Anda di halaman 1dari 15

KERAJAAN SRIWIJAYA

Disusun oleh :

Kelompok 2/ X TKR B

Anggota :

1.DANAR PRASETYO (7)

2.EVAN JUNIANTO (12)

3.HILMI FADILLAH (17)

4.NAILA AULIA ADILAH (25)

5.REVA SUCIANTI (30)

6.ROKHMAT GUNAWAN (31)


SMK NEGERI 1 GOMBONG

Jalan Wilis No. 15 Telp. (0287) 472828, Wero, Gombong, 54416

PENDAHULUAN

A.Latar Belakang

Belum banyak bukti fisik mengenai Sriwijaya yang dapat


ditemukan.Tidak terdapat catatan lebih lanjut mengenai Sriwijaya dalam sejarah
Indonesia;masa lalunya yang terlupakan dibentuk kembali oleh sarjana asing.
Tidak ada orang Indonesia modern yang mendengar mengenai Sriwijaya sampai
tahun 1920-An, ketika sarjana Perancis George Cœdès mempublikasikan
penemuannya dalam

Surat kabar berbahasa Belanda dan Indonesia. Coedès menyatakan bahwa


Referensi Tiongkok terhadap “San-fo-Tesi”, sebelumnya dibaca“Sribhoja”, dan
Beberapa prasasti dalam Melayu Kuno merujuk pada kekaisaran yang sama.

Historiografi Sriwijaya diperoleh dan disusun dari dua macam sumber


utama; catatan sejarah Tiongkok dan sejumlah prasasti batu Asia Tenggara yang
telah ditemukan dan diterjemahkan. Catatan perjalanan biksu peziarah I Ching
Sangat penting, terutama dalam menjelaskan kondisi Sriwijaya ketika ia
mengunjungi kerajaan itu selama 6 bulan pada 671. Sekumpulan prasasti
siddhayatra abad ke-7 yang ditemukan di Palembang dan Pulau Bangka juga
merupakan sumber sejarah primer yang penting.

Bukti awal mengenai keberadaan kerajaan ini berasal dari abad


ke-7; seorang pendeta Tiongkok, I Tsing, menulis bahwa ia mengunjungi
Sriwijaya tahun 671 dan tinggal selama 6 bulan. Prasasti yang paling tua
mengenai Sriwijaya juga berada pada abad ke-7, yaitu prasasti Kedukan Bukit
di Palembang, bertarikh 682. Kemunduran pengaruh Sriwijaya terhadap
daerah bawahannya mulai menyusut dikarenakan beberapa peperangan
diantaranya serangan dari raja Dharmawangsa Teguh dari Jawa di tahun
990, dan tahun 1025 serangan Rajendra Chola I dari Koromandel,
selanjutnya tahun 1183 kekuasaan Sriwijaya dibawah kendali kerajaan
Dharmasraya.Setelah Sriwijaya jatuh, kerajaan ini terlupakan dan eksistensi
Sriwijaya baru diketahui secara resmi tahun 1918 oleh sejarawan Perancis
George Cœdès dari École française d’Extrême-Orient.
PEMBAHASAN

A. Sejarah Berdirinya Kerajaan Sriwijaya

Kerajaan ini menjadi pusat perdagangan dan merupakan negara bahari,


namun kerajaan ini tidak memperluas kekuasaannya di luar wilayah kepulauan
Asia Tenggara, dengan pengecualian berkontribusi untuk populasi Madagaskar
sejauh 3.300 mil di barat. Beberapa ahli masih memperdebatkan kawasan yang
menjadi pusat pemerintahan Sriwijaya, selain itu kemungkinan kerajaan ini
biasa memindahkan pusat pemerintahannya, namun kawasan yang menjadi
ibukota tetap diperintah secara langsung oleh penguasa, sedangkan daerah
pendukungnya diperintah oleh datu setempat.

1. Perjalanan Siddhayatra

Kemaharajaan Sriwijaya telah ada sejak 671 sesuai dengan catatan I


Tsing. Dari prasasti Kedukan Bukit pada tahun 682 di diketahui imperium ini di
bawah kepemimpinan Dapunta Hyang. Bahwa beliau berangkat dalam
perjalanan suci siddhayatra untuk “ngalap berkah”, dan memimpin 20.000
tentara dan 312 orang di kapal dengan 1.312 prajurit berjalan kaki dari Minanga
Tamwan menuju Jambi dan Palembang. Diketahui, Prasasti Kedukan Bukit
adalah prasasti tertua yang ditulis dalam bahasa Melayu. Para ahli berpendapat
bahwa prasasti ini mengadaptasi ortografi India untuk menulis prasasti ini. Pada
abad ke-7 ini, orang Tionghoa mencatat bahwa terdapat dua kerajaan yaitu
Melayu dan Kedah menjadi bagian kemaharajaan Sriwijaya.

Berdasarkan prasasti Kota Kapur yang berangka tahun 686 ditemukan di


pulau Bangka, kemaharajaan ini telah menguasai bagian selatan Sumatera,
pulau Bangka dan Belitung, hingga Lampung. Prasasti ini juga menyebutkan
bahwa Sri Jayanasa telah melancarkan ekspedisi militer untuk menghukum
Bhumi Jawa yang tidak berbakti kepada Sriwijaya, peristiwa ini bersamaan
dengan runtuhnya Tarumanagara di Jawa Barat dan Holing (Kalingga) di Jawa
Tengah yang kemungkinan besar akibat serangan Sriwijaya. Kemungkinan yang
dimaksud dengan Bhumi Jawa adalah Tarumanegara. Sriwijaya tumbuh dan
berhasil mengendalikan jalur perdagangan maritim di Selat Malaka, Selat
Sunda, Laut China Selatan, Laut Jawa, dan Selat Karimata.
2. Penaklukan Kawasan

Ekspansi kerajaan ini ke Jawa dan Semenanjung Malaya, menjadikan


Sriwijaya mengendalikan simpul jalur perdagangan utama di Asia Tenggara.
Berdasarkan observasi, ditemukan reruntuhan candi-candi Sriwijaya di Thailand
dan Kamboja. Pada abad ke-7, pelabuhan Champa di sebelah timur Indochina
mulai mengalihkan banyak pedagang dari Sriwijaya. Untuk mencegah hal
tersebut, Maharaja Dharmasetu melancarkan beberapa serangan ke kota-kota
pantai di Indochina. Kota Indrapura di tepi sungai Mekong, di awal abad ke-8
berada di bawah kendali Sriwijaya. Sriwijaya meneruskan dominasinya atas
Kamboja, sampai raja Khmer Jayawarman II, pendiri kemaharajaan Khmer,
memutuskan hubungan dengan Sriwijaya pada abad yang sama.

Di akhir abad ke-8 beberapa kerajaan di Jawa, antara lain Tarumanegara


dan Holing berada di bawah kekuasaan Sriwijaya. Menurut catatan, pada masa
ini pula wangsa Sailendra bermigrasi ke Jawa Tengah dan berkuasa di sana.
Pada abad ini pula, Langkasuka di semenanjung Melayu menjadi bagian
kerajaan. Pada masa berikutnya, Pan Pan dan Tambralinga, yang terletak di
sebelah utara Langkasuka, juga berada di bawah pengaruh Sriwijaya. Setelah
Dharmasetu, Samaratungga menjadi penerus kerajaan. Ia berkuasa pada periode
792 sampai 835. Tidak seperti Dharmasetu yang ekspansionis, Samaratungga
tidak melakukan ekspansi militer, tetapi lebih memilih untuk memperkuat
penguasaan Sriwijaya di Jawa. Selama masa kepemimpinannya, ia membangun
candi Borobudur di Jawa Tengah yang selesai pada tahun 825.

B. Kehidupan Politik, Sosial, Ekonomi, Politik Kerajaan Sriwijaya

1. Kehidupan Politik

Kehidupan politik kerajaan Sriwijaya dapat ditinjau dari raja-raja yang


memerintah, wilayah kekuasaan, dan hubungannya dengan pihak luar negeri.
Setelah berhasil menguasai Palembang, ibukota Kerajaan Sriwijaya dipindahkan
dari Muara Takus ke Palembang. Dari Palembang, Kerajaan Sriwijaya dengan
mudah dapat menguasai daerah-daerah di sekitarnya seperti Pulau Bangka yang
terletak di pertemuan jalan perdagangan internasional, Jambi Hulu yang terletak
di tepi Sungai Batanghari dan mungkin juga Jawa Barat (Tarumanegara). Maka
dalam abad ke-7 M, Kerajaan Sriwijaya telah berhasil menguasai kunci-kunci
jalan perdagangan yang penting seperti Selat Sunda, Selat Bangka, Selat
Malaka, dan Laut Jawa bagian barat. Pada abad ke-8 M, perluasan Kerajaan
Sriwijaya ditujukan ke arah utara, yaitu menduduki Semenanjung Malaya dan
Tanah Genting Kra.

Pendudukan pada daerah Semenanjung Malaya memiliki tujuan untuk


menguasai daerah penghasil lada dan timah. Sedangkan pendudukan pada
daerah Tanah Genting Kra memiliki tujuan untuk menguasai lintas jalur
perdagangan antara Cina dan India. Hubungan dengan luar negeri. Kerajaan
Sriwijaya menjalin hubungan baik dengan kerajaan-kerajaan di luar wilayah
Indonesia, terutama dengan kerajaan-kerajaan yang berada di India, seperti
Kerajaan Pala/Nalanda di Benggala. Raja Nalanda, Dewapala Dewa
menghadiahi sebidang tanah untuk pembuatan asrama bagi pelajar dari
nusantara yang ingin menjadi ‘dharma’ yang dibiayai oleh Balaputradewa.

3. Kehidupan Sosial

Letak Sriwijaya sangat strategis di jalur perdagangan antara India-Cina.


Di samping itu juga berhasil menguasai Selat Malaka yang merupakan urat nadi
perdagangan di Asia Tenggara, menjadikan Sriwijaya berhasil menguasai
perdagangan nasional dan internasional. Penguasaan Sriwijaya atas Selat
Malaka mempunyai arti penting terhadap perkembangan Sriwijaya sebagai
negara maritim, sebab banyak kapal-kapal asing yang singgah untuk menambah
air minum, perbekalan makanan dan melakukan aktivitas perdagangan.
Sriwijaya sebagai pusat perdagangan akan mendapatkan keuntungan yang besar
dan akan berpengaruh terhadap kehidupan masyarakat yang hidup dari
pelayaran dan perdagangan.

4. Kehidupan Ekonomi

Di dunia perdagangan, Sriwijaya menjadi pengendali jalur perdagangan


antara India dan Tiongkok, yakni dengan penguasaan atas Selat Malaka dan
Selat Sunda. Orang Arab mencatat bahwa Sriwijaya memiliki aneka komoditas
seperti kapur barus, kayu gaharu, cengkeh, pala, kapulaga, gading, emas, dan
timah, yang membuat raja Sriwijaya sekaya raja-raja di India. Kekayaan yang
melimpah ini telah memungkinkan Sriwijaya membeli kesetiaan dari
vassal-vassal-nya di seluruh Asia Tenggara. Dengan berperan sebagai entreport
atau pelabuhan utama di Asia Tenggara, dengan mendapatkan restu,
persetujuan, dan perlindungan dari Kaisar China untuk dapat berdagang dengan
Tiongkok, Sriwijaya senantiasa mengelola jejaring perdagangan bahari dan
menguasai urat nadi pelayaran antara Tiongkok dan India.

Karena alasan itulah Sriwijaya harus terus menjaga dominasi


perdagangannya dengan selalu mengawasi dan jika perlu memerangi pelabuhan
pesaing di negara jirannya. Keperluan untuk menjaga monopoli perdagangan
inilah yang mendorong Sriwijaya menggelar ekspedisi militer untuk
menaklukkan bandar pelabuhan pesaing di kawasan sekitarnya dan menyerap
mereka ke dalam mandala Sriwijaya. Bandar Melayu di Jambi, Kota Kapur di
pulau Bangka, Tarumanagara dan pelabuhan Sunda di Jawa Barat, Kalingga di
Jawa Tengah, dan bandar Kedah dan Chaiya di semenanjung Malaya adalah
beberapa bandar pelabuhan yang ditaklukan dan diserap kedalam lingkup
pengaruh Sriwijaya.

Disebutkan dalam catatan sejarah Champa adanya serangkaian serbuan


angkatan laut yang berasal dari Jawa terhadap beberapa pelabuhan di Champa
dan Kamboja. Mungkin angkatan laut penyerbu yang dimaksud adalah armada
Sriwijaya, karena saat itu wangsa Sailendra di Jawa adalah bagian dari mandala
Sriwijaya. Hal ini merupakan upaya Sriwijaya untuk menjamin monopoli
perdagangan laut di Asia Tenggara dengan menggempur bandar pelabuhan
pesaingnya. Sriwijaya juga pernah berjaya dalam hal perdagangan sedari tahun
670 hingga 1025 M.

Kejayaan bahari Sriwijaya terekam di relief Borobudur yaitu


menggambarkan Kapal Borobudur, kapal kayu bercadik ganda dan bertiang
layar yang melayari lautan Nusantara sekitar abad ke-8 Masehi. Fungsi cadik ini
adalah untuk menyeimbangkan dan menstabilkan perahu. Cadik tunggal atau
cadik ganda adalah ciri khas perahu bangsa Austronesia dan perahu bercadik
inilah yang membawa bangsa Austronesia berlayar di seantero Asia Tenggara,
Oseania, dan Samudra Hindia. Kapal layar bercadik yang diabadikan dalam
relief Borobudur mungkin adalah jenis kapal yang digunakan armada Sailendra
dan Sriwijaya dalam pelayaran antarpulaunya, kemaharajaan bahari yang
menguasai kawasan pada kurun abad ke-7 hingga ke-13 Masehi.

Selain menjalin hubungan dagang dengan India dan Tiongkok, Sriwijaya


juga menjalin perdagangan dengan tanah Arab. Kemungkinan utusan Maharaja
Sri Indrawarman yang mengantarkan surat kepada khalifah Umar bin
Abdul-Aziz dari Bani Umayyah tahun 718, kembali ke Sriwijaya dengan
membawa hadiah Zanji (budak wanita berkulit hitam), dan kemudian dari
kronik Tiongkok disebutkan Shih-li-fo-shih dengan rajanya Shih-li-t-‘o-pa-mo
(Sri Indrawarman) pada tahun 724 mengirimkan hadiah untuk kaisar Cina,
berupa ts’engchi (bermaksud sama dengan Zanji dalam bahasa Arab).

Pada paruh pertama abad ke-10, di antara kejatuhan dinasti Tang dan
naiknya dinasti Song, perdagangan dengan luar negeri cukup marak, terutama
Fujian, kerajaan Min dan kerajaan Nan Han dengan negeri kayanya Guangdong.
Tak diragukan lagi Sriwijaya mendapatkan keuntungan dari perdagangan ini.
Pada masa inilah diperkirakan rakyat Sriwijaya mulai mengenal buah semangka
(Citrullus lanatus (Thunb.) Matsum. & Nakai), yang masuk melalui
perdagangan mereka.

5. Kehidupan Agama

Sebagai pusat pengajaran Buddha Vajrayana, Sriwijaya menarik banyak


peziarah dan sarjana dari negara-negara di Asia. Antara lain pendeta dari
Tiongkok I Tsing, yang melakukan kunjungan ke Sumatera dalam perjalanan
studinya di Universitas Nalanda, India, pada tahun 671 dan 695, I Tsing
melaporkan bahwa Sriwijaya menjadi rumah bagi sarjana Budha sehingga
menjadi pusat pembelajaran agama Buddha. Selain berita diatas, terdapat berita
yang dibawakan oleh I Tsing, dinyatakan bahwa terdapat 1000 orang pendeta
yang belajar agama Budha pada Sakyakirti, seorang pendeta terkenal di
Sriwijaya.

Terdapat lebih dari 1000 pandita Buddha di Sriwijaya yang belajar serta
mempraktekkan drama dengan baik. Mereka menganalisa dan mempelajari
semua topik ajaran sebagaimana yang ada di India; vinaya dan ritual-ritual
mereka tidaklah berbeda sama sekali [dengan yang ada di India]. Apabila
seseorang pandita Tiongkok akan pergi ke Universitas Nalanda di India untuk
mendengar dan mempelajari naskah-naskah Dharma autentik, ia sebaiknya
tinggal di Sriwijaya dalam kurun waktu 1 atau 2 tahun untuk mempraktikkan
vinaya dan bahasa sansekerta dengan tepat.
Kerajaan Sriwijaya banyak dipengaruhi budaya India, pertama oleh
budaya Hindu kemudian diikuti pula oleh agama Buddha. Peranannya dalam
agama Budha dibuktikannya dengan membangun tempat pemujaan agama
Budha di Ligor, Thailand. Raja-raja Sriwijaya menguasai kepulauan Melayu
melalui perdagangan dan penaklukkan dari kurun abad ke-7 hingga abad ke-9,
sehingga secara langsung turut serta mengembangkan bahasa Melayu beserta
kebudayaannya di Nusantara.

B. Masa Keemasan Kerajaan Sriwijaya

Berdasarkan sumber catatan sejarah dari Arab, Sriwijaya disebut dengan


nama Sribuza. Pada tahun 955 M, Al Masudi, seorang musafir (pengelana)
sekaligus sejarawan Arab klasik menulis catatan tentang Sriwijaya. Dalam
catatan itu, digambarkan Sriwijaya adalah sebuah kerajaan besar yang kaya
raya, dengan tentara yang sangat banyak. Disebutkan kapal yang tercepat dalam
waktu dua tahun pun tidak cukup untuk mengelilingi seluruh pulau wilayahnya.
Hasil bumi Sriwijaya adalah kapur barus, kayu gaharu, cengkeh, kayu cendana,
pala, kapulaga, gambir dan beberapa hasil bumi lainya.

Catatan lain menuliskan bahwa Sriwijaya maju dalam bidang agraris. Ini
disimpulkan dari seorang ahli dari Bangsa Persia yang bernama Abu Zaid Hasan
yang mendapat keterangan dari Sulaimana, seorang pedagang Arab. Abu Zaid
menulis bahwasanya Kerajaan Zabag (Sriwijaya -sebutan Sriwijaya oleh bangsa
Arab pada masa itu-) memiliki tanah yang subur dan kekuasaan yang luas
hingga ke seberang lautan.

1. Hubungan dengan Wangsa Sailendra

Dari catatan sejarah dan bukti arkeologi, pada abad ke-9 Sriwijaya telah
melakukan kolonisasi di hampir seluruh kerajaan-kerajaan Asia Tenggara,
antara lain: Sumatera, Jawa, Semenanjung Malaya, Thailand, Kamboja,
Vietnam, dan Filipina. Dominasi atas Selat Malaka dan Selat Sunda,
menjadikan Sriwijaya sebagai pengendali rute perdagangan rempah dan
perdagangan lokal yang mengenakan bea dan cukai atas setiap kapal yang
lewat. Sriwijaya mengumpulkan kekayaannya dari jasa pelabuhan dan
gudang perdagangan yang melayani pasar Tiongkok, dan India.
2. Sriwijaya Berkuasa di Jawa

Setelah Dharmasetu, Samaratungga menjadi Maharaja Sriwijaya


berikutnya. Dia memerintah sebagai penguasa pada kurun 792-835.
Berbeda dari Dharmasetu yang ekspansionis, Samaratungga tidak terjun
dalam kancah ekspansi militer, melainkan lebih suka untuk memperkuat
pemerintahan dan pengaruh Sriwijaya atas Jawa. Dia secara pribadi
mengawasi pembangunan candi agung Borobudur; sebuah mandala besar
dari batu yang selesai pada 825, di masa pemerintahannya. Menurut
George Coedes, “pada paruh kedua abad kesembilan, Jawa dan Sumatra
bersatu di bawah kekuasaan wangsa Sailendra yang memerintah di Jawa.

Dengan pusat perdagangan di Palembang.” Samaratungga seperti Rakai


Warak, tampaknya sangat dipengaruhi oleh kepercayaan Buddha Mahayana
yang cinta damai. Beliau berusaha untuk menjadi seorang penguasa yang welas
asih. Penggantinya adalah Putri Pramodawardhani yang bertunangan dengan
Rakai Pikatan yang menganut aliran Siwa. Dia adalah putra Rakai Patapan,
seorang rakai (penguasa daerah) yang cukup berpengaruh di Jawa Tengah.
Langkah politik ini tampaknya sebagai upaya untuk mengamankan perdamaian
dan kekuasaan Syailendra di Jawa, dengan cara mendamaikan hubungan antara
golongan Buddha aliran Mahayana dengan penganut Hindu aliran Siwa.

C. Faktor Penyebab Runtuhnya Kerajaan Sriwijaya

Kemunduran dan keruntuhan Kerajaan Sriwijaya disebabkan oleh


beberapa hal berikut.

Serangan Raja Dharmawangsa pada tahun 990 M, ketika itu yang berkuasa di
Sriwijaya adalah Sri Sudamaniwarmadewa. Walaupun serangan ini tidak
berhasil, tetapi telah melemahkan Sriwijaya.

Serangan dari Kerajaan Colamandala yang diperintahkan oleh Raja Rajendra


Coladewa Pada tahun 1023 dan 1030. Serangan ini ditujukan ke semenanjung
Malaka dan berhasil menawan raja Sriwijaya. Serangan ketiga dilakukan pada
tahun 1068 M dilakukan oleh Wirarajendra, cucu Rajendra Coladewa.
Pengiriman ekspedisi Pamalayu atas perintah Raja Kertanegara, 1275-1292,
yang diterima dengan baik oleh Raja Melayu (Jambi), Mauliwarmadewa,
semakin melemahkan kedudukan Sriwijaya.

Muncul dan berkembangnya kerajaan Islam Samudra Pasai yang mengambil


alih posisi Sriwijaya.

Serangan Kerajaan Majapahit dipimpin Adityawarman atas perintah Mahapatih


Gajah Mada pada tahun 1377 yang mengakibatkan Sriwijaya menjadi taklukan
Majapahit. Pendudukan yang dilakukan Kerajaan Majapahit atas seluruh
wilayah Sriwijaya pada tahun 1377. Pendudukan tersebut dalam upaya
mewujudkan kesatuan Nusantara.

Letak Kota Palembang semakin jauh dari laut. Akibat pengendapan lumpur
yang dibawa oleh Sungai Musi dan sungai lainya, akhirnya Kota Palembang
semakin jauh dari laut.

Berkurangnya kapal dagang yang singgah. Akibat semakin jauhnya Kota


Palembang dari laut menyebabkan daerah tersebut tidak strategis lagi.
Kapal-kapal dagang lebih memilih singgah di tempat lain. Hal tersebut
menyebabkan kegiatan perdagangan berkurang dan pendapatan kerajaan dari
pajak menurun.

Banyak daerah yang melepaskan diri dari Sriwijaya. Akibat semakin


melemahnya perekonomian Kerajaan Sriwijaya maka penguasa kerajaan tidak
mampu lagi mengontrol daerah kekuasaanya. Daerah kekuasaan Kerajaan
Sriwijaya yang telah melepaskan diri adalah Jawa Tengah dan Melayu.
PENUTUP

A.Kesimpulan

Sriwijaya adalah salah satu kemaharajaan bahari yang pernah berdiri di pulau
Sumatera dan banyak memberi pengaruh di Nusantara dengan daerah kekuasaan
berdasarkan peta membentang dari Kamboja, Thailand Selatan, Semenanjung
Malaya, Sumatera, Jawa Barat dan kemungkinan Jawa Tengah. Dalam bahasa
Sanskerta, sri berarti “bercahaya” atau “gemilang”, dan wijaya berarti
“kemenangan” atau “kejayaan”, maka nama Sriwijaya bermakna “kemenangan
yang gilang-gemilang”.

Bukti awal mengenai keberadaan kerajaan ini berasal dari abad ke-7; seorang
pendeta Tiongkok, I Tsing, menulis bahwa ia mengunjungi Sriwijaya tahun 671
dan tinggal selama 6 bulan. Selanjutnya prasasti yang paling tua mengenai
Sriwijaya juga berada pada abad ke-7, yaitu prasasti Kedukan Bukit di
Palembang, bertarikh 682. Kemunduran pengaruh Sriwijaya terhadap daerah
bawahannya mulai menyusut dikarenakan beberapa peperangan di antaranya
tahun 1025 serangan Rajendra Chola I dari Koromandel, selanjutnya tahun 1183
kekuasaan Sriwijaya di bawah kendali kerajaan Dharmasraya.
DAFTAR PUSTAKA

https://id.wikipedia.org/wiki/Sriwijaya

http://sejarahbudayanusantara.weebly.com/kerajaan-sriwijaya.html

http://kakakpintar.com/sejarah-kerajaan-sriwijaya-peninggalan-pen
diri-prasasti-letak-penyebab-runtuhnya

http://www.portalsejarah.com/sejarah-kerajaan-sriwijaya-kerajaan-
maritim-terbesar.html

http://jagosejarah.blogspot.co.id/2015/06/sejarah-kerajaan-sriwijaya
.html

https://doc.lalacomputer.com/makalah-kerajaan-sriwijaya/

Anda mungkin juga menyukai