Anda di halaman 1dari 24

ARTIKEL

KERAJAAN SRIWIJAYA

Oleh:

Dani Pratama

201901007

Pendidikan Keagamaan Buddha

SEKOLAH TINGGI AGAMA BUDDHA NEGERI RADEN WIJAYA

WONOGIRI

JAWA TENGAH

2019
KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur penulis hadirkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, Sang Tri
Ratna, Buddha, Dhamma, dan Sanggha, karena berkat karma baik yang telah mendukung adanya
pembuatan artikel ini, sehingga dapat diselesaikan sesuai dengan rencana. artikel yang berjudul
“Kerajaan Sriwijaya” untuk memenui salah satu tugas Sejarah Agama Buddha di Indonesia
Dharmacharya semester 1 dari dosen pengampuh Sejarah Agama Buddha di Indonesia.
Selama penyusunan artikel ini banyak kendala yang kami hadapi namun berkat
bimbingan serta bantuan dari berbagai pihak semua kendala tersebut dapat teratasi. Pada
kesempatan ini dengan ketulusan hati penulis, penulis menyampaikan terimaksih kepada semua
pihak yang telah membantu dalam pembuatan artikel ini.
Penulis masih merasa banyak kekurangan-kekurangan baik pada teknik penulisan
maupun materi, mengingat akan kemampuan yang dimiliki penulis. Untuk itu penulis
mengharapkan adanya kritik dan saran dari semua pihak yang bersifat membangun guna
menyempurnakan pembuatan artikel ini.
Semoga artikel ini dapat bermanfaat bagi pembaca dan menjadi sumbangan pemikiran
bagi pihak yang membutuhkan.

Wonogiri, 15 Desember 2019

Penulis
Awal berdirinya kerajaan Sriwijaya

Bukti awal mengenai keberadaan kerajaan Sriwijaya ini berawal dari abad ke-7, I
Tsing, seorang pendeta Tiongkok, menuliskan bahwa ia tinggal selama 6 bulan saat
mengunjungi Sriwijaya tahun 671. Prasasti sejarah yang paling tua mengenai Kerajaan
Sriwijaya juga berada pada abad ke-7, di Palembang yaitu prasasti Kedukan Bukit, pada
tahun 682. Dikarenakan terjadi beberapa peperangan diantaranya serangan dari raja
Dharmawangsa Teguh di tahun 990 dari Jawa menjadikan pengaruh Kerajaan Sriwijaya
terhadap daerah bawahannya mulai berkurang, dan serangan Rajendra Chola I dari
Koromandel di tahun 1025, selanjutnya di tahun 1183 Sriwijaya dibawah kendali
kekuasaan kerajaan Dharmasraya. Kerajaan ini merupakan negara maritim dan menjadi
pusat perdagangan, namun kerajaan ini tidak meluaskan kekuasaannya di luar wilayah
kepulauan Asia Tenggara, dengan pengecualian berkontribusi untuk sebuah populasi
Madagaskar sejauh 3.300 mil di wilayah barat. Sesuai dengan catatan I Tsing, Kekaisaran
Sriwijaya telah ada sejak tahun 671, pada tahun 682 dari prasasti Kedukan Bukit di
diketahui imperium ini di bawah kepemimpinan Dapunta Hyang. Di abad ke-7 ini, orang
Tionghoa mencatat bahwa terdapat dua kerajaan yaitu Kedah dan Malayu menjadi bagian
kekuasaan Sriwijaya.
Sriwijaya tumbuh dan sukses mengendalikan jalur perdagangan maritim di Selat
Sunda, Selat Malaka, Laut Jawa, Laut China Selatan, dan Selat Karimata. Ekspansi
kerajaan ini ke Semenanjung Malaya dan Jawa, menjadikan Sriwijaya mengontrol dua
pusat perdagangan di Asia Tenggara. Berdasarkan penelitian, ditemukan reruntuhan
candi-candi Sriwijaya di Kamboja dan Thailand. Pelabuhan Cham di sebelah timur
Indochina di abad ke-7, mulai mengalihkan banyak pedagang dari Sriwijaya. Untuk
mencegah hal tersebut, Maharaja Dharmasetu melakukan beberapa serangan ke kota-kota
pantai di Indochina. Kota indrapura diwilayah sungai Mekong, diawal abad ke-8 berada
dibawah kendali kerajaan Sriwijaya. Di akhir abad ke-8 beberapa kerajaan di Jawa seperti
Holing dan Tarumanegara berada dibawah kekuasaan Sriwijaya. Menurut cacatan,
wangsa syalindra pada masa ini Semenanjung Melayu Langkasuka, Trambalinga dan Pan
Pan yang terletak di sebelah utara Langkasuka juga berada di bawah kekuasaan
Sriwijaya.

Hubungan regional dan luar negeri kerajaan Sriwijaya

Meskipun catatan sejarah dan bukti arkeologi jarang ditemukan, tetapi beberapa
menyatakan bahwa pada abad ke-7, Sriwijaya telah melakukan kolonisasi atas seluruh
Sumatra, Jawa Barat, dan beberapa daerah di Semenanjung Melayu. Dominasi atas Selat
Malaka dan Selat Sunda, menjadikan Sriwijaya sebagai pengendali rute perdagangan
rempah dan perdagangan lokal yang mengenakan biaya atas setiap kapal yang lewat.
Palembang mengakumulasi kekayaannya sebagai pelabuhan dan gudang perdagangan
yang melayani pasar Tiongkok, Melayu, dan India.

Kerajaan Jambi merupakan kekuatan pertama yang menjadi pesaing Sriwijaya


yang akhirnya dapat ditaklukkan pada abad ke-7 dan ke-9. Di Jambi, pertambangan emas
merupakan sumber ekonomi cukup penting dan kata Suwarnadwipa (pulau emas)
mungkin merujuk pada hal ini. Kerajaan Sriwijaya juga membantu menyebarkan
kebudayaan Melayu ke seluruh Sumatra, Semenanjung Melayu, dan Kalimantan bagian
Barat. Pada abad ke-11 pengaruh Sriwijaya mulai menyusut. Hal ini ditandai dengan
seringnya konflik dengan kerajaan-kerajaan Jawa, pertama dengan Singasari dan
kemudian dengan Majapahit. Di akhir masa, pusat kerajaan berpindah dari Palembang ke
Jambi.

Pada masa awal, Kerajaan Khmer juga menjadi daerah jajahan Sriwijaya. Banyak
sejarawan mengklaim bahwa Chaiya, di propinsi Surat Thani, Thailand sebagai ibu kota
terakhir kerajaan, walaupun klaim tersebut tidak mendasar. Pengaruh Sriwijaya nampak
pada bangunan pagoda Borom That yang bergaya Sriwijaya. Setelah kejatuhan Sriwijaya,
Chaiya terbagi menjadi tiga kota yakni (Mueang) Chaiya, Thatong (Kanchanadit) dan
Khirirat Nikhom.

Sriwijaya juga berhubungan dekat dengan kerajaan Pala di Benggala, terutama


dalam bidang kebudayaan dan agama. Sebuah prasasti tertahun 860 M mencatat bahwa
raja Balaputradewa mendedikasikan seorang biara kepada Universitas Nalada, Pala.
Relasi dengan dinasti Chola di India selatan cukup baik dan menjadi buruk setelah terjadi
peperangan di abad ke-11.

Selain dengan Kerajaan Pala, Sriwijaya juga menjalin hubungan baik dengan
Kerajaan Cholamandala. Raja Sriwijaya yakni Raja Sanggrama Wijayatunggawarman
mendirikan sebuah biara (1006 M) di Kerajaan Chola untuk tempat tinggal para bhiksu
dari Kerajaan Sriwijaya. Namun, persaingan di bidang pelayaran dan perdagangan
membuat keduanya bermusuhan.Raja Rajendra Chola melakukan serangan ke Kerajaan
Sriwijaya sampai dua kali. Serangan pertama tahun 1007 M mengalami kegagalan. Pada
serangan kedua (1023 M) Kerajaan Chola berhasil merebut kota dan bandar-bandar
penting Sriwijaya, bahkan Raja Sanggrama Wijayatunggawarman berhasil ditawan.

Raja-raja yang pernah berkuasa di kerajaan Sriwijaya

a. Dapunta Hyang (671)


b. Rudra Vikraman(728)
c. Sri Indrawarman(702)
d. Sri Maharaja(775)
e. Dharanindra (778)
f. Samaragrawira(782)
g. Samaratungga(792)
h. Balaputradewa(856)
i. Sri Udayaditya Warmadewa(960)
j. Sri Cudamani Warmadewa(988)
k. Sri Maravijayottungawarman(1008)
l. Sangramavijayottunggawarman(1025)
m. Srimat Trailokyaraja Maulibhusana Warrmadewa(1183)
Bukti sejarah
Sumber-sumber sejarah yang mendukung keberadaan Kerajaan Sriwijaya berasal dari
berita asing dan prasasti-prasasti.

Sumber dari Luar Negeri

1. Sumber Cina

Kunjungan I-sting, seorang peziarah Budha dari China pertama kali pada tahun
671 M. Dalam catatannya disebutkan bahwa saat itu terdapat lebih dari seribu
orang pendeta Budha di Sriwijaya. Aturan dan upacara para pendeta Budha
tersebut sama dengan aturan dan upacara yang dilakukan oleh para pendeta Budha
di pusat ajaran agama Budha, India. I-tsing tinggal selama 6 bulan di Sriwijaya
untuk belajar bahasa Sansekerta, setelah itu ia berangkat ke Nalanda, India.
Setelah lama belajar di Nalanda, tahun 685 I-tsing kembali ke Sriwijaya dan
tinggal selama beberapa tahun untuk menerjemahkan teks-teks Budha dari bahasa
Sansekerta ke bahasa Cina. Catatan Cina yang lain menyebutkan tentang utusan
Sriwijaya yang datang secara rutin ke Cina, yang terakhir pada tahun 988 M.

2. Sumber Arab

Orang-orang Arab sering menyebut Sriwijaya dengan nama Sribuza, Sabay atau
Zabaq. Mas‘udi, seorang sejarawan Arab klasik menulis catatan tentang Sriwijaya
pada tahun 955 M. Dalam catatan itu, digambarkan Sriwijaya merupakan sebuah
kerajaan besar, dengan tentara yang sangat banyak. Hasil bumi Sriwijaya adalah
kapur barus, kayu gaharu, cengkeh, kayu cendana, pala, kardamunggu, gambir
dan beberapa hasil bumi lainya. Bukti lain yang mendukung adalah ditemukannya
perkampungan-perkampungan Arab sebagai tempat tinggal sementara di pusat
Kerajaan Sriwijaya.

3. Sumber India
Kerajaan Sriwijaya pernah menjalin hubungan dengan raja-raja dari kerajaan-
kerajaan di India seperti Kerajaan Nalanda dan Kerajaan Chola. Dengan Kerajaan
Nalanda disebutkan bahwa Raja Sriwijaya mendirikan sebuah prasasti yang
dikenal dengan nama Prasasti Nalanda. Dalam prasasti tersebut dinyatakan bahwa
Raja Nalanda yang bernama Raja Dewa Paladewa berkenan membebaskan 5 desa
dari pajak. Sebagai gantinya, kelima desa tersebut wajib membiayai para
mahasiswa dari Kerajaan Sriwijaya yang menuntut ilmu di Kerajaan Nalanda. Di
samping menjalin hubungan dengan Kerajaan Nalanda, Kerajaan Sriwijaya juga
menjalin hubungan dengan Kerajaan Chola (Cholamandala) yang terletak di India
Selatan. Hubungan ini menjadi retak setelah Raja Rajendra Chola ingin
menguasai Selat Malaka.

4. Sumber lain

Pada tahun 1886, Beal mengemukakan pendapatnya bahwa Shih-li-fo-shih


merupakan suatu daerah yang terletak di tepi Sungai Musi. Sumber lain, yakni
Kern, pada tahun 1913 M telah menerbitkan tulisan mengenai Prasasti Kota
Kapur, prasasti peninggalan Sriwijaya yang ditemukan di Pulau Bangka. Namun,
saat itu, Kern menganggap Sriwijaya yang tercantum pada prasasti itu adalah
nama seorang raja, karena Cri biasanya digunakan sebagai sebutan atau gelar raja.

Sumber Lokal atau Dalam Negeri

Sumber dalam negeri berasal dari prasasti-prasasti yang dibuat oleh raja-raja dari
Kerajaan Sriwijaya. Prasasti-prasasti dari Kerajaan Sriwijaya sebagian besar
menggunakan huruf Pallawa dan bahasa Melayu Kuno. Prasasti itu antara lain sebagai
berikut.

1. Prasasti Kota Kapur

Prasasti ini merupakan yang paling tua, bertarikh 682 M, menceritakan tentang
kisah perjalanan suci Dapunta Hyang dari Minana dengan perahu, bersama dua
laksa (20.000) tentara dan 200 peti perbekalan, serta 1.213 tentara yang berjalan
kaki. Sumber lain menyatakan prasasti ini berisi tentang penaklukan Bumi Jawa
yang tidak setia kepada Sriwijaya. Prasasti Kota Kapur ditemukan di Pulau
Bangka.

2. Prasasti Kedukan Bukit

Prasasti berangka tahun 683 M itu menyebutkan bahwa raja Sriwijaya bernama
Dapunta Hyang yang membawa tentara sebanyak 20.000 orang berhasil
menundukan Minangatamwan. Dengan kemenangan itu, Kerajaan Sriwijaya
menjadi makmur. Daerah yang dimaksud Minangatamwan itu kemungkinan
adalah daerah Binaga yang terletak di Jambi. Daerah itu sangat strategis untuk
perdagangan.

3. Prasasti Talangtuo

Prasasti berangka tahun 684 M itu menyebutkan tentang pembuatan Taman


Srikesetra atas perintah Raja Dapunta Hyang.

4. Prasasti Karang Berahi

Prasasti berangka tahun 686 M itu ditemukan di daerah pedalaman Jambi, yang
menunjukan penguasaan Sriwijaya atas daerah itu.

5. Prasasti Ligor

Prasasti berangka tahun 775 M itu menyebutkan tentang ibu kota Ligor yang
difungsikan untuk mengawasi pelayaran perdagangan di Selat Malaka.

6. Prasasti Nalanda

Prasasti itu menyebutkan Raja Balaputra Dewa sebagai Raja terakhir dari Dinasti
Syailendra yang terusir dari Jawa Tengah akibat kekalahannya melawan Kerajaan
Mataram dari Dinasti Sanjaya. Dalam prasasti itu, Balaputra Dewa meminta
kepada Raja Nalanda agar mengakui haknya atas Kerajaan Syailendra. Di
samping itu, prasasti ini juga menyebutkan bahwa Raja Dewa Paladewa berkenan
membebaskan 5 buah desa dari pajak untuk membiayai para mahasiswa Sriwijaya
yang belajar di Nalanda.
7. Prasasti Telaga Batu

Prasasti ini ditemukan di sekitar Palembang pada tahun 1918 M. Berbentuk batu
lempeng mendekati segi lima, di atasnya ada tujuh kepala ular kobra, dengan
sebentuk mangkuk kecil dengan cerat (mulut kecil tempat keluar air) di
bawahnya. Menurut para arkeolog, prasasti ini digunakan untuk pelaksanaan
upacara sumpah kesetiaan dan kepatuhan para calon pejabat. Dalam prosesi itu,
pejabat yang disumpah meminum air yang dialirkan ke batu dan keluar melalui
cerat tersebut. Sebagai sarana untuk upacara persumpahan, prasasti seperti itu
biasanya ditempatkan di pusat kerajaan, maka diduga kuat Palembang merupakan
pusat Kerajaan Sriwijaya.

Aspek kehidupan
Kehidupan Politik

Salah satu cara untuk memperluas pengaruh kerajaan adalah melakukan perkawinan
dengan kerajaan lain. Hal ini dilakukan oleh penguasa Sriwijaya, Dapunta Hyang
pada tahun 664 M dengan Sobakancana, putri kedua raja Kerajaan Tarumanegara.

Saat kerajaan Funan di Indo-China runtuh, Sriwijaya memperluas daerah


kekuasaannya hingga bagian barat Nusantara. Di wilayah utara, melalui kekuatan
armada lautnya, Sriwijaya mampu mengusai lalu lintas perdagangan antara India
dan Cina, serta menduduki Semenanjung Malaya. Kekuatan armada terbesar
Sriwijaya juga melakukan ekspansi wilayah hingga ke Pulau Jawa, Brunei atau
Borneo. Hingga pada abad ke-8, Kerajaan Sriwijaya telah mampu menguasai
seluruh jalur perdagangan di Asia Tenggara.

Raja merupakan pemegang kekuasaan tertinggi dalam sistem pemerintahan


Kerajaan Sriwijaya. Ada tiga syarat utama untuk menjadi raja Sriwijaya, yaitu
Samraj, artinya berdaulat atas rakyatnya. Indratvam, artinya memerintah seperti
Dewa Indra yang selalu memberikan kesejahteraan bagi rakyatnya. Ekachattra,
artinya mampu memayungi (melindungi) seluruh rakyatnya.
Berikut daftar silsilah para Raja Kerajaan Sriwijaya

Dapunta Hyang Sri Yayanaga (Prasasti Kedukan Bukit 683 M, Prasasti Talangtuo
684 M)

Berita mengenai raja ini diketahui dari Prasasti Kedukan Bukit tahun 683 M dan
Prasasti Talangtuo tahun 684 M. Pada masa pemerintahannya, Raja Dapunta Hyang
Sri Yayanaga telah berhasil memperluas wilayah kekuasaannya sampai ke wilayah
Minangatamwan, Jambi. Sejak awal pemerintahannya, Raja Dapunta Hyang telah
mencita-citakan agar Kerajaan Sriwijaya menjadi kerajaan maritim.

Cri Indrawarman (berita Cina, 724 M)

Rudrawikrama (berita Cina, 728 M)

Wishnu (Prasasti Ligor, 775 M)

Maharaja (berita Arab, 851 M)

Balaputradewa (Prasasti Nalanda, 860 M)

Pada masa pemerintahan Balaputradewa, Kerajaan Sriwijaya mengalami masa


kejayaannya. Pada awalnya, Raja Balaputradewa adalah raja dari kerajaan
Syailendra (Jawa Tengah). Ketika terjadi perang saudara di Kerajaan Syailendra,
antara Balaputradewa dan Pramodhawarni (kakaknya) yang dibantu oleh Rakai
Pikatan (Dinasti Sanjaya), Balaputradewa mengalami kekalahan. Akibat kekalahan
itu, Raja Balaputradewa lari ke Sriwijaya. Di Kerajaan Sriwijaya berkuasa Raja
Dharma Setru (kakak dari ibu Balaputradewa) yang tidak memiliki keturunan,
sehingga kedatangan Raja Balaputradewa disambut baik. Kemudian ia diangkat
menjadi raja.

Cri Udayadityawarman (berita Cina, 960 M)

Cri Udayaditya (Berita Cina, 962 M)

Cri Cudamaniwarmadewa (Berita Cina, 1003. Prasasti Leiden, 1044 M)


Maraviyatunggawarman (Prasasti Leiden, 1044 M)

Cri Sanggrama Wijayatunggawarman (Prasasti Chola, 1004 M)

Pada masa pemerintahannya, Sriwijaya mengalami ancaman dari Kerajaan Chola.


Di bawah Raja Rajendra Chola, Kerajaan Chola melakukan serangan dan berhasil
merebut Kerajaan Sriwijaya. Sanggrama Wijayatunggawarman berhasil ditawan.
Namun, pada masa pemerintahan Raja Kulottungga I di Kerajaan Chola, Raja
Sanggrama Wijayatunggawarman dibebaskan kembali.

Struktur Birokrasi

Kerajaan Sriwijaya menerapkan struktur birokrasi yang bersifat langsung, karena


raja berperan penting dalam pengawasan terhadap tempat-tempat yang dianggap
strategis. Raja dapat memberikan penghargaan terhadap penguasa daerah yang setia
dan sebaliknya dapat menjatuhi hukumanterhadap penguasa daerah yang tidak setia
kepada kerajaan.

Dalam beberapa prasasti disebutkan tentang pelaksanaan suatu keputusan raja,


lengkap dengan perincian hadiah atau sanksi yang dapat diterima dalam suatu
peristiwa. Selain itu, ditemukan prasasti-prasasti yang mencatat masalah-masalah
penyelesaian hokum sengketa antarwarga. Hal yang menarik bahwa sebagian
prasasti memuat ancaman-ancaman atau kutukan-kutukan yang ditujukan kepada
keluarga raja itu sendiri. Walaupun kedengarannya aneh, namun ada pendapat yang
menganggap bahwa hal itu sangat mungkin terjadi, karena keluarga-keluarga raja
yang menjadi ancaman itu, kekuasaannya berada di luar pengawasan langsung dari
raja yang berkuasa.

Kehidupan Ekonomi

Penguasaan Kerajaan Sriwijaya di urat nadi perhubungan pelayaran dan


perdagangan Asia Tenggara yaitu di Selat Malaka, mempunyai arti penting bagi
perekonomian kerajaan. Karena banyak kapal-kapal asing yang singgah untuk
menambah air minum, perbekalan makanan, istirahat, atau melakukan aktivitas
perdagangan. Karena bertambah ramainya kegiatan perdagangan di Selat Malaka,
Sriwijaya membangun ibukota baru di Semenanjung Malaka, yaitu di Ligor yang
dibuktikan dengan Parasasti Ligor (755 M). Pendirian ibukota Ligor tersebut bukan
berarti meninggalkan ibukota di Sumatera Selatan, melainkan hanya untuk
melakukan pengawasan lebih dekat terhadap aktivitas perdagangan di Selat Malaka
atau menghindari penyeberangan yang dilakukan oleh para pedagang melalui Tanah
Genting Kra.

Menurut catatan asing, bumi Sriwijaya menghasilkan cengkeh, kapulaga, pala, lada,
pinang, kayu gaharu, kayu cendana, kapur barus, gading, timah, emas, perak, kayu
hitam, kayu sapan, rempah-rempah dan penyu. Barang-barang tersebut dijual atau
dibarter dengan kain katu, sutera dan porselen melalui relasi dagang dengan Cina,
India, Arab dan Madagaskar.

Kehidupan Sosial dan Budaya

Sriwijaya yang merupakan kerajaan besar penganut agama Budha, serta merupakan
pusat agama Budha yang penting di Asia Tenggara dan Asia Timur. Agama Budha
yang berkembang di Kerajaan Sriwijaya adalah agama Budha Mahayana. Menurut
berita dari Tibet, seorang pendeta bernama Atica datang dan tinggal di Sriwijaya
(1011-1023 M) untuk belajar agama Budha dari seorang guru bernama Dharmapala.
Menurutnya, Sriwijaya merupakan pusat agama Budha di luar India.

Peninggalan-peninggalan Kerajaan Sriwijaya banyak ditemukan di daerah


Palembang, Jambi, Riau, Malaysia, dan Thailand. Ini disebabkan karena Sriwijaya
merupakan kerajaan maritim yang selalu berpindah-pindah, tidak menetap di satu
tempat dalam kurun waktu yang lama. Prasasti dan situs yang ditemukan di sekitar
Palembang, yaitu Prasasti Boom Baru (abad ke7 M), Prasasti Kedukan Bukit (682
M), Prasasti Talangtuo (684 M), Prasasti Telaga Batu ( abad ke-7 M), Situs Candi
Angsoka, Situs Kolam Pinishi, dan Situs Tanjung Rawa. Peninggalan sejarah
Kerajaan Sriwijaya lainnya yang ditemukan di Jambi, Sumatera Selatan dan
Bengkulu, yaitu Candi Kotamahligai, Candi Kedaton, Candi Gedong I, Candi
Gedong II, Candi Gumpung, Candi Tinggi, Candi Kembar batu, Candi Astono dan
Kolam Telagorajo, Situs Muarojambi. Di Lampung, prasasti yang ditemukan adalah
Prasasti Palas Pasemah dan Prasasti Bungkuk (Jabung). Di Riau, ditemukan Candi
Muara Takus yang berbentuk stupa Budha.

Runtuhnya kerajaan Sriwijaya


Tahun 1025, Rajendra Chola, Raja Chola dari Koromandel, India selatan
menaklukkan Kedah dari Sriwijaya dan menguasainya. Kerajaan Chola meneruskan
penyerangan dan penaklukannya selama 20 tahun berikutnya ke seluruh imperium
Sriwijaya. Meskipun invasi Chola tidak berhasil sepenuhnya, invasi tersebut telah
melemahkan hegemoni Sriwijaya yang berakibat terlepasnya beberapa wilayah
dengan membentuk kerajaan sendiri, seperti Kediri, sebuah kerajaan yang
berbasiskan pada pertanian.

Antara tahun 1079 – 1088, orang Tionghoa mencatat bahwa Sriwijaya


mengirimkan duta besar dari Jambi dan Palembang. Tahun 1082 dan 1088, Jambi
mengirimkan lebih dari dua duta besar ke China. Pada periode inilah pusat
Sriwijaya telah bergeser secara bertahap dari Palembang ke Jambi. Ekspedisi Chola
telah melemahkan Palembang, dan Jambi telah menggantikannya sebagai pusat
kerajaan.

Berdasarkan sumber Tiongkok pada buku Chu-fan-chi yang ditulis pada tahun
1178, Chou-Ju-Kua menerangkan bahwa di kepulauan Asia Tenggara terdapat dua
kerajaan yang sangat kuat dan kaya, yakni Sriwijaya dan Jawa (Kediri). Di Jawa dia
menemukan bahwa rakyatnya memeluk agama Budha dan Hindu, sedangkan rakyat
Sriwijaya memeluk Budha. Berdasarkan sumber ini pula dikatakan bahwa beberapa
wilayah kerajaan Sriwijaya ingin melepaskan diri, antara lain Kien-pi (Kampe, di
utara Sumatra) dan beberapa koloni di semenanjung Malaysia. Pada masa itu
wilayah Sriwijaya meliputi; Pong-fong (Pahang), Tong-ya-nong (Trengganu), Ling-
ya-ssi-kia (Langkasuka), Kilan-tan (Kelantan), Fo-lo-an, Ji-lo-t’ing (Jelutong),
Ts’ien-mai, Pa-t’a (Batak), Tan-ma-ling (Tambralingga, Ligor), Kia-lo-hi (Grahi,
bagian utara semenanjung Malaysia), Pa-lin-fong (Palembang), Sin-t’o (Sunda),
Lan-wu-li (Lamuri di Aceh), and Si-lan (Srilanka).
Pada tahun 1288, Singosari, penerus kerajaan Kediri di Jawa, menaklukan
Palembang dan Jambi selama masa ekspedisi Pamalayu. Di tahun 1293, Majapahit
pengganti Singosari, memerintah Sumatra. Raja ke-4 Hayam Wuruk memberikan
tanggung jawab tersebut kepada Pangeran Adityawarman, seorang peranakan
Minang dan Jawa. Pada tahun 1377 terjadi pemberontakan terhadap Majapahit,
tetapi pemberontakan tersebut dapat dipadamkan walaupun di selatan Sumatra
sering terjadi kekacauan dan pengrusakan.

Kedudukan Sriwijaya makin terdesak karena munculnya kerajaan-kerajaan besar


yang juga memiliki kepentingan dalam dunia perdagangan, seperti Kerajaan Siam
di sebelah utara. Kerajaan Siam memperluas kekuasaannya ke arah selatan dengan
menguasai daerah-daerah di Semenanjung Malaka termasuk Tanah Genting Kra.
Jatuhnya Tanah Genting Kra ke dalam kekuasaan Kerajaan Siam mengakibatkan
lemahnya kegiatan pelayaran dan perdagangan di Kerajaan Sriwijaya.

Di masa berikutnya, terjadi pengendapan pada Sungai Musi yang berakibat


tertutupnya akses pelayaran ke Palembang. Hal ini tentunya sangat merugikan
perdagangan kerajaan. Penurunan Sriwijaya terus berlanjut hingga masuknya Islam
ke Aceh yang disebarkan oleh pedagang-pedagang Arab dan India. Di akhir abad
ke-13, Kerajaan Pasai di bagian utara Sumatra berpindah agama Islam.

Maka sejak akhir abad ke-13 M Kerajaan Sriwijaya menjadi kerajaan kecil dan
wilayahnya terbatas pada daerah Palembang. Kerajaan Sriwijaya yang kecil dan
lemah akhirnya dihancurkan oleh Kerajaan Majapahit pada tahun 1377 M.

Pada tahun 1402, Parameswara, pangeran terakhir Sriwijaya mendirikan Kesultanan


Malaka di Semenanjung Malaysia.

Peninggalan-peninggalan kerajaan Sriwijaya


1. Prasati Kota Kapur

Prasasti Kota Kapur yang merupakan peninggalan Kerajaan Sriwijaya ini ditemukan di
Pulau Bangka bagian Barat yang ditulis dengan memakai bahasa Melayu Kuno serta
aksara Pallawa. Prasasti ini ditemukan oleh J.K Van der Meulen tahun 1892 dengan isi
yang menceritakan tentang kutukan untuk orang yang berani melanggar titah atau
pertintah dari kekuasaan Raja Sriwijaya. Prasasti ini kemudian diteliti oleh H.Kern
yang merupakan ahli epigrafi berkebangsaan Belanda yang bekerja di Bataviaasch
Genootschap di Batavia. Awalnya ia beranggapan jika Sriwijaya merupakan nama dari
seorang raja. George Coedes lalu mengungkapkan jika Sriwijaya adalah nama dari
Kerajaan di Sumatera abad ke-7 Masehi yang mrupakan Kerajaan kuat dan pernah
berkuasa di bagian Barat Nusantara, Semenanjung Malaya serta Thailand bagian
Selatan.Sampai tahun 2012, Prasasti Kota Kapur ini masih ada di Rijksmuseum yang
merupakan Museum Kerajaan Amsterdam, Belanda dengan status dipinjamkan oleh
Museum Nasional Indonesia. Prasasti Kota Kapur ini ditemukan lebih dulu sebelum
prasasti Kedukan Bukit serta Prasasti Talang Tuwo. Dari Prasasti ini Sriwijaya
diketahui sudah berkuasa atas sebagian wilayah Sumatera, Lampung, Pulau Bangka
dan juga Belitung. Dalam Prasasti ini juga dikatakan jika Sri Jayasana sudah
melakukan ekspedisi militer yakni untuk menghukum Bhumi Jawa yang tidak mau
tunduk dengan Sriwijaya. Peristiwa ini terjadi hampir bersamaan dengan runtuhnya
Taruma di Jawa bagian Barat dan juga Kalingga atau Holing di daerah Jawa bagian
Tengah yang kemungkinan terjadi karena serangan dari Sriwijaya. Sriwijaya berhasil
tumbuh serta memegang kendali atas jalur perdagangan maritim di Selat Malaka, Laut
Cina Selatan, Selat Sunda, Laut Jawa serta Selat Karimata.

2. Prasati Ligor

Prasasti Ligor ditemuan di Nakhon Si Thammarat, wilayah Thailand bagian Selatan


yang memiliki pahatan di kedua sisinya. Pada bagian sisi pertama dinamakan Prasasti
Ligor A atau manuskrip Viang Sa, sementara di sisi satunya merupakan Prasasti Ligor
B yang kemungkinan besar dibuat oleh raja dari wangsa Sailendra yang menjelaskan
tentang pemberian gelar Visnu Sesawarimadawimathana untuk Sri Maharaja. Prasasti
Ligor A menceritakan tentang Raja Sriwijaya yang merupakan raja dari semua raja di
dunia yang mendirikan Trisamaya Caitya untuk Kajara. Sedangkan pada Prasasti Ligor
B yang dilengkapi dengan angka tahun 775 dan memakai aksara Kawi menceritakan
tentang nama Visnu yang memiliki gelar Sri Maharaja dari keluarga Śailendravamśa
dan mendapatk julukan Śesavvārimadavimathana berarti pembunuh musuh yang
sombong sampai tak tersisa.

3. Prasasti Palas Pasemah

Prasasti Palas Pasemah ditemukan di pinggir rawa Desa Palas Pasemah, Lampung
Selatan, Lampung yang ditulis dengan memakai bahasa Melayu Kuno aksara Pallawa
dan terdiri dari 13 baris tulisan. Isi dari prasasti ini menjelaskan tentang kutukan dari
orang yang tidak mau tunduk dengan kekuasaan Sriwijaya. Jika dilihat dari aksara,
Prasasti Palas Pasemah ini diduga berasal dari abad ke-7 Masehi.

4. Prasasti Hujung Langit

Prasasti Hujung Langit merupakan Prasasti dari Kerajaan Sriwijaya yang ditemukan
pada sebuah desa bernama Desa Haur Kuning, Lampung dan juga ditulis dalam bahasa
Melayu Kuno serta aksara Pallawa. Isi dari prasasti ini tidak terlalu jelas sebab
kerusakan yang terjadi sudah cukup banyak, namun diperkirakan berasal dari tahun
997 Masehi dan isinya tentang pemberian tanah Sima.

5. Prasasti Telaga Batu

Prasasti Telaga Batu ditemukan di kolam Telaga Biru, Kelurahan 3 Ilir, Kecamatan Ilir
Timur II, Kota Palembang tahun 1935 yang berisi tentang kutukan untuk mereka yang
berbuat jahat di kedautan Sriwijaya dan kini disimpan pada Museum Nasional Jakarta.
Di sekitar lokasi penemuan Prasasti Telaga Batu ini juga ditemukan Prasasti Telaga
Batu 2 yang menceritakan tentang keberadaam sebuah vihara dan pada tahun
sebelumnya juga ditemukan lebih dari 30 buah Prasasti Siddhayatra yang juga sudah
disimpan di Museum Nasional Jakarta. Prasasti Telaga Batu dipahat di batu andesit
dengan tinggi 118 cm serta lebar 148 cm. Pada bagian atas prasasti ada hiasan 7 buah
kepala ular kobra serta di bagian tengah terdapat pancuran tempat mengalirnya air
pembasuh. Tulisan pada prasasti ini memiliki 28 baris dengan huruf Pallawa dan
memakai bahasa Melayu Kuno. Secara garis besar, isi dari tulisan ini adalah tentang
kutukan untuk mereka yang berbuat kejahatan di kedatuan Sriwijaya dan tidak
mematuhi perintah dari datu. Casparis lalu mengemukakan pendapat jika orang yang
termasuk berbahaya dan juga bisa melawan kedatuan Sriwijaya perlu untuk disumpah
yakni putra raja (rājaputra), menteri (kumārāmātya), bupati (bhūpati), panglima
(senāpati), Pembesar/tokoh lokal terkemuka (nāyaka), bangsawan (pratyaya), raja
bawahan (hāji pratyaya), hakim (dandanayaka), ketua pekerja/buruh (tuhā an vatak =
vuruh), pengawas pekerja rendah (addhyāksi nījavarna), ahli senjata (vāsīkarana),
tentara (cātabhata), pejabat pengelola (adhikarana), karyawan toko (kāyastha),
pengrajin (sthāpaka), kapten kapal (puhāvam), peniaga (vaniyāga), pelayan raja (marsī
hāji), dan budak raja (hulun hāji).Prasasti ini menjadi prasasti kutukan lengkap sebab
juga dituliskan nama pejabat pemerintahan dan menurut dugaan beberapa ahli sejarah,
orang yang terulis di dalam prasasti juga tinggal di Palembang yang merupakan
ibukota kerajan. Sedangkan Soekmono beranggapan jika tidak mungkin Sriwijaya
berasal dari Palembang sebab adanya kutukan kepada siapa pun yang tidak patuh pada
kedatuan dan juga mengusulkan Minanga seperti yang tertulis pada prasasti Kedukan
Bukit yang diasumsikan berada di sekitar Candi Muara Tikus ibukota Sriwijaya.

6. Prasasti Kedukan Bukit

Prasasti Kedukan Bukit ditemukan tanggal 29 November 1920 oleh M. Batenburg di


Kampung Kedukan Bukit, Kelurahan 35 Ilir, Palembang, Sumatera Selatan, lebih
tepatnya di tepi Sungai Tatang yang mengalir ke Sungai Musi. Prasasti ini memiliki
ukuran 45 cm x 80 cm memakai bahasa Melayu Kuno dan aksara Pallawa. Isi dari
prasasti ini menceritakan tentang seorang utusan Kerajaan Sriwijaya yakni Dapunta
Hyang yang mengadakan Sidhayarta atau perjalanan suci memakai perahu. Dalam
perjalanan tersebut, ia didampingi dengan 2000 pasukan dan berhasil menaklukan
beberapa daerah lainnya dan prasasti tersebut kini juga tersimpan di Museum Nasional
Jakarta.Di baris ke-8 prasasti ini ada unsur tanggal, akan tetapi pada bagian akhir
sudah hilang yang seharusnya diisi dengan bulan. Berdasarkan dari data fragmen
prasasti No. D.161 yang ditemukan pada situs Telaga Batu, J.G de Casparis serta M.
Boechari diisi dengan nama bulan Asada sehingga penangalan prasasti tersebut
menjadi lengkap yakni hari e-5 paro terang bulan Asada yang bertepatan dengan
tanggal 16 Juni 682 Masehi. George Cœdès berpendapat jika siddhayatra memiliki arti
ramuan bertuah namun juga bisa diartikan lain. Dari kamus Jawa Kuno Zoetmulder
tahun 1995 berarti sukses dalam perjalanan dan bisa disimpulkan jika isi prasasti
adalah Sri Baginda yang naik sampan untuk melaksanakan penyerangan sudah sukses
melakukan perjalanan tersebut. Dari Prasasti Kedukan Bukit ini diperoleh data yakni
Dapunta Hyang yang berangkat dari Minanga lalu menaklukan kawasan dimana
ditemukan prasasti tersebut yakni Sungai Musi, Sumatera Selatan. Dengan kemiripan
bunyi, maka ada juga yang beranggapan jika Minanga Tamwan merupakan
Minangkabau yaitu eilayah pegunungan di hulu Sungai Batanghari. Sebagian lagi
berpendapat jika Minanga tidak sama seperti Melayu dan kedua wilayah tersebut
berhasil ditaklukan oleh Dapunta Hyang. Sedangkan Soekmono beranggapan jika
Minanga Tamwan berarti pertemuan 2 sungai sebab tawan memiliki arti temuan yaitu
pertemuan dari Sungai Kampar Kanan dengan Sungai Kampar Kiri di Riau yang
merupakan wilayah di sekitar Candi Muara Tikus. Sebagian lagi berpendapat jika
Minanga berubah tutur menjadi Binanga yakni sebuah kawasan yang ada di hilir
Sungai Barumun, Sumatera Utara, sedangkan pendapat lainnya beranggapan jika
armada yang dipimpin Jayanasa berasal dari luar Sumatera yaitu Semenanjung
Malaya. Dalam bukunya, Kiagus Imran Mahmud menuliskan jika Minanga tidak
mungkin berarti Minangkabau sebab istilah ini baru ada sesudah masa Sriwijaya dan ia
juga berpendapat jika Minanga yang dimaksud merupakan pertemuan dari 2 sungai di
Minanga yaitu Sungai Komering dan juga Lebong, Tulisan Matayap memang tidak
terlalu jelas sehingga mungkin yang dimaksud adalah Lengkayap yakni sebuah daerah
di Sumatera Selatan.

7. Prasati Talang Tuo

Pada kaki Bukit Seguntang tepi bagian utara Sungai Musi, Louis Constant Westenenk
yang merupakan seorang residen Palembang menemukan sebuah Prasasti pada 17
November 1920. Prasasti yang disebut dengan Talang Tuwo ini berisi tentang doa
dedikasi yang menceritakan aliran Budha yang dipakai pada masa Sriwijaya kala itu
merupakan aliran Mahayana dan ini dibuktikan dengan penggunaan kata khas aliran
Budha Mahayana seperti Vajrasarira, Bodhicitta, Mahasattva serta
annuttarabhisamyaksamvodhi. Prasasti ini masih dalam keadaan yang baik dan ditulis
pada bidang datar berukuran 50 cm x 80 cm berangka 606 Saka atau 23 Maret 684
Masehi berbahasa Melayu Kuno dan ditulis dengan aksara Pallawa. Prasasti ini
memiliki 14 baris kalimat dan sarjana pertama yang sudha berhasil menerjemahkan
prasasti tersebut adalah Van Ronkel serta Bosh yang sudah dimuat pada Acta
Orientalia. Prasasti ini kemudian disimpan pada Museum Nasional Jakarta mulai tahun
1920. Prasasti ini menceritakan tentang pembangunan taman oleh Raja Sriwijaya
yakni Sri Jayanasa yang dibuat untuk rakyat pada abad ke-7. Dalam prasasti tertulis
jika taman berada di tempat dengan pemandangan sangat indah dan lahan yang dipakai
memiliki bukit serta lembah. Pada dasar lembah juga mengalir sungai menuju Sungai
Musi. Taman ini dinamakan Taman Sriksetra yang juga ada dalam prasasti. Dalam
Prasasti Talang Tuwo ini dituliskan niat dari Baginda yakni, Semoga yang ditanam di
sini, pohon kelapa, pinang, aren, sagu, dan bermacam-macam pohon, buahnya dapat
dimakan, demikian pula bambu haur, waluh, dan pattum, dan sebagainya; dan semoga
juga tanaman-tanaman lainnya dengan bendungan-bendungan dan kolam-kolamnya,
dan semua amal yang saya berikan, dapat digunakan untuk kebaikan semua mahluk,
yang dapat pindah tempat dan yang tidak, dan bagi mereka menjadi jalan terbaik untuk
mendapatkan kebahagiaan.” “Jika mereka lapar waktu beristirahat atau dalam
perjalanan, semoga mereka menemukan makanan serta air minum. Semoga semua
kebun yang mereka buka menjadi berlebih (panennya). Semoga suburlah ternak
bermacam jenis yang mereka pelihara, dan juga budak-budak milik mereka.” “Semoga
mereka tidak terkena malapetaka, tidak tersiksa karena tidak bisa tidur. Apa pun yang
mereka perbuat, semoga semua planet dan rasi menguntungkan mereka, dan semoga
mereka terhindar dari penyakit dan ketuaan selama menjalankan usaha mereka.” Dan
juga semoga semua hamba mereka setia pada mereka dan berbakti, lagi pula semoga
teman-teman mereka tidak mengkhianati mereka dan semoga istri mereka bagi istri
yang setia. Lebih-lebih lagi, di mana pun mereka berada, semoga di tempat itu tidak
ada pencuri, atau orang yang mempergunakan kekerasan, atau pembunuh, atau
penzinah dan seterusnya.

8. Prasasti Leiden

Prasasti Leiden juga menjadi peninggalan bersejarah Kerajaan Sriwijaya yang ditulis
pada lempengan tembaga dalam bahasa Sansekerta serta Tamil dan pada saat ini
Prasasti Leiden ada di museum Belanda dengan isi yang menceritakan tentang
hubungan baik dari dinasti Chola dari Tamil dengan dinasti Sailendra dari Sriwijaya,
india Selatan.

9. Prasasti Berahi

Prasasti Berahi ditemukan oleh Kontrolir L.M. Berhout tahun 1904 di tepi Batang
Merangin, Dusun Batu Bersurat, Desa Karang Berahi, kecamatan Pamenang,
Merangin, Jambi. Seperti pada Prasasti Telaga Batu, Prasasti Kota Kapur dan juga
Prasasti Palas Pasemah dijelaskan tentang kutukan untuk mereka yang melakukan
kejahatan dan tidak setia dengan Raja Sriwijaya. Prasasti ini tidak dilengkapi dengan
tahun, akan tetapi bisa diidentifikasi memakai aksara Pallawa dan bahasa Melayu
Kuno dengan isi mengenai kutukan untuk orang yang tidak setia dan tidak tunduk
dengan Driwijaya seperti pada Prasasti Gunung Kapur dan Prasasti Telaga Batu.

10. Candi Muara Takus

Candi Muara Takus terletak di Desa Muara Takus Kecamatan XIII Koto, Kabupaten
Kampar, Riau, Indonesia yang dikelilingi dengan tembok 74 x 74 meter terbuat dari
batu putih ketinggian lebih kurang 80 cm. Candi ini sudah ada sejak jaman keemasan
Kerajaan Sriwijaya dan menjadi salah satu pusat pemerintahan Kerajaan tersebut.
Candi ini terbuat dari batu pasir, batu bata dan batu sungai yang berbeda dengan candi
kebanyakan di Jawa yang terbuat dari batu andesit. Bahan utama membuat Candi
Muara Takus ini adalah tanah liat yang diambil dari desa Pongkai. Dalam kompleks
ini terdapat sebuah stupa berukuran besar dengan bentuk menara yang sebagian besar
terbuat dari batu bata dan batu pasir kuning dan di dalam bangunan Candi Muara
Takus juga terdapat bangunan candi yakni Candi Bungsu, Candi Tua, Palangka dan
juga Stupa Mahligai. Arsitektur dari Candi Muara Takus ini sangat unik sebab tidak
ditemukan pada wilayah Indonesia yang lain dan memiliki kesamaan bentuk dengan
Stupa Budha di Myanmar, Vietnam serta Sri Lanka sebab pada stupa mempunyai
ornamen roda serta kepala singa yang hampir ditemukan juga di semua kompleks
Candi Muara Takus.

11. Candi Muaro Jambi

Kompleks Candi Muaro Jambi merupakan kompleks candi terluas di Asia Tenggara
yakni seluas 3981 hektar dan kemungkinan besar adalah peninggalan dari Kerajaan
Sriwijaya serta Kerajaan Melayu. Candi Mauaro Jambi terletak di Kecamatan Maro
Sebo, Kabupaten Muaro nJambi, Jambi, indonesia di tepi Batang Hari. Kompleks
candi ini pertama kali dilaporkan pada tahun 1824 oleh letnan inggris bernama S.C.
Crooke saat melakukan pemetaan daerah aliran sungai untuk keperluan militer.
Kemudian pada tahun 1975, pemerintah Indonesia melakukan pemugaran serius
dipimpin oleh R. Soekmono. Dari aksara Jawa Juno yang terdapat dari beberapa
lempengan yang juga ditemukan, seorang pakar epigrafi bernama Boechari
menyimpulkan jika candi tersebut merupakan peninggalan dari abad ke-9 sampai 12
Masehi. Dalam kompleks candi ini terdapat 9 buah candi yang baru mengalami proses
pemugaran yakni Gedong Satu, Kembar Batu, Kotomahligai, Gedong Dua, Tinggi,
Gumpung, Candi Astano, Kembang Batu, Telago Rajo dan juga Kedaton. Dalam
kompleks Candi Muaro Jambi tidak hanya ditemukan beberapa buah candi saja,
namun juga ditemukan parit atau kanal kuno buatan manusia, kolam penampungan air
dan juga gundukan tanah yang pada bagian dalamnya terdapat struktur bata kuno.
Dalam kompleks candi ini setidaknya terdapat 85 buah menapo yang dimiliki oleh
penduduk setempat.

12. Candi Bahal


Candi Portibi atau Biaro Bahal merupakan kompleks candi Buddha dengan aliran
Vajrayana yang ada di Desa Bahal, kecamatan Padang Bolak, Portibi, Kabupaten
Padang Lawas, Sumatera Utara. Candi ini terbuat dari material bata merah yang pada
bagian kaki candi terdapat hiasan berupa papan berkeliling dengan ukiran tokoh yaksa
berkepala hewan yang sedang menari. Wajah penari tersebut memakai topeng hewan
seperti upacara di Tibet dan diantara papan tersebut ada hiasan berupa ukiran singa
yang sedang duduk.

13. Gapura Sriwijaya

terletak di Dusun Rimba, Kecamatan Dempo Tengah, Kota Pagar Alam, Sumatera
Selatan. Dalam situs Gapura Sriwijaya ini terdapat 9 Gapura akan tetapi sampai saat
ini baru ditemukan sebanyak 7 gapura saja. Keadaan gapura pada situs ini sudah dalam
keadaan roboh karena kemungkinan disebabkan oleh faktor alam seperti erosi, gempa
dan lainnya. Reruntuhan Gapura Sriwijaya ini berbentuk bebatuan segi lima
memanjang dengan tanda cekungan bentuk oval ke dalam pada salah satu bagian sisi
batu. Tanda cekungan ini merupakan pengunci supaya batu bisa disatukan atau
ditempel.
Daftar Pustaka

https://jurnal.ugm.ac.id

https://widiyatmiko.staff.gunadarma.ac.id

https://www.scribd.com

https://blogbayur.blogspot.com

https://presbaglogmandiri.blogspot.com

https://sejarahlengkap.com/indonesia/kerajaan/peninggalan-kerajaan-sriwijaya

https://journal.dkampus.com/index.php/history/article/view/2

http://indonesia.peradaban.web.id/id3/2898-2789/Kerajaan-Sriwijaya_29784_indonesia-
peradaban.html

https://sejarahlengkap.com/indonesia/kerajaan/sejarah-kerajaan-sriwijaya
https://www.siswapedia.com/sejarah-berdirinya-kerajaan-sriwijaya/

http://jagosejarah.blogspot.com/2015/06/sejarah-kerajaan-sriwijaya.html

https://ibnuasmara.com/sejarah-kerajaan-sriwijaya/

Anda mungkin juga menyukai