Anda di halaman 1dari 12

BAB I

PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang

Wilayah Indonesia terdiri dari pulau besar dan kecil yang dihubungkan oleh selat dan
laut, hal ini menyebabkan sarana pelayaran merupakan lalu lintas utama penghubung antar
pulau. Pelayaran ini dilakukan dalam rangka mendorong aktivitas perdagangan. Pelayaran
perdagangan yang dilakukan oleh bangsa Indonesia, bukan hanya dalam wilayah Indonesia
saja, tetapi telah jauh sampai ke luar wilayah Indonesia.

Pelayaran dan perdagangan di Asia semakin ramai setelah ditemukan jalan melalui
laut antara Romawi dan China. Rute jalur laut yang dilalui dalam hubungan dagang China
dengan Romawi telah mendorong munculnya hubungan dagang pada daerah-daerah yang
dilalui, termasuk wilayah Indonesia. Karena posisi Indonesia yang strategis di tengah-tengah
jalur hubungan dagang China dengan Romawi, maka terjadilah hubungan dagang antara
Indonesia dan China beserta India.

Melalui hubungan itu juga, berkembang kebudayaan-kebudayaan yang dibawa oleh


para pedagang di Indonesia. Dalam perkembangan hubungan perdagangan antara Indonesia
dan India, lambat laun agama Hindu dan Budha masuk dan tersebar di Indonesia serta dianut
oleh raja-raja dan para bangsawan. Dari lingkungan raja dan bangsawan itulah agama
Hindu-Budha tersebar ke lingkungan rakyat biasa.

Agama Hindu-Budha diperkirakan masuk ke Indonesia pada awal Tarikh Masehi,


dibawa oleh para musafir dari India. Raja-raja dan para bangsawan yang pertama kali
menganut agama ini kemudian membangun kerajaan-kerajaan yang bercorak Hindu-Budha
seperti Kerajaan Kutai yang terletak di Kalimantan Timur, Kerajaan Tarumanegara di Jawa
Barat, Kerajaan Holing, Kerajaan Melayu di Sumatra Selatan dan berpusat di Jambi,
Kerajaan Sriwijaya, Kerajaan Mataram Kuno, Kerajaan Kediri, Kerajaan Singasari,
Kerajaan Bali dan Pajajaran, serta Kerajaan Majapahit.

Masing-masing kerajaan tentu memiliki sejarah dan peninggalan-peninggalan yang


harus kita ketahui. Salah satunya adalah Kerajaan Sriwijaya. Kerajaan yang terletak di
Sumatera Selatan dan beribukota di Palembang ini memiliki nilai sejarah yang tinggi untuk
kita ketahui seperti historiografi, sejarah berdirinya, lokasi kerajaan, prasasti-prasasti
peninggalan, hubungan regional dan luar negeri, masa kejayaannya, masa kemunduran
maupun aspek-aspek kehidupan apa saja yang terkandung dalam kerajaan ini.

1
B.     Rumusan Masalah

1. Bagaimana sejarah berdirinya Kerajaan Sriwijaya?

2. Di mana lokasi Kerajaan Sriwijaya?

3. Dari manakah sumber-sumber sejarah Kerajaan Sriwijaya?

4. Apa sajakah bukti-bukti peninggalan dari Kerajaan Sriwijaya?

5. Bagaimana hubungan regional dan luar negeri Kerajaan Sriwijaya?

6. Siapakah raja-raja yang pernah berkuasa di Kerajaan Sriwijaya?

7. Aspek kehidupan apa saja yang terkandung di dalam Kerajaan?

8. Apa yang menyebabkan runtuhnya Kerajaan?

C.    Tujuan

Setelah mempelajari makalah ini, pembaca diharapkan :

1. Mengetahui sejarah berdiri dan letak Kerajaan Sriwijaya.

2. Mengetahui bukti-bukti peninggalan dari Kerajaan Sriwijaya.

3. Mengetahui silsilah raja-raja yang pernah berkuasa di Kerajaan Sriwijaya.

4. Mengetahui aspek kehidupan politik, ekonomi, dan sosial budaya dalam pemerintahan
Kerajaan Sriwijaya.

5. Mengetahui dan mampu menjelaskan penyebab runtuhnya Kerajaan  Sriwijaya.

2
BAB II

PEMBAHASAN

A. Sejarah Kerajaan Sriwijaya


Sejak permulaan tarikh masehi, hubungan dengan dagang antara, india dengan
kepulauan Indonesia sudah ramai.daerah pantai timur sumatera menjadi jalur
perdagangan yang ramai di kunjungi para pedagang. Kemudian, muncul pusat-pusat
perdagangan yang berkembang menjadi pusat kerajaan. Kerajaan-kerajaan kecil di pantai
sumatera bagian timur sekitar abad ke-7, antara lain Tulang Bawang, Melayu, dan
Sriwijaya. Dari ke tiga kerajaan itu, yang kemudian berhasil berkembang dan mencapai
kejaan nya adalah sriwijaya. Kerajaan melayu juga sempat berkembang, daan pusat nya
di Jambi.
Pada tahun 692 M, Sriwijaya mengadakan ekspansi ke daerah sekitar melayu.
Melayu dapat ditaklukan dan berada di bawah kekuasaan sriwijaya. Letak pusat kerajaan
sriwijaya ada berbagai pendapat. Ada yang berpendapat bawah pusat kerajaan sriwijaya
ada di Palembang, ada yang berpendapat di Jambi, bahkan ada yang berpendapat di luar
Indonesia. Akan tetapi, pendapat yang banyak di dukung oleh para Ahli, pusat kerajaan
Sriwijaya berlokasi di Palembang, di dekat pantai dan di tepi Sungai Musi. Ketika pusat
kerajaan Sriwijaya di Palembang mulai menunjukkan kemunduran, Sriwijaya berpindah
ke Jambi.

B. Lokasi Kerajaan
Sriwijaya merupakan salah satu kerajaan besar yang pernah membawa
kejayaan kepulauan Nusantara di masa lampau. Bukan saja dikenal di wilayah Indonesia,
tetapi hampir setiap bangsa yang berada jauh di luar Indonesia mengenal Kerajaan
Sriwijaya. Hal ini disebabkan karena letak Sriwijaya yang sangat strategis dan dekat
dengan jalur perdagangan antar bangsa yakni Selat Malaka. Selat Malaka pada masa itu
adalah jalur perdagangan ramai yang menghubungkan pedagang-pedagang Cina dengan
India maupun Romawi.
George Coedes, seorang sejarawan, menulis karangan berjudul Le Royaume de
Crivijaya pada tahun 1918 M. Coedes kemudian menetapkan bahwa Sriwijaya adalah
nama sebuah kerajaan di Sumatera Selatan. Lebih lanjut, Coedes juga menetapkan bahwa
letak ibukota Sriwijaya adalah Palembang, dengan bersandar pada anggapan Groeneveldt
dalam karangannya, Notes on the Malay Archipelago and Malacca, Compiled from
Chinese Source, yang menyatakan bahwa, San-fo-ts‘I adalah Palembang yang terletak di
Sumatera Selatan, yaitu tepatnya di tepi Sungai Musi atau sekitar kota Palembang
sekarang.

Dari tepian Sungai Musi di Sumatera Selatan, pengaruh Kerajaan Sriwijaya


semakin meluas. Mencakup wilayah Selat Malaka, Selat Sunda, Selat Bangka, Laut Jawa
bagian barat, Bangka, Jambi Hulu, Jawa Barat (Tarumanegara), Semenanjung Malaya
hingga ke Tanah Genting Kra

.
3
C. Sumber Sejarah
Sumber-sumber sejarah yang mendukung keberadaan Kerajaan Sriwijaya berasal
dari berita asing dan prasasti-prasasti.

1. Sumber Cina
Kunjungan I-sting, seorang peziarah Budha dari China pertama kali pada tahun
671 M. Dalam catatannya disebutkan bahwa saat itu terdapat lebih dari seribu orang
pendeta Budha di Sriwijaya. Aturan dan upacara para pendeta Budha tersebut sama
dengan aturan dan upacara yang dilakukan oleh para pendeta Budha di pusat ajaran
agama Budha, India. I-tsing tinggal selama 6 bulan di Sriwijaya untuk belajar bahasa
Sansekerta, setelah itu ia berangkat ke Nalanda, India. Setelah lama belajar di Nalanda,
tahun 685 I-tsing kembali ke Sriwijaya dan tinggal selama beberapa tahun untuk
menerjemahkan teks-teks Budha dari bahasa Sansekerta ke bahasa Cina. Catatan Cina
yang lain menyebutkan tentang utusan Sriwijaya yang datang secara rutin ke Cina, yang
terakhir pada tahun 988 M.

2. Sumber Arab
Orang-orang Arab sering menyebut Sriwijaya dengan nama Sribuza, Sabay atau
Zabaq. Mas‘udi, seorang sejarawan Arab klasik menulis catatan tentang Sriwijaya pada
tahun 955 M. Dalam catatan itu, digambarkan Sriwijaya merupakan sebuah kerajaan
besar, dengan tentara yang sangat banyak. Hasil bumi Sriwijaya adalah kapur barus, kayu
gaharu, cengkeh, kayu cendana, pala, kardamunggu, gambir dan beberapa hasil bumi
lainya. Bukti lain yang mendukung adalah ditemukannya perkampungan-perkampungan
Arab sebagai tempat tinggal sementara di pusat Kerajaan Sriwijaya.

3. Sumber India
Kerajaan Sriwijaya pernah menjalin hubungan dengan raja-raja dari kerajaan-
kerajaan di India seperti Kerajaan Nalanda dan Kerajaan Chola. Dengan Kerajaan
Nalanda disebutkan bahwa Raja Sriwijaya mendirikan sebuah prasasti yang dikenal
dengan nama Prasasti Nalanda. Dalam prasasti tersebut dinyatakan bahwa Raja Nalanda
yang bernama Raja Dewa Paladewa berkenan membebaskan 5 desa dari pajak. Sebagai
gantinya, kelima desa tersebut wajib membiayai para mahasiswa dari Kerajaan Sriwijaya
yang menuntut ilmu di Kerajaan Nalanda. Di samping menjalin hubungan dengan
Kerajaan Nalanda, Kerajaan Sriwijaya juga menjalin hubungan dengan Kerajaan Chola
(Cholamandala) yang terletak di India Selatan. Hubungan ini menjadi retak setelah Raja
Rajendra Chola ingin menguasai Selat Malaka.

4. Sumber lain
Pada tahun 1886, Beal mengemukakan pendapatnya bahwa Shih-li-fo-shih
merupakan suatu daerah yang terletak di tepi Sungai Musi. Sumber lain, yakni Kern, pada
tahun 1913 M telah menerbitkan tulisan mengenai Prasasti Kota Kapur, prasasti
peninggalan Sriwijaya yang ditemukan di Pulau Bangka. Namun, saat itu, Kern
menganggap Sriwijaya yang tercantum pada prasasti itu adalah nama seorang raja, karena
Cri biasanya digunakan sebagai sebutan atau gelar raja.

4
Sumber dalam negeri berasal dari prasasti-prasasti yang dibuat oleh raja-raja dari
Kerajaan Sriwijaya. Prasasti-prasasti dari Kerajaan Sriwijaya sebagian besar
menggunakan huruf Pallawa dan bahasa Melayu Kuno. Prasasti itu antara lain sebagai
berikut.

1. Prasasti Kota Kapur


Prasasti ini merupakan yang paling tua, bertarikh 656 M, menceritakan tentang
kisah perjalanan suci Dapunta Hyang dari Minana dengan perahu, bersama dua laksa
(20.000) tentara dan 200 peti perbekalan, serta 1.213 tentara yang berjalan kaki. Sumber
lain menyatakan prasasti ini berisi tentang penaklukan Bumi Jawa yang tidak setia
kepada Sriwijaya. Prasasti Kota Kapur ditemukan di Pulau Bangka.

2. Prasasti Kedudukan Bukit


Prasasti berangka tahun 683 M itu menyebutkan bahwa raja Sriwijaya bernama
Dapunta Hyang yang membawa tentara sebanyak 20.000 orang berhasil menundukan
Minangatamwan. Dengan kemenangan itu, Kerajaan Sriwijaya menjadi makmur. Daerah
yang dimaksud Minangatamwan itu kemungkinan adalah daerah Binaga yang terletak di
Jambi. Daerah itu sangat strategis untuk perdagangan.

3. Prasasti Talang Tuo


Prasasti Talang Tuo di temukan di sebelah barat kota Palembang di daerah Talang
Tuo. Prasasti ini berangka tahun 684 M itu menyebutkan tentang pembuatan Taman
Srikesetra atas perintah Raja Dapunta Hyang.

4. Prasasti Karang Berahi


Prasasti Karang Berahi di temukan di Jambi, berangka tahun 686 M itu ditemukan
di daerah pedalaman Jambi, yang menunjukan penguasaan Sriwijaya atas daerah itu.

5. Prasasti Ligor
Prasasti berangka tahun 775 M itu menyebutkan tentang ibu kota Ligor yang
difungsikan untuk mengawasi pelayaran perdagangan di Selat Malaka.

6. Prasasti Nalanda
Prasasti itu menyebutkan Raja Balaputra Dewa sebagai Raja terakhir dari Dinasti
Syailendra yang terusir dari Jawa Tengah akibat kekalahannya melawan Kerajaan
Mataram dari Dinasti Sanjaya. Dalam prasasti itu, Balaputra Dewa meminta kepada Raja
Nalanda agar mengakui haknya atas Kerajaan Syailendra. Di samping itu, prasasti ini
juga menyebutkan bahwa Raja Dewa Paladewa berkenan membebaskan 5 buah desa dari
pajak untuk membiayai para mahasiswa Sriwijaya yang belajar di Nalanda.

5
7. Prasasti Telaga Batu
Prasasti ini ditemukan di sekitar Palembang pada tahun 1918 M. Berbentuk batu
lempeng mendekati segi lima, di atasnya ada tujuh kepala ular kobra, dengan sebentuk
mangkuk kecil dengan cerat (mulut kecil tempat keluar air) di bawahnya. Menurut para
arkeolog, prasasti ini digunakan untuk pelaksanaan upacara sumpah kesetiaan dan
kepatuhan para calon pejabat. Dalam prosesi itu, pejabat yang disumpah meminum air
yang dialirkan ke batu dan keluar melalui cerat tersebut. Sebagai sarana untuk upacara
persumpahan, prasasti seperti itu biasanya ditempatkan di pusat kerajaan, maka diduga
kuat Palembang merupakan pusat Kerajaan Sriwijaya.

1. Negara Maritim
Dalam upaya mewujudkan cita-cita agar Sriwijaya menjadi kerajaan Maritim,
perluasan kerajaan dilakukan untuk menguasai jalur perdagangan di Selat Malaka dan
Selat Sunda yang merupakan jalur perdagangan dan pelayaran yang sangat penting.
Keberhasilan Sriwijaya berkuasa atas semua selat itu menjadikan Kerajaan Sriwijaya
sebagai penguasa tunggal jalur aktivitas perdagangan dunia yang melalui Asia Tenggara.

Armada Sriwijaya yang kuat dapat menjamin keamanan aktivitas pelayaran dan
perdagangan. Armada Sriwijaya juga dapat memaksa perahu dagang untuk singgah di pusat atau
di bandar-bandar Kerajaan Sriwijaya. Semakin ramainya aktivitas pelayaran dan perdagangan
menjadikan Sriwijaya sebagai tempat pertemuan para pedagang atau pusat perdagangan di Asia
Tenggara. Pengaruh dan peranan Kerajaan Sriwijaya semakin besar di lautan. Bahkan para
pedagang dari Kerajaan Sriwijaya juga melakukan hubungan sampai di luar wilayah Indonesia,
sampai ke China di sebelah utara, dan Laut Merah serta Teluk Persia di sebelah barat.

1. Kehidupan Politik
Salah satu cara untuk memperluas pengaruh kerajaan adalah melakukan perkawinan dengan
kerajaan lain.  Hal ini dilakukan oleh penguasa Sriwijaya, Dapunta Hyang pada tahun 664 M
dengan Sobakancana, putri kedua raja Kerajaan Tarumanegara.

Saat kerajaan Funan di Indo-China runtuh, Sriwijaya memperluas daerah kekuasaannya


hingga bagian barat Nusantara. Di wilayah utara, melalui kekuatan armada lautnya, Sriwijaya
mampu mengusai lalu lintas perdagangan antara India dan Cina, serta menduduki Semenanjung
Malaya. Kekuatan armada terbesar Sriwijaya juga melakukan ekspansi wilayah hingga ke Pulau
Jawa, Brunei atau Borneo. Hingga pada abad ke-8, Kerajaan Sriwijaya telah mampu menguasai
seluruh jalur perdagangan di Asia Tenggara.

Raja merupakan pemegang kekuasaan tertinggi dalam sistem pemerintahan Kerajaan Sriwijaya.
Ada tiga syarat utama untuk menjadi raja Sriwijaya, yaitu :

1. Samraj, artinya berdaulat atas rakyatnya.


2. Indratvam, artinya memerintah seperti Dewa Indra yang selalu memberikan kesejahteraan
bagi rakyatnya.
3. Ekachattra, artinya mampu memayungi (melindungi) seluruh rakyatnya.

6
Berikut daftar silsilah para Raja Kerajaan Sriwijaya :

1. Dapunta Hyang Sri Yayanaga (Prasasti Kedukan Bukit 683 M, Prasasti Talangtuo 684
M) Berita mengenai raja ini diketahui dari Prasasti Kedukan Bukit tahun 683 M dan
Prasasti Talangtuo tahun 684 M. Pada masa pemerintahannya, Raja Dapunta Hyang Sri
Yayanaga telah berhasil memperluas wilayah kekuasaannya sampai ke wilayah
Minangatamwan, Jambi. Sejak awal pemerintahannya, Raja Dapunta Hyang telah
mencita-citakan agar Kerajaan Sriwijaya menjadi kerajaan maritim.
2. Cri Indrawarman (berita Cina, 724 M)
3. Rudrawikrama (berita Cina, 728 M)
4. Wishnu (Prasasti Ligor, 775 M)
5. Maharaja (berita Arab, 851 M)
6. Balaputradewa (Prasasti Nalanda, 860 M) Pada masa pemerintahan Balaputradewa,
Kerajaan Sriwijaya mengalami masa kejayaannya Pada awalnya, Raja Balaputradewa
adalah raja dari kerajaan Syailendra (Jawa Tengah). Ketika terjadi perang saudara di
Kerajaan Syailendra, antara Balaputradewa dan Pramodhawarni (kakaknya) yang dibantu
oleh Rakai Pikatan (Dinasti Sanjaya), Balaputradewa mengalami kekalahan. Akibat
kekalahan itu, Raja Balaputradewa lari ke Sriwijaya. Di Kerajaan Sriwijaya berkuasa
Raja Dharma Setru (kakak dari ibu Balaputradewa) yang tidak memiliki keturunan,
sehingga kedatangan Raja Balaputradewa disambut baik. Kemudian ia diangkat menjadi
raja.
7. Cri Udayadityawarman (berita Cina, 960 M)
8. Cri Udayaditya (Berita Cina, 962 M)
9. Cri Cudamaniwarmadewa (Berita Cina, 1003. Prasasti Leiden, 1044 M)
10. Maraviyatunggawarman (Prasasti Leiden, 1044 M)
11. Cri Sanggrama Wijayatunggawarman (Prasasti Chola, 1004 M) Pada masa
pemerintahannya, Sriwijaya mengalami ancaman dari Kerajaan Chola. Di bawah Raja
Rajendra Chola, Kerajaan Chola melakukan serangan dan berhasil merebut Kerajaan
Sriwijaya. Sanggrama Wijayatunggawarman berhasil ditawan. Namun, pada masa
pemerintahan Raja Kulottungga I di Kerajaan Chola, Raja Sanggrama
Wijayatunggawarman dibebaskan kembali.
1. Struktur Birokrasi
Kerajaan Sriwijaya menerapkan struktur birokrasi yang bersifat langsung, karena raja berperan
penting dalam pengawasan terhadap tempat-tempat yang dianggap strategis. Raja dapat
memberikan penghargaan terhadap penguasa daerah yang setia dan sebaliknya dapat menjatuhi
hukumanterhadap penguasa daerah yang tidak setia kepada kerajaan.

Dalam beberapa prasasti disebutkan tentang pelaksanaan suatu keputusan raja, lengkap dengan
perincian hadiah atau sanksi yang dapat diterima dalam suatu peristiwa. Selain itu, ditemukan
prasasti-prasasti yang mencatat masalah-masalah penyelesaian hokum sengketa antarwarga. Hal
yang menarik bahwa sebagian prasasti memuat ancaman-ancaman atau kutukan-kutukan yang
ditujukan kepada keluarga raja itu sendiri. Walaupun kedengarannya aneh, namun ada pendapat
yang menganggap bahwa hal itu sangat mungkin terjadi, karena keluarga-keluarga raja yang
menjadi ancaman itu, kekuasaannya berada di luar pengawasan langsung dari raja yang berkuasa.

7
1. Kehidupan Ekonomi
Penguasaan Kerajaan Sriwijaya di urat nadi perhubungan pelayaran dan perdagangan Asia
Tenggara yaitu di Selat Malaka, mempunyai arti penting bagi perekonomian kerajaan. Karena
banyak kapal-kapal asing yang singgah untuk menambah air minum, perbekalan makanan,
istirahat, atau melakukan aktivitas perdagangan. Karena bertambah ramainya kegiatan
perdagangan di Selat Malaka, Sriwijaya membangun ibukota baru di Semenanjung Malaka, yaitu
di Ligor yang dibuktikan dengan Parasasti Ligor (755 M). Pendirian ibukota Ligor tersebut
bukan berarti meninggalkan ibukota di Sumatera Selatan, melainkan hanya untuk melakukan
pengawasan lebih dekat terhadap aktivitas perdagangan di Selat Malaka atau menghindari
penyeberangan yang dilakukan oleh para pedagang melalui Tanah Genting Kra.

Menurut catatan asing, bumi Sriwijaya menghasilkan cengkeh, kapulaga, pala, lada, pinang,
kayu gaharu, kayu cendana, kapur barus, gading, timah, emas, perak, kayu hitam, kayu sapan,
rempah-rempah dan penyu. Barang-barang tersebut dijual atau dibarter dengan kain katu, sutera
dan porselen melalui relasi dagang dengan Cina, India, Arab dan Madagaskar.

Peninggalan-peninggalan Kerajaan Sriwijaya banyak ditemukan di daerah Palembang,


Jambi, Riau, Malaysia, dan Thailand. Ini disebabkan karena Sriwijaya merupakan kerajaan
maritim yang selalu berpindah-pindah, tidak menetap di satu tempat dalam kurun waktu yang
lama. Prasasti dan situs yang ditemukan di sekitar Palembang, yaitu Prasasti Boom Baru (abad
ke7 M), Prasasti Kedukan Bukit (682 M), Prasasti Talangtuo (684 M), Prasasti Telaga Batu
( abad ke-7 M), Situs Candi Angsoka, Situs Kolam Pinishi, dan Situs Tanjung Rawa.
Peninggalan sejarah Kerajaan Sriwijaya lainnya yang ditemukan di Jambi, Sumatera Selatan dan
Bengkulu, yaitu Candi Kotamahligai, Candi Kedaton, Candi Gedong I, Candi Gedong II, Candi
Gumpung, Candi Tinggi, Candi Kembar batu, Candi Astono dan Kolam Telagorajo, Situs
Muarojambi. Di Lampung, prasasti yang ditemukan adalah  Prasasti Palas Pasemah dan Prasasti
Bungkuk (Jabung). Di Riau, ditemukan Candi Muara Takus yang berbentuk stupa Budha.

1. Hubungan Regional dan Luar Negeri


Meskipun catatan sejarah dan bukti arkeologi jarang ditemukan, tetapi beberapa menyatakan
bahwa pada abad ke-7, Sriwijaya telah melakukan kolonisasi atas seluruh Sumatra, Jawa Barat,
dan beberapa daerah di Semenanjung Melayu. Dominasi atas Selat Malaka dan Selat Sunda,
menjadikan Sriwijaya sebagai pengendali rute perdagangan rempah dan perdagangan lokal yang
mengenakan biaya atas setiap kapal yang lewat. Palembang mengakumulasi kekayaannya
sebagai pelabuhan dan gudang perdagangan yang melayani pasar Tiongkok, Melayu, dan India.
Kerajaan Jambi merupakan kekuatan pertama yang menjadi pesaing Sriwijaya yang akhirnya
dapat ditaklukkan pada abad ke-7 dan ke-9. Di Jambi, pertambangan emas merupakan sumber
ekonomi cukup penting dan kata Suwarnadwipa (pulau emas) mungkin merujuk pada hal ini.
Kerajaan Sriwijaya juga membantu menyebarkan kebudayaan Melayu ke seluruh
Sumatra, Semenanjung Melayu, dan Kalimantan bagian Barat. Pada abad ke-11 pengaruh
Sriwijaya mulai menyusut. Hal ini ditandai dengan seringnya konflik dengan kerajaan-kerajaan
Jawa, pertama dengan Singasari dan kemudian dengan Majapahit. Di akhir masa, pusat kerajaan
berpindah dari Palembang ke Jambi.
Pada masa awal, Kerajaan Khmer juga menjadi daerah jajahan Sriwijaya. Banyak sejarawan
mengklaim bahwa Chaiya, di propinsi Surat Thani, Thailand sebagai ibu kota terakhir kerajaan,

8
walaupun klaim tersebut tidak mendasar. Pengaruh Sriwijaya nampak pada
bangunan pagodaBorom That yang bergaya Sriwijaya. Setelah kejatuhan Sriwijaya, Chaiya
terbagi menjadi tiga kota yakni (Mueang) Chaiya, Thatong (Kanchanadit) dan Khirirat Nikhom.
Sriwijaya juga berhubungan dekat dengan kerajaan Pala di Benggala, terutama dalam bidang
kebudayaan dan agama. Sebuah prasasti tertahun 860 M mencatat bahwa raja Balaputradewa
mendedikasikan seorang biara kepada Universitas Nalada, Pala. Relasi dengan dinasti Chola di
India selatan cukup baik dan menjadi buruk setelah terjadi peperangan di abad ke-11.
Selain dengan Kerajaan Pala, Sriwijaya juga menjalin hubungan baik dengan Kerajaan
Cholamandala. Raja Sriwijaya yakni Raja Sanggrama Wijayatunggawarman mendirikan sebuah
biara (1006 M) di Kerajaan Chola untuk tempat tinggal para bhiksu dari Kerajaan Sriwijaya.
Namun, persaingan di bidang pelayaran dan perdagangan membuat keduanya bermusuhan.Raja
Rajendra Chola melakukan serangan ke Kerajaan Sriwijaya sampai dua kali. Serangan pertama
tahun 1007 M mengalami kegagalan. Pada serangan kedua (1023 M) Kerajaan Chola berhasil
merebut kota dan bandar-bandar penting Sriwijaya, bahkan Raja Sanggrama
Wijayatunggawarman berhasil ditawan.

1. Masa Keemasan
Pada paruh pertama abad ke-10 yaitu antara masa jatuhnya Dinasti Tang dan naiknya dinasti
Song, perdagangan dengan luar negeri cukup marak, terutama Fujian, Kerajaan Min dan negeri
kaya Guangdong, Kerajaan Nan Han. Tak diragukan lagi Sriwijaya mendapatkan keuntungan
dari perdagangan ini. Pada tahun 903, penulis Muslim Ibn Batutah sangat terkesan dengan
kemakmuran Sriwijaya. Daerah urban kerajaan meliputi Palembang (khususnya Bukit
Seguntang), Muara Jambi dan Kedah.
1. Masa Kemunduran
Tahun 1025, Rajendra Chola, Raja Chola dari Koromandel, India selatan menaklukkan Kedah
dari Sriwijaya dan menguasainya. Kerajaan Chola meneruskan penyerangan dan penaklukannya
selama 20 tahun berikutnya ke seluruh imperium Sriwijaya. Meskipun invasi Chola tidak
berhasil sepenuhnya, invasi tersebut telah melemahkan hegemoni Sriwijaya yang berakibat
terlepasnya beberapa wilayah dengan membentuk kerajaan sendiri, seperti Kediri, sebuah
kerajaan yang berbasiskan pada pertanian.
Antara tahun 1079 – 1088, orang Tionghoa mencatat bahwa Sriwijaya mengirimkan duta besar
dari Jambi dan Palembang. Tahun 1082 dan 1088, Jambi mengirimkan lebih dari dua duta besar
ke China. Pada periode inilah pusat Sriwijaya telah bergeser secara bertahap dari Palembang ke
Jambi. Ekspedisi Chola telah melemahkan Palembang, dan Jambi telah menggantikannya
sebagai pusat kerajaan.

Berdasarkan sumber Tiongkok pada buku Chu-fan-chi yang ditulis pada tahun 1178, Chou-Ju-
Kua menerangkan bahwa di kepulauan Asia Tenggara terdapat dua kerajaan yang sangat kuat
dan kaya, yakni Sriwijaya dan Jawa (Kediri). Di Jawa dia menemukan bahwa rakyatnya
memeluk agama Budha dan Hindu, sedangkan rakyat Sriwijaya memeluk Budha. Berdasarkan
sumber ini pula dikatakan bahwa beberapa wilayah kerajaan Sriwijaya ingin melepaskan diri,
antara lain Kien-pi (Kampe, di utara Sumatra) dan beberapa koloni di semenanjung Malaysia.
Pada masa itu wilayah Sriwijaya meliputi; Pong-fong (Pahang), Tong-ya-nong (Trengganu),
Ling-ya-ssi-kia (Langkasuka), Kilan-tan (Kelantan), Fo-lo-an, Ji-lo-t’ing (Jelutong), Ts’ien-mai,
Pa-t’a (Batak), Tan-ma-ling (Tambralingga, Ligor), Kia-lo-hi (Grahi, bagian utara semenanjung

9
Malaysia), Pa-lin-fong (Palembang), Sin-t’o (Sunda), Lan-wu-li (Lamuri di Aceh), and Si-lan
(Srilanka).
Pada tahun 1288, Singosari, penerus kerajaan Kediri di Jawa, menaklukan Palembang dan Jambi
selama masa ekspedisi Pamalayu. Di tahun 1293, Majapahit pengganti Singosari, memerintah
Sumatra. Raja ke-4 Hayam Wuruk memberikan tanggung jawab tersebut kepada
Pangeran Adityawarman, seorang peranakan Minang dan Jawa. Pada tahun 1377 terjadi
pemberontakan terhadap Majapahit, tetapi pemberontakan tersebut dapat dipadamkan walaupun
di selatan Sumatra sering terjadi kekacauan dan pengrusakan.
Kedudukan Sriwijaya makin terdesak karena munculnya kerajaan-kerajaan besar yang juga
memiliki kepentingan dalam dunia perdagangan, seperti Kerajaan Siam di sebelah utara.
Kerajaan Siam memperluas kekuasaannya ke arah selatan dengan menguasai daerah-daerah di
Semenanjung Malaka termasuk Tanah Genting Kra. Jatuhnya Tanah Genting Kra ke dalam
kekuasaan Kerajaan Siam mengakibatkan lemahnya kegiatan pelayaran dan perdagangan di
Kerajaan Sriwijaya.

Di masa berikutnya, terjadi pengendapan pada Sungai Musi yang berakibat tertutupnya akses
pelayaran ke Palembang. Hal ini tentunya sangat merugikan perdagangan kerajaan. Penurunan
Sriwijaya terus berlanjut hingga masuknya Islam ke Aceh yang disebarkan oleh pedagang-
pedagang Arab dan India. Di akhir abad ke-13, Kerajaan Pasai di bagian utara Sumatra
berpindah agama Islam.
Maka sejak akhir abad ke-13 M Kerajaan Sriwijaya menjadi kerajaan kecil dan wilayahnya
terbatas pada daerah Palembang. Kerajaan Sriwijaya yang kecil dan lemah akhirnya dihancurkan
oleh Kerajaan Majapahit pada tahun 1377 M.

Pada tahun 1402, Parameswara, pangeran terakhir Sriwijaya mendirikan Kesultanan Malaka di


Semenanjung Malaysia.
 

10
BAB III

PENUTUP

1. Kesimpulan
1. Kerajaan Sriwijaya merupakan kerajaan bercorak Hindu terbesar di Indonesia,
bahkan dijuluki sebagai pusat agama Hindu di luar India.
2. Kerajaan Sriwijaya adalah kerajaan yang sangat kuat dan kaya raya. Terbukti dari
sebutan negara maritimnya.
3. Sejarah Kerajaan Sriwijaya dapat diakses dari prasasti-prasasti peninggalan
kerajaan baik di dalam maupun di lur negeri serta dari berita-berita asing
.
2. Saran
1. Sejarah harus selalu kita kaji agar menjadi sebuah pengetahuan dan motivasi dalm
mengisi kenerdekaan
2. Lestarikan terus nilai-nilai budaya sejarah bangsa.

11
DAFTAR PUSTAKA

Bellwood, Peter and James J. Fox, Darrell Tryon. The Austronesians: Historical and
Comparative Perspectives.
Hirth, Friedrich and Chao Ju-kua, W.W.Rockhill. The Chinese and Arab Trade in the Twelfth
and Thirteen centuries. Entitled Chu-fan-chi St Petersburg, 1911.
http://wikipedia/sejarahkerajaansriwijaya/com
Karso, Drs, dkk. Pelajaran Sejarah Untuk SMTA kelas 1. Bandung: Penerbit Angkasa, ISBN.
979-404-179-3-7, 1988.
Munoz, Paul Michel. Early Kingdoms of the Indonesian Archipelago and the Malay Peninsula.
Singapore: Editions Didier Millet, pages 171, 143, 140, 132, 130, 124, 113. ISBN 981-4155-67-
5, 2006.
Notosusanto, Nugroho, dkk. Sejarah Nasional Indonesia 1. Jakarta: CV. Adhi Waskita
Semarang, ISBN. 979-462-144-7, 1992.
Soekmono, Drs. R. (1973, 5th reprint edition in 1988). Pengantar Sejarah Kebudayaan
Indonesia 2, 2nd ed.. Yogyakarta: Penerbit Kanisius, page 60.
Taylor. Indonesia, hal. 29.
Taylor, Jean Gelman. Indonesia: Peoples and Histories. New Haven and London: Yale
University Press, pp. 8-9. ISBN 0-300-10518-5, 2003.
Zain, Sabri. Sejarah Melayu, Buddhist Empires.

12

Anda mungkin juga menyukai