Anda di halaman 1dari 6

KERAJAAN BUDHA DI INDONESIA

1. Kerajaan Kalingga (594 – 782 M)

Kerajaan Kalingga merupakan kerajaan Hindu yang terletak di Jawa Tengah. Pusat Kerajaan
Kalingga berada di wilayah Kabupaten Jepara. Kerajaan ini terkenal dipimpin oleh ratu yang
bijaksana, yaitu Ratu Shima.Saat masa kepemimpinan Ratu Shima, ada sebuah peraturan yang
terkenal, barang siapa yang mencuri maka akan dipotong tangannya.
2. Kerajaan Sriwijaya (671 – 1377 M)

Kerajaan Sriwijaya merupakan kerajaan yang berada di Pulau Sumatera, tepatnya di Sumatera
Selatan. Sriwijaya merupakan sebuah kerajaan maritim yang berada di Sumatra, tetapi
kekuasaannya mencapai Jawa, Kalimantan, Sulawesi, Semenanjung Malaya, Thailand, Kamboja
dan lainnya. Sriwijaya berasal dari bahasa Sanskerta, sri yang berarti “bercahaya” dan vijaya
yang berarti “kemenangan”.
Salah satu peninggalan dari Kerajaan Sriwijaya adalah Candi Muara Takus dan dianggap telah
ada pada zaman keemasan Sriwijaya. Sebagai kerajaan Buddha, Sriwijaya merupakan rumah
bagi sarjana Buddha dan menjadi pusat pembelajaran agama Buddha.
Perkembangan agama Buddha di masa Sriwijaya terjadi secara pesat. Menurut laporan I-tsing,
agama Buddha memiliki 2 aliran, yaitu Theravada (kadang disebut Hinayana) dan Mahayana.
Buddhisme di Sriwijaya selanjutnya mendapat pengaruh dari aliran Vajrayana dari India.
Pesatnya perkembangan agama Buddha di Sriwijaya juga didukung oleh seorang Mahaguru
Buddhis di Sriwijaya, yaitu Sakyakirti. Selain Mahaguru Buddhis, Sriwjaya juga memiliki
perguruan Buddha yang berhubungan baik dengan Universitas Nalanda, India. Dalam catatan I-
tsing ada lebih dari 1.000 pendeta yang belajar Buddhisme di Sriwijaya.
Namun, kerajaan besar ini runtuh. Berikut beberapa penyebab runtuhnya Kerajaan Sriwijaya,
antara lain:
1. Serangan dari Dinasti Chola dari Koromandel, India Selatan (1017 dan 1025). Serangan ini
berhasil menawan raja Sriwijaya dan kemudian Dinasti Chola menjadi berkuasa atas Kerajaan
Sriwijaya.
2. Munculnya Kerajaan Melayu, Dharmasraya yang mengambil alih Semenanjung Malaya dan
juga menekan keberadaan Sriwijaya.
3. Perang dengan kerajaan lain seperti Singasari, Majapahit, serta Dharmasraya. Selain sebagai
penyebab runtuhnya Sriwijaya, perang ini juga menyebabkan banyak peninggalan Sriwijaya
yang rusak atau hilang, sehingga keberadaannya sempat terlupakan selama beberapa abad.

3. Kerajaan Mataram Kuno (Medang) (752 – 1045 M)

Kerajaan Mataram Kuno (Medang) merupakan kerajaan yang berlokasi di pedalaman Jawa
Tengah, di sekitar daerah yang banyak dialiri sungai. Daerah yang dimaksud belum jelas,
kemungkinan besar di daerah Kedu sampai sekitar Prambanan (berdasarkan letak prasasti yang
ditemukan). Berdasarkan Prasasti Canggal, Kerajaan Medang didirikan oleh Sanjaya, keturunan
dari Kerajaan Kalingga dan Kerajaan Galuh.
Masyarakat Mataram Kuno terbilang maju dalam hal budaya, terbukti dengan banyaknya
bangunan candi yang dibuat. Dua candi besar dibangun pada masa pemerintahan Kerajaan
Mataram Kuno ini, yaitu Candi Borobudur dan Candi Prambanan. Candi Borobudur yang dibuat
pada masa pemerintahan Samaratungga dari dinasti Syailendra yang bercorak Budha. Lalu,
Candi Prambanan yang dibangun pada masa pemerintahan Rakai Pikatan dan selesai pada masa
pemerintahan Daksa dari Dinasti Sanjaya yang bercorak Hindu.
Agama resmi Kerajaan Medang pada masa pemerintahan Sanjaya adalah Hindu aliran Siwa.
Ketika wangsa Syailendra berkuasa, agama resmi kerajaan berganti menjadi Budha aliran
Mahayana.
4. Kerajaan Kadiri (1045 – 1222 M)

Berdasarkan Prasasti Turun Hyang II (1044) yang dikeluarkan oleh Kerajaan Janggala, kerajaan ini
dimulai dengan adanya perang saudara antara kedua putra Airlangga. Pada akhir November 1042,
Airlangga terpaksa membelah wilayah kerajaannya karena kedua putranya bersaing memperebutkan
takhta. Putra yang bernama Sri Samarawijaya mendapatkan kerajaan barat bernama Panjalu dan pusatnya
di kota baru, yaitu Daha. Adapun putranya yang bernama Mapanji Garasakan mendapatkan kerajaan
timur bernama Janggala dan pusatnya di kota lama, yaitu Kahuripan.
Nama Panjalu atau Pangjalu adalah nama lain dari Kadiri. Nama ini lebih sering dipakai daripada nama
Kadiri. Hal ini dapat dijumpai dalam prasasti-prasasti yang diterbitkan oleh raja-raja Kadiri. Nama
Panjalu juga dikenal sebagai Pu-chia-lung dalam kronik Tiongkok berjudul Ling wai tai ta (1178). Nama
“Kediri” atau “Kadiri” sendiri berasal dari kata bahasa Sansekerta, khadri, yang berarti pacé atau Morinda
citrifolia (mengkudu).
Ketika diperintah oleh Sri Jayabhaya, Panjalu mengalami masa kejayaannya. Wilayah kerajaan ini
meliputi seluruh Jawa dan beberapa pulau di Nusantara, bahkan sampai mengalahkan pengaruh Kerajaan
Sriwijaya.
Jayabhaya juga dipercaya menulis ramalan dalam tradisi Jawa yang dikenal dengan Jangka Jayabaya atau
Ramalan Jayabaya. Ramalan ini dikenal di kalangan masyarakat Jawa dan dilestarikan secara turun-
temurun oleh para pujangga.
Asal usul utama Serat Ramalan Jayabaya dapat dilihat di Kitab Musasar yang digubah oleh Sunan Giri
Prapen. Sekalipun banyak keraguan keasliannya, tetapi bait pertama kitab tersebut yang menuliskan
bahwa Jayabaya yang membuat ramalan-ramalan tersebut.
5. Kerajaan Singhasari (1222 – 1292 M)

Berdasarkan Prasasti Kudadu, nama resmi Kerajaan Singhasari adalah Kerajaan Tumapel. Menurut
Nagarakretagama, ibu kota Kerajaan Tumapel bernama Kutaraja ketika pertama kali didirikan tahun
1222.
Pada 1253, Raja Wisnuwardhana awalnya mengangkat putranya yang bernama Kertanagara sebagai
yuwaraja (putra mahkota) dan mengganti nama ibu kota kerajaan menjadi Singhasari. Nama Singhasari
yang merupakan nama ibu kota kemudian justru lebih terkenal daripada nama Tumapel.
Inilah yang membuat Kerajaan Tumapel pun terkenal pula dengan nama Kerajaan Singhasari. Nama
Tumapel juga muncul dalam kronik Tiongkok dari Dinasti Yuan dengan ejaan Tu-ma-pan.
Berdasarkan keterangan di Pararaton, Tumapel awalnya hanya sebuah daerah bawahan Kerajaan Panjalu.
Adapun yang menjabat sebagai akuwu (setara camat) Tumapel saat itu adalah Tunggul Ametung. Dia
mati dibunuh dengan cara tipu muslihat oleh pengawalnya sendiri yang bernama Ken Arok, yang
kemudian menjadi akuwu baru. Ken Arok juga yang mengawini istri Tunggul Ametung yang bernama
Ken Dedes. Ken Arok kemudian berniat melepaskan Tumapel dari kekuasaan Kerajaan Kadiri.
Pada 1254, terjadi perseteruan antara Kertajaya, raja Kerajaan Kadiri, dengan kaum brahmana. Para
brahmana lalu menggabungkan diri dengan Ken Arok yang mengangkat dirinya menjadi raja pertama
Tumapel dengan gelar Sri Rajasa Sang Amurwabhumi. Perang melawan Kerajaan Kadiri meletus di Desa
Ganter yang dimenangkan oleh pihak Tumapel.
Nagarakretagama juga menyebut tahun yang sama untuk pendirian Kerajaan Tumapel, tetapi tidak
menyebutkan adanya nama Ken Arok. Dalam naskah itu, pendiri kerajaan Tumapel bernama Ranggah
Rajasa Sang Girinathaputra yang berhasil mengalahkan Kertajaya raja Kerajaan Kadiri.
Prasasti Mula Malurung atas nama Kertanagara tahun 1255 kemudian menyebutkan jika pendiri Kerajaan
Tumapel adalah Bhatara Siwa. Nama ini kemungkinan adalah gelar anumerta dari Ranggah Rajasa,
karena dalam Nagarakretagama arwah pendiri Kerajaan Tumapel tersebut dipuja sebagai Siwa.
Selain itu, Pararaton juga menyebutkan bahwa, Ken Arok lebih dulu menggunakan julukan Bhatara Siwa
sebelum maju dalam perang melawan Kerajaan Kadiri.
6. Kerajaan Dharmasraya (1183 – 1347 M)

Kemunduran Kerajaan Sriwijaya akibat serangan Rajendra Chola I, telah mengakhiri kekuasaan Wangsa
Sailendra atas Pulau Sumatra dan Semenanjung Malaya. Beberapa waktu kemudian, muncul sebuah
dinasti baru yang mengambil alih peran Wangsa Sailendra, yaitu Wangsa Mauli.
Prasasti tertua yang pernah ditemukan atas nama raja Mauli adalah Prasasti Grahi tahun 1183 di selatan
Thailand. Prasasti itu berisi perintah Maharaja Srimat Trailokyaraja Maulibhusana Warmadewa kepada
Bupati Grahi yang bernama Mahasenapati Galanai supaya membuat arca Buddha seberat 1 bhara 2 tula
dengan nilai emas 10 tamlin. Sosok yang mengerjakan tugas membuat arca tersebut bernama Mraten Sri
Nano.
Prasasti kedua berselang lebih dari satu abad kemudian, yaitu Prasasti Padang Roco tahun 1286. Prasasti
ini menyebut Raja Swarnabhumi bernama Maharaja Srimat Tribhuwanaraja Mauli Warmadewa yang
mendapat kiriman hadiah Arca Amoghapasa dari Raja Kertanagara, raja Singasari di Pulau Jawa. Arca
tersebut kemudian diletakkan di Dharmasraya.
Dharmasraya dalam Pararaton merupakan ibu kota dari negeri bhūmi mālayu. Dengan demikian,
Tribhuwanaraja dapat pula disebut sebagai raja Malayu. Tribhuwanaraja sendiri kemungkinan besar
adalah keturunan dari Trailokyaraja. Oleh karena itu, Trailokyaraja pun bisa juga dianggap sebagai raja
Malayu, meskipun Prasasti Grahi tidak menyebutnya dengan jelas.
Berdasarkan Kidung Panji Wijayakrama dan Pararaton, disebutkan bahwa Kertanagara mengirimkan
utusan dari Jawa ke Sumatra pada 1275 yang dikenal dengan nama Ekspedisi Pamalayu. Ekspedisi ini
dipimpin oleh Mahisa Anabrang atau Kebo Anabrang.
Kertanagara pada 1286 kemudian kembali mengirimkan utusan untuk mengantarkan Arca Amoghapasa,
yang kemudian dipahatkan di Prasasti Padang Roco. Tim ekspedisi tersebut kembali ke Pulau Jawa pada
1293 dengan membawa dua orang putri dari Kerajaan Melayu yang bernama Dara Petak dan Dara Jingga.
Dara Petak kemudian dinikahi oleh Raden Wijaya, yang telah menjadi raja Majapahit dan menggantikan
Singasari. Melalui pernikahan ini, lahirlah Jayanagara, raja kedua Majapahit. Adapun Dara Jingga
dinikahi oleh sira alaki dewa (orang yang bergelar dewa) dan kemudian melahirkan Tuan Janaka atau
Mantrolot Warmadewa yang identik dengan Adityawarman. Kelak, Adityawarman menjadi Tuan
Surawasa (Suruaso) berdasarkan Prasasti Batusangkar yang berada di pedalaman Minangkabau.
7. Kerajaan Majapahit (1293 – 1500 M)

Majapahit adalah sebuah kerajaan kuno di Indonesia yang pernah berdiri dari sekitar tahun 1293 hingga
1500 M. Kerajaan ini mencapai puncak kejayaan pada masa kekuasaan Hayam Wuruk yang berkuasa dari
tahun 1350 hingga 1389. Kerajaan Majapahit adalah kerajaan Hindu-Buddha terakhir yang menguasai
Semenanjung Malaya dan dianggap sebagai salah satu dari negara terbesar dalam sejarah Indonesia.
Majapahit banyak meninggalkan tempat-tempat suci, sisa-sisa sarana ritual keagamaan masa itu.
Bangunan-bangunan suci ini dikenal dengan nama candi, pemandian suci (pertirtan) dan gua-gua
pertapaan. Bangunan-bangunan yang ditinggalkan tersebut kebanyakan beraliran agama Siwa dan sedikit
yang bersifat agama Buddha, yaitu lain Candi Jago, Bhayalangu, Sanggrahan, dan Jabung. Peninggalan
lain dari kerajaan ini adalah Kakawin Nagarakretagama, Arjunawijaya, dan Sutasoma.
Candi Jabung merupakan salah satu peninggalan Kerajaan Majapahit.
Berdasarkan sumber tertulis, raja-raja Majapahit umumnya beragama Siwa dari aliran Siwasiddhanta,
kecuali Tribuwanattungadewi (ibunda Hayam Wuruk) yang beragama Buddha Mahayana. Namun
demikian, agama Siwa dan agama Buddha tetap menjadi agama resmi kerajaan hingga akhir tahun 1447.
Pada masa pemerintahan Raden Wijaya (Kertarajasa), terdapat dua pejabat resmi keagamaan tinggi Siwa
dan Buddha, yaitu Dharmadyaksa ring Kasiwan dan Dharmadyaksa ring Kasogatan, kemudian lima
pejabat Siwa di bawahnya yang disebut Dharmapapati atau Dharmadihikarana.
Pada zaman Majapahit, ada dua buku yang menguraikan ajaran Buddhisme Mahayana, yaitu Sanghyang
Kamahayanan Mantrayana yang berisi mengenai ajaran yang ditujukan kepada biksu yang sedang
ditahbiskan, serta Sanghyang Kamahayanikan yang berisi mengenai kumpulan pengajaran bagi seseorang
untuk dapat mencapai pelepasan.
KERAJAAN HINDU DI INDONESIA

Anda mungkin juga menyukai