Anda di halaman 1dari 7

Sriwijaya (atau juga disebut Srivijaya; Thai: ???????? atau "?ri wich?

y") adalah salah satu kemaharajaan maritim yang kuat di pulau Sumatera dan banyak memberi p engaruh di Nusantara dengan daerah kekuasaan membentang dari Kamboja, Thailand S elatan, Semenanjung Malaya, Sumatera, Jawa, dan pesisir Kalimantan.[1][2] Dalam bahasa Sansekerta, sri berarti "bercahaya" atau "gemilang", dan wijaya berarti " kemenangan" atau "kejayaan",[2] maka nama Sriwijaya bermakna "kemenangan yang gi lang-gemilang". Bukti awal mengenai keberadaan kerajaan ini berasal dari abad ke -7; seorang pendeta Tiongkok, I Tsing, menulis bahwa ia mengunjungi Sriwijaya ta hun 671 dan tinggal selama 6 bulan.[3][4] Selanjutnya prasasti yang paling tua m engenai Sriwijaya juga berada pada abad ke-7, yaitu prasasti Kedukan Bukit di Pa lembang, bertarikh 682.[5] Kemunduran pengaruh Sriwijaya terhadap daerah bawahan nya mulai menyusut dikarenakan beberapa peperangan[2] di antaranya serangan dari raja Dharmawangsa Teguh dari Jawa di tahun 990, dan tahun 1025 serangan Rajendr a Chola I dari Koromandel, selanjutnya tahun 1183 kekuasaan Sriwijaya di bawah k endali kerajaan Dharmasraya.[6] Setelah jatuh, kerajaan ini terlupakan dan eksistensinya baru diketahui lewat pu blikasi tahun 1918 dari sejarawan Perancis George C ds dari cole franaise d'Extrme-Ori ent.[7] Historiografi Tidak terdapat catatan lebih lanjut mengenai Sriwijaya dalam sejarah Indonesia; masa lalunya yang terlupakan dibentuk kembali oleh sarjana asing. Tidak ada oran g Indonesia modern yang mendengar mengenai Sriwijaya sampai tahun 1920-an, ketik a sarjana Perancis George C ds mempublikasikan penemuannya dalam koran berbahasa Be landa dan Indonesia.[8] Coeds menyatakan bahwa referensi Tiongkok terhadap "San-f o-ts'i", sebelumnya dibaca "Sribhoja", dan beberapa prasasti dalam Melayu Kuno m erujuk pada kekaisaran yang sama.[9] Sriwijaya menjadi simbol kebesaran Sumatera awal, dan kerajaan besar Nusantara s elain Majapahit di Jawa Timur. Pada abad ke-20, kedua kerajaan tersebut menjadi referensi oleh kaum nasionalis untuk menunjukkan bahwa Indonesia merupakan satu kesatuan negara sebelelum kolonialisme Belanda.[8] Sriwijaya disebut dengan berbagai macam nama. Orang Tionghoa menyebutnya Shih-li -fo-shih atau San-fo-ts'i atau San Fo Qi. Dalam bahasa Sansekerta dan Pali, kera jaan Sriwijaya disebut Yavadesh dan Javadeh. Bangsa Arab menyebutnya Zabaj dan K hmer menyebutnya Malayu. Banyaknya nama merupakan alasan lain mengapa Sriwijaya sangat sulit ditemukan.[2] Sementara dari peta Ptolemaeus ditemukan keterangan t entang adanya 3 pulau Sabadeibei yang kemungkinan berkaitan dengan Sriwijaya.[6] Sekitar tahun 1993, Pierre-Yves Manguin melakukan observasi dan berpendapat bahw a pusat Sriwijaya berada di Sungai Musi antara Bukit Seguntang dan Sabokingking (terletak di provinsi Sumatera Selatan sekarang).[2] Namun sebelumnya Soekmono b erpendapat bahwa pusat Sriwijaya terletak pada kawasan sehiliran Batang Hari, an tara Muara Sabak sampai ke Muara Tembesi (di provinsi Jambi sekarang),[6] dengan catatan Malayu tidak di kawasan tersebut, jika Malayu pada kawasan tersebut, ia cendrung kepada pendapat Moens,[10] yang sebelumnya juga telah berpendapat bahw a letak dari pusat kerajaan Sriwijaya berada pada kawasan Candi Muara Takus (pro vinsi Riau sekarang), dengan asumsi petunjuk arah perjalanan dalam catatan I Tsi ng,[11] serta hal ini dapat juga dikaitkan dengan berita tentang pembangunan can di yang dipersembahkan oleh raja Sriwijaya (Se li chu la wu ni fu ma tian hwa at au Sri Cudamaniwarmadewa) tahun 1003 kepada kaisar Cina yang dinamakan cheng tie n wan shou (Candi Bungsu, salah satu bagian dari candi yang terletak di Muara Ta kus).[12] Namun yang pasti pada masa penaklukan oleh Rajendra Chola I, berdasark an prasasti Tanjore, Sriwijaya telah beribukota di Kadaram (Kedah sekarang).[6] Pembentukan dan pertumbuhan

Belum banyak bukti fisik mengenai Sriwijaya yang dapat ditemukan.[8] Kerajaan in i menjadi pusat perdagangan dan merupakan negara maritim, namun kerajaan ini tid ak memperluas kekuasaannya di luar wilayah kepulauan Asia Tenggara, dengan penge cualian berkontribusi untuk populasi Madagaskar sejauh 3.300 mil di barat. Beber apa ahli masih memperdebatkan kawasan yang menjadi pusat pemerintahan Sriwijaya, selain itu kemungkinan kerajaan ini biasa memindahkan pusat pemerintahannya, na mun kawasan yang menjadi ibukota tetap diperintah secara langsung oleh penguasa, sedangkan daerah pendukungnya diperintah oleh datu setempat. Candi Gumpung, candi Buddha di Muaro Jambi, Kerajaan Melayu yang ditaklukkan Sri wijaya. Reruntuhan Wat (Candi) Kaew yang berasal dari zaman Sriwijaya di Chaiya, Thailan d Selatan. Candi Borobudur, pembangunannya diselesaikan pada masa Samaratungga Kekaisaran Sriwijaya telah ada sejak 671 sesuai dengan catatan I Tsing, dari pra sasti Kedukan Bukit pada tahun 682 di diketahui imperium ini di bawah kepemimpin an Dapunta Hyang. Di abad ke-7 ini, orang Tionghoa mencatat bahwa terdapat dua k erajaan yaitu Malayu dan Kedah menjadi bagian kemaharajaan Sriwijaya.[2] Berdasa rkan prasasti Kota Kapur yang yang berangka tahun 686 ditemukan di pulau Bangka, kemaharajaan ini telah menguasai bagian selatan Sumatera, pulau Bangka dan Beli tung, hingga Lampung. Prasasti ini juga menyebutkan bahwa Sri Jayanasa telah mel ancarkan ekspedisi militer untuk menghukum Bhumi Jawa yang tidak berbakti kepada Sriwijaya, peristiwa ini bersamaan dengan runtuhnya Tarumanagara di Jawa Barat dan Holing (Kalingga) di Jawa Tengah yang kemungkinan besar akibat serangan Sriw ijaya. Sriwijaya tumbuh dan berhasil mengendalikan jalur perdagangan maritim di Selat Malaka, Selat Sunda, Laut China Selatan, Laut Jawa, dan Selat Karimata. Ekspansi kerajaan ini ke Jawa dan Semenanjung Malaya, menjadikan Sriwijaya mengo ntrol dua pusat perdagangan utama di Asia Tenggara. Berdasarkan observasi, ditem ukan reruntuhan candi-candi Sriwijaya di Thailand dan Kamboja. Di abad ke-7, pel abuhan Cham di sebelah timur Indochina mulai mengalihkan banyak pedagang dari Sr iwijaya. Untuk mencegah hal tersebut, Maharaja Dharmasetu melancarkan beberapa s erangan ke kota-kota pantai di Indochina. Kota Indrapura di tepi sungai Mekong, di awal abad ke-8 berada di bawah kendali Sriwijaya. Sriwijaya meneruskan domina sinya atas Kamboja, sampai raja Khmer Jayawarman II, pendiri imperium Khmer, mem utuskan hubungan dengan Sriwijaya di abad yang sama.[2] Di akhir abad ke-8 beber apa kerajaan di Jawa, antara lain Tarumanegara dan Holing berada di bawah kekuas aan Sriwijaya. Menurut catatan, pada masa ini pula wangsa Sailendra bermigrasi k e Jawa Tengah dan berkuasa disana. Di abad ini pula, Langkasuka di semenanjung M elayu menjadi bagian kerajaan.[2] Di masa berikutnya, Pan Pan dan Trambralinga, yang terletak di sebelah utara Langkasuka, juga berada di bawah pengaruh Sriwija ya. Setelah Dharmasetu, Samaratungga menjadi penerus kerajaan. Ia berkuasa pada peri ode 792 sampai 835. Tidak seperti Dharmasetu yang ekspansionis, Samaratungga tid ak melakukan ekspansi militer, tetapi lebih memilih untuk memperkuat penguasaan Sriwijaya di Jawa. Selama masa kepemimpinannya, ia membangun candi Borobudur di Jawa Tengah yang selesai pada tahun 825.[2] Agama Sebagai pusat pengajaran Buddha Vajrayana, Sriwijaya menarik banyak peziarah dan sarjana dari negara-negara di Asia. Antara lain pendeta dari Tiongkok I Tsing, yang melakukan kunjungan ke Sumatera dalam perjalanan studinya di Universitas Na landa, India, pada tahun 671 dan 695, I Tsing melaporkan bahwa Sriwijaya menjadi rumah bagi sarjana Buddha sehingga menjadi pusat pembelajaran agama Buddha. Pen gunjung yang datang ke pulau ini menyebutkan bahwa koin emas telah digunakan di pesisir kerajaan. Selain itu ajaran Buddha aliran Buddha Hinayana dan Buddha Mah ayana juga turut berkembang di Sriwijaya. Menjelang akhir abad ke-10, Atisa, seo rang sarjana Buddha asal Benggala yang berperan dalam mengembangkan Buddha Vajra

yana di Tibet dalam kertas kerjanya Durbodhaloka menyebutkan ditulis pada masa p emerintahan Sri Cudamani Warmadewa penguasa Sriwijayanagara di Malayagiri di Suv arnadvipa.[13] Kerajaan Sriwijaya banyak dipengaruhi budaya India, pertama oleh budaya Hindu ke mudian diikuti pula oleh agama Buddha. Raja-raja Sriwijaya menguasai kepulauan M elayu melalui perdagangan dan penaklukkan dari kurun abad ke-7 hingga abad ke-9, sehingga secara langsung turut serta mengembangkan bahasa Melayu beserta kebuda yaannya di Nusantara. ".... banyak raja dan pemimpin yang berada di pulau-pulau pada Lautan Selata n percaya dan mengagumi Buddha, dihati mereka telah tertanam perbuatan baik. Di dalam benteng kota Sriwijaya dipenuhi lebih dari 1000 biksu Budha, yang belajar dengan tekun dan mengamalkannya dengan baik.... Jika seorang biarawan Cina ingin pergi ke India untuk belajar Sabda, lebih baik ia tinggal dulu di sini selama s atu atau dua tahun untuk mendalami ilmunya sebelum dilanjutkan di India". Gambaran Sriwijaya menurut I Tsing.[4] Sangat dimungkinkan bahwa Sriwijaya yang termahsyur sebagai bandar pusat perdaga ngan di Asia Tenggara, tentunya menarik minat para pedagang dan ulama muslim dar i Timur Tengah, sehingga beberapa kerajaan yang semula merupakan bagian dari Sri wijaya, kemudian tumbuh menjadi cikal-bakal kerajaan-kerajaan Islam di Sumatera kelak, disaat melemahnya pengaruh Sriwijaya. Ada sumber yang menyebutkan, karena pengaruh orang muslim Arab yang banyak berku njung dan berdagang di Sriwijaya, maka seorang raja Sriwijaya yang bernama Sri I ndrawarman pada tahun 718 diduga masuk Islam[14] atau setidaknya tertarik untuk mempelajari Islam dan kebudayaan Arab, sehingga mungkin kehidupan sosial Sriwija ya adalah masyarakat sosial yang di dalamnya terdapat masyarakat Budha dan Musli m sekaligus. Tercatat beberapa kali raja Sriwijaya berkirim surat ke khalifah Is lam di Damaskus, Suriah. Pada salah satu naskah surat yang ditujukan kepada khal ifah Umar bin Abdul Aziz (717-720) berisi permintaan agar khalifah sudi mengirim kan da'i ke istana Sriwijaya.[15] Budaya Berdasarkan berbagai sumber sejarah, sebuah masyarakat yang kompleks dan kosmopo litan yang sangat dipengaruhi alam pikiran budha wajrayana digambarkan bersemi d i ibu kota Sriwijaya. Beberapa prasasti siddhayatra abad ke-7 seperti Prasasti T alang Tuwo menggambarkan ritual budha untuk memberkati peristiwa penuh berkah ya itu peresmian taman Sriksetra, anugerah Maharaja Sriwijaya untuk rakyatnya. Pras asti Telaga Batu menggambarkan kerumitan dan tingkatan jabatan pejabat kerajaan, sementara Prasasti Kota Kapur menyebutkan keperkasaan balatentara Sriwijaya ata s Jawa. Semua prasasti ini menggunakan Bahasa Melayu Kuno, bahasa yang digunakan oleh Sriwijaya ini adalah leluhur Bahasa Melayu dan Bahasa Indonesia modern. Se jak abad ke-7, bahasa Melayu kuno telah digunakan di Nusantara, ditandai dengan ditemukannya berbagai prasasti Sriwijaya dan beberapa prasasti berbahasa Melayu Kuno di tempat lain, seperti yang ditemukan di pulau Jawa. Hubungan dagang yang dilakukan berbagai suku bangsa Nusantara menjadi wahana penyebaran bahasa Melayu , karena bahasa ini menjadi alat komunikasi bagi kaum pedagang. Sejak saat itu, bahasa Melayu menjadi lingua franca dan digunakan secara meluas oleh banyak penu tur di kepulauan Nusantara.[16] Meskipun disebut memiliki kekuatan ekonomi dan keperkasaan militer, Sriwijaya ha nya meninggalkan sedikit tinggalan purbakala di jantung negerinya di Sumatera, s angat berbeda dengan episode Sriwijaya di Jawa Tengah saat kepemimpinan wangsa S yailendra yang banyak membangun monumen besar; seperti Candi Kalasan, Candi Sewu , dan Borobudur. Candi-candi budha yang berasal dari masa Sriwijaya di Sumatera antara lain Candi Muaro Jambi, Candi Muara Takus, dan Biaro Bahal, akan tetapi t

idak seperti candi periode Jawa Tengah yang terbuat dari batu andesit, candi di Sumatera terbuat dari bata merah. Beberapa arca-arca bersifat budhisme, seperti berbagai arca budha dan bodhisatwa Awalokiteswara ditemukan di Bukit Seguntang, Palembang[17], Jambi[18], Bidor, P erak[19] dan Chaiya[20]. Semua arca-arca ini menampilkan keanggunan dan langgam yang sama yang disebut "Seni Sriwijaya" atau "Langgam/Gaya Sriwijaya" yang mempe rlihatkan kemiripan mungkin diilhami oleh langgam Amarawati India dan langgam Sy ailendra Jawa (sekitar abad ke-8 sampai ke-9).[21] Perdagangan Di dunia perdagangan, Sriwijaya menjadi pengendali jalur perdagangan antara Indi a dan Tiongkok, yakni dengan penguasaan atas selat Malaka dan selat Sunda. Orang Arab mencatat bahwa Sriwijaya memiliki aneka komoditas seperti kapur barus, kay u gaharu, cengkeh, pala, kepulaga, gading, emas, dan timah yang membuat raja Sri wijaya sekaya raja-raja di India.[11] Kekayaan yang melimpah ini telah memungkin kan Sriwijaya membeli kesetiaan dari vassal-vassalnya di seluruh Asia Tenggara. Selain menjalin hubungan dagang dengan India dan Tiongkok, Sriwijaya juga menjal in perdagangan dengan tanah Arab, kemungkinan utusan Maharaja Sri Indrawarman ya ng mengantarkan surat kepada khalifah Umar bin Abdul-Aziz dari Bani Umayyah tahu n 718 kembali ke Sriwijaya dengan membawa hadiah Zanji (budak wanita berkulit hi tam), dan kemudian dari kronik Tiongkok disebutkan Shih-li-fo-shih dengan rajany a Shih-li-t-'o-pa-mo (Sri Indrawarman) pada tahun 724 mengirimkan hadiah buat ka isar Cina, berupa ts'engchi (bermaksud sama dengan Zanji dalam bahasa Arab).[22] Pada paruh pertama abad ke-10, di antara kejatuhan dinasti Tang dan naiknya dina sti Song, perdagangan dengan luar negeri cukup marak, terutama Fujian, kerajaan Min dan kerajaan Nan Han dengan negeri kayanya Guangdong. Tak diragukan lagi Sri wijaya mendapatkan keuntungan dari perdagangan ini. Relasi dengan kekuatan regional Untuk memperkuat posisinya atas penguasaan pada kawasan di Asia Tenggara, Sriwij aya menjalin hubungan diplomasi dengan kekaisaran China, dan secara teratur meng antarkan utusan beserta upeti.[23] Pada masa awal kerajaan Khmer merupakan daerah jajahan Sriwijaya. Banyak sejaraw an mengklaim bahwa Chaiya, di propinsi Surat Thani, Thailand Selatan, sebagai ib u kota kerajaan tersebut, pengaruh Sriwijaya nampak pada bangunan pagoda Borom T hat yang bergaya Sriwijaya. Setelah kejatuhan Sriwijaya, Chaiya terbagi menjadi tiga kota yakni (Mueang) Chaiya, Thatong (Kanchanadit), dan Khirirat Nikhom. Sriwijaya juga berhubungan dekat dengan kerajaan Pala di Benggala, pada prasasti Nalanda berangka 860 mencatat bahwa raja Balaputradewa mendedikasikan sebuah bi ara kepada Universitas Nalanda. Relasi dengan dinasti Chola di selatan India jug a cukup baik, dari prasasti Leiden disebutkan raja Sriwijaya di Kataha Sri MaraVijayottunggawarman telah membangun sebuah vihara yang dinamakan dengan Vihara C ulamanivarmma, namun menjadi buruk setelah Rajendra Chola I naik tahta yang mela kukan penyerangan di abad ke-11. Kemudian hubungan ini kembali membaik pada masa Kulothunga Chola I, di mana raja Sriwijaya di Kadaram mengirimkan utusan yang m eminta dikeluarkannya pengumuman pembebasan cukai pada kawasan sekitar Vihara Cu lamanivarmma tersebut. Namun demikian pada masa ini Sriwijaya dianggap telah men jadi bahagian dari dinasti Chola, dari kronik Tiongkok menyebutkan bahwa Kulothu nga Chola I (Ti-hua-ka-lo) sebagai raja San-fo-ts'i membantu perbaikan candi dek at Kanton pada tahun 1079, pada masa dinasti Song candi ini disebut dengan nama Tien Ching Kuan dan pada masa dinasti Yuan disebut dengan nama Yuan Miau Kwan.[6 ]

Masa keemasan Kemaharajaan Sriwijaya bercirikan kerajaan maritim, mengandalkan hegemoni pada k ekuatan armada lautnya dalam menguasai alur pelayaran, jalur perdagangan, mengua sai dan membangun beberapa kawasan strategis sebagai pangkalan armadanya dalam m engawasi, melindungi kapal-kapal dagang, memungut cukai serta untuk menjaga wila yah kedaulatan dan kekuasaanya.[24] Model kapal tahun 800-an Masehi yang terdapat pada candi Borobudur. Dari catatan sejarah dan bukti arkeologi, pada abad ke-9 Sriwijaya telah melakuk an kolonisasi di hampir seluruh kerajaan-kerajaan Asia Tenggara, antara lain: Su matera, Jawa, Semenanjung Malaya, Thailand, Kamboja, Vietnam,[2] dan Filipina.[2 5] Dominasi atas Selat Malaka dan Selat Sunda, menjadikan Sriwijaya sebagai peng endali rute perdagangan rempah dan perdagangan lokal yang mengenakan biaya atas setiap kapal yang lewat. Sriwijaya mengakumulasi kekayaannya sebagai pelabuhan d an gudang perdagangan yang melayani pasar Tiongkok, dan India. Sriwijaya juga disebut berperan dalam menghancurkan kerajaan Medang di Jawa, dal am prasasti Pucangan disebutkan sebuah peristiwa Mahapralaya yaitu peristiwa han curnya istana Medang di Jawa Timur, di mana Haji Wurawari dari Lwaram yang kemun gkinan merupakan raja bawahan Sriwijaya, pada tahun 1006 atau 1016 menyerang dan menyebabkan terbunuhnya raja Medang terakhir Dharmawangsa Teguh.[6] Penurunan Tahun 1017 dan 1025, Rajendra Chola I, raja dari dinasti Chola di Koromandel, In dia selatan, mengirim ekspedisi laut untuk menyerang Sriwijaya, berdasarkan pras asti Tanjore bertarikh 1030, kerajaan Chola telah menaklukan daerah-daerah kolon i Sriwijaya, sekaligus berhasil menawan raja Sriwijaya yang berkuasa waktu itu S angrama-Vijayottunggawarman. Selama beberapa dekade berikutnya seluruh imperium Sriwijaya telah berada dalam pengaruh dinasti Chola. Meskipun demikian Rajendra Chola I tetap memberikan peluang kepada raja-raja yang ditaklukannya untuk tetap berkuasa selama tetap tunduk kepadanya.[26] Hal ini dapat dikaitkan dengan adan ya berita utusan San-fo-ts'i ke Cina tahun 1028.[27] Kawasan Sriwijaya dalam prasasti Tanjore Nama kawasan Keterangan Pannai Pannai Malaiyur Malayu Mayirudingam Ilangasogam Langkasuka Mappappalam Mevilimbangam Valaippanduru Takkolam Madamalingam Tambralingga Ilamuri-Desam Lamuri Nakkavaram Nikobar Kadaram Kedah Namun demikian pada masa ini Sriwijaya dianggap telah menjadi bagian dari dinast i Chola, dari kronik Tiongkok menyebutkan bahwa pada tahun 1079 Kulothunga Chola I (Ti-hua-ka-lo) raja dinasti Chola disebut juga sebagai raja San-fo-ts'i, yang kemudian mengirimkan utusan untuk membantu perbaikan candi dekat Kanton. Selanj utnya dalam berita Cina yang berjudul Sung Hui Yao disebutkan bahwa kerajaan San -fo-tsi pada tahun 1082 masih mengirimkan utusan pada masa Cina di bawah pemerin tahan Kaisar Yuan Fong. Duta besar tersebut menyampaikan surat dari raja Kien-pi bawahan San-fo-tsi, yang merupakan surat dari putri raja yang diserahi urusan n egara San-fo-tsi, serta menyerahkan pula 227 tahil perhiasan, rumbia, dan 13 pot ong pakaian. Kemudian juga mengirimkan utusan berikutnya di tahun 1088.[2] Penga ruh invasi Rajendra Chola I, terhadap hegemoni Sriwijaya atas raja-raja bawahann

ya melemah, beberapa daerah taklukan melepaskan diri, sampai muncul Dharmasraya sebagai kekuatan baru yang kemudian menguasai kembali wilayah jajahan Sriwijaya mulai dari kawasan Semenanjung Malaya, Sumatera, sampai Jawa bagian barat. Berdasarkan sumber Tiongkok pada buku Chu-fan-chi[28] yang ditulis pada tahun 11 78, Chou-Ju-Kua menerangkan bahwa di kepulauan Asia Tenggara terdapat dua keraja an yang sangat kuat dan kaya, yakni San-fo-ts'i dan Cho-po (Jawa). Di Jawa dia m enemukan bahwa rakyatnya memeluk agama Budha dan Hindu, sedangkan rakyat San-fots'i memeluk Budha, dan memiliki 15 daerah bawahan yang meliputi; Si-lan (Kamboj a), Tan-ma-ling (Tambralingga, Ligor, selatan Thailand), Kia-lo-hi (Grahi, Chaiy a sekarang, selatan Thailand), Ling-ya-si-kia (Langkasuka), Kilantan (Kelantan), Pong-fong (Pahang), Tong-ya-nong (Terengganu), Fo-lo-an (muara sungai Dungun da erah Terengganu sekarang), Ji-lo-t'ing (Cherating, pantai timur semenanjung mala ya), Ts'ien-mai (Semawe, pantai timur semenanjung malaya), Pa-t'a (Sungai Paka, pantai timur Semenanjung Malaya), Lan-wu-li (Lamuri di Aceh), Pa-lin-fong (Palem bang), Kien-pi (Jambi), dan Sin-t'o (Sunda).[6][10] Namun demikian, istilah San-fo-tsi terutama pada tahun 1178 tidak lagi identik d engan Sriwijaya, melainkan telah identik dengan Dharmasraya, dari daftar 15 nege ri bawahan San-fo-tsi tersebut merupakan daftar jajahan kerajaan Dharmasraya, wa laupun sumber Tiongkok tetap menyebut San-fo-tsi sebagai kerajaan yang berada di kawasan laut Cina Selatan. Hal ini karena dalam Pararaton telah menyebutkan Mal ayu, disebutkan Kertanagara raja Singhasari mengirim sebuah ekspedisi Pamalayu a tau Pamalayu, dan kemudian menghadiahkan Arca Amoghapasa kepada raja Melayu, Sri mat Tribhuwanaraja Mauli Warmadewa di Dharmasraya sebagaimana yang tertulis pada prasasti Padang Roco. Peristiwa ini kemudian dikaitkan dengan manuskrip yang te rdapat pada prasasti Grahi. Begitu juga dalam Nagarakretagama, yang menguraikan tentang daerah jajahan Majapahit juga sudah tidak menyebutkan lagi nama Sriwijay a untuk kawasan yang sebelumnya merupakan kawasan Sriwijaya. Struktur pemerintahan Pembentukan satu negara kesatuan dalam dimensi struktur otoritas politik Sriwija ya, dapat dilacak dari beberapa prasasti yang mengandung informasi penting tenta ng kadatuan, vanua, samaryyada, mandala dan bhumi.[29] Kadatuan dapat bermakna kawasan datu, (tnah rumah) tempat tinggal bini haji, tem pat disimpan mas dan hasil cukai (drawy) sebagai kawasan yang mesti dijaga. Kada tuan ini dikelilingi oleh vanua, yang dapat dianggap sebagai kawasan kota dari S riwijaya yang didalamnya terdapat vihara untuk tempat beribadah bagi masyarakatn ya. Kadatuan dan vanua ini merupakan satu kawasan inti bagi Sriwijaya itu sendir i. Menurut Casparis, samaryyada merupakan kawasan yang berbatasan dengan vanua, yang terhubung dengan jalan khusus (samaryyada-patha) yang dapat bermaksud kawas an pedalaman. Sedangkan mandala merupakan suatu kawasan otonom dari bhumi yang b erada dalam pengaruh kekuasaan kadatuan Sriwijaya. Penguasa Sriwijaya disebut dengan Dapunta Hyang atau Maharaja, dan dalam lingkar an raja terdapat secara berurutan yuvaraja (putra mahkota), pratiyuvaraja (putra mahkota kedua) dan rajakumara (pewaris berikutnya).[30] Prasasti Telaga Batu ba nyak menyebutkan berbagai jabatan dalam struktur pemerintahan kerajaan pada masa Sriwijaya. Hubungan dengan dinasti Sailendra Munculnya keterkaitan antara Sriwijaya dengan dinasti Sailendra dimulai karena a danya nama Sailendravamsa pada beberapa prasasti di antaranya pada prasasti Kala san di pulau Jawa, prasasti Ligor di selatan Thailand, dan prasasti Nalanda di I ndia. Sementara pada prasasti Sojomerto dijumpai nama Dapunta Selendra. Walau as al-usul dinasti ini masih diperdebatkan sampai sekarang.[11]

Majumdar berpendapat dinasti Sailendra ini terdapat di Sriwijaya (Suwarnadwipa) dan Medang (Jawa), keduanya berasal dari Kalinga di selatan India.[31] Kemudian Moens menambahkan kedatangan Dapunta Hyang ke Palembang, menyebabkan salah satu keluarga dalam dinasti ini pindah ke Jawa.[32] Sementara Poerbatjaraka berpendap at bahwa dinasti ini berasal dari Nusantara, didasarkan atas Carita Parahiyangan [33] kemudian dikaitkan dengan beberapa prasasti lain di Jawa yang berbahasa Mel ayu Kuna di antaranya prasasti Sojomerto.[34] Warisan sejarah Meskipun Sriwijaya hanya menyisakan sedikit peninggalan arkeologi dan terlupakan dari ingatan masyarakat pendukungnya, penemuan kembali kemaharajaan bahari ini oleh Coeds pada tahun 1920-an telah membangkitkan kesadaran bahwa suatu bentuk pe rsatuan politik raya, berupa kemaharajaan yang terdiri atas persekutuan kerajaan -kerajaan bahari, pernah bangkit, tumbuh, dan berjaya di masa lalu. Warisan terpenting Sriwijaya mungkin adalah bahasanya. Selama berabad-abad perke mbangan kekuatan ekononomi dan keperkasaan militernya, Sriwijaya berperan besar atas tersebarluasnya penggunaan Bahasa Melayu Kuno di Nusantara, setidaknya di k awasan pesisir. Bahasa ini menjadi bahasa kerja atau bahasa yang berfungsi sebag ai penghubung (lingua franca) digunakan di berbagai bandar dan pasar di kawasan Nusantara.[35] Tersebar luasnya bahasa Melayu Kuno ini mungkin yang telah membuk a dan memuluskan jalan bagi Bahasa Melayu sebagai bahasa nasional Malaysia, dan Bahasa Indonesia sebagai bahasa pemersatu Indonesia modern. Di samping Majapahit, kaum nasionalis Indonesia juga mengagungkan Sriwijaya seba gai sumber kebanggaan dan bukti kejayaan masa lampau Indonesia.[36] Kegemilangan Sriwijaya telah menjadi sumber kebanggaan nasional dan identitas daerah, khusus nya bagi penduduk kota Palembang, provinsi Sumatera Selatan, keluhuran Sriwijaya telah menjadi inspirasi seni budaya, seperti lagu dan tarian tradisional Gendin g Sriwijaya. Hal yang sama juga berlaku bagi masyarakat selatan Thailand yang me nciptakan kembali tarian Sevichai yang berdasarkan pada keanggunan seni budaya S riwijaya. Di Indonesia, nama Sriwijaya telah digunakan dan diabadikan sebagai nama jalan d i berbagai kota, dan nama ini juga digunakan oleh Universitas Sriwijaya yang did irikan tahun 1960 di Palembang. Demikian pula Kodam II Sriwijaya (unit komando m iliter), PT Pupuk Sriwijaya (Perusahaan Pupuk di Sumatera Selatan), Sriwijaya Po st (Surat kabar harian di Palembang), Sriwijaya TV, Sriwijaya Air (maskapai pene rbangan), Stadion Gelora Sriwijaya, dan Sriwijaya Football Club (Klab sepak bola Palembang), semua dinamakan demikian untuk menghormati, memuliakan, dan merayak an kemaharajaan Sriwijaya yang gemilang.

Anda mungkin juga menyukai