaan. Bangunan-bangunan yang ditinggalkan tersebut kebanyakan beraliran
agama Siwa dan sedikit yang bersifat agama Buddha, yaitu lain Candi Jago, Bhayalangu,
Sanggrahan, dan Jabung. Peninggalan lain dari kerajaan ini adalah Kakawin
Nagarakretagama, Arjunawijaya, dan Sutasoma.

Candi Jabung merupakan salah satu peninggalan Kerajaan Majapahit.


Berdasarkan sumber tertulis, raja-raja Majapahit umumnya beragama Siwa dari aliran
Siwasiddhanta, kecuali Tribuwanattungadewi (ibunda Hayam Wuruk) yang beragama
Buddha Mahayana. Namun demikian, agama Siwa dan agama Buddha tetap menjadi agama
resmi kerajaan hingga akhir tahun 1447.
Pada masa pemerintahan Raden Wijaya (Kertarajasa), terdapat dua pejabat resmi keagamaan
tinggi Siwa dan Buddha, yaitu Dharmadyaksa ring Kasiwan dan Dharmadyaksa ring
Kasogatan, kemudian lima pejabat Siwa di bawahnya yang
disebut Dharmapapati atau Dharmadihikarana.
Pada zaman Majapahit, ada dua buku yang menguraikan ajaran Buddhisme Mahayana,
yaitu Sanghyang Kamahayanan Mantrayana yang berisi mengenai ajaran yang ditujukan

8
kepada biksu yang sedang ditahbiskan, serta Sanghyang Kamahayanikan yang berisi
mengenai kumpulan pengajaran bagi seseorang untuk dapat mencapai pelepasan.
Pokok ajaran dalam Sanghyang Kamahayanikan adalah menunjukan bahwa bentuk yang
bermacam-macam dari bentuk pelepasan pada dasarnya adalah sama. Tampaknya, sikap
sinkretisme dari penulis Sanghyang Kamahayanikan tercermin dari pengidentifikasian Siwa
dengan Buddha dan menyebutnya sebagai “Siwa-Buddha”, bukan lagi Siwa atau Buddha,
tetapi Siwa-Buddha sebagai satu kesadaran tertinggi.
Sinkretisme era Majapahit mencapai puncaknya pada 1292–1478. Sepertinya, saat itu aliran
Hindu-Siwa, Hindu-Wisnu dan agama Buddha dapat hidup bersamaan. Ketiganya dipandang
sebagai bentuk yang bermacam-macam dari suatu kebenaran yang sama.
Siwa dan Wisnu dipandang sama nilainya dan digambarkan sebagai “Harihara”, yaitu rupang
(arca) setengah Siwa setengah Wisnu. Siwa dan Buddha dipandang sama. Berdasarkan Kitab
Kakawin Arjunawijaya karya Mpu Tantular, diceritakan bahwa ketika Arjunawijaya
memasuki candi Buddha, para pandhita menerangkan bahwa para Jina dari penjuru alam
yang digambarkan di patung-patung itu adalah sama saja dengan penjelmaan Siwa.
Vairocana sama dengan Sadasiwa yang menduduki posisi tengah. Aksobya sama dengan
Rudra yang menduduki posisi timur. Ratnasambhava sama dengan Brahma yang menduduki
posisi selatan, Amitabha sama dengan Mahadewa yang menduduki posisi barat dan
Amogasiddhi sama dengan Wisnu yang menduduki posisi utara. Oleh karena itu, para
bhikkhu tersebut mengatakan tidak ada perbedaan antara agama Buddha dengan Siwa.
Selanjutnya, dalam Kitab Kunjarakarna disebutkan bahwa tiada seorang pun, baik pengikut
Siwa maupun Buddha yang bisa mendapat kelepasan jika dia memisahkan yang sebenarnya
satu, yaitu Siwa-Buddha.
Pembaruan agama Siwa-Buddha pada zaman Majapahit, antara lain terlihat pada cara
mendharmakan raja dan keluarganya yang wafat di dua candi yang berbeda sifat
keagamaannya. Hal ini dapat dilihat pada raja pertama Majapahit, yaitu Kertarajasa, yang
didharmakan di Candi Sumberjati (Simping) sebagai wujud Siwa (Siwawimbha) dan di
Antahpura sebagai Buddha.
Selain itu, raja kedua Majapahit, Jayabaya, juga didharmakan di Shila Ptak (red. Sila Petak)
sebagai Wisnu dan di Sukhalila sebagai Buddha. Hal ini memperlihatkan bahwa kepercayaan
kenyataan tertinggi dalam agama Siwa maupun Buddha tidak berbeda.
Meskipun Buddhisme dan Hinduisme telah menyebar di Jawa Timur, tampaknya
kepercayaan leluhur masih memerankan peranannya dalam kehidupan masyarakat. Hal ini
ditunjukkan dengan struktur candi yang di dalamnya terdapat tempat pemujaan nenek
moyang, yang berwujud batu megalit, yang ditempatkan di teras tertinggi dari tempat suci itu.
Setelah Kerajaan Majapahit mengalami kemunduran pada masa akhir pemerintahan Raja
Brawijaya V (1468–1478) dan runtuh pada tahun 1478, berangsur-angsur agama Buddha dan
Hindu digeser kedudukannya oleh agama Islam.

Nah, itulah informasi mengenai Kerajaan Hindu Buddha Tersohor di Indonesia. Sejarah
Nusantara pada era Kerajaan Hindu-Buddha berkembang karena hubungan dagang wilayah
Nusantara dengan negara-negara dari luar, seperti India, Tiongkok, dan wilayah Timur
Tengah. Sejak masuknya agama Hindu dan Buddha, masyarakat prasejarah Nusantara yang
sebelumnya memiliki kepercayaan animisme dan dinamisme beralih memeluk agama Hindu
dan Buddha. 

Anda mungkin juga menyukai