Anda di halaman 1dari 5

Kerajaan Melayu

A. Lokasi dan sumber sejarah

Kerajaan Melayu adalah kerajaan bercorak Buddha yang terletak di Sumatra. Lokasinya
dekat Selat Malaka, yaitu sekitar Jambi (Chan-Pei), persisnya di tepi kiri-kanan Sungai
Batanghari. Hal ini dibuktikan dengan banyaknya temuan berupa candi dan area di tempat ini.

Lokasinya strategis: pelabuhan perdagangan yang menghubungkan India dan Tiongkok.


Selat Malaka memang merupakan jalur perdagangan yang ramai. Umumnya kapal-kapal dagang
berlabuh untuk membongkar, memuat barang dagangan (terutama lada), serta menambah
perbekalan.

Sumber sejarah Kerajaan Melayu berasal dari Tiongkok dan kitab Nagarakertagama.
Kitab Nagarakertagama pada pupuh XII bait 1 menyebutkan nama-nama negeri yang berada hal
perlindungan Majapahit, salah satunya Kerajaan Melayu. Berita dalam sejarah Dinasti Tang
(618-906 M), misalnya, mencatat tentang datangnya utusan dan Mo-lo-yeu pada tahun 644 M
dalam rangka hubungan dagang dengan membawa hasil bumi sebagai perkenalan. Disebutkan
juga berdirinya beberapa kerajaan lain di Sumatra, Seorang pendeta Buddha bernama I-Tsing
pada tahun 671 M melakukan perjalanan dari Kanton (Tiongkok) ke India. Dalam perjalanan, ia
singgah di Sriwijaya untuk mempelajari bahasa Sanskerta. Pada tahun 685 M, I-Tsing kembali
lagi ke Sriwijaya dan menerjemahkan beberapa kitab suci agama Buddha dari bahasa Sanskerta
ke dalam bahasa Tiongkok. I-Tsing tinggal selama empat tahun lamanya di Sriwijaya. Saat
kembali lagi ke Sriwijaya tahun 692 M, Kerajaan Melayu tidak ada lagi karena telah ditaklukkan
Sriwijaya (sekitar tahun 692 M).

Berita lain mengenai Kerajaan Melayu berasal dari T'ang-Hui-Yao yang disusun oleh
Wang p'u pada tahun 961, Kerajaan Melayu mengirimkan utusan ke Tiongkok pada tahun 645
untuk pertama kalinya. Namun, setelah munculnya Sriwijaya sekitar 670, Kerajaan Melayu tidak
ada lagi mengirimkan utusan ke Tiongkok.
B. Kondisi sosial-politik kerajaan

Penduduk Kerajaan Melayu sebagian besar memeluk agama Buddha. Seorang pendeta
Buddha bernama Dharmapala pernah didatangkan secara khusus dari India untuk mengajarkan
agama ini. Sekitar tahun 692 M, kerajaan ini ditaklukkan Sriwijaya Sampai abad XII, tidak ada
lagi keterangan sedikit pun tentang kerajaan ini (Melayu).

Sekitar tahun 1275, kerajaan ini pulih kembali (pusatnya di Dharmasraya) dengan
menguasai Sriwijaya serta perdagangan di Selat Malaka. Menurut kitab Nagarakertagama, Raja
Kertanagara dari Singasari melancarkan Ekspedisi Pamalayu yang diikuti pengiriman Arca
Amoghapasa pada tahun 1286 sebagai hadiah kepada Maharaja Melayu Srimat Tribhuwanaraja
Mauli Warmadewa. Ekspedisi Pamalayu dimaksudkan untuk menjalin persahabatan serta
menggalang kekuatan militer bersama untuk membendung kemungkinan serangan dan bangsa
Mongol (di bawah Kubilai Khan).

Kerajaan Melayu mencapai puncak perkembangan pada masa pemerintahan


Adityawarman, putra bangsawan Majapahit dari ibu seorang putri Melayu bernama Dara Jingga
(putri dari Maharaja Melayu Mauli Marwadewa). Wilayah kekuasaannya mencakup seluruh
pantai timur Sumatra. Hingga tahun 1347 M, Adityawarman memperluas wilayah kerajaannya
sampai Pagaruyung, Sumatra Barat.

C. Runtuhnya Kerajaan Melayu

Dalam Prasasti Kedukan Bukit tahun 683 tertulis perjalanan Dapunta Hyang membawa
20.000 orang prajurit meninggalkan Minanga Tamwan dengan perasaan suka cita penuh
kemenangan. Yamin berpendapat bahwa prasasti ini merupakan piagam proklamasi berdirinya
Kerajaan Sriwijaya di bawah pimpinan Dapunta Hyang. Pendapat Yamin ini belakangan
bertentangan dengan catatan I Tsing yang menyatakan bahwa pada tahun 671 Kerajaan Sriwijaya
sudah ada. Dikisahkan, bahwa I Tsing mendapat bantuan dari raja Shih-li-fo-shih sehingga dapat
memasuki pelabuhan Malayu dalam perjalanan menuju India.

Selanjutnya Slamet Mulyana yang telah mengidentifikasi Minanga Tamwan sebagai ibu
kota Kerajaan Malayu berpendapat bahwa, prasasti Kedukan Bukit merupakan piagam
penaklukan Malayu oleh Sriwijaya. Naskah prasasti tersebut menunjukkan bahwa dengan
kekuatan 20.000 prajurit, Dapunta Hyang berhasil menguasai Minanga Tamwan, dan
meninggalkan kota itu dalam suka cita. Jadi menurutnya, penaklukan Malayu oleh Sriwijaya
terjadi pada tahun 683.

Pendapat ini sesuai dengan catatan I Tsing bahwa, pada saat berangkat menuju India
tahun 671, Mo-lo-yeu masih menjadi kerajaan merdeka, sedangkan ketika kembali tahun 685,
negeri itu telah dikuasai oleh Sriwijaya. Kerajaan Malayu dengan pelabuhan Melayunya
merupakan penguasa lalu lintas selat malaka saat itu. Dengan direbutnya Minanga Tamwan yang
sebagai Ibukota Kerajaan Melayu itu, maka dengan sendirinya pelabuhan Malayu pun jatuh ke
tangan Kerajaan Sriwijaya. Maka sejak tahun 683, Kerajaan Sriwijaya tumbuh menjadi penguasa
lalu lintas dan perdagangan Selat Malaka menggantikan peran dan kejayaan Kerajaan Malayu.

D. Raja-raja Kerajaan Melayu

1. Srimat Trailokyaraja Maulibhusana Warmadewa (1183). Sumber: Prasasti Grahi tahun 1183 di
selatan Thailand, perintah kepada bupati Grahi yang bernama Mahasenapati Galanai supaya
membuat arca Buddha seberat 1 bhara 2 tula dengan nilai emas 10 tamlin. Ibukota Kerajaan
Melayu pada saat itu, yaitu di Dharmasraya.

2. Srimat Tribhuwanaraja Mauli Warmadewa (1286). Prasasti Padang Roco tahun 1286 di
Siguntur, pengiriman Arca Amonghapasa sebagai hadiah Raja Singhasari kepada Raja
Dharmasraya. Ibukota Kerajaan Melayu pada saat itu, yaitu di Dharmasraya.

3. Akarendrawarman (1300). Sumber: Prasasti Suruaso. Ibukota Kerajaan Melayu pada saat itu,
yaitu di Dharmasraya atau Suruaso.

4. Adityawarman (1347). Merupakan raja terkenal dari Kerajaan Melayu. Sumber: Arca
Amoghapasa. Ibukota Kerajaan Melayu pada saat itu, yaitu di Suruaso atau Pagarruyung.

5. Ananggawarman (1375). Sumber: Prasasti Pagaruyung. Ibukota Kerajaan Melayu pada saat
itu, yaitu di Pagaruyung.
E. Peninggalan Kerajaan Melayu

1. Prasasti Masjusri

Prasasti Masjusri Pada prasasti di atas arca Manjusri dari candi Jago disebutkan bahwa
pada tahun 1343, Adityawarman bersama-sama dengan Gajah mada menaklukkan Bali.

2. Prasasti Amoghapasa

Prasasti Amoghapasa adalah pemberian dari Kertanagara raja Singhasari kepada


Tribhuwanaraja raja Melayu di Dharmasraya pada tahun 1208 Saka atau 1286 Masehi. Prasasti
Amoghapasa menyebutkan bahwa sekitar abad ke 13 Dharmasraya berada di dalam kekuasaan
Kerajaan Melayu. Sebagian besar isinya merupakan kata pujian kepada Adityawarman.

3. Prasasti Padang Roco

Prasasti Padang Roco adalah sebuah prasasti yang ditemukan di kompleks percandian
Padangroco, Nagari Siguntur, Kecamatan Sitiung, Kabupaten Dharmasraya, Sumatera Barat.
Prasasti ini dipahatkan 4 baris tulisan dengan aksara Jawa Kuna, dan memakai dua bahasa
(Melayu Kuna dan Sansekerta). Prasasti ini menceritakan penundukan Kerajaan Melayu oleh
Sriwijaya.

4. Kitab Negara Kertagama dan Pararaton

Negara Kertagama dan Pararaton memberitakan bahwa pada tahun 1275 masa
pemerintahan Sri Kertanegara dikirim ekspedisi dari Singosari ke Swarnabumi yang disebut
Pamalayu. Dalam Kertagama Pupuh XLI/5 diuraikan dengan jelas tentang pengiriman tentara
Singosari ke Melayu itu. Untuk menghadapi perluasan kekuasaan bangsa Mongol, sebagai
persahabatan, maka raja Kertanegara mengirimkan sebuah arca Amoghapasa yang merupakan
hadiah dari raja Kertanegara untuk Sri Maharaja Mauliwarmadewa. Patung ini ditempatkan di
tempat suci Dharmasraya.

5. Prasasti Kedukan Bukit

Sekitar pertengahan abad kesebelas, serangan dahsyat yang dilakukan Rajendra


Choladewa membuat Kerajaan Sriwijaya menjadi lemah. Pada saat itulah, Kerajaan Melayu
mengambil kesempatan untuk bangkit. Berdasarkan Prasasti Kedukan Bukit yang ditemukan
oleh seorang pegawai pemerintah Hindia Belanda bernama M. Batenburg pada tahun 1920
menyebutkan bahwa, Kerajaan Melayu berhasil bebas dari kekuasaan Kerajaan Sriwijaya.

Anda mungkin juga menyukai