Anda di halaman 1dari 14

A.

KONDISI GEOGRAFIS KERAJAAN SRIWIJAYA

Enam buah prasasti yang ditemukan di beberapa tempat banyak bercerita tentang awal
mula Kerajaan Sriwijaya di masa lampau. Prasasti-prasasti tersebut umumnya menggunakan
huruf Pallawa, sedangkan bahasa yang digunakan adalah bahasa asli Indonesia, yaitu bahasa
Melayu kuno. Enam buah prasasti dan beberapa prasasti dari abad ke VII dan ke VIII sebagai
pelengkap, menceritakan usaha-usaha Sriwijaya memperluas kekuasaannya.
Pada awalnya Sriwijaya berpusat di Sumatera Tengah. Dari daerah sekitar Jambi itu,
Sriwijaya mulai melebarkan sayapnya ke arah timur. Sesudah itu perluasan wilayah ditujukan ke
arah selatan, yakni ke daerah-daerah sekitar pulau Bangka dan Lampung Selatan. Selain itu,
Sriwijaya juga melebarkan sayapnya ke pulau Jawa. Jawa merupakan saingan utama Sriwijaya
dalam pelayaran dan perdagangan luar negeri jalur Indonesia Cina - India.
Prasasti Kedukan Bukit yang berangka tahun 605 Saka (683 M) (di wilayah Palembang)
menceritakan bahwa seorang raja Sriwijaya bernama Dapunta Hyang telah mengadakan
perjalanan suci itu disebut-sebut sebagai siddhayatra. Perjalanan ini bermaksud untuk
menaklukkan beberapa daerah agar tunduk pada Sriwijaya. Berkat perjalanan suci yang tidak sia-
sia ini, kelak akan membawa kemakmuran bagi Sriwijaya.
Kata Sriwijaya dijumpai pertama kali di dalam prasasti Kota Kapur dari pulau Bangka.
Berdasarkan telaah prasasti kota ini H. Kern pada tahun 1913, mengidentifikasikan kata
Sriwijaya tadi sebagai nama seorang raja.
Lima tahun kemudian, yaitu tahun 1918, G. Coeds dengan menggunakan sumber-
sumber prasasti dan berita Cina berhasil menjelaskan bahwa kata Sriwijaya yang terdapat dalam
prasasti Kota Kapur adalah nama sebuah kerajaan di Sumatera Selatan dengan pusatnya di
Palembang. Di dalam berita Cina, kerajaan ini dikenal dengan She-li-fo-she. Pendapat bahwa
She-li-fo-she adalah sebuah kerajaan di pantai timur Sumatera Selatan, di tepi sungai Musi, dekat
Palembang, juga pernah dikemukakan oleh Samuel Beal pada tahun 1884. Hanya di saat itu
orang belum mengenal nama Sriwijaya.
Banyak versi yang menyebutkan mengenai keberadaan ibu kota Sriwijaya. Ada yang
mengatakan di Jambi, ada pula yang mengatakan di Palembang. Namun di sini yang paling
banyak memiliki bukti sebagai Ibu Kota Sriwijaya atau pusat pemerintahan adalah Palembang.
Dari berita i-tssing, di sini beliau pernah melakukan perjalanan bersama Wu-hing dari Fo-shih
ke India melalui pelabuhan Melayu, maka letak Fo-shih harus di sebelah tenggara pelabuhan
Melayu, karena tidak mungkin ada di sebelah baratnya. Satu-satunya pelabuhan di sebelah
tenggara Jambi adalah muara sungai Musi. Demikianlah, Fo-shis harus terletak di muara sungai
Musi. Nama Palembang pada zaman I-tsing belum terkenal.
Kemudian mengenai letak Sriwijaya diberitakan oleh I-tsing dengan panjang bayang-
bayang orang yang berdiri di bawah matahari. Katanya di negeri Shih-li-fo-shih, kita lihat
bahwa bayang-bayang di Walcakra tidak menjadi panjang ataupun menjadi pendek pada
pertengahan bulan ke delapan. Pada tengah hari tak tampak bayang-bayang orang berdiri di
bawah matahari. Lain halnya kalau musim semi. Matahari tepat di atas kepala dua kali satu
tahun. Kalau matahari di sebelah selatan, bayang-bayang membujur ke utara, panjangnya kurang
lebih dua atau tiga kaki. Kalau matahari di sebelah utara, bayang-bayangnya sama, tapi jatuh
keselatan. Dari berita itu dapat ditarik kesimpulan bahwa Shih-li-fo-shih terletak di sebelah
garis khatulistiwa.
Dari situ dapat disimpulkan bahwa Sriwijaya terletak di tepi sungai, di sebelah tenggara
(timur) pelabuhan Melayu (Jambi), di sekitar garis khatulistiwa. Satu-satunya tempat yang
memenuhi syarat tersebut adalah muara sungai Musi di daerah Palembang. Bukti lain adalah di
temukanya arca Budha Mahayana dan Hinayana di Palembang sebagai pusat kerajaan Sriwijaya.
Bukti lainnya adalah Prasasti Kedukan Bukit merupakan prasasti tertua yang berangka
tahun yang ditemukan di Indonesia. Bahkan dalam prasasti ini terdapat tiga pertanggalan dalam
satu angka tahun 682 M. Prasasti ini dikenal juga dengan nama Prasasti Sriwijaya I. dari ketiga
pertanggalan ini, diketahui ada tenggang waktu antara satu peristiwa dengan peristiwa lain.
Antara Dapunta Hiyana mengambil Siddhayatra dan merayakan hari Waisak dengan Dapunta
Hiyan bertolak dari Minana, ada tenggang waktu 26 hari. Tenggang waktu yang lain adalah
antara tanggal 19 Mei 682 M dan tanggal 16 Juni 682 M selama 28 hari. Selama itu, Dapunta
Hiyan dan pasukannya melakukan perjalanan darat dan air sambil menaklukkan daerah-daerah
yang dilaluinya.
Berdasarkan pembacaan dan tempat ditemukan Prasasti Kedukan Bukit, Boechari
(dalam Utomo, 2006:140) menduga bahwa wanua (perkampungan) Sriwijaya terletak di kota
Palembang sekarang. Secara garis besar Prasasti Kedukan Bukit yang ditulis pada tanggal 16
Juni 682 M berisi tentang keberhasilan perjalanan Dapunta Hiyan
Prasasti lain yang menguatkan dugaan bahwa Palembang merupakan kota Sriwijaya
adalah Prasasti Talang Tuo dan Prasasti Telaga Batu. Prasasti Talang Tuo berisi tentang
pembangunan Taman Sriksetra atas perintah Dapunta Hiyan Sri Jayanasa pada tanggal 23 Maret
684 M. Logikanya, taman yang dibangun oleh Dapunta Hiyan itu adalah taman kerajaan dan
seharusnya ditempatkan dekat pusat kadatuannya. Secara fungsional, taman mempunyai
hubungan dengan keraton, dalam pengertian sebagai kelengkapan suatu keraton.
Prasasti Telaga Batu, seperti halnya prasasti-prasasti lain yang ditemukan di luar
Palembang, adalah prasasti persumpahan. Kalau di dalam prasasti yang ditemukan di luar
Palembang isinya hanya persumpahan, tanpa menyebutkan pejabat-pejabat dan pegawai
kadatuan, maka di dalam Prasasti Telaga Batu disebutkan nama-nama jabatan dan pegawai
pemerintah dalam struktur birokrasi Kadatuan Sriwijaya. Pejabat-pejabat dan pegawai inilah
yang disumpah oleh Datu Sriwijaya dengan tujuan agar tidak melakukan pemberontakan. Sudah
sepantasnya prasasti ini ditempatkan di pusat pemerintahan, karena di pusat itulah tinggal para
pejabat dan pegawai kadatuan.

B. KEHIDUPAN POLITIK (PUNCAK KEJAYAAN- KERUNTUHAN)

Kerajaan Sriwijaya mencapai puncak kejayaan pada abad ke-7 dan ke-8. Raja yang
terbesar pada masa Sriwijaya adalah Balaputradewa. Sejak pemerintahan Darmasetu Sriwijaya
membangun kerajaan menjadi besar. Dengan armada lautnya yang kuat Sriwijaya menguasai
jalur perdagangan. Hal ini dikarenakan letaknya strategis, Sriwijaya menguasai selat Malaka,
Sunda, Semenanjung Malaka dan tanah genting sebagai pusat perdagangan, melimpahnya hasil
bumi Sriwijaya (rempah-rempah dan emas). Kejayaan Sriwijaya terlihat pada bidang kehidupan
politik kerajaan Sriwijaya dapat ditinjau dari raja-raja yang memerintah, wilayah kekuasaan, dan
hubungannya dengan pihak luar negeri.
1. Kehidupan Politik
a. Raja yang memerintah (yang terkenal)
1) Dapunta Hyang Sri Jayanasa
Beliau merupakan pendiri kerajaan Sriwijaya. Pada masa pemerintahannya, ia berhasil
memperluas wilayah kekuasaan sampai wilayah Jambi dengan menduduki daerah
Minangatamwan yang terletak di dekat jalur perhubungan pelayaran perdagangan di Selat
Malaka. Sejak awal ia telah mencita-citakan agar Sriwijaya menjadi kerajaan maritim.
2) Balaputera Dewa
Awalnya, Balaputra Dewa adalah raja di Kerajaan Syailendra. Ketika terjadi perang
saudara antara Balaputra Dewa dan Pramodhawardani (kakaknya) yang dibantu oleh Rakai
Pikatan (Dinasti Sanjaya), Balaputra Dewa mengalami kekalahan. Akibatnya ia lari ke Kerajaan
Sriwijaya, dimana Raja Dharma Setru (kakak dari ibu Raja Balaputra Dewa) tengah berkuasa.
Karena ia tak mempunyai keturunan, ia mengangkat Balaputradewa sebagi raja.
Masa pemerintahan Balaputradewa diperkirakan dimulai pada tahun 850 M. Sriwijaya
mengalami perkembangan pesat dengan meingkatkan kegiatan pelayaran dan perdagangan
rakyat. Pada masa pemerintahannya pula, Sriwijaya mengadakan hubungan dengan Kerajaan
Chola dan Benggala (Nalanda) dalam bidang pengembangan agama Buddha, bahkan menjadi
pusat penyebaran agama Buddha di Asia Tenggara.
3) Sri SanggaramaWijayatunggawarman
Pada masa pemerintahannya, Sriwijaya dikhianati dan diserang oleh kerajaan Chola.
Sang raja ditawan dan baru dilepaskan pada masa pemerintahan Raja Kulottungga I di Chola
(Prasetyo, 2009: 102).
b. Wilayah kekuasaan
Setelah berhasil menguasai Palembang, ibu kota Kerajaan Sriwijaya dipindahakan dari
Muara Takus ke Palembang. Dari Palembang, Kerajaan Sriwijaya dengan mudah dapat
menguasai daerah-daerah di sekitarnya seperti Pulau Bangka yang terletak di pertemuan jalan
perdagangan internasional, Jambi Hulu yang terletak di tepi Sungai Batanghari dan mungkin
juga Jawa Barat (Tarumanegara). Maka dalam abad ke-7 M, Kerajaan Sriwijaya telah berhasil
menguasai kunci-kunci jalan perdagangan yang penting seperti Selat Sunda, Selat Bangka, Selat
Malaka, dan Laut Jawa bagian barat.
Pada abad ke-8 M, perluasan Kerajaan Sriwijaya ditujukan ke arah utara, yaitu
menduduki Semenanjung Malaya dan Tanah Genting Kra. Pendudukan terhadap daerah
Semenanjung Malaya bertujuan untuk menguasai daerah penghasil lada dan timah. Sedangkan
pendudukan terhadap daerah Tanah Genting Kra bertujuan untuk menguasai lintas jalur
perdagangan antara Cina dan India. Tanah Genting Kra sering dipergunakan oleh para pedagang
untuk menyeberang dari perairan Lautan Hindia ke Laut Cina Selatan, untuk menghindari
persinggahan di pusat Kerajaan Sriwijaya.
Daerah lain yang menjadi kekuasaan Sriwijaya diantaranyaTulang-Bawang yang terletak
di daerah Lampung dan daerah Kedah yang terletak di pantai barat Semenanjung Melayu untuk
mengembangkan usaha perdagagan dengan India. Selain itu, diketahui pula berdasarkan berita
dari China, Sriwijaya menggusur kerajaan Kaling agar dapat mengusai pantai utara Jawa karena
merupakan jalur perdagangan yang penting.
Pada akhir abad ke-8 M, Kerajaan Sriwijaya telah berhasil menguasai seluruh jalur
perdagangan di Asia Tenggara, baik yang melalui Selat Malaka, Selat Karimata, dan Tanah
Genting Kra.
Dengan kekuasaan wilayah itu, Kerajaan Sriwijaya menjadi kerajaan laut terbesar di
seluruh Asia Tenggara.
c. Hubungan dengan luar negeri
Kerajaan Sriwijaya menjalin hubungan baik dengan kerajaan-kerajaan di luar wilayah
Indonesia, terutama dengan kerajaan-kerajaan yang berada di India, seperti Kerajaan
Pala/Nalanda di Benggala. Raja Nalanda, Dewapala Dewa menghadiahi sebidang tanah untuk
pembuatan asrama bagi pelajar dari nusantara yang ingin menjadi dharma yang dibiayai oleh
Balaputradewa.
d. Masa Keruntuhan Kerajaan Sriwijaya
Pada abad ke-11 M sampai abad ke-13, ibukota Sriwijaya berpindah dari Palembang ke
Jambi. Sumber-sumber sejarah menyebutkan dalam bad ke-14, Sriwijaya sudah tidak disebutkan
lagi, kecuali Malayu sebagi tempat bertahannya kebudayaan Hindu (Hall dalam Hamid, 2013:
63). Kerajaan Sriwijaya mengalami keruntuhan disebabkan oleh beberapa Faktor.
a. Penyerangan Kerajaan Cola
Penyerangan Kerajaan Cla pada tahun 1025 Masehi. Prasasti Rjendracla dari Tajore
(1030/1031 Masehi) menyebutkan:
"(Rjendra) setelah mengirim banyak kapal ditengah laut
bergelombang dan setelah menawan Sagramavijayottugavarman,
Raja Kadaram, bersama dengan gajah-gajah dalam pasukannya yang
perkasa (mengambil) tumpukan besar harta benda berharga, yang
telah dikumpulkan secara benar (oleh raja itu) dicekam oleh bunyi
ribut Vidhyadharatorana di pintu gerbang ibukotanya yang luas,
rwijaya, dengan pintu gerbang kecil bertatahkan permata sangat
indah, dan pintu gerbang besar penuh permata; Pannai dengan air di
kolam mandi; Malaiyur dengan bukit yang kuat dengan bentengnya;
Mayirudingam yang dikelilingi laut dalam seperti oleh parit;
Ilangkasokam yang sangat berani dalam peperangan yang kejam;
Mappapalam penuh dengan air sebagai pertahanannya;
Mevilimbangan dijaga oleh tembok-tembok yang indah; Valaippanduru
.....; Talaittakkolam .....; Tamralingga yang mampu untuk
melakukan tindakan kuat dalam peperangan yang berbahaya;
Ilamuridesam kekuatannya yang dahsyat; Manakkavaram....; dan Kadaram
yang kekuatannya dahsyat, yang dilindungi oleh lautan
dalam"
Di antara tempat-tempat yang disebutkan, yaitu Sriwijaya, Pannai, Malaiyur dan
Ilamuridesam, berada di wilayah Sumatera. Sriwijaya adalah Kadatuan Sriwijaya yang lokasinya
di Palembang (di sekitar Sungai Musi), Pannai adalah Kerajaan Pannai yang lokasinya ada di
wilayah Sumatera Utara (di sekitar Sungai Barumun, Batang Pane, dan Sungai Sirumambe),
Malaiyur adalah Kerajaan Mlayu yang lokasinya di wilayah Jambi dan Sumatera Barat (di
sekitar Batanghari), dan Ilamuridesam adalah Kerajaan Lamuri di Aceh. Beberapa pakar
beranggapan bahwa raja-raja Cla sering menjalin kerjasama dengan para saudagar Tamil yang
telah mulai masuk ke daerah Asia Tenggara dan Tiongkok. Akibat dari kerjasama ini para
penguasa Cla bertindak sebagai pelindung dari para saudagar Tamil ini. Oleh sebab itu,
mengapa Rajendracla memerintahkan pasukannya untuk menyerang daerah-daerah tersebut,
diduga karena alasan ekonomi. Mungkin pajak acu-tunt-yam yang ditarik dari para nahkoda
kapal dan kvi dipakai sebagai upeti dengan imbalan keamanan para saudagar selama di laut.
Dengan membayar pajak/upeti ini Rjendracla berkewajiban melindungi para saudagar/pelaut
Tamil, kapal dan muatannya yang beroperasi di sepanjang jalur perdagangan/pelayaran.
Seperti telah diketahui, wilayah Selat Melaka dikuasai oleh Sriwijaya. Setiap kapal niaga
yang melalui selat tersebut harus membayar cukai kepada penguasa selat yang pada masa itu
adalah Sriwijaya. Dalam kasusnya dengan Kerajaan Cla, rwijaya mungkin mengutip cukai
terlampau tinggi terhadap saudagar Tamil yang melewati Selat Melaka. Akibatnya, Kerajaan
Cla yang melindungi para saudagar Tamil ini mengambil tindakan dengan menyerang
Sriwijaya. Setelah serangan tahun 1025 tersebut, Sriwijaya tidak lagi menguasai Selat Melaka
seperti pada tahun-tahun sebelumnya. Selain menyerang Sriwijaya, Kerajaan Cla juga
menyerang beberapa kerajaan lain di sekitar selat dan juga di kawasan Asia Tenggara (Budi U,
2008: 118). Akibatnya, ibukota Sriwijaya dipindahkan ke Jambi. Sejak saat itulah pengruh Cola
di Selat Malaka cukup kuat sampai lima puluh tahun berikutnya dalam abad ke-11 (Dick Read
dalam Hamid, 2013: 64).
b. Perkembangan Politik di Jawa
Perdagangan yang semula berada di bawah pengawasan Sriwijaya, perlahan menjadi
pudar. Peluang itu diambil alih oleh sebuah kerajaan di Jawa Timur, yaitu Majapahit. Selain
mengontrol lalu lintas perdagangan di Laut Jawa, hegemoni Majapahit juga mencakup kawasan
Semenanjung Melayu yang semula merupakan wilayah kekuasaan Sriwijaya. Dengan demikian,
penguasaan atas laut dan perdagangan merupakan aspek penting yang mempengaruhi
kelangsungan imperium laut awal Nusantara, Sriwijaya. Runtuhnya Sriwijaya menandai babak
akhir imperium matritim Melayu (Hamid, 2013: 65). Dalam kakawin Nagarakertagama
disebutkan beberapa negara yang berada di bawah pengaruh Majapahit. Hampir seluruh daerah
dan kerajaan di Sumatera berada di bawah pengaruh Majapahit, lebih lagi Kerajaan Mlayu pada
masa pemerintahan dityawarmman (sekitar pertengahan hingga akhir abad ke-14 Masehi).
Pada waktu itu nama dan eksistensi Kerajaan Sriwijaya sudah tidak terdengar lagi (Budi U,
2008: 119).
c. Pendangkalan sungai Musi dan menjauhnya garis pantai
Sebab yang satu juga merupakan factor kuat runtuhnya Sriwijaya. Penjelasannya seperti
yang dipaparkan Daljoeni berikut ini. Daerah Sumatera ini merupakan daerah yang curah
hujannya melebihi penguapannya. Hal ini mengakibatkan derasnya hujan membuat air meresap
terlalu dalam hingga tidak dapat dijangkau oleh akar tumbuhan sekaligus melarutkan bahan-
bahan kesuburan tanah. Akibatnya tanahnya tandus, yang kemudian oleh Soebantardjo disebut
pemiskinan tanah secara kimiawi. Selain itu, sebagian air hujan yang tidak ikut meresap ke
dalam tanah tetapi mengalir di atas permukaan tanah yang kemudian masuk ke sungai-sungai.
Topsoil berisi humus menjadi hanyut sehingga daerah tersebut tidak subur. Bagian yang kedua
ini disebut pencucian tanah secara fisis dan menurut Soebantardjo pencucian inilah yang terjadi
pada wilayah pusat kerajaan Sriwijaya.
Peristiwa alam ini seolah menjadi vonis bahwa Sriwijaya tidak bisa berkutik lagi.
Sriwijaya juga bukan Negara agraris yang memiliki pasokan makanan sendiri. Seperti yamg
diketahui ketahui bahwa untuk memenuhi kebutuhan beras, kerajaan ini mengimpor dari
pedalaman dan Jawa. Dengan demikian posisi Sriwijaya semakin tidak menentu. Belum lagi
Sriwijaya harus menghadapi serangan dari kerajaan lain.
Ada pula sebab lain yakni masih berkaitan dengan air, terjadinya pendangkalan sungai
Musi dan menjauhnya garis pantai yang berakibat tertutupnya akses pelayaran ke Palembang.
Hal ini tentunya sangat merugikan perdagangan kerajaan. Komoditas berharga dan sumber
pangan yang semula datang dengan mudah menjadi terhambat dan berhenti.

C. KEHIDUPAN EKONOMI

Pada mulanya penduduk Sriwijaya hidup dengan bertani. Akan tetapi karena
Sriwijaya terletak di tepi Sungai Musi dekat pantai, maka perdagangan menjadi cepat
berkembang.

Perdagangan kemudian menjadi mata pencaharian pokok. Perkembangan perdagangan


didukung oleh keadaan dan letak Sriwijaya yang strategis. Sriwijaya terletak di
persimpangan jalan perdagangan internasional.

Para pedagang Cina yang akan ke India singgah dahulu di Sriwijaya, begitu juga para
pedagang dan India yang akan ke Cina. Di Sriwijaya para pedagang melakukan bongkarmuat
barang dagangan. Dengan demikian, Sriwijaya semakin ramai dan berkembang menjadi pusat
perdagangan.

Sriwijaya mulai menguasai perdagangan nasional maupun internasional di kawasan perairan


Asia Tenggara. Perairan di Laut Natuna, Selat Malaka, Selat Sunda, dan Laut Jawa berada di
bawah kekuasaan Sriwijaya.

Tampilnya Sriwijaya sebagai pusat perdagangan, memberikan kemakmuran bagi rakyat dan
negara Sriwijaya. Kapal-kapal yang singgah dan melakukan bongkarmuat, harus
membayar pajak. Dalam kegiatan perdagangan, Sriwijaya mengekspor gading, kulit, dan
beberapa jenis binatang liar, sedangkan barang impornya antara lain beras, rempah-rempah,
kayu manis, kemenyan, emas, gading, dan binatang.
Perkembangan tersebut telah memperkuat kedudukan Sriwijaya sebagai kerajaan maritim.
Kerajaan maritim adalah kerajaan yang mengandalkan perekonomiannya dari kegiatan
perdagangan dan hasil-hasil laut. Untuk memperkuat kedudukannya, Sriwijaya membentuk
armada angkatan laut yang kuat.

Melalui armada angkatan laut yang kuat Sriwijaya mampu mengawasi perairan di Nusantara.
Hal ini sekaligus merupakan jaminan keamanan bagi para pedagang yang ingin berdagang
dan berlayar di wilayah perairan Sriwijaya.

D. KEHIDUPAN AGAMA

Kehidupan agama masyarakat Sriwijaya dipengaruhi oleh datangnya pedagang India.


Pertama adalah agama Hindu, kemudian agama Buddha. Agama Buddha diperkenalkan di
Sriwijaya pada tahun 425 Masehi. I Tsing melaporkan bahwa Sriwijaya menjadi rumah bagi
sarjana Buddha sehingga menjadi pusat pembelajaran agama Buddha, khususnya aliran
Mahayana. Selain itu ajaran Buddha aliran Buddha Hinayana juga turut berkembang di
Sriwijaya. Nama Dharmapala dan Sakyakirti pun tak asing lagi. Dharmapala adalah seorang guru
besar agama Budha dari Kerajaan Sriwijaya. Ia pernah mengajar agama Budha di Perguruan
Tinggi Nalanda (Benggala). Sedangkan Sakyakirti adalah guru besar juga. Ia mengarang buku
Hastadandasastra (Muljana: 2008: 36).
Sangat dimungkinkan bahwa Sriwijaya yang termahsyur sebagai bandar pusat
perdagangan di Asia Tenggara, tentunya menarik minat para pedagang dan ulama muslim dari
Timur Tengah. Sehingga beberapa kerajaan yang semula merupakan bagian dari Sriwijaya,
kemudian tumbuh menjadi cikal-bakal kerajaan-kerajaan Islam di Sumatera kelak, disaat
melemahnya pengaruh Sriwijaya.
Bukti-bukti kebenaran adanya kerajaan Sriwijaya salah satunya ditemukan prasasti-
prasasti. Pertama, prasasti Kedukan Bukit (682 M). Prasasti ini ditemukan di kedukan bukit di
tepi Sungai Tatang dekat Palembang. Isinya menceritakan bahwa pada tahun 682 M ada seorang
yang bernama Dapunta Hiyang mengadakan perjanjian suci dengan membawa 20.000 tentara,
berangkat dari Minanggatamwan dengan naik perahu sedangkan sebagian tentara lewat jalan
darat. Datang di Melayu dan akhirnya kota Sriwijaya. Kedua, Prasasti Talang Tuo (684 M)
Prasasti ini ditemukan di Talang Tuo dekat Palembang. Isinya menyebutkan bahwa atas perintah
Dapunta Hiyang telah dibuat taman yang disebut Sriksetra untuk kemakmuran semua makhluk.
Disamping itu juga ada doa-doa yang bersifat Budha Mahayana. Ketiga, Prasasti Palas Pasemah,
prasasti ini ditemukan di Lampung selatan. Isinya menebutkan bahwa daerah Lampung selatan
saat ini sudah di duduki Sriwijaya. Keempat, Prasasti Kota Kapur, prasasti ini di temukan di
Bangka. Isinya yaitu tentang permohonan kepada dewa agar menjaga keamanan dan keselamatan
bagi kerajaan Sriwijaya. Dalam parasasti ini juga dijelaskan bahwa keras memperluas
kekuasaanya. Kelima, prasasti Rajendra Cola. Prasasti ini menceritakan masa keruntuhan
Sriwijaya. Prasasti ini ada di India bagian selatan. Keenam, Prasasti Karang Berahi, prasasti ini
ditemukan di Jambi. Isinya hampir sama dengan Prasasti Kota Kapur.
E.Kehidupan Sosial- Budaya
Letaknya yang strategis, membuat perkembangan perdagangan internasional di Sriwijaya
sangat baik. Dengan banyaknya pedagang yang singgah di Sriwijaya memungkinkan
masyarakatnya berkomunikasi dengan mereka, sehingga dapat mengembangkan kemampuan
berkomunikasi masyarakat Sriwijaya. Kemungkinan bahasa Melayu Kuno telah digunakan
sebagai bahasa pengantar terutama dengan para pedagang dari Jawa Barat, Bangka, Jambi dan
Semenanjung Malaysia. Perdagangan internasional ini juga membuat kecenderungan masyarakat
menjadi terbuka akan berbagai pengaruh dan budaya asing, salah satunya India.
Budaya India yang masuk berupa penggunaan nama-nama khas India, adat istiadat, dan
juga agama Hindu-Buddha. I-tsing menerangkan bahwa banyak pendeta yang datang ke
Sriwijaya untuk belajar bahasa Sanskerta dan menyalin kitab kitab suci agama Buddha. Guru
besar yang sangat terkenal di massa itu adalah Sakyakirti yang mengarang buku
Hastadandasastra (Kurnia&Irfan, 1983: 96).

Peninggalan kerajaan Sriwijaya

Peninggalan kerajaan Sriwijaya ditemukan tidak hanya di Indonesia, di beberapa negara di luar
Indonesia pun peninggalan kerajaan Sriwijaya ditemukan pula misalnya di Malaysia dan India,
berikut adalah peninggalan-peninggalan kerajaan Sriwijaya di Indonesia dan di luar Indonesia.
A. Ditemukan di Indonesia

1. Prasasti Kedukan Bukit

Ditemukan di dekat Kota Palembang dan berangka tahun 683 Masehi. Berisi cerita tentang Raja
Sriwijaya (Dapunta Hyang) yang mengadakan perjalanan suci dari Minanga Tamwan untuk
mendapatkan Siddhayatra dan keberhasilnya memakmurkan Kerajaan Srwijaya.

2. Prasasti Talang Tuo

Ditemukan di sebelah barat Kota Palembang dan berangka tahun 684 Masehi. Prasasti ini
menceritakan pembuatan Taman Srikseta oleh Raja Dapunta Hyang untuk kemamkmuran rakyat.

3. Prasasti Telaga Batu

Ditemukan di dekat Kota Palembang dan tidak berangka tahun. Prasasti ini menceritakan tentang
kutukan-kutukan terhadap siapa pun yang melakukan kejahatan dan yang tidak taat terhadap raja.

4. Prasasti Karang Berahi

Ditemukan di Karang Berahi (Provinsi Jambi) dan berangka tahun 868 Masehi. Prasasti ini
menceritakan tentang permintaan kepada dewa untuk menghukum setiap orang yang orang
melakukan kejahatan terhadap Kerajaan Sriwijaya.

5. Prasasti Kota Kapur

Ditemukan di Kota Kapur (Pulau Bangka) dan berangka tahun 686 Masehi. Prasasti ini
menceritakan tentang usaha Kerajaan Sriwijaya dalam menundukkan Pulau Jawa, yaitu Kerajaan
Tarumanegara yang dianggap tidak setia kepada Kerajaan Sriwijaya.

6. Prasasti Palas Pasemah

Ditemukan di Palas Pasemah (Provinsi Lampung) dan tidak berangka tahun. Prasasti ini
mencertitakan bahwa daerah Lampung Selatan telah diduduki oleh Kerajaan Sriwijaya pada
akhir abad ke-7 Masehi.
7. Prasasti Bukit Siguntang

Bukit Siguntang berada di Kota Palembang merupakan komplek pemakaman raja-raja Kerajaan
Sriwijaya. Ditemukan peninggalan Kerajaan Sriwijaya dalam bentuk arca Budha Sakyamurni
yang mengunakan jubah dan Prasasti Bukit Siguntang berisikan tentang peperangan yang banyak
merenggut nyawa.

8. Prasasti Amoghapasha
Ditemukan di provinsi Jambi dan berangka tahun 1286 M. Isi dari prasasti ini menyebutkan
bahwa raja. Kertanegara telah menghadiahkan arca amogapasha pada raja Suwarnabhumi yang
bernama Tribhuwanaraja Mauliwarmadewa. Raja dan rakyatnya sangat gembira.

9. Candi Muara Takus

Candi Muara Takus terletak di desa Muara Takus, Kecamatan Tigabelas Koto Kampar,
Kabupaten Kampar, Propinsi Riau. Jaraknya dari Pekanbaru, Ibukota Propinsi Riau, sekitar 128
Km. Kompleks Candi Muara Takus merupakan satu-satunya peninggalan sejarah yang berbentuk
candi di Provinsi Riau. Candi ini bernuansa Buddhistis. Hal tersebut merupakan petunjuk bahwa
agama Budha pernah berkembang di kawasan ini.

B. Ditemukan di Luar Indonesia

1. Prasasti Ligor

Ditemukan di Tanah Genting (Thailand) dan berangka tahun 775 Masehi. Prasasti ini terdiri dari
dua bagian, yaitu bagian depan dan bagian belakang. Bagian depan bersisi tentang bangunan
Trisamaya Caiya (bangunan suci yang terbuat dari batu bata untuk Budha), Awalokiteswara, dan
Wajrapani. Bagian belakang berisi tentang Raja Wisnu dan keluarga Sri Maharaja Syailendra.

2. Prasasti Katon
Ditemukan di Kanton (China) dan berangka tahun 1079 Masehi. Berisi tentang bantuan Raja
Sriwijaya dalam memperbaiki sebuh kuil agama Thao di Kanton.
3. Prasasti Nalanda,

Ditemukan di Benggala (India) dan berangka tahun 860 Masehi. Prasasti ini menyebutkan bahwa
Raja Balaputradewa yang membangun tempat tinggal untuk para pelajar dan sebuah biara di
Benggala.

4. Piagam Leiden

Ditemukan di India dan berangka tahun 1006 M. Prasasti ini dikeluarkan oleh raja kerajaan Cola
yang bernama Rajakesariwarman yang dikenal dengan Raja raja I. Isinya menyebutkan bahwa
pada tahun 1006 M, Marawijayatunggawarman meresmikan wihara di India yang diberi nama
Cudamaniwarmavihara atas ijin dari Rajakesariwarman, raja-raja I dari Cola.

5.Prasasti Srilanka
Diperkirakan dibuat pada abad XII. Dalam prasasti ini menyebutkan bahwa Suryanaraya dari
wangsa Malayupura dinobatkan sebagai maharaja di Suwarnapura. Pangeran Suryanarayana
menundukkan Manabhramana.

6.Prasasti Grahi
Berangka tahun 1183 M dan menyebutkan nama seorang raja Srimat Trilokyaraja
Maulibhusanawarmadewa memerintahkan mahasenapati Jalanai yang memerintah Grahi untuk
membuat arca Budha.

7.Prasasti Chaiya
Ditemukan di Candra Bhanu (Malaysia Barat) dan berangka tahun 1230 M. Menyebutkan
tentang raja Tambralingga, Candra Bhanu, Sri Dharmaraja menyamakan diri dengan raja Asoka,
jasa-jasanya terhadap umat manusia disamakan dengan bulan dan matahari.

8.Prasasti Tanjore
Ditemukan di India dan berangka tahun 1030 M. Dibuat oleh raja Cola yang bernama
Rajendracoladewa. Disebutkan bahwa pada tahun 1017 M pasukannya menyerang kerajaan
Swarnabhumi (Sumatera). Serangan itu diulang kembali pada tahun 1025, rajanya yang bernama
Sanggramawijayatunggawarman berhasil ditawan oleh pasukan Cola, tetapi akhirnya
Sanggramawijaya dilepaskan.

Anda mungkin juga menyukai