KERAJAAN SRIWIJAYA
Oleh:
Dani Pratama
201901007
WONOGIRI
JAWA TENGAH
2019
KATA PENGANTAR
Segala puji dan syukur penulis hadirkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, Sang Tri
Ratna, Buddha, Dhamma, dan Sanggha, karena berkat karma baik yang telah mendukung adanya
pembuatan artikel ini, sehingga dapat diselesaikan sesuai dengan rencana. artikel yang berjudul
“Kerajaan Sriwijaya” untuk memenui salah satu tugas Sejarah Agama Buddha di Indonesia
Dharmacharya semester 1 dari dosen pengampuh Sejarah Agama Buddha di Indonesia.
Selama penyusunan artikel ini banyak kendala yang kami hadapi namun berkat
bimbingan serta bantuan dari berbagai pihak semua kendala tersebut dapat teratasi. Pada
kesempatan ini dengan ketulusan hati penulis, penulis menyampaikan terimaksih kepada semua
pihak yang telah membantu dalam pembuatan artikel ini.
Penulis masih merasa banyak kekurangan-kekurangan baik pada teknik penulisan
maupun materi, mengingat akan kemampuan yang dimiliki penulis. Untuk itu penulis
mengharapkan adanya kritik dan saran dari semua pihak yang bersifat membangun guna
menyempurnakan pembuatan artikel ini.
Semoga artikel ini dapat bermanfaat bagi pembaca dan menjadi sumbangan pemikiran
bagi pihak yang membutuhkan.
Penulis
Awal berdirinya kerajaan Sriwijaya
Bukti awal mengenai keberadaan kerajaan Sriwijaya ini berawal dari abad ke-7, I
Tsing, seorang pendeta Tiongkok, menuliskan bahwa ia tinggal selama 6 bulan saat
mengunjungi Sriwijaya tahun 671. Prasasti sejarah yang paling tua mengenai Kerajaan
Sriwijaya juga berada pada abad ke-7, di Palembang yaitu prasasti Kedukan Bukit, pada
tahun 682. Dikarenakan terjadi beberapa peperangan diantaranya serangan dari raja
Dharmawangsa Teguh di tahun 990 dari Jawa menjadikan pengaruh Kerajaan Sriwijaya
terhadap daerah bawahannya mulai berkurang, dan serangan Rajendra Chola I dari
Koromandel di tahun 1025, selanjutnya di tahun 1183 Sriwijaya dibawah kendali
kekuasaan kerajaan Dharmasraya. Kerajaan ini merupakan negara maritim dan menjadi
pusat perdagangan, namun kerajaan ini tidak meluaskan kekuasaannya di luar wilayah
kepulauan Asia Tenggara, dengan pengecualian berkontribusi untuk sebuah populasi
Madagaskar sejauh 3.300 mil di wilayah barat. Sesuai dengan catatan I Tsing, Kekaisaran
Sriwijaya telah ada sejak tahun 671, pada tahun 682 dari prasasti Kedukan Bukit di
diketahui imperium ini di bawah kepemimpinan Dapunta Hyang. Di abad ke-7 ini, orang
Tionghoa mencatat bahwa terdapat dua kerajaan yaitu Kedah dan Malayu menjadi bagian
kekuasaan Sriwijaya.
Sriwijaya tumbuh dan sukses mengendalikan jalur perdagangan maritim di Selat
Sunda, Selat Malaka, Laut Jawa, Laut China Selatan, dan Selat Karimata. Ekspansi
kerajaan ini ke Semenanjung Malaya dan Jawa, menjadikan Sriwijaya mengontrol dua
pusat perdagangan di Asia Tenggara. Berdasarkan penelitian, ditemukan reruntuhan
candi-candi Sriwijaya di Kamboja dan Thailand. Pelabuhan Cham di sebelah timur
Indochina di abad ke-7, mulai mengalihkan banyak pedagang dari Sriwijaya. Untuk
mencegah hal tersebut, Maharaja Dharmasetu melakukan beberapa serangan ke kota-kota
pantai di Indochina. Kota indrapura diwilayah sungai Mekong, diawal abad ke-8 berada
dibawah kendali kerajaan Sriwijaya. Di akhir abad ke-8 beberapa kerajaan di Jawa seperti
Holing dan Tarumanegara berada dibawah kekuasaan Sriwijaya. Menurut cacatan,
wangsa syalindra pada masa ini Semenanjung Melayu Langkasuka, Trambalinga dan Pan
Pan yang terletak di sebelah utara Langkasuka juga berada di bawah kekuasaan
Sriwijaya.
Meskipun catatan sejarah dan bukti arkeologi jarang ditemukan, tetapi beberapa
menyatakan bahwa pada abad ke-7, Sriwijaya telah melakukan kolonisasi atas seluruh
Sumatra, Jawa Barat, dan beberapa daerah di Semenanjung Melayu. Dominasi atas Selat
Malaka dan Selat Sunda, menjadikan Sriwijaya sebagai pengendali rute perdagangan
rempah dan perdagangan lokal yang mengenakan biaya atas setiap kapal yang lewat.
Palembang mengakumulasi kekayaannya sebagai pelabuhan dan gudang perdagangan
yang melayani pasar Tiongkok, Melayu, dan India.
Pada masa awal, Kerajaan Khmer juga menjadi daerah jajahan Sriwijaya. Banyak
sejarawan mengklaim bahwa Chaiya, di propinsi Surat Thani, Thailand sebagai ibu kota
terakhir kerajaan, walaupun klaim tersebut tidak mendasar. Pengaruh Sriwijaya nampak
pada bangunan pagoda Borom That yang bergaya Sriwijaya. Setelah kejatuhan Sriwijaya,
Chaiya terbagi menjadi tiga kota yakni (Mueang) Chaiya, Thatong (Kanchanadit) dan
Khirirat Nikhom.
Selain dengan Kerajaan Pala, Sriwijaya juga menjalin hubungan baik dengan
Kerajaan Cholamandala. Raja Sriwijaya yakni Raja Sanggrama Wijayatunggawarman
mendirikan sebuah biara (1006 M) di Kerajaan Chola untuk tempat tinggal para bhiksu
dari Kerajaan Sriwijaya. Namun, persaingan di bidang pelayaran dan perdagangan
membuat keduanya bermusuhan.Raja Rajendra Chola melakukan serangan ke Kerajaan
Sriwijaya sampai dua kali. Serangan pertama tahun 1007 M mengalami kegagalan. Pada
serangan kedua (1023 M) Kerajaan Chola berhasil merebut kota dan bandar-bandar
penting Sriwijaya, bahkan Raja Sanggrama Wijayatunggawarman berhasil ditawan.
1. Sumber Cina
Kunjungan I-sting, seorang peziarah Budha dari China pertama kali pada tahun
671 M. Dalam catatannya disebutkan bahwa saat itu terdapat lebih dari seribu
orang pendeta Budha di Sriwijaya. Aturan dan upacara para pendeta Budha
tersebut sama dengan aturan dan upacara yang dilakukan oleh para pendeta Budha
di pusat ajaran agama Budha, India. I-tsing tinggal selama 6 bulan di Sriwijaya
untuk belajar bahasa Sansekerta, setelah itu ia berangkat ke Nalanda, India.
Setelah lama belajar di Nalanda, tahun 685 I-tsing kembali ke Sriwijaya dan
tinggal selama beberapa tahun untuk menerjemahkan teks-teks Budha dari bahasa
Sansekerta ke bahasa Cina. Catatan Cina yang lain menyebutkan tentang utusan
Sriwijaya yang datang secara rutin ke Cina, yang terakhir pada tahun 988 M.
2. Sumber Arab
Orang-orang Arab sering menyebut Sriwijaya dengan nama Sribuza, Sabay atau
Zabaq. Mas‘udi, seorang sejarawan Arab klasik menulis catatan tentang Sriwijaya
pada tahun 955 M. Dalam catatan itu, digambarkan Sriwijaya merupakan sebuah
kerajaan besar, dengan tentara yang sangat banyak. Hasil bumi Sriwijaya adalah
kapur barus, kayu gaharu, cengkeh, kayu cendana, pala, kardamunggu, gambir
dan beberapa hasil bumi lainya. Bukti lain yang mendukung adalah ditemukannya
perkampungan-perkampungan Arab sebagai tempat tinggal sementara di pusat
Kerajaan Sriwijaya.
3. Sumber India
Kerajaan Sriwijaya pernah menjalin hubungan dengan raja-raja dari kerajaan-
kerajaan di India seperti Kerajaan Nalanda dan Kerajaan Chola. Dengan Kerajaan
Nalanda disebutkan bahwa Raja Sriwijaya mendirikan sebuah prasasti yang
dikenal dengan nama Prasasti Nalanda. Dalam prasasti tersebut dinyatakan bahwa
Raja Nalanda yang bernama Raja Dewa Paladewa berkenan membebaskan 5 desa
dari pajak. Sebagai gantinya, kelima desa tersebut wajib membiayai para
mahasiswa dari Kerajaan Sriwijaya yang menuntut ilmu di Kerajaan Nalanda. Di
samping menjalin hubungan dengan Kerajaan Nalanda, Kerajaan Sriwijaya juga
menjalin hubungan dengan Kerajaan Chola (Cholamandala) yang terletak di India
Selatan. Hubungan ini menjadi retak setelah Raja Rajendra Chola ingin
menguasai Selat Malaka.
4. Sumber lain
Sumber dalam negeri berasal dari prasasti-prasasti yang dibuat oleh raja-raja dari
Kerajaan Sriwijaya. Prasasti-prasasti dari Kerajaan Sriwijaya sebagian besar
menggunakan huruf Pallawa dan bahasa Melayu Kuno. Prasasti itu antara lain sebagai
berikut.
Prasasti ini merupakan yang paling tua, bertarikh 682 M, menceritakan tentang
kisah perjalanan suci Dapunta Hyang dari Minana dengan perahu, bersama dua
laksa (20.000) tentara dan 200 peti perbekalan, serta 1.213 tentara yang berjalan
kaki. Sumber lain menyatakan prasasti ini berisi tentang penaklukan Bumi Jawa
yang tidak setia kepada Sriwijaya. Prasasti Kota Kapur ditemukan di Pulau
Bangka.
Prasasti berangka tahun 683 M itu menyebutkan bahwa raja Sriwijaya bernama
Dapunta Hyang yang membawa tentara sebanyak 20.000 orang berhasil
menundukan Minangatamwan. Dengan kemenangan itu, Kerajaan Sriwijaya
menjadi makmur. Daerah yang dimaksud Minangatamwan itu kemungkinan
adalah daerah Binaga yang terletak di Jambi. Daerah itu sangat strategis untuk
perdagangan.
3. Prasasti Talangtuo
Prasasti berangka tahun 686 M itu ditemukan di daerah pedalaman Jambi, yang
menunjukan penguasaan Sriwijaya atas daerah itu.
5. Prasasti Ligor
Prasasti berangka tahun 775 M itu menyebutkan tentang ibu kota Ligor yang
difungsikan untuk mengawasi pelayaran perdagangan di Selat Malaka.
6. Prasasti Nalanda
Prasasti itu menyebutkan Raja Balaputra Dewa sebagai Raja terakhir dari Dinasti
Syailendra yang terusir dari Jawa Tengah akibat kekalahannya melawan Kerajaan
Mataram dari Dinasti Sanjaya. Dalam prasasti itu, Balaputra Dewa meminta
kepada Raja Nalanda agar mengakui haknya atas Kerajaan Syailendra. Di
samping itu, prasasti ini juga menyebutkan bahwa Raja Dewa Paladewa berkenan
membebaskan 5 buah desa dari pajak untuk membiayai para mahasiswa Sriwijaya
yang belajar di Nalanda.
7. Prasasti Telaga Batu
Prasasti ini ditemukan di sekitar Palembang pada tahun 1918 M. Berbentuk batu
lempeng mendekati segi lima, di atasnya ada tujuh kepala ular kobra, dengan
sebentuk mangkuk kecil dengan cerat (mulut kecil tempat keluar air) di
bawahnya. Menurut para arkeolog, prasasti ini digunakan untuk pelaksanaan
upacara sumpah kesetiaan dan kepatuhan para calon pejabat. Dalam prosesi itu,
pejabat yang disumpah meminum air yang dialirkan ke batu dan keluar melalui
cerat tersebut. Sebagai sarana untuk upacara persumpahan, prasasti seperti itu
biasanya ditempatkan di pusat kerajaan, maka diduga kuat Palembang merupakan
pusat Kerajaan Sriwijaya.
Aspek kehidupan
Kehidupan Politik
Salah satu cara untuk memperluas pengaruh kerajaan adalah melakukan perkawinan
dengan kerajaan lain. Hal ini dilakukan oleh penguasa Sriwijaya, Dapunta Hyang
pada tahun 664 M dengan Sobakancana, putri kedua raja Kerajaan Tarumanegara.
Dapunta Hyang Sri Yayanaga (Prasasti Kedukan Bukit 683 M, Prasasti Talangtuo
684 M)
Berita mengenai raja ini diketahui dari Prasasti Kedukan Bukit tahun 683 M dan
Prasasti Talangtuo tahun 684 M. Pada masa pemerintahannya, Raja Dapunta Hyang
Sri Yayanaga telah berhasil memperluas wilayah kekuasaannya sampai ke wilayah
Minangatamwan, Jambi. Sejak awal pemerintahannya, Raja Dapunta Hyang telah
mencita-citakan agar Kerajaan Sriwijaya menjadi kerajaan maritim.
Struktur Birokrasi
Kehidupan Ekonomi
Menurut catatan asing, bumi Sriwijaya menghasilkan cengkeh, kapulaga, pala, lada,
pinang, kayu gaharu, kayu cendana, kapur barus, gading, timah, emas, perak, kayu
hitam, kayu sapan, rempah-rempah dan penyu. Barang-barang tersebut dijual atau
dibarter dengan kain katu, sutera dan porselen melalui relasi dagang dengan Cina,
India, Arab dan Madagaskar.
Sriwijaya yang merupakan kerajaan besar penganut agama Budha, serta merupakan
pusat agama Budha yang penting di Asia Tenggara dan Asia Timur. Agama Budha
yang berkembang di Kerajaan Sriwijaya adalah agama Budha Mahayana. Menurut
berita dari Tibet, seorang pendeta bernama Atica datang dan tinggal di Sriwijaya
(1011-1023 M) untuk belajar agama Budha dari seorang guru bernama Dharmapala.
Menurutnya, Sriwijaya merupakan pusat agama Budha di luar India.
Berdasarkan sumber Tiongkok pada buku Chu-fan-chi yang ditulis pada tahun
1178, Chou-Ju-Kua menerangkan bahwa di kepulauan Asia Tenggara terdapat dua
kerajaan yang sangat kuat dan kaya, yakni Sriwijaya dan Jawa (Kediri). Di Jawa dia
menemukan bahwa rakyatnya memeluk agama Budha dan Hindu, sedangkan rakyat
Sriwijaya memeluk Budha. Berdasarkan sumber ini pula dikatakan bahwa beberapa
wilayah kerajaan Sriwijaya ingin melepaskan diri, antara lain Kien-pi (Kampe, di
utara Sumatra) dan beberapa koloni di semenanjung Malaysia. Pada masa itu
wilayah Sriwijaya meliputi; Pong-fong (Pahang), Tong-ya-nong (Trengganu), Ling-
ya-ssi-kia (Langkasuka), Kilan-tan (Kelantan), Fo-lo-an, Ji-lo-t’ing (Jelutong),
Ts’ien-mai, Pa-t’a (Batak), Tan-ma-ling (Tambralingga, Ligor), Kia-lo-hi (Grahi,
bagian utara semenanjung Malaysia), Pa-lin-fong (Palembang), Sin-t’o (Sunda),
Lan-wu-li (Lamuri di Aceh), and Si-lan (Srilanka).
Pada tahun 1288, Singosari, penerus kerajaan Kediri di Jawa, menaklukan
Palembang dan Jambi selama masa ekspedisi Pamalayu. Di tahun 1293, Majapahit
pengganti Singosari, memerintah Sumatra. Raja ke-4 Hayam Wuruk memberikan
tanggung jawab tersebut kepada Pangeran Adityawarman, seorang peranakan
Minang dan Jawa. Pada tahun 1377 terjadi pemberontakan terhadap Majapahit,
tetapi pemberontakan tersebut dapat dipadamkan walaupun di selatan Sumatra
sering terjadi kekacauan dan pengrusakan.
Maka sejak akhir abad ke-13 M Kerajaan Sriwijaya menjadi kerajaan kecil dan
wilayahnya terbatas pada daerah Palembang. Kerajaan Sriwijaya yang kecil dan
lemah akhirnya dihancurkan oleh Kerajaan Majapahit pada tahun 1377 M.
Prasasti Kota Kapur yang merupakan peninggalan Kerajaan Sriwijaya ini ditemukan di
Pulau Bangka bagian Barat yang ditulis dengan memakai bahasa Melayu Kuno serta
aksara Pallawa. Prasasti ini ditemukan oleh J.K Van der Meulen tahun 1892 dengan isi
yang menceritakan tentang kutukan untuk orang yang berani melanggar titah atau
pertintah dari kekuasaan Raja Sriwijaya. Prasasti ini kemudian diteliti oleh H.Kern
yang merupakan ahli epigrafi berkebangsaan Belanda yang bekerja di Bataviaasch
Genootschap di Batavia. Awalnya ia beranggapan jika Sriwijaya merupakan nama dari
seorang raja. George Coedes lalu mengungkapkan jika Sriwijaya adalah nama dari
Kerajaan di Sumatera abad ke-7 Masehi yang mrupakan Kerajaan kuat dan pernah
berkuasa di bagian Barat Nusantara, Semenanjung Malaya serta Thailand bagian
Selatan.Sampai tahun 2012, Prasasti Kota Kapur ini masih ada di Rijksmuseum yang
merupakan Museum Kerajaan Amsterdam, Belanda dengan status dipinjamkan oleh
Museum Nasional Indonesia. Prasasti Kota Kapur ini ditemukan lebih dulu sebelum
prasasti Kedukan Bukit serta Prasasti Talang Tuwo. Dari Prasasti ini Sriwijaya
diketahui sudah berkuasa atas sebagian wilayah Sumatera, Lampung, Pulau Bangka
dan juga Belitung. Dalam Prasasti ini juga dikatakan jika Sri Jayasana sudah
melakukan ekspedisi militer yakni untuk menghukum Bhumi Jawa yang tidak mau
tunduk dengan Sriwijaya. Peristiwa ini terjadi hampir bersamaan dengan runtuhnya
Taruma di Jawa bagian Barat dan juga Kalingga atau Holing di daerah Jawa bagian
Tengah yang kemungkinan terjadi karena serangan dari Sriwijaya. Sriwijaya berhasil
tumbuh serta memegang kendali atas jalur perdagangan maritim di Selat Malaka, Laut
Cina Selatan, Selat Sunda, Laut Jawa serta Selat Karimata.
2. Prasati Ligor
Prasasti Palas Pasemah ditemukan di pinggir rawa Desa Palas Pasemah, Lampung
Selatan, Lampung yang ditulis dengan memakai bahasa Melayu Kuno aksara Pallawa
dan terdiri dari 13 baris tulisan. Isi dari prasasti ini menjelaskan tentang kutukan dari
orang yang tidak mau tunduk dengan kekuasaan Sriwijaya. Jika dilihat dari aksara,
Prasasti Palas Pasemah ini diduga berasal dari abad ke-7 Masehi.
Prasasti Hujung Langit merupakan Prasasti dari Kerajaan Sriwijaya yang ditemukan
pada sebuah desa bernama Desa Haur Kuning, Lampung dan juga ditulis dalam bahasa
Melayu Kuno serta aksara Pallawa. Isi dari prasasti ini tidak terlalu jelas sebab
kerusakan yang terjadi sudah cukup banyak, namun diperkirakan berasal dari tahun
997 Masehi dan isinya tentang pemberian tanah Sima.
Prasasti Telaga Batu ditemukan di kolam Telaga Biru, Kelurahan 3 Ilir, Kecamatan Ilir
Timur II, Kota Palembang tahun 1935 yang berisi tentang kutukan untuk mereka yang
berbuat jahat di kedautan Sriwijaya dan kini disimpan pada Museum Nasional Jakarta.
Di sekitar lokasi penemuan Prasasti Telaga Batu ini juga ditemukan Prasasti Telaga
Batu 2 yang menceritakan tentang keberadaam sebuah vihara dan pada tahun
sebelumnya juga ditemukan lebih dari 30 buah Prasasti Siddhayatra yang juga sudah
disimpan di Museum Nasional Jakarta. Prasasti Telaga Batu dipahat di batu andesit
dengan tinggi 118 cm serta lebar 148 cm. Pada bagian atas prasasti ada hiasan 7 buah
kepala ular kobra serta di bagian tengah terdapat pancuran tempat mengalirnya air
pembasuh. Tulisan pada prasasti ini memiliki 28 baris dengan huruf Pallawa dan
memakai bahasa Melayu Kuno. Secara garis besar, isi dari tulisan ini adalah tentang
kutukan untuk mereka yang berbuat kejahatan di kedatuan Sriwijaya dan tidak
mematuhi perintah dari datu. Casparis lalu mengemukakan pendapat jika orang yang
termasuk berbahaya dan juga bisa melawan kedatuan Sriwijaya perlu untuk disumpah
yakni putra raja (rājaputra), menteri (kumārāmātya), bupati (bhūpati), panglima
(senāpati), Pembesar/tokoh lokal terkemuka (nāyaka), bangsawan (pratyaya), raja
bawahan (hāji pratyaya), hakim (dandanayaka), ketua pekerja/buruh (tuhā an vatak =
vuruh), pengawas pekerja rendah (addhyāksi nījavarna), ahli senjata (vāsīkarana),
tentara (cātabhata), pejabat pengelola (adhikarana), karyawan toko (kāyastha),
pengrajin (sthāpaka), kapten kapal (puhāvam), peniaga (vaniyāga), pelayan raja (marsī
hāji), dan budak raja (hulun hāji).Prasasti ini menjadi prasasti kutukan lengkap sebab
juga dituliskan nama pejabat pemerintahan dan menurut dugaan beberapa ahli sejarah,
orang yang terulis di dalam prasasti juga tinggal di Palembang yang merupakan
ibukota kerajan. Sedangkan Soekmono beranggapan jika tidak mungkin Sriwijaya
berasal dari Palembang sebab adanya kutukan kepada siapa pun yang tidak patuh pada
kedatuan dan juga mengusulkan Minanga seperti yang tertulis pada prasasti Kedukan
Bukit yang diasumsikan berada di sekitar Candi Muara Tikus ibukota Sriwijaya.
Pada kaki Bukit Seguntang tepi bagian utara Sungai Musi, Louis Constant Westenenk
yang merupakan seorang residen Palembang menemukan sebuah Prasasti pada 17
November 1920. Prasasti yang disebut dengan Talang Tuwo ini berisi tentang doa
dedikasi yang menceritakan aliran Budha yang dipakai pada masa Sriwijaya kala itu
merupakan aliran Mahayana dan ini dibuktikan dengan penggunaan kata khas aliran
Budha Mahayana seperti Vajrasarira, Bodhicitta, Mahasattva serta
annuttarabhisamyaksamvodhi. Prasasti ini masih dalam keadaan yang baik dan ditulis
pada bidang datar berukuran 50 cm x 80 cm berangka 606 Saka atau 23 Maret 684
Masehi berbahasa Melayu Kuno dan ditulis dengan aksara Pallawa. Prasasti ini
memiliki 14 baris kalimat dan sarjana pertama yang sudha berhasil menerjemahkan
prasasti tersebut adalah Van Ronkel serta Bosh yang sudah dimuat pada Acta
Orientalia. Prasasti ini kemudian disimpan pada Museum Nasional Jakarta mulai tahun
1920. Prasasti ini menceritakan tentang pembangunan taman oleh Raja Sriwijaya
yakni Sri Jayanasa yang dibuat untuk rakyat pada abad ke-7. Dalam prasasti tertulis
jika taman berada di tempat dengan pemandangan sangat indah dan lahan yang dipakai
memiliki bukit serta lembah. Pada dasar lembah juga mengalir sungai menuju Sungai
Musi. Taman ini dinamakan Taman Sriksetra yang juga ada dalam prasasti. Dalam
Prasasti Talang Tuwo ini dituliskan niat dari Baginda yakni, Semoga yang ditanam di
sini, pohon kelapa, pinang, aren, sagu, dan bermacam-macam pohon, buahnya dapat
dimakan, demikian pula bambu haur, waluh, dan pattum, dan sebagainya; dan semoga
juga tanaman-tanaman lainnya dengan bendungan-bendungan dan kolam-kolamnya,
dan semua amal yang saya berikan, dapat digunakan untuk kebaikan semua mahluk,
yang dapat pindah tempat dan yang tidak, dan bagi mereka menjadi jalan terbaik untuk
mendapatkan kebahagiaan.” “Jika mereka lapar waktu beristirahat atau dalam
perjalanan, semoga mereka menemukan makanan serta air minum. Semoga semua
kebun yang mereka buka menjadi berlebih (panennya). Semoga suburlah ternak
bermacam jenis yang mereka pelihara, dan juga budak-budak milik mereka.” “Semoga
mereka tidak terkena malapetaka, tidak tersiksa karena tidak bisa tidur. Apa pun yang
mereka perbuat, semoga semua planet dan rasi menguntungkan mereka, dan semoga
mereka terhindar dari penyakit dan ketuaan selama menjalankan usaha mereka.” Dan
juga semoga semua hamba mereka setia pada mereka dan berbakti, lagi pula semoga
teman-teman mereka tidak mengkhianati mereka dan semoga istri mereka bagi istri
yang setia. Lebih-lebih lagi, di mana pun mereka berada, semoga di tempat itu tidak
ada pencuri, atau orang yang mempergunakan kekerasan, atau pembunuh, atau
penzinah dan seterusnya.
8. Prasasti Leiden
Prasasti Leiden juga menjadi peninggalan bersejarah Kerajaan Sriwijaya yang ditulis
pada lempengan tembaga dalam bahasa Sansekerta serta Tamil dan pada saat ini
Prasasti Leiden ada di museum Belanda dengan isi yang menceritakan tentang
hubungan baik dari dinasti Chola dari Tamil dengan dinasti Sailendra dari Sriwijaya,
india Selatan.
9. Prasasti Berahi
Prasasti Berahi ditemukan oleh Kontrolir L.M. Berhout tahun 1904 di tepi Batang
Merangin, Dusun Batu Bersurat, Desa Karang Berahi, kecamatan Pamenang,
Merangin, Jambi. Seperti pada Prasasti Telaga Batu, Prasasti Kota Kapur dan juga
Prasasti Palas Pasemah dijelaskan tentang kutukan untuk mereka yang melakukan
kejahatan dan tidak setia dengan Raja Sriwijaya. Prasasti ini tidak dilengkapi dengan
tahun, akan tetapi bisa diidentifikasi memakai aksara Pallawa dan bahasa Melayu
Kuno dengan isi mengenai kutukan untuk orang yang tidak setia dan tidak tunduk
dengan Driwijaya seperti pada Prasasti Gunung Kapur dan Prasasti Telaga Batu.
Candi Muara Takus terletak di Desa Muara Takus Kecamatan XIII Koto, Kabupaten
Kampar, Riau, Indonesia yang dikelilingi dengan tembok 74 x 74 meter terbuat dari
batu putih ketinggian lebih kurang 80 cm. Candi ini sudah ada sejak jaman keemasan
Kerajaan Sriwijaya dan menjadi salah satu pusat pemerintahan Kerajaan tersebut.
Candi ini terbuat dari batu pasir, batu bata dan batu sungai yang berbeda dengan candi
kebanyakan di Jawa yang terbuat dari batu andesit. Bahan utama membuat Candi
Muara Takus ini adalah tanah liat yang diambil dari desa Pongkai. Dalam kompleks
ini terdapat sebuah stupa berukuran besar dengan bentuk menara yang sebagian besar
terbuat dari batu bata dan batu pasir kuning dan di dalam bangunan Candi Muara
Takus juga terdapat bangunan candi yakni Candi Bungsu, Candi Tua, Palangka dan
juga Stupa Mahligai. Arsitektur dari Candi Muara Takus ini sangat unik sebab tidak
ditemukan pada wilayah Indonesia yang lain dan memiliki kesamaan bentuk dengan
Stupa Budha di Myanmar, Vietnam serta Sri Lanka sebab pada stupa mempunyai
ornamen roda serta kepala singa yang hampir ditemukan juga di semua kompleks
Candi Muara Takus.
Kompleks Candi Muaro Jambi merupakan kompleks candi terluas di Asia Tenggara
yakni seluas 3981 hektar dan kemungkinan besar adalah peninggalan dari Kerajaan
Sriwijaya serta Kerajaan Melayu. Candi Mauaro Jambi terletak di Kecamatan Maro
Sebo, Kabupaten Muaro nJambi, Jambi, indonesia di tepi Batang Hari. Kompleks
candi ini pertama kali dilaporkan pada tahun 1824 oleh letnan inggris bernama S.C.
Crooke saat melakukan pemetaan daerah aliran sungai untuk keperluan militer.
Kemudian pada tahun 1975, pemerintah Indonesia melakukan pemugaran serius
dipimpin oleh R. Soekmono. Dari aksara Jawa Juno yang terdapat dari beberapa
lempengan yang juga ditemukan, seorang pakar epigrafi bernama Boechari
menyimpulkan jika candi tersebut merupakan peninggalan dari abad ke-9 sampai 12
Masehi. Dalam kompleks candi ini terdapat 9 buah candi yang baru mengalami proses
pemugaran yakni Gedong Satu, Kembar Batu, Kotomahligai, Gedong Dua, Tinggi,
Gumpung, Candi Astano, Kembang Batu, Telago Rajo dan juga Kedaton. Dalam
kompleks Candi Muaro Jambi tidak hanya ditemukan beberapa buah candi saja,
namun juga ditemukan parit atau kanal kuno buatan manusia, kolam penampungan air
dan juga gundukan tanah yang pada bagian dalamnya terdapat struktur bata kuno.
Dalam kompleks candi ini setidaknya terdapat 85 buah menapo yang dimiliki oleh
penduduk setempat.
terletak di Dusun Rimba, Kecamatan Dempo Tengah, Kota Pagar Alam, Sumatera
Selatan. Dalam situs Gapura Sriwijaya ini terdapat 9 Gapura akan tetapi sampai saat
ini baru ditemukan sebanyak 7 gapura saja. Keadaan gapura pada situs ini sudah dalam
keadaan roboh karena kemungkinan disebabkan oleh faktor alam seperti erosi, gempa
dan lainnya. Reruntuhan Gapura Sriwijaya ini berbentuk bebatuan segi lima
memanjang dengan tanda cekungan bentuk oval ke dalam pada salah satu bagian sisi
batu. Tanda cekungan ini merupakan pengunci supaya batu bisa disatukan atau
ditempel.
Daftar Pustaka
https://jurnal.ugm.ac.id
https://widiyatmiko.staff.gunadarma.ac.id
https://www.scribd.com
https://blogbayur.blogspot.com
https://presbaglogmandiri.blogspot.com
https://sejarahlengkap.com/indonesia/kerajaan/peninggalan-kerajaan-sriwijaya
https://journal.dkampus.com/index.php/history/article/view/2
http://indonesia.peradaban.web.id/id3/2898-2789/Kerajaan-Sriwijaya_29784_indonesia-
peradaban.html
https://sejarahlengkap.com/indonesia/kerajaan/sejarah-kerajaan-sriwijaya
https://www.siswapedia.com/sejarah-berdirinya-kerajaan-sriwijaya/
http://jagosejarah.blogspot.com/2015/06/sejarah-kerajaan-sriwijaya.html
https://ibnuasmara.com/sejarah-kerajaan-sriwijaya/