Anda di halaman 1dari 6

Kerajaan Sriwijaya

Sriwijaya (Srivijaya) merupakan salah satu kerajaan besar yang ada di Nusantara pada masa lalu.
Kerajaan Sriwijaya berkaitan erat dengan sejarah peradaban Nusantara. Keberadaan kerajaan Sriwijaya
tercatat oleh seorang pendeta Tiongkok yang bernama I Tsing saat mengunjungi Sriwijaya abad ke-7 dan
menulis tentang Sriwijaya.
Sriwijaya berasal dari dua kata, yakni Sri dan Wijaya. Sri dalam bahasa Sansakerta artinya bercahaya
atau gemilang dan Wijaya dalam bahasa Sansakerta artinya kemenangan atau kejayaan. Jika
kedua kata ini digabungkan, maka bisa diartikan sebagai kemenangan yang gilang gemilang atau
kemenangan yang luar biasa.
Sejarah Kerajaan Sriwijaya
Pusat Kerajaan Sriwijaya berada di sekitar wilayah Sumatera Selatan namun memiliki daerah
pemerintahan yang membentang dari Kamboja, Thailand Selatan, Semenanjung Malaya, Sumatra, Jawa
hingga pesisir Kalimantan. Beberapa ahli masih memperdebatkan dimana persisnya pusat pemerintahan
kerajaan Sriwijaya. Selain itu pula ada kemungkinan kerajaan Sriwijaya memindahkan pusat
pemerintahan.
Raja pertama Sriwijaya adalah Dapunta Hyang Sri Jayanasa yang berkuasa sejak tahun 671 hingga 702
Masehi. Berdasarkan prasasti sebagai bukti sejarah, Raja Dapunta Hyang Sri Jayanasa mendirikan
kerajaan Sriwijaya setelah melakukan penaklukan di daerah Jambi, Palembang, Lampung, Bangka dan
Jawa.
Raja Dapunta Hyang Sri Jayanasa, berdasarkan prasasti Kedukan Bukit, salah satu peninggalan kerajaan
Sriwijaya, melakukan perjalanan dari Minanga Tamwan dengan membawa kekuatan 20.000 tentara.
Besar kemungkinan bahwa runtuhnya kerajaan Tarumanegara di Jawa Barat disebabkan oleh
penaklukan kerajaan Sriwijaya.
Mengisahkan kerajaan Sriwijaya secara kronologis memang tidak mudah dikarenakan minimnya catatan
mengenai hal tersebut. Oleh karena itu para ahli masih mencari bukti peninggalan dan masih terjadi
beberapa perdebatan mengenai beberapa hal yang ada.
Namun dari beberapa literatur yang berkaitan dengan kerajaan Sriwijaya, sudah jelas bahwa kerajaan
tersebut berkembang dan berhasil mengendalikan jalur perdagangan maritim di selat Malaka, selat
Sunda, laut Cina selatan, laut Jawa dan selat Karimata.

Rantai-rantai perdagangan dikuasai oleh Sriwijaya sebagai sebuah kerajaan besar. Ekspansi Sriwijaya ke
Jawa dan semenanjung Malaya telah menjadikan kerajaan tersebut sebagai pusat kontrol dari dua pusat
perdagangan utama di Asia Tenggara.
Masa pemerintahan raja Samaratungga pada tahun 792 hingga 835 Masehi, penguasaan Sriwijaya di
tanah Jawa makin diperkuat. Pada masa tersebut candi Borobudur yang kini disebut sebagai warisan
budaya dunia, dibangun.
Kerajaan Sriwijaya memang kerajaan Budha yang menjadi pusat pengajaran Budha Vajrayana. Banyak
peziarah dan sarjana dari berbagai negara Asia berkunjung ke Sriwijaya, salah satunya pendeta I Tsing
dari Tiongkok yang menulis bahwa Sriwijaya adalah rumah bagi sarjana Budha.
Pada waktu itu ada sekitar 1.000 orang pendeta belajar agama Budha pada seorang pendeta Sriwijaya
terkenal yang bernama Sakyakirti. Kerajaan Pala di Benggala memiliki hubungan dekat dengan kerajaan
Sriwijaya.
Pada masa pemerintahan Balaputradewa tahun 856 hingga 861 masehi, kerajaan Sriwijaya
mendedikasikan sebuah biara Budha kepada Universitas Nalanda.
Seperti diketahui, Sriwijaya merupakan kerajaan maritim, dimana kerajaan mengandalkan hegemoni
pada kekuatan armada laut dalam menguasai jalur pelayaran, perdaganan dan penguasaan berbagai
kawasan strategis sebagai pangkalan armada laut untuk mengawasi dan melindungi kapal dagang.
Ada beberapa periode yang masih menjadi misteri, terutama periode tahun 1089-1177 yang merupakan
akhir kekuasaan Sriwijaya.
Belum diketahui secara pasti penyebab meredupnya kerajaan Sriwijaya secara utuh. Diperkirakan bahwa
kerajaan Sriwijaya melemah dikarenakan banyaknya peperangan yang disebabkan oleh pemberontakan
raja-raja di bawah kekuasaannya.
Pada tahun 1183, kerajaan Sriwijaya berada dibawah kekuasaan kerajaan lain, yakni Dharmasraya dan
setelah itu menghilang.
Keberadaan kerajaan ini baru diketahui lewat publikasi sejarawan Perancis George Cds dalam
bukunya cole franaise dExtrme-Orient.

Masa Keemasan Kerajaan Sriwijaya

Berbicara mengenai kerajaan Sriwijaya memang tidak ada habis-habisnya. Kali ini kita akan membahas
mengenai masa-masa keemasan kerajaan Sriwijaya. Kita akan meniliknya dari berbagai sumber sejarah
yang valid.
Sriwijaya melakukan ekspansi wilayah ke banyak daerah sejak abad ke-7 Masehi. Ekspansi yang
dilakukan bertujuan untuk kemakmuran rakyatnya. Ekspansi ini meliputi Jawa dan Semenanjung Malaya
sehingga mengontrol dua jalur pelayaran terbesar kala itu, yaitu Selat Malaka dan Selat Sunda yang
mana merupakan jalur perdagangan penting di dunia. Pemasukan terbesar adalah bea cukai yang
dikenakan pada setiap kapal dagang yang singgah. Hal ini memberikan pemasukan yang tidak sedikit
bagi kerajaan.
Pada masa kekuasaan raja Samaratungga, yakni pada tahun 795 hingga 835 Masehi, ekspansi militer
Sriwijaya sudah berkurang. Samaratungga lebih banyak menghabiskan sumber daya untuk memperkuat
penguasaan kerajaan di Jawa. Pada masa kepemimpinan Samaratungga inilah candi Borobudur yang
sangat megah itu dibangun dan selesai pada tahun 825 masehi.
Berdasarkan catatan I Tsing, pendeta asal Tiongkok yang berkunjung ke Sriwijaya, kerajaan Sriwijaya
telah ada sejak 671 masehi. Menurut keterangan, prasasti Kedukan Bukit pada tahun 682, kerajaan
Sriwijaya dipimpin oleh Dapunta Hyang. Tercatat oleh para pedagang Tiongkok bahwa ada dua kerajaan
besar di selat Malaka yakni Malayu dan Kedah menjadi bagian dari kerajaan Sriwijaya.
Dalam prasasti Kota Kapur yang memiliki tahun pembuatan 686 Masehi dan ditemukan di pulau Bangka,
pada tahun tersebut, kerajaan Sriwijaya telah menguasai bagian barat Sumatera, pulau Bangka dan
Belitung hingga Lampung.
Sriwijaya memang termasuk dalam kerajaan maritim yang tangguh. Salah satu bukti bahwa kerajaan
Sriwijaya adalah kerajaan yang tangguh, kaya dan kuat adalah adanya armada angkatan laut yang
memberikan perlindungan kepada negara-negara lain karena Sriwijaya memiliki banyak negara
bawahan.
Luas daerah kekuasaan yang dimiliki tentu saja membuat Sriwijaya memiliki banyak nama. Orang
Tiongkok biasa menyebutnya dalam 3 nama yang berbeda, tergantung dialek mereka seperti Shih Li Fo
Shih atau San Fo Tsi atau San Fo Qi.

Dalam bahasa Sansakerta disebut sebagai Yavadesh, sedangkan dalam bahasa Pali disebut sebagai
Javadeh. Bangsa Arab menyebut kerajan Sriwijaya dengan sebutan Zabaj, sedangkan orang Khmer
menyebutnya Malayu. Nama yang banyak ini merupakan alasan kenapa Sriwijaya sulit ditemukan.
Ada bukti lain mengenai kerajaan Sriwijaya yang disebut sebagai kerajaan kaya raya. Berita arab yang
berasal dari Ibnu Nordadzbeh pada tahun 844-648 Masehi mengatakan bahwa Raja Zabaj (Sriwijaya)
disebut sebagai maharaja yang kekuasaannya meliputi pulau-pulau yang ada di lautan Timur. Hasil
negeri ini berupa kapur barus dan gajah juga banyak disana.
Menurut Ibn Roteh pada tahun 903 Masehi mengatakan bahwa Maharja Zabaj merupakan raja terkaya
jika dibandingkan dengan raja-raja di India. Ibn Zayd pada tahun 916 Masehi mengatakan bahwa
Maharaja Zabaj setiap hari melemparkan segumpal emas ke danau yang terletak di dekat istana.
Letak Kerajaan Sriwijaya dan Peninggalannya

Sejarah adalah suatu peristiwa di masa lampau yang dipelajari dari bukti berupa benda yang memuat
informasi tertentu. Dalam hal kerajaan Sriwijaya, jarak waktu yang terlalu jauh menjadikan banyak
perdebatan mengenai sejarah kerajaan sriwijaya ini, termasuk diantaranya adalah letak pasti kerajaan
yang berkembang di abad ke-7 Masehi.
Pendapat tersebut memiliki dukungan bukti tertentu yang membuat semakin sulit mengetahui letak
keberadaan kerajaan Sriwijaya secara pasti.
Pendapat yang pertama datang dari Pirre-Yves Manguin yang melakukan penelitian pada tahun 1993,
dimana ia berpendapat bahwa kerajaan Sriwijaya terletak di daerah sungai Musi antara Bukit Siguntang
dan Sabokiking yang saat ini masuk dalam wilayah provinsi Sumatera Selatan.
Pendapat lain adalah dari ahli sejarah Soekmono yang mengatakan bahwa pusat kerajaan Sriwijaya ada
di hilir sungai Batanghari, yakni antara Muara Sabak hingga Muara Tembesi yang berada di provinsi
Jambi.
Ada lagi pendapat lain yang mengatakan bahwa pusat kerajaan Sriwijaya ada di sekitar candi Muara
Takus yang masuk dalam provinsi Riau yang dikemukakan oleh Moens.

Dasar dari pendapat tersebut adalah petunjuk rute perjalanan I Tsing dan ide mengenai persembahan
untuk kaisar China pada tahun 1003, yakni berupa candi. Namun hingga kini belum ada kesepakatan dan
bukti yang sangat kuat dimana pusat kerajaan Sriwijaya sebenarnya berada.
Peninggalan Kerajaan Sriwijaya

Peninggalan kerajaan Sriwijaya ada dua macam, yakni secara fisik yaitu berupa benda yang
membuktikan kerajaan Sriwijaya pernah ada di masa lalu dan peninggalan sosio-kultural yang hingga
saat ini masih dianut oleh bangsa kita.
Peninggalan fisik ini berupa candi, prasasti dan benda-benda lain seperti keramik dan gerabah yang ada
di berbagai daerah di wilayah Asia Tenggara. Prasasti kerajaan Sriwijaya antara lain:
1. Prasasti Kota Kapur di Bangka
2. Prasasti Telaga Batu ditemukan pada tahun 1918
3. Prasasti Karang Berahi ditemukan pada tahun 1904
4. Prasasti Kedukan Bukit ditemukan pada tahun 1920
5. Prasasti Talang Tuo ditemukan pada tahun 1920
6. Prasasti Boom Baru
Diantara semua prasasti di dalam negeri tersebut, prasasti Kota Kapur adalah prasasti tertua yang
bertahun 682 masehi. Prasasti ini menceritakan perjalanan Dapunta Hyang dari Minanga dengan perahu
berasama 20.000 pasukan dan 200 peti perbekalan serta 1.213 tentara yang berjalan kaki.
Selain di dalam negeri, Sriwijaya juga meninggalkan jejak di luar negeri. Peninggalan Sriwijaya dapat
ditemukan di India berupa kuil Budha.
Kerajaan Sriwijaya memiliki peninggalan selain prasasti yakni berupa barang keramik dan tembikar.
Salah satu contohnya adalah peninggalan di Jawa Tengah yang masih dapat kita lihat sampai saat ini.
Peninggalan ini terjadi pada saat Sriwijaya memindahkan pusat kekuasaan dari Sumatera ke Jawa.
Pada masa itu kerajaan diperintah dari wangsa Syailendra yang membangun banyak candi seperti dalam
hal sosio-kultural, pengaruh kerajaan Sriwijaya hingga saat ini masih menjadi inspirasi budaya, misalnya
lagu dan tarian tradisional Gending Sriwijaya.

Tarian Sevichai di Thailand selatan juga merupakan inspirasi dari seni budaya Sriwijaya. Yang paling
penting dari itu semua adalah penyebaran bahasa melayu yang merupakan akar dari Bahasa Indonesia.
Bahaya melayu kuno memang digunakan pada zaman kerajaan Sriwijaya. Terbukti dengan prasastinya
yang menggunakan bahasa tersebut. Hubungan dagang yang dilakukan menggunakan bahasa melayu
sebagai bahasa standar. Bahasa melayupun menjadi dikenal luas. Itulah kenapa alasan Bahasa Indonesia
menggunakan bahasa Melayu sebagai bahasa Induk.
Tidak terdapat catatan lebih lanjut mengenai Sriwijaya dalam sejarah Indonesia. Masa lalunya yang
terlupakan dibentuk kembali oleh sarjana asing di tahun 1920-an, ketika sarjana Perancis George Cds
mempublikasikan penemuannya dalam surat kabar berbahasa Belanda dan Indonesia.
Coeds menyatakan bahwa referensi Tiongkok terhadap "San-fo-ts'i", sebelumnya dibaca "Sribhoja" dan
beberapa prasasti dalam Melayu Kuno merujuk pada kekaisaran yang sama.
Selain itu telah ditemukan oleh Balai Arkeologi Palembang sebuah perahu kuno yang diperkirakan ada
sejak masa awal atau proto Kerajaan Sriwijaya di Desa Sungai Pasir, Kecamatan Cengal, Kabupaten Ogan
Komering Ilir, Sumatera Selatan.
Sayangnya, kepala perahu kuno itu sudah hilang dan sebagian papan perahu itu justru digunakan untuk
jembatan. Tercatat ada 17 keping perahu yang terdiri dari bagian lunas, 14 papan perahu yang terdiri
dari bagian badan dan bagian buritan untuk menempatkan kemudi.
Perahu ini dibuat dengan teknik pasak kayu dan papan ikat yang menggunakan tali ijuk. Cara tersebut
dikenal dengan sebutan teknik tradisi Asia Tenggara. Selain bangkai perahu, ditemukan juga sejumlah
artefak-artefak lain yang berhubungan dengan temuan perahu, seperti tembikar, keramik dan alat kayu.
Mempelajari sejarah kerajaan Sriwijaya yang begitu besar dan gemilang dapat memacu motivasi dalam
diri untuk mengembalikan kedahsyatan bangsa kita.
Rasa cinta terhadap tanah air menjadi semakin besar, memicu pada keinginan untuk bangkit. Kita adalah
bangsa besar di masa lalu. Bangsa yang menjadi trend-setter di masanya. Bukan hanya bangsa yang
mengekor bangsa lain. Semoga kita segera bangkit untuk menyongsong Indonesia Jaya di masa depan,
sejaya kerajaan Sriwijaya dan kerajaan besar lainnya di Nusantara. MERDEKA!!!
Nara Sumber : Achmad Juniarto, Dolly Lukman Fitrianto, Dedy Wahyudin, Wikipedia
Penulis : Nunik Sumasni, Dolly Lykman Fitrianto

Anda mungkin juga menyukai