Anda di halaman 1dari 15

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Wilayah Indonesia terdiri dari pulau besar dan kecil yang dihubungkan oleh selat
dan laut, hal ini menyebabkan sarana pelayaran merupakan lalu lintas utama
penghubung antar pulau. Pelayaran ini dilakukan dalam rangka mendorong
aktivitas perdagangan. Pelayaran perdagangan yang dilakukan oleh bangsa
Indonesia, bukan hanya dalam wilayah Indonesia saja, tetapi telah jauh sampai ke
luar wilayah Indonesia.

Pelayaran dan perdagangan di Asia semakin ramai setelah ditemukan jalan


melalui laut antara Romawi dan China. Rute jalur laut yang dilalui dalam
hubungan dagang China dengan Romawi telah mendorong munculnya hubungan
dagang pada daerah-daerah yang dilalui, termasuk wilayah Indonesia. Karena
posisi Indonesia yang strategis di tengah-tengah jalur hubungan dagang China
dengan Romawi, maka terjadilah hubungan dagang antara Indonesia dan China
beserta India.

Melalui hubungan itu juga, berkembang kebudayaan-kebudayaan yang dibawa


oleh para pedagang di Indonesia. Dalam perkembangan hubungan perdagangan
antara Indonesia dan India, lambat laun agama Hindu dan Budha masuk dan
tersebar di Indonesia serta dianut oleh raja-raja dan para bangsawan. Dari
lingkungan raja dan bangsawan itulah agama Hindu-Budha tersebar ke lingkungan
rakyat biasa.

Agama Hindu-Budha diperkirakan masuk ke Indonesia pada awal Tarikh Masehi,


dibawa oleh para musafir dari India. Raja-raja dan para bangsawan yang pertama
kali menganut agama ini kemudian membangun kerajaan-kerajaan yang bercorak
Hindu-Budha seperti Kerajaan Kutai yang terletak di Kalimantan Timur, Kerajaan
Tarumanegara di Jawa Barat, Kerajaan Holing, Kerajaan Melayu di Sumatra
Selatan dan berpusat di Jambi, Kerajaan Sriwijaya, Kerajaan Mataram Kuno,
BAB II

PEMBAHASAN

1. Historiografi

Nama Kerajaan : Sriwijaya

Ibukota : Palembang

Bahasa : Melayu Kuno, Sansekerta

Agama : Budha, Hindu

Pemerintahan : Monarki

Sejarah : 1. Didirikan pada tahun 600-an M

2. Invasi Majapahit tahun 1300-an M

Mata Uang : Koin emas dan perak

Lokasi Kerajaan

Sriwijaya merupakan salah satu kerajaan besar yang pernah membawa kejayaan
kepulauan Nusantara di masa lampau. Bukan saja dikenal di wilayah Indonesia,
tetapi hampir setiap bangsa yang berada jauh di luar Indonesia mengenal Kerajaan
Sriwijaya. Hal ini disebabkan karena letak Sriwijaya yang sangat strategis dan
dekat dengan jalur perdagangan antar bangsa yakni Selat Malaka. Selat Malaka
pada masa itu adalah jalur perdagangan ramai yang menghubungkan pedagang-
pedagang Cina dengan India maupun Romawi.

Report this ad

George Coedes, seorang sejarawan, menulis karangan berjudul Le Royaume de


Crivijaya pada tahun 1918 M. Coedes kemudian menetapkan bahwa Sriwijaya
adalah nama sebuah kerajaan di Sumatera Selatan. Lebih lanjut, Coedes juga
menetapkan bahwa letak ibukota Sriwijaya adalah Palembang, dengan bersandar
pada anggapan Groeneveldt dalam karangannya, Notes on the Malay Archipelago
and Malacca, Compiled from Chinese Source, yang menyatakan bahwa, San-fo-
ts‘I adalah Palembang yang terletak di Sumatera Selatan, yaitu tepatnya di tepi
Sungai Musi atau sekitar kota Palembang sekarang.

Dari tepian Sungai Musi di Sumatera Selatan, pengaruh Kerajaan Sriwijaya


semakin meluas. Mencakup wilayah Selat Malaka, Selat Sunda, Selat Bangka,
Laut Jawa bagian barat, Bangka, Jambi Hulu, Jawa Barat (Tarumanegara),
Semenanjung Malaya hingga ke Tanah Genting Kra.

Sumber Sejarah

Sumber-sumber sejarah yang mendukung keberadaan Kerajaan Sriwijaya berasal


dari berita asing dan prasasti-prasasti.

Sumber dari Luar Negeri

1. Sumber Cina

Kunjungan I-sting, seorang peziarah Budha dari China pertama kali pada tahun
671 M. Dalam catatannya disebutkan bahwa saat itu terdapat lebih dari seribu
orang pendeta Budha di Sriwijaya. Aturan dan upacara para pendeta Budha
tersebut sama dengan aturan dan upacara yang dilakukan oleh para pendeta Budha
di pusat ajaran agama Budha, India. I-tsing tinggal selama 6 bulan di Sriwijaya
untuk belajar bahasa Sansekerta, setelah itu ia berangkat ke Nalanda, India.
Setelah lama belajar di Nalanda, tahun 685 I-tsing kembali ke Sriwijaya dan
tinggal selama beberapa tahun untuk menerjemahkan teks-teks Budha dari bahasa
Sansekerta ke bahasa Cina. Catatan Cina yang lain menyebutkan tentang utusan
Sriwijaya yang datang secara rutin ke Cina, yang terakhir pada tahun 988 M.

2. Sumber Arab

Orang-orang Arab sering menyebut Sriwijaya dengan nama Sribuza, Sabay atau
Zabaq. Mas‘udi, seorang sejarawan Arab klasik menulis catatan tentang Sriwijaya
pada tahun 955 M. Dalam catatan itu, digambarkan Sriwijaya merupakan sebuah
kerajaan besar, dengan tentara yang sangat banyak. Hasil bumi Sriwijaya adalah
kapur barus, kayu gaharu, cengkeh, kayu cendana, pala, kardamunggu, gambir
dan beberapa hasil bumi lainya. Bukti lain yang mendukung adalah ditemukannya
perkampungan-perkampungan Arab sebagai tempat tinggal sementara di pusat
Kerajaan Sriwijaya.

3. Sumber India

Report this ad

Kerajaan Sriwijaya pernah menjalin hubungan dengan raja-raja dari kerajaan-


kerajaan di India seperti Kerajaan Nalanda dan Kerajaan Chola. Dengan Kerajaan
Nalanda disebutkan bahwa Raja Sriwijaya mendirikan sebuah prasasti yang
dikenal dengan nama Prasasti Nalanda. Dalam prasasti tersebut dinyatakan bahwa
Raja Nalanda yang bernama Raja Dewa Paladewa berkenan membebaskan 5 desa
dari pajak. Sebagai gantinya, kelima desa tersebut wajib membiayai para
mahasiswa dari Kerajaan Sriwijaya yang menuntut ilmu di Kerajaan Nalanda. Di
samping menjalin hubungan dengan Kerajaan Nalanda, Kerajaan Sriwijaya juga
menjalin hubungan dengan Kerajaan Chola (Cholamandala) yang terletak di India
Selatan. Hubungan ini menjadi retak setelah Raja Rajendra Chola ingin menguasai
Selat Malaka.

4. Sumber lain

Pada tahun 1886, Beal mengemukakan pendapatnya bahwa Shih-li-fo-shih


merupakan suatu daerah yang terletak di tepi Sungai Musi. Sumber lain, yakni
Kern, pada tahun 1913 M telah menerbitkan tulisan mengenai Prasasti Kota
Kapur, prasasti peninggalan Sriwijaya yang ditemukan di Pulau Bangka. Namun,
saat itu, Kern menganggap Sriwijaya yang tercantum pada prasasti itu adalah
nama seorang raja, karena Cri biasanya digunakan sebagai sebutan atau gelar raja.
Sumber Lokal atau Dalam Negeri

Sumber dalam negeri berasal dari prasasti-prasasti yang dibuat oleh raja-raja dari
Kerajaan Sriwijaya. Prasasti-prasasti dari Kerajaan Sriwijaya sebagian besar
menggunakan huruf Pallawa dan bahasa Melayu Kuno. Prasasti itu antara lain
sebagai berikut.

1. Prasasti Kota Kapur

Prasasti ini merupakan yang paling tua, bertarikh 682 M, menceritakan tentang
kisah perjalanan suci Dapunta Hyang dari Minana dengan perahu, bersama dua
laksa (20.000) tentara dan 200 peti perbekalan, serta 1.213 tentara yang berjalan
kaki. Sumber lain menyatakan prasasti ini berisi tentang penaklukan Bumi Jawa
yang tidak setia kepada Sriwijaya. Prasasti Kota Kapur ditemukan di Pulau
Bangka.

2. Prasasti Kedukan Bukit

Report this ad

Prasasti berangka tahun 683 M itu menyebutkan bahwa raja Sriwijaya bernama
Dapunta Hyang yang membawa tentara sebanyak 20.000 orang berhasil
menundukan Minangatamwan. Dengan kemenangan itu, Kerajaan Sriwijaya
menjadi makmur. Daerah yang dimaksud Minangatamwan itu kemungkinan
adalah daerah Binaga yang terletak di Jambi. Daerah itu sangat strategis untuk
perdagangan.

3. Prasasti Talangtuo

Prasasti berangka tahun 684 M itu menyebutkan tentang pembuatan Taman


Srikesetra atas perintah Raja Dapunta Hyang.

4. Prasasti Karang Berahi

Prasasti berangka tahun 686 M itu ditemukan di daerah pedalaman Jambi, yang
menunjukan penguasaan Sriwijaya atas daerah itu.
5. Prasasti Ligor

Prasasti berangka tahun 775 M itu menyebutkan tentang ibu kota Ligor yang
difungsikan untuk mengawasi pelayaran perdagangan di Selat Malaka.

6. Prasasti Nalanda

Prasasti itu menyebutkan Raja Balaputra Dewa sebagai Raja terakhir dari Dinasti
Syailendra yang terusir dari Jawa Tengah akibat kekalahannya melawan Kerajaan
Mataram dari Dinasti Sanjaya. Dalam prasasti itu, Balaputra Dewa meminta
kepada Raja Nalanda agar mengakui haknya atas Kerajaan Syailendra. Di
samping itu, prasasti ini juga menyebutkan bahwa Raja Dewa Paladewa berkenan
membebaskan 5 buah desa dari pajak untuk membiayai para mahasiswa Sriwijaya
yang belajar di Nalanda.

7. Prasasti Telaga Batu

Prasasti ini ditemukan di sekitar Palembang pada tahun 1918 M. Berbentuk batu
lempeng mendekati segi lima, di atasnya ada tujuh kepala ular kobra, dengan
sebentuk mangkuk kecil dengan cerat (mulut kecil tempat keluar air) di
bawahnya. Menurut para arkeolog, prasasti ini digunakan untuk pelaksanaan
upacara sumpah kesetiaan dan kepatuhan para calon pejabat. Dalam prosesi itu,
pejabat yang disumpah meminum air yang dialirkan ke batu dan keluar melalui
cerat tersebut. Sebagai sarana untuk upacara persumpahan, prasasti seperti itu
biasanya ditempatkan di pusat kerajaan, maka diduga kuat Palembang merupakan
pusat Kerajaan Sriwijaya.

Negara Maritim

Dalam upaya mewujudkan cita-cita agar Sriwijaya menjadi kerajaan Maritim,


perluasan kerajaan dilakukan untuk menguasai jalur perdagangan di Selat Malaka
dan Selat Sunda yang merupakan jalur perdagangan dan pelayaran yang sangat
penting. Keberhasilan Sriwijaya berkuasa atas semua selat itu menjadikan
Kerajaan Sriwijaya sebagai penguasa tunggal jalur aktivitas perdagangan dunia
yang melalui Asia Tenggara.
Armada Sriwijaya yang kuat dapat menjamin keamanan aktivitas pelayaran dan
perdagangan. Armada Sriwijaya juga dapat memaksa perahu dagang untuk
singgah di pusat atau di bandar-bandar Kerajaan Sriwijaya. Semakin ramainya
aktivitas pelayaran dan perdagangan menjadikan Sriwijaya sebagai tempat
pertemuan para pedagang atau pusat perdagangan di Asia Tenggara. Pengaruh dan
peranan Kerajaan Sriwijaya semakin besar di lautan. Bahkan para pedagang dari
Kerajaan Sriwijaya juga melakukan hubungan sampai di luar wilayah Indonesia,
sampai ke China di sebelah utara, dan Laut Merah serta Teluk Persia di sebelah
barat.

Kehidupan Politik

Salah satu cara untuk memperluas pengaruh kerajaan adalah melakukan


perkawinan dengan kerajaan lain. Hal ini dilakukan oleh penguasa Sriwijaya,
Dapunta Hyang pada tahun 664 M dengan Sobakancana, putri kedua raja
Kerajaan Tarumanegara.

Saat kerajaan Funan di Indo-China runtuh, Sriwijaya memperluas daerah


kekuasaannya hingga bagian barat Nusantara. Di wilayah utara, melalui kekuatan
armada lautnya, Sriwijaya mampu mengusai lalu lintas perdagangan antara India
dan Cina, serta menduduki Semenanjung Malaya. Kekuatan armada terbesar
Sriwijaya juga melakukan ekspansi wilayah hingga ke Pulau Jawa, Brunei atau
Borneo. Hingga pada abad ke-8, Kerajaan Sriwijaya telah mampu menguasai
seluruh jalur perdagangan di Asia Tenggara.

Raja merupakan pemegang kekuasaan tertinggi dalam sistem pemerintahan


Kerajaan Sriwijaya. Ada tiga syarat utama untuk menjadi raja Sriwijaya, yaitu :

1. Samraj, artinya berdaulat atas rakyatnya.


2. Indratvam, artinya memerintah seperti Dewa Indra yang selalu
memberikan kesejahteraan bagi rakyatnya.
3. Ekachattra, artinya mampu memayungi (melindungi) seluruh rakyatnya.
Berikut daftar silsilah para Raja Kerajaan Sriwijaya :

1. Dapunta Hyang Sri Yayanaga (Prasasti Kedukan Bukit 683 M, Prasasti


Talangtuo 684 M)

Berita mengenai raja ini diketahui dari Prasasti Kedukan Bukit tahun 683 M dan
Prasasti Talangtuo tahun 684 M. Pada masa pemerintahannya, Raja Dapunta
Hyang Sri Yayanaga telah berhasil memperluas wilayah kekuasaannya sampai ke
wilayah Minangatamwan, Jambi. Sejak awal pemerintahannya, Raja Dapunta
Hyang telah mencita-citakan agar Kerajaan Sriwijaya menjadi kerajaan maritim.

2. Cri Indrawarman (berita Cina, 724 M)


3. Rudrawikrama (berita Cina, 728 M)
4. Wishnu (Prasasti Ligor, 775 M)
5. Maharaja (berita Arab, 851 M)
6. Balaputradewa (Prasasti Nalanda, 860 M)

Pada masa pemerintahan Balaputradewa, Kerajaan Sriwijaya mengalami masa


kejayaannya. Pada awalnya, Raja Balaputradewa adalah raja dari kerajaan
Syailendra (Jawa Tengah). Ketika terjadi perang saudara di Kerajaan Syailendra,
antara Balaputradewa dan Pramodhawarni (kakaknya) yang dibantu oleh Rakai
Pikatan (Dinasti Sanjaya), Balaputradewa mengalami kekalahan. Akibat
kekalahan itu, Raja Balaputradewa lari ke Sriwijaya. Di Kerajaan Sriwijaya
berkuasa Raja Dharma Setru (kakak dari ibu Balaputradewa) yang tidak memiliki
keturunan, sehingga kedatangan Raja Balaputradewa disambut baik. Kemudian ia
diangkat menjadi raja.

7. Cri Udayadityawarman (berita Cina, 960 M)


8. Cri Udayaditya (Berita Cina, 962 M)
9. Cri Cudamaniwarmadewa (Berita Cina, 1003. Prasasti Leiden, 1044 M)
10. Maraviyatunggawarman (Prasasti Leiden, 1044 M)
11. Cri Sanggrama Wijayatunggawarman (Prasasti Chola, 1004 M)
Pada masa pemerintahannya, Sriwijaya mengalami ancaman dari Kerajaan Chola.
Di bawah Raja Rajendra Chola, Kerajaan Chola melakukan serangan dan berhasil
merebut Kerajaan Sriwijaya. Sanggrama Wijayatunggawarman berhasil ditawan.
Namun, pada masa pemerintahan Raja Kulottungga I di Kerajaan Chola, Raja
Sanggrama Wijayatunggawarman dibebaskan kembali.

Struktur Birokrasi

Kerajaan Sriwijaya menerapkan struktur birokrasi yang bersifat langsung, karena


raja berperan penting dalam pengawasan terhadap tempat-tempat yang dianggap
strategis. Raja dapat memberikan penghargaan terhadap penguasa daerah yang
setia dan sebaliknya dapat menjatuhi hukumanterhadap penguasa daerah yang
tidak setia kepada kerajaan.

Dalam beberapa prasasti disebutkan tentang pelaksanaan suatu keputusan raja,


lengkap dengan perincian hadiah atau sanksi yang dapat diterima dalam suatu
peristiwa. Selain itu, ditemukan prasasti-prasasti yang mencatat masalah-masalah
penyelesaian hokum sengketa antarwarga. Hal yang menarik bahwa sebagian
prasasti memuat ancaman-ancaman atau kutukan-kutukan yang ditujukan kepada
keluarga raja itu sendiri. Walaupun kedengarannya aneh, namun ada pendapat
yang menganggap bahwa hal itu sangat mungkin terjadi, karena keluarga-keluarga
raja yang menjadi ancaman itu, kekuasaannya berada di luar pengawasan
langsung dari raja yang berkuasa.

Kehidupan Ekonomi

Penguasaan Kerajaan Sriwijaya di urat nadi perhubungan pelayaran dan


perdagangan Asia Tenggara yaitu di Selat Malaka, mempunyai arti penting bagi
perekonomian kerajaan. Karena banyak kapal-kapal asing yang singgah untuk
menambah air minum, perbekalan makanan, istirahat, atau melakukan aktivitas
perdagangan. Karena bertambah ramainya kegiatan perdagangan di Selat Malaka,
Sriwijaya membangun ibukota baru di Semenanjung Malaka, yaitu di Ligor yang
dibuktikan dengan Parasasti Ligor (755 M). Pendirian ibukota Ligor tersebut
bukan berarti meninggalkan ibukota di Sumatera Selatan, melainkan hanya untuk
melakukan pengawasan lebih dekat terhadap aktivitas perdagangan di Selat
Malaka atau menghindari penyeberangan yang dilakukan oleh para pedagang
melalui Tanah Genting Kra.

Menurut catatan asing, bumi Sriwijaya menghasilkan cengkeh, kapulaga, pala,


lada, pinang, kayu gaharu, kayu cendana, kapur barus, gading, timah, emas, perak,
kayu hitam, kayu sapan, rempah-rempah dan penyu. Barang-barang tersebut dijual
atau dibarter dengan kain katu, sutera dan porselen melalui relasi dagang dengan
Cina, India, Arab dan Madagaskar.

Kehidupan Sosial dan Budaya

Sriwijaya yang merupakan kerajaan besar penganut agama Budha, serta


merupakan pusat agama Budha yang penting di Asia Tenggara dan Asia Timur.
Agama Budha yang berkembang di Kerajaan Sriwijaya adalah agama Budha
Mahayana. Menurut berita dari Tibet, seorang pendeta bernama Atica datang dan
tinggal di Sriwijaya (1011-1023 M) untuk belajar agama Budha dari seorang guru
bernama Dharmapala. Menurutnya, Sriwijaya merupakan pusat agama Budha di
luar India.

Peninggalan-peninggalan Kerajaan Sriwijaya banyak ditemukan di daerah


Palembang, Jambi, Riau, Malaysia, dan Thailand. Ini disebabkan karena Sriwijaya
merupakan kerajaan maritim yang selalu berpindah-pindah, tidak menetap di satu
tempat dalam kurun waktu yang lama. Prasasti dan situs yang ditemukan di
sekitar Palembang, yaitu Prasasti Boom Baru (abad ke7 M), Prasasti Kedukan
Bukit (682 M), Prasasti Talangtuo (684 M), Prasasti Telaga Batu ( abad ke-7 M),
Situs Candi Angsoka, Situs Kolam Pinishi, dan Situs Tanjung Rawa. Peninggalan
sejarah Kerajaan Sriwijaya lainnya yang ditemukan di Jambi, Sumatera Selatan
dan Bengkulu, yaitu Candi Kotamahligai, Candi Kedaton, Candi Gedong I, Candi
Gedong II, Candi Gumpung, Candi Tinggi, Candi Kembar batu, Candi Astono
dan Kolam Telagorajo, Situs Muarojambi. Di Lampung, prasasti yang ditemukan
adalah Prasasti Palas Pasemah dan Prasasti Bungkuk (Jabung). Di Riau,
ditemukan Candi Muara Takus yang berbentuk stupa Budha.
Hubungan Regional dan Luar Negeri

Meskipun catatan sejarah dan bukti arkeologi jarang ditemukan, tetapi beberapa
menyatakan bahwa pada abad ke-7, Sriwijaya telah melakukan kolonisasi atas
seluruh Sumatra, Jawa Barat, dan beberapa daerah di Semenanjung Melayu.
Dominasi atas Selat Malaka dan Selat Sunda, menjadikan Sriwijaya sebagai
pengendali rute perdagangan rempah dan perdagangan lokal yang mengenakan
biaya atas setiap kapal yang lewat. Palembang mengakumulasi kekayaannya
sebagai pelabuhan dan gudang perdagangan yang melayani pasar Tiongkok,
Melayu, dan India.

Kerajaan Jambi merupakan kekuatan pertama yang menjadi pesaing Sriwijaya


yang akhirnya dapat ditaklukkan pada abad ke-7 dan ke-9. Di Jambi,
pertambangan emas merupakan sumber ekonomi cukup penting dan kata
Suwarnadwipa (pulau emas) mungkin merujuk pada hal ini. Kerajaan Sriwijaya
juga membantu menyebarkan kebudayaan Melayu ke seluruh Sumatra,
Semenanjung Melayu, dan Kalimantan bagian Barat. Pada abad ke-11 pengaruh
Sriwijaya mulai menyusut. Hal ini ditandai dengan seringnya konflik dengan
kerajaan-kerajaan Jawa, pertama dengan Singasari dan kemudian dengan
Majapahit. Di akhir masa, pusat kerajaan berpindah dari Palembang ke Jambi.

Pada masa awal, Kerajaan Khmer juga menjadi daerah jajahan Sriwijaya. Banyak
sejarawan mengklaim bahwa Chaiya, di propinsi Surat Thani, Thailand sebagai
ibu kota terakhir kerajaan, walaupun klaim tersebut tidak mendasar. Pengaruh
Sriwijaya nampak pada bangunan pagoda Borom That yang bergaya Sriwijaya.
Setelah kejatuhan Sriwijaya, Chaiya terbagi menjadi tiga kota yakni (Mueang)
Chaiya, Thatong (Kanchanadit) dan Khirirat Nikhom.

Sriwijaya juga berhubungan dekat dengan kerajaan Pala di Benggala, terutama


dalam bidang kebudayaan dan agama. Sebuah prasasti tertahun 860 M mencatat
bahwa raja Balaputradewa mendedikasikan seorang biara kepada Universitas
Nalada, Pala. Relasi dengan dinasti Chola di India selatan cukup baik dan menjadi
buruk setelah terjadi peperangan di abad ke-11.
Selain dengan Kerajaan Pala, Sriwijaya juga menjalin hubungan baik dengan
Kerajaan Cholamandala. Raja Sriwijaya yakni Raja Sanggrama
Wijayatunggawarman mendirikan sebuah biara (1006 M) di Kerajaan Chola untuk
tempat tinggal para bhiksu dari Kerajaan Sriwijaya. Namun, persaingan di bidang
pelayaran dan perdagangan membuat keduanya bermusuhan.Raja Rajendra Chola
melakukan serangan ke Kerajaan Sriwijaya sampai dua kali. Serangan pertama
tahun 1007 M mengalami kegagalan. Pada serangan kedua (1023 M) Kerajaan
Chola berhasil merebut kota dan bandar-bandar penting Sriwijaya, bahkan Raja
Sanggrama Wijayatunggawarman berhasil ditawan.

Masa Keemasan

Pada paruh pertama abad ke-10 yaitu antara masa jatuhnya Dinasti Tang dan
naiknya dinasti Song, perdagangan dengan luar negeri cukup marak, terutama
Fujian, Kerajaan Min dan negeri kaya Guangdong, Kerajaan Nan Han. Tak
diragukan lagi Sriwijaya mendapatkan keuntungan dari perdagangan ini. Pada
tahun 903, penulis Muslim Ibn Batutah sangat terkesan dengan kemakmuran
Sriwijaya. Daerah urban kerajaan meliputi Palembang (khususnya Bukit
Seguntang), Muara Jambi dan Kedah.

Masa Kemunduran

Tahun 1025, Rajendra Chola, Raja Chola dari Koromandel, India selatan
menaklukkan Kedah dari Sriwijaya dan menguasainya. Kerajaan Chola
meneruskan penyerangan dan penaklukannya selama 20 tahun berikutnya ke
seluruh imperium Sriwijaya. Meskipun invasi Chola tidak berhasil sepenuhnya,
invasi tersebut telah melemahkan hegemoni Sriwijaya yang berakibat terlepasnya
beberapa wilayah dengan membentuk kerajaan sendiri, seperti Kediri, sebuah
kerajaan yang berbasiskan pada pertanian.

Antara tahun 1079 – 1088, orang Tionghoa mencatat bahwa Sriwijaya


mengirimkan duta besar dari Jambi dan Palembang. Tahun 1082 dan 1088, Jambi
mengirimkan lebih dari dua duta besar ke China. Pada periode inilah pusat
Sriwijaya telah bergeser secara bertahap dari Palembang ke Jambi. Ekspedisi
Chola telah melemahkan Palembang, dan Jambi telah menggantikannya sebagai
pusat kerajaan.

Berdasarkan sumber Tiongkok pada buku Chu-fan-chi yang ditulis pada tahun
1178, Chou-Ju-Kua menerangkan bahwa di kepulauan Asia Tenggara terdapat dua
kerajaan yang sangat kuat dan kaya, yakni Sriwijaya dan Jawa (Kediri). Di Jawa
dia menemukan bahwa rakyatnya memeluk agama Budha dan Hindu, sedangkan
rakyat Sriwijaya memeluk Budha. Berdasarkan sumber ini pula dikatakan bahwa
beberapa wilayah kerajaan Sriwijaya ingin melepaskan diri, antara lain Kien-pi
(Kampe, di utara Sumatra) dan beberapa koloni di semenanjung Malaysia. Pada
masa itu wilayah Sriwijaya meliputi; Pong-fong (Pahang), Tong-ya-nong
(Trengganu), Ling-ya-ssi-kia (Langkasuka), Kilan-tan (Kelantan), Fo-lo-an, Ji-lo-
t’ing (Jelutong), Ts’ien-mai, Pa-t’a (Batak), Tan-ma-ling (Tambralingga, Ligor),
Kia-lo-hi (Grahi, bagian utara semenanjung Malaysia), Pa-lin-fong (Palembang),
Sin-t’o (Sunda), Lan-wu-li (Lamuri di Aceh), and Si-lan (Srilanka).

Pada tahun 1288, Singosari, penerus kerajaan Kediri di Jawa, menaklukan


Palembang dan Jambi selama masa ekspedisi Pamalayu. Di tahun 1293, Majapahit
pengganti Singosari, memerintah Sumatra. Raja ke-4 Hayam Wuruk memberikan
tanggung jawab tersebut kepada Pangeran Adityawarman, seorang peranakan
Minang dan Jawa. Pada tahun 1377 terjadi pemberontakan terhadap Majapahit,
tetapi pemberontakan tersebut dapat dipadamkan walaupun di selatan Sumatra
sering terjadi kekacauan dan pengrusakan.

Kedudukan Sriwijaya makin terdesak karena munculnya kerajaan-kerajaan besar


yang juga memiliki kepentingan dalam dunia perdagangan, seperti Kerajaan Siam
di sebelah utara. Kerajaan Siam memperluas kekuasaannya ke arah selatan dengan
menguasai daerah-daerah di Semenanjung Malaka termasuk Tanah Genting Kra.
Jatuhnya Tanah Genting Kra ke dalam kekuasaan Kerajaan Siam mengakibatkan
lemahnya kegiatan pelayaran dan perdagangan di Kerajaan Sriwijaya.

Di masa berikutnya, terjadi pengendapan pada Sungai Musi yang berakibat


tertutupnya akses pelayaran ke Palembang. Hal ini tentunya sangat merugikan
perdagangan kerajaan.
BAB III

PENUTUP

Kesimpulan

1. Kerajaan Sriwijaya merupakan kerajaan bercorak Hindu terbesar di


Indonesia, bahkan dijuluki sebagai pusat agama Hindu di luar India.
2. Kerajaan Sriwijaya adalah kerajaan yang sangat kuat dan kaya raya.
Terbukti dari sebutan negara maritimnya.
3. Sejarah Kerajaan Sriwijaya dapat diakses dari prasasti-prasasti
peninggalan kerajaan baik di dalam maupun di lur negeri serta dari berita-
berita asing.

Saran

1. Sejarah harus selalu kita kaji agar menjadi sebuah pengetahuan dan
motivasi dalm mengisi kenerdekaan
2. Lestarikan terus nilai-nilai budaya sejarah bangsa.
DAFTAR PUSTAKA

Bellwood, Peter and James J. Fox, Darrell Tryon. The Austronesians: Historical
and Comparative Perspectives.

Hirth, Friedrich and Chao Ju-kua, W.W.Rockhill. The Chinese and Arab Trade in
the Twelfth and Thirteen centuries. Entitled Chu-fan-chi St Petersburg, 1911.

http://wikipedia/sejarahkerajaansriwijaya/com

Karso, Drs, dkk. Pelajaran Sejarah Untuk SMTA kelas 1. Bandung: Penerbit
Angkasa, ISBN. 979-404-179-3-7, 1988.

Munoz, Paul Michel. Early Kingdoms of the Indonesian Archipelago and the
Malay Peninsula. Singapore: Editions Didier Millet, pages 171, 143, 140, 132,
130, 124, 113. ISBN 981-4155-67-5, 2006.

Notosusanto, Nugroho, dkk. Sejarah Nasional Indonesia 1. Jakarta: CV. Adhi


Waskita Semarang, ISBN. 979-462-144-7, 1992.

Soekmono, Drs. R. (1973, 5th reprint edition in 1988). Pengantar Sejarah


Kebudayaan Indonesia 2, 2nd ed.. Yogyakarta: Penerbit Kanisius, page 60.

Anda mungkin juga menyukai