Anda di halaman 1dari 15

•tentang kerajaan bercorak hindu-budha di Indonesia

1. Kerajaan Kutai Martapura

Prasasti Yupa.

Menurut kajian yang dilakukan oleh Muhammad Sarip (2021) dalam bukunya berjudul Kerajaan
Martapura dalam Literasi Sejarah Kutai 400–1635, kerajaan Hindu tertua di Nusantara adalah Martapura
(bukan Martadipura) di Kecamatan Muara Kaman, bukan Kutai Kertanegara (berdiri abad ke-14). Hal itu
didasarkan dari Prasasti Yupa atau monumen batu bertulis yang ditemukan dua tahap, yaitu tahun 1879
dan 1940.

Yupa berjumlah tujuh buah itu mayoritas menceritakan kemakmuran periode Mulawarman. Kini, ketujuh
batu Yupa tersebut berada di Museum Nasional. Adapun kitab klasik berjudul Surat Salasilah Raja dalam
Negeri Kutai Kertanegara setebal 132 halaman dari tahun 1849 adalah sumber autentik untuk penulisan
sejarah Kerajaan Kutai Kertanegara.

Kitab tersebut ditulis oleh Khatib Muhammad Thahir, seorang Banjar yang menjadi juru tulis Kerajaan
Kutai Kertanegara. Kitab ini beraksara Jawi (teksnya menggunakan huruf Arab, sedangkan bahasanya
Melayu). Kitab ini dapat menjadi sumber sejarah dengan menyisihkan bagian dongengnya, meskipun
tergolong susastra yang bercampur dengan mitologi pengagungan. Naskah asli kitab itu saat ini disimpan
di Perpustakaan Negeri Berlin, Jerman.

Temuan tujuh buah Yupa menjadi awal pengungkapan kerajaan tertua Nusantara. Berdasarkan
penjelasan dari Sarip, ada tiga nama tersohor di Kerajaan Kutai Martapura yang disebut di dalam Yupa.
Pertama, Kundungga (bukan Kudungga) yang oleh kaum brahmana Hindu masa itu ditulis sebagai ayah
pendiri kerajaan, bukan raja pertama.

Kedua, Aswawarman putra Kundungga, raja pertama Martapura. Ketiga, Mulawarman putra
Aswawarman, raja termasyhur yang membawa kejayaan Martapura hingga bisa berderma sapi sebanyak
20.000 ekor untuk kaum brahmana. Tidak ada catatan lebih lanjut sosok yang menjadi penerus
Mulawarman.

Namun, Muhammad Fahmi (2016) melalui penelitiannya yang berjudul Kerajaan Kutai Kartanegara ing
Martadipura dan Peran Raja dalam Pengembangan Agama Islam di Kerajaan Kutai Abad ke-17 dan 18
menyebutkan penguasa Kerajaan Kutai Martapura antara lain.

Maharaja Kundungga Anumerta Dewawarman;

Maharaja Aswawarman;

Maharaja Mulawarman;

Maharaja Sri Aswawarman;

Maharaja Marawijayawarman;

Maharaja Gajayanawarman;

Maharaja Tunggawarman;

Maharaja Jayanagawarman;

Maharaja Nalasingawarman;

Maharaja Nala Parana Tungga;

Maharaja Gadinggawarman Dewa;

Maharaja Indrawarman Dewa;

Maharaja Sanggawarman Dewa;

Maharaja Candrawarman;

Maharaja Prabu Mula Tungga Dewa;

Maharaja Nala Indra Dewa;

Maharaja Indra Mulyawarman Dewa;

Maharaja Sri Langka Dewa;

Maharaja Guna Parana Dewa;

Maharaja Wijayawarman;

Maharaja Indra Mulya;

Maharaja Sri Aji Dewa;

Maharaja Mulia Putera;

Maharaja Nala Pandita;

Maharaja Indra Paruta Dewa;

Maharaja Dermasatia.

Selanjutnya, Salasilah Kutai lantas mengungkap proses runtuhnya Kerajaan Martapura dengan raja
terakhirnya, Dermasatia. Sarip membahas di subbab tersendiri mengenai ekspansi yang dilakukan oleh
Kutai Kertanegara tahun 1635 ketika diperintah raja ke-8, Aji Pangeran Sinum Panji Mendapa.

Ringkasnya, terjadi perang selama tujuh hari tujuh malam sampai dua raja berhadapan saling tikam,
yang berujung kematian Dermasatia. Kekalahan Martapura ini menandai keruntuhannya, sekaligus
pencaplokan wilayah oleh Kutai Kertanegara. Sejak itu, kerajaan pemenang melengkapi namanya
menjadi Kutai Kertanegara ing Martapura.

Era Kerajaan Kutai sebenarnya berakhir tahun 1960, tetapi sejak 2001 dihidupkan lagi sebagai bentuk
pelestarian sejarah dan budaya, tanpa adanya wewenang memerintah. Agak berbeda dari sebelumnya,
kerajaan itu bernama Kutai Kartanegara ing Martadipura. Kartanegara dengan “a” bukan “e”,
Martadipura bukan Martapura.

Soal ini, Sarip tidak luput mengulasnya. Perihal Kartanegara, baginya tidak begitu fatal karena
“Kartanegara” dan “Kertanegara” mempunyai arti yang tetap sama. Namun lain halnya dengan
Martadipura, yang tidak bisa dibenarkan karena mengubah nama dengan menyisipkan suku kata yang
tidak perlu.

Nama Martadipura sebagai perubahan dari kata Martapura baru muncul pada 1980-an. Bupati Kutai
periode 1965–1979, Ahmad Dahlan mengungkapkan, idenya berasal dari Drs. Anwar Soetoen, seorang
pejabat Pemerintah Daerah Kabupaten Tingkat II Kutai.

Soetoen berpikiran bahwa antara kata “marta” dan “pura” perlu disisipkan kata depan “di” sebagai
pengganti “ing”. Menurutnya, kata depan “di” memiliki arti yang sama dengan kata “ing” dalam bahasa
Jawa Kawi. Dahlan mengungkap kasus ini dalam bukunya tentang Salasilah Kutai yang terbit tahun 1981.

Sarip di dalam bukunya turut membahas kekeliruan nama Kundungga menjadi Kudungga, yang terlanjur
mengakar selama beberapa tahun terakhir. Tak kalah penting, hasil kerja Sarip memunculkan pertanyaan
mengenai penamaan museum di Tenggarong yang dinamai Mulawarman, bukan Aji Batara Agung Dewa
Sakti sebagai pendiri Kutai Kertanegera, padahal museum ini merupakan bekas istana Kutai Kertanegara,
bukan saksi sejarah Kutai Martapura.
Belum lagi ditambah patung Lembu Suwana yang menyambut para pengunjung museum juga berpotensi
memunculkan anggapan kalau hewan itu tunggangan Raja Mulawaman. Lembu Suwana sebenarnya
adalah hewan mitologis tunggangan Aji Batara Agung Dewa Sakti.

2. Kerajaan Tarumanagara

Tarumanagara atau Kerajaan Taruma merupakan sebuah kerajaan yang pernah berkuasa di wilayah barat
pulau Jawa pada abad ke-5 hingga abad ke-7 M. Tarumanagara merupakan salah satu kerajaan tertua di
Nusantara yang meninggalkan catatan sejarah dan peninggalan artefak di sekitar lokasi kerajaan.
Peninggalan-peninggalan itu memperlihatkan jika Tarumanagara merupakan kerajaan Hindu aliran
Waisnawa.

PlayUnmute

Fullscreen

Kata tarumanagara berasal dari kata taruma dan nagara. Nagara artinya kerajaan atau negara, sedangkan
taruma berasal dari kata “tarum” yang merupakan nama sungai yang membelah Jawa Barat, yaitu Ci
Tarum. Temuan arkeologis yang berada di muara Ci Tarum adalah percandian yang luas, yaitu Percandian
Batujaya dan Percandian Cibuaya, yang diduga merupakan peradaban peninggalan Kerajaan
Tarumanagara.

Prasasti Ciaruteun.

Salah satu prasasti yang dijadikan sebagai sumber sejarah keberadaan Kerajaan Tarumanagara adalah
Prasasti Ciaruteun. Lokasi prasasti tersebut berada di Desa Ciaruteun, Kecamatan Cibungbulang,
Kabupaten Bogor.

Prasasti ini ditemukan di aliran Sungai Ciaruteun, Bogor pada 1863 dan terbagi menjadi dua bagian, yaitu
Prasasti Ciaruteun A yang tertulis dengan aksara Pallawa dan bahasa Sanskerta terdiri atas empat baris
puisi India atau irama anustubh (irama yang ditemukan dalam puisi Veda dan Sanskerta klasik), serta
Prasasti Ciaruteun B yang berisikan goresan telapak kaki dan motif laba-laba yang belum diketahui
maknanya.
Menurut juru kunci Prasasti Ciaruteun, simbol yang terdapat di prasasti tersebut menandakan Raja
Purnawarman yang gagah perkasa dan berkuasa. Prasasti ini memiliki ukuran panjang 2 meter, tinggi 1,5
meter, dan berbobot 8 ton.

Alih aksara dari prasasti ini sebaagai berikut.

Baris pertama: vikkrantasya vanipateh

Baris kedua: srimatah purnnavarmmanah

Baris ketiga: tarumanagarendrasya

Baris keempat: visnor=iva padadvayam ||

Artinya adalah sebagai berikut.

“Inilah sepasang (telapak) kaki, yang seperti (telapak kaki) Dewa Wisnu, ialah telapak kaki Yang Mulia
Purnnawarman, raja di negara Taruma (Tarumanagara), raja yang gagah berani di dunia”.

Berdasarkan pesan yang terdapat di Prasasti Ciaruteun, dapat diketahui bahwa prasasti ini dibuat pada
abad ke-5 dan menginformasikan bahwa saat itu terdapat Kerajaan Tarumanagara, yang dipimpin oleh
Raja Purnawarman yang memuja Dewa Wisnu.

Kerajaan Tarumanagara telah dipengaruhi oleh kebudayaan India, yang dibuktikan dengan nama raja
yang berakhiran -warman dan tapak kaki yang menandakan kuasa pada zamannya. Pada 1863, prasasti
ini sempat hanyut diterjang banjir, sehingga tulisan yang ada menjadi terbalik, kemudian pada 1903
prasasti ini dikembalikan ke tempat semula. Barulah pada 1981, prasasti ini dilindungi.
Sumber berita lain yang membuktikan berdirinya Kerajaan Tarumanagara berasal dari berita Tiongkok,
berupa catatan perjalanan Fa-Hien (penjelajah dari Tiongkok) dalam bentuk buku dengan judul Fa-Kuo-
Chi, yang menyebutkan bahwa pada awal abad ke-5 M banyak orang brahmana dan animisme di Ye-Po-Ti
(sebutan untuk Javadwipa, tetapi ada pendapat lain yang menyatakan jika Ye-Po-Ti adalah Way Seputih
di Lampung).

Pada 414, Fa-Hien datang ke tanah Jawa untuk membuat catatan sejarah Kerajaan To-lo-mo (Kerajaan
Tarumanagara) dan singgah di Ye-Po-Ti selama 5 bulan. Selain itu, berita Dinasti Sui menuliskan bahwa
utusan To-lo-mo telah datang dari sebelah selatan pada 528 dan 535.

Berita Dinasti Tang selanjutnya menuliskan bahwa utusan To-lo-mo telah datang pada 666 dan 669.
Berdasarkan berita-berita tersebut, dapat diketahui bahwa Kerajaan Tarumanagara berkembang antara
tahun 400–600, yang saat itu dipimpin oleh Purnawarman dengan wilayah kekuasaan hampir seluruh
Jawa Barat.

Adapun raja-raja yang pernah memerintah Kerajaan Tarumanagara antara lain:

Jayasingawarman (358–382);

Dharmayawarman (382–395);

Purnawarman (395–434);

Wisnuwarman (434–455);

Indrawarman (455–515);

Candrawarman (515–535);

Suryawarman (535–561);

Kertawarman (561–628);

Sudhawarman (628–639);

Hariwangsawarman (639–640);

Nagajayawarman (640–666);

Linggawarman (666–669).

3. Kerajaan Bedahulu

Pura Samuan Tiga merupakan peninggalan Kerajaan Bedahulu.


Kerajaan Bedahulu atau Kerajaan Pejeng adalah kerajaan kuno di Pulau Bali yang berdiri antara abad ke-8
sampai abad ke-14. Pusat kerajaannya berada di sekitar Pejeng atau Bedulu, Kabupaten Gianyar, Bali.
Pendirinya adalah Sri Kesari Warmadewa dari Dinasti Warmadewa.

Sejak pertama kali didirikan, kerajaan ini diperintah oleh beberapa keluarga raja. Namun, pergantian
antara satu keluarga raja ke keluarga raja lainnya tidak disebutkan dengan jelas dalam prasasti yang
ditinggalkannya. Salah satu raja yang terkenal adalah Raja Udayana dari Dinasti Warmadewa, yang
berkuasa antara 989–1011.

Ketika Dinasti Warmadewa berkuasa, agama pertama yang berkembang di Bali adalah Buddha. Barulah
pada periode selanjutnya rakyat Bali memeluk agama Hindu. Kerajaan ini diketahui pernah dikuasai oleh
Singasari pada abad ke-10 dan Majapahit pada abad ke-14. Ketika Majapahit melakukan ekspansi pada
1347, barulah kerajaan ini akhirnya runtuh.

Beberapa prasasti yang ditinggalkan oleh Kerajaan Bedahulu antara lain:

Prasasti berangka tahun 882 yang berisi tentang pemberian izin kepada para biksu untuk membuat
pertapaan di Bukit Kintamani, tetapi prasastiini tidak menyebutkan nama rajanya;

Prasasti berangka tahun 896 dan 911 yang menyebut istana raja di Singhamandawa. Diperkirakan
Singhamandawa terletak di antara Kintamani (Danau Batur) dan Pantai Sanur (Blanjong), yaitu sekitar
Tampaksiring dan Pejeng;

Prasasti semacam tugu di Desa Blanjong, dekat Sanur yang berangka tahun 914. Prasasti itu menyebut
raja yang memerintah bernama Raja Kesari Warmadewa.

4. Kerajaan Medang

Catatan awal Kerajaan Medang ada dalam prasasti Canggal (732), yang ditemukan di dalam kompleks
Candi Gunung Wukir di Dusun Canggal, barat daya Kabupaten Magelang. Prasasti ini ditulis dalam bahasa
Sanskerta dan menggunakan aksara Pallawa. Isinya menceritakan tentang pendirian Siwalingga (lambang
Siwa) di daerah Kuñjarakuñjadeça (Kunjarakunja), yang terletak di pulau bernama Yawadwipa (Jawa)
yang diberkahi dengan banyak beras dan emas.

Pembentukan lingga berada di bawah perintah Sanjaya. Prasasti ini menceritakan bahwa di Yawadwipa
dahulu diperintah oleh raja Sanna, yang bijaksana, adil dalam tindakannya, perwira dalam peperangan,
bermurah hati kepada rakyatnya. Setelah mangkatnya Sanna negara berkabung, jatuh dalam
perpecahan. Pengganti Sanna adalah putra Sannaha (saudara perempuannya) yang bernama Sanjaya.
Sanjaya menaklukkan daerah-daerah di sekitar kerajaannya dan pemerintahannya yang bijak
memberkati tanahnya dengan kedamaian dan kemakmuran bagi semua rakyatnya.
Kisah Sanna, Sannaha, dan Sanjaya juga dijelaskan dalam Carita Parahyangan, sebuah naskah yang
disusun sekitar akhir abad ke-16. Secara garis besar, kisah dari naskah Carita Parahyangan memiliki
kesamaan tokoh dengan Prasasti Canggal.

Meskipun manuskrip itu tampaknya didramatisasi dan tidak memberikan perincian tertentu tentang
periode tersebut, tetapi nama dan tema cerita yang hampir persis dengan Prasasti Canggal tampaknya
menegaskan bahwa manuskrip tersebut didasarkan atas peristiwa sejarah.

Candi Prambanan.

Periode pemerintahan Rakai Panangkaran ke Dyah Balitung (rentang antara 760–910) yang berlangsung
selama 150 tahun, menjadi penanda puncak kejayaan dari peradaban Jawa kuno. Pada periode ini marak
munculnya seni dan arsitektur Jawa kuno, seperti sejumlah candi dan monumen megah didirikan
membentang cakrawala dataran Kedu dan dataran Kewu. Candi yang paling terkenal adalah Candi Sewu
dan Prambanan.

5. Kerajaan Kalingga

Kerajaan Kalingga atau Kerajaan Ho-ling (menurut sumber-sumber Tiongkok) adalah kerajaan bercorak
Hindu-Buddha yang pertama muncul di pantai utara Jawa Tengah pada abad ke-6 Masehi, bersamaan
dengan Kerajaan Kutai dan Tarumanagara.

Nama Ho-ling diperkirakan muncul pada abad ke-5 (kemudian disebut Keling) yang diperkirakan terletak
di utara Jawa Tengah. Keterangan tentang Kerajaan Ho-ling didapat dari catatan dari Tiongkok. Pada 752,
Kerajaan Ho-ling menjadi wilayah taklukan Kerajaan Sriwijaya dikarenakan kerajaan ini menjadi bagian
jaringan perdagangan, bersama Kerajaan Melayu dan Kerajaan Tarumanagara, yang sebelumnya telah
ditaklukan Sriwijaya. Ketiga kerajaan tersebut menjadi pesaing kuat jaringan perdagangan Sriwijaya.

Nah, itulah informasi mengenai 5 Kerajaan Hindu Tersohor di Indonesia. Sejarah Nusantara pada era
Kerajaan Hindu-Buddha berkembang karena hubungan dagang wilayah Nusantara dengan negara-negara
dari luar, seperti India, Tiongkok, dan wilayah Timur Tengah. Sejak masuknya agama Hindu dan Buddha,
masyarakat prasejarah Nusantara yang sebelumnya memiliki kepercayaan animisme dan dinamisme
beralih memeluk agama Hindu dan Buddha.

•sejarah kerajaan

Sejarah Kerajaan Tarumanegara

Menurut prasasti Kebon Kopi Kerajaan Tarumanegara merupakan kerajaan Hindu yang berdiri pada abad
ke 4 M atau ke 5 M. Letak Kerajaan Tarumanegara adalah di tepi sungai Citarum, Jawa Barat.
Diperkirakan letak dari Kerajaan Tarumanegara adalah di wilayah Bekasi.

Terdapat beberapa versi mengenai pendiri Tarumanegara. Diperkirakan pendiri Tarumanegara adalah
Maharesi Jayasingawarman dari India. Menurut prasasti Ciaruteun, raja pertama sekaligus pendiri dari
Kerajaan Tarumanegara adalah Purnawarman. Disisi lain dari naskah Wangsakerta menyebutkan bahwa
Purnawarman adalah raja ketiga, namun justru temuan ini diragukan kebenarannya. Kedatangan
Jayasingawarman ke Indonesia dikarenakan kekacauan Maharaja Samudragupta.

Menurut prasasti Tugu, wilayah Tarumanegara pada masa pemerintahan Purnawarman meliputi bagian
utara Jawa bagian barat, mulai dari Banten hingga Cirebon. Pada masa pemerintahannya, Purnawarman
melakukan penggalian Sungai Candrabaga (saat ini dianggap sebagai kota Bekasi, Candrabaga menjadi
Bagasasi, menjadi Bekasi) dengan panjang 12 km dan Sungai Gomati yang menjurus ke laut. Selain itu,
Purnawarman juga memberi persembahan kepada Brahmana sebesar 1.000 ekor sapi.

Raja – Raja Kerajaan Tarumanegara

Berikut adalah daftar raja Kerajaan Tarumanegara :

Jayasingawarman (358-382 M)

Dharmayawarman (382-395 M)

Purnawarman (395-434 M)

Wisnuwarman (434-455 M)

Indrawarman (455-515 M)

Candrawarman (515-535 M)

Suryawarman (535-561 M)
Kertawarman (561-628 M)

Sudhawarman (628-639 M)

Hariwangsawarman (639-640 M)

Nagajayawarman (640-666 M)

Linggawarman (666-669 M)

Masa Kejayaan Tarumanegara

Tarumanegara mencapai masa kejayaan pada masa pemerintahan Purnawarman yang dikenal cerdas
dan berwibawa. Pada tahun 397 M, Purnawarman membangun ibu kota kerajaan di sekitar pantai yang
kemudian dianggap sebagai cikal bakal Sunda. Menurut prasasti Tugu, Raja Purnawarman sukses
melakukan penaganan banjir dengan membuat sungai Candrabaga sepanjang 12 km. Selain itu, ia juga
memberikan persembahan berupa pemberian 1000 ekor sapi. Dibawah kepemimpinannya, ia menguasai
48 kerajaan daerah. Wilayah kekuasaannya meliputi Jawa Barat, Mulai Banten, Jakarta, Bogor dan
Cirebon. Kerajaan Tarumanegara juga sudah melakukan hubungan diplomatik dengan Cina.

Keruntuhan Kerajaan Tarumanegara

Kerajaan Tarumanegara mengalami keruntuhan pada abad ke 7 M pada masa kepemimpinan Raja
Linggawarman setelah 3 tahun berkuasa. Tahta secara otomatis menurun ke menantunya, Tarusbawa. .
Berikut adalah faktor utama runtuhnya Tarumanegara :

Serangan Kerajaan Sriwijaya

Berdasarkan prasasti Kota Kapur Kerajaan Sriwijaya mengalami keruntuhan pada tahun 650 M. Kerajaan
Sriwijaya dibawah Dapunta Hyang Sri Jayanasa menyerang Jawa. Hal ini dianggap sebagai salah satu
faktor runtuhnya Kerajaan Tarumanegara dan Kerajaan Ho Ling (Kalingga) pada abad ke 7.

Perpecahan Kerajaan

Berdasarkan naskah Wangsakerta Kerajaan Tarumanegara mengalami perpecahan dikarenakan adanya


pembagian kerajaan dari Linggawarman ke Tarusbawa, menantunya. Hal ini mengakibatkan
Tarumanegara mengalami perpecahan menjadi dua kerajaan yaitu Sunda dan Galuh. Disebutkan
Linggawarman pada tahun 666 memberi amanat kepada kerajaan kecil dibawah Tarumanegara untuk
mewakilinya. Kerajaan Galuh yang berada di dekat Cirebon dibawah kepemimpinan menantunya,
Tarusbawa memilih berpisah dengan Tarumanegara, disisi lain Linggawarman merubah nama kerajaan
menjadi Sunda.

Prasasti Tarumanegara dan Isinya

Prasasti Ciaruteun berisi telapak kaki Purnawarman yang menandakan wilayah kekuasaan Trumanegara
mencakup Sungai Cisadane dan Ciaruteun.
Prasasti Tugu berisi proses penggalian sungai Candrabaga dan Gomati yang berfungsi untuk mengatasi
banjir.

Prasasti Jambu berisi pujian kepada Purnawarman yang dianggap sebagai Dewa Indra.

Prasasti Kebon Kopi berisi bentuk kaki gajah yang dianggap sebagai hewan tunggangan Purnawarman,
gajah tersebut dinamai Airawata seperti gajah perang dewa Indra.

Prasasti Cidanghiyang berisi pujian kepada Purnawarman sebagai raja dari Tarumanegara.

Peninggalan

Candi

Situs Batujaya

Candi Cibuaya

Arca

Arca Rajarsi

Arca Wisnu Cibuaya I

Arca Wisnu Cibuaya II

•perkembangan polotik

Diperintah oleh 12 raja Pendiri Kerajaan Tarumanegara adalah Maharesi Jayasingawarman dari India.
Menurut Naskah Wangsakerta, pada abad ke-4 banyak pengungsi dari India yang datang ke Nusantara
guna menyelamatkan diri karena peperangan besar yang terjadi di sana, salah satunya Jayasingawarman.

Jayasingawarman adalah seorang maharesi atau pemuka agama Hindu yang mempimpin salah satu
rombongan pengungsi ke Nusantara, dan kemudian mendirikan Kerajaan Tarumanegara pada tahun 358.
Kerajaan Tarumanegara berdiri hingga tahun 669. Selama tiga abad berkuasa, kerajaan ini diperintah
oleh 12 raja secara turun-temurun. Berikut daftar raja Kerajaan Tarumanegara.

Jayasingawarman (358-382) Dharmayawarman (382-395) Purnawarman (395-434) Wisnuwarman (434-


455) Indrawarman (455-515) Candrawarman (515-535) Suryawarman (535-561) Kertawarman (561-628)
Sudhawarman (628-639) Hariwangsawarman (639-640) Nagajayawarman (640-666) Linggawarmadewa
(666-669)
Dari prasasti-prasasti peninggalan Tarumanegara, Maharaja Purnawarman dikenal sebagai raja yang
gagah berani, bijaksana, dan sangat memerhatikan kehidupan rakyatnya. Salah satu pencapaiannya
adalah memerintahkan penggalian Sungai Gomati sepanjang 12 kilometer, untuk menghindari bencana
alam seperti banjir ataupun kekeringan pada musim kemarau. Hasilnya, perekonomian kerajaan yang
bertumpu pada kehidupan pertanian menjadi maju. Sistem pemerintahan kerajaan pun sudah teratur
dan Tarumanegara aktif menjalin hubungan diplomatik dengan China.

Pada masa pemerintahan Raja Purnawarman pula, wilayah kerajaan meliputi hampir seluruh Jawa Barat,
di mana 48 kerajaan daerah berada di bawah kekuasaannya. Setelah tiga abad berdiri, Kerajaan
Tarumanegara runtuh pada paruh kedua abad ke-7.

•perkembangan ekonomi

Kehidupan perekonomian yang berkembang di Kerajaan Tarumanegara dapat dianalisis dari isi Prasasti
Tugu.

Kompas.com

Jernih Memilih

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kompas.com Stori

Kehidupan Ekonomi Kerajaan Tarumanegara

Kompas.com, 18 Agustus 2023, 16:00 WIB

Baca di App

Komentar Lihat Foto


KOMPAS.com/FARIDA FARHAN

Kompleks Percandian Batujaya di Kabupaten Karawang yang dipercaya sebagai peninggalan Kerajaan
Tarumanegara.

Kompleks Percandian Batujaya di Kabupaten Karawang yang dipercaya sebagai peninggalan Kerajaan
Tarumanegara.

Penulis: Widya Lestari Ningsih | Editor: Widya Lestari Ningsih

KOMPAS.com - Kerajaan Tarumanegara secara umum dipercaya sebagai kerajaan Hindu pertama di Pulau
Jawa, karena memiliki peninggalan tertulis berupa tujuh prasasti dan sejumlah reruntuhan candi.

Benda-benda peninggalan tersebut, ditambah dengan catatan-catatan asing, dapat mengungkap


kehidupan masyarakat Kerajaan Tarumanegara.

Lantas, apa yang dapat diketahui tentang kehidupan ekonomi di Kerajaan Tarumanegara dari catatan
asing dan prasasti peninggalannya?

Baca juga: Kehidupan Politik Kerajaan Tarumanegara

Kehidupan ekonomi Kerajaan Tarumanegara

Kehidupan perekonomian yang berkembang di Kerajaan Tarumanegara dapat dianalisis dari isi Prasasti
Tugu.

Kehidupan masyarakat Tarumanegara berdasarkan prasasti yang ada diperkirakan tidak lepas dari
kegiatan pertanian dan peternakan.

Prasasti Tugu pun menjadi bukti kuat yang menjelaskan bahwa mata pencarian rakyat di Kerajaan
Tarumanegara dengan bercocok tanam.

Pasalnya, isi prasasti ini menyebutkan usaha pembuatan saluran air pada masa Raja Purnawarman.

Para ahli menyatakan bahwa tidak mustahil kegunaan saluran saat itu sebagai usaha untuk mengatasi
banjir yang selalu melanda daerah pertanian masyarakat Tarumanegara.

Di samping itu, ditemukan pula beberapa alat dari batu yang erat hubungannya dengan usaha pertanian
dan perladangan.
Prasasti Tugu juga mengabarkan tentang penghadiahan seribu ekor sapi kepada para brahmana.

Karena tidak ada bukti pendukung, para ahli mengatakan isi prasasti tersebut belum memberikan
jaminan bahwa masyarakat Tarumanegara sudah melakukan usaha peternakan untuk menopang
kehidupan perekonomiannya. Berita dari zaman Dinasti Tang (618-906) menyebut daerah Holing
(Kerajaan Kalingga) menghasilkan kulit penyu, emas dan perak, cula badak, dan gading gajah.

Disebutkan pula bahwa masyarakatnya pandai membuat minuman keras dari bunga kelapa. Baca juga:
Kerajaan Tarumanegara: Raja-raja, Puncak Kejayaan, dan Peninggalan Kerajaan Kalingga merupakan
kerajaan di pesisir utara Jawa Tengah, yang berdiri hampir bersamaan dengan Kerajaan Tarumanegara.

Oleh karena itu, beberapa ahli menggunakan data tersebut untuk memperkirakan mata pencarian
penduduk Kerajaan Tarumanegara. Apabila barang-barang dagangan dari periode Holing dapat diterima
pula di Kerajaan Tarumanegara, berarti pada masa itu mata pencarian masyarakatnya berkaitan dengan
perburuan, pertambangan, perikanan, dan perniagaan, di samping pertanian dan peternakan. Kegiatan
perburuan dapat ditelusuri dari barang dagangan berupa cula badak dan gading gajah.

Perikanan dapat disimpulkan dari berita yang mengatakan bahwa kulit penyu juga termasuk barang
dagangan yang digemari banyak saudagar China. Sedangkan kegiatan pertambangan dari informasi
bahwa emas dan perak juga diperdagangkan pada saat itu. Baca juga: Peninggalan Kerajaan
Tarumanegara Selain itu, para ahli memperkirakan bahwa para pedagang Tarumanegara sudah
melakukan usaha perniagaan dengan melakukan pelayaran sendiri ke daerah-daerah luar wilayahnya.
Meski tidak ada bukti langsung terkait kegiatan pelayaran, hal itu dirasa mungkin karena letak
Tarumanegara yang cukup strategis, di jalur niaga Nusantar

•perkembangan sosial budaya

1. Adanya Kelas Sosial

Kehidupan sosial dalam kerajaan Tarumanegara ditandai dengan adanya tiga kelas sosial, yaitu
bangsawan, rakyat biasa, dan budak. Bangsawan merupakan golongan tertinggi dalam kerajaan ini dan
memiliki hak istimewa, seperti mendapatkan akses ke pendidikan dan memegang jabatan di
pemerintahan.

Sementara itu, rakyat biasa dan budak tidak memiliki hak istimewa dan harus mengikuti aturan yang
ditetapkan oleh pemerintah.

2. Kaum Brahmana
Kerajaan Tarumanegara merupakan kerajaan kuno yang memiliki corak Hindu. Oleh karena itu kerajaan
sangat memperhatikan kaum Brahmana yang dianggap penting dalam memimpin upacara-upacara ritual
di dalam kerajaan Taruma Negara.

3. Perdagangan yang Aktif

Kerajaan Tarumanegara juga dikenal dengan kegiatan perdagangannya yang sangat aktif. Pada masa itu,
kerajaan ini dikenal sebagai pusat perdagangan rempah-rempah, emas, dan perak.

Namun, ada beberapa sejarawan yang berpendapat bahwa kerajaan Tarumanegara juga terlibat dalam
perdagangan budak.

4. Kepercayaan

Selain itu, ada juga misteri tentang kepercayaan dan agama yang dianut oleh kerajaan Tarumanegara.
Sejarawan masih belum sepenuhnya mengetahui kepercayaan atau agama yang dianut oleh kerajaan ini

Namun, diperkirakan bahwa kepercayaan yang dianut oleh kerajaan Tarumanegara merupakan
kombinasi dari agama Hindu dan Buddha.

5. Pendidikan dan Peradaban

Meski dapat dikatakan sebagai salah satu kerajaan tertua di Nusantara. Dengan ditemukannnya berbagai
prasasti seperti prasasti Ciaruteun, prasasti Kebon Kopi, prasasti Muara Cianten dan lainnya,
membuktikan pendidikan dan peradaban kerajaan Tarumanegara sudah berkembang dengan baik.

Kerajaan Tarumanegara akhirnya runtuh pada abad ke-7 Masehi akibat serangan dari Kerajaan Sriwijaya.
Setelah itu, kerajaan ini pecah menjadi dua bagian yakni menjadi Kerajaan Sunda dan Kerajaan Galuh.

Anda mungkin juga menyukai