PENDAHULUAN
Wilayah Indonesia terdiri dari pulau besar dan kecil yang dihubungkan oleh selat dan
laut, hal ini menyebabkan sarana pelayaran merupakan lalu lintas utama penghubung antar
pulau. Pelayaran ini dilakukan dalam rangka mendorong aktivitas perdagangan. Pelayaran
perdagangan yang dilakukan oleh bangsa Indonesia, bukan hanya dalam wilayah Indonesia
saja, tetapi telah jauh sampai ke luar wilayah Indonesia.
Pelayaran dan perdagangan di Asia semakin ramai setelah ditemukan jalan melalui
laut antara Romawi dan China. Rute jalur laut yang dilalui dalam hubungan dagang China
dengan Romawi telah mendorong munculnya hubungan dagang pada daerah-daerah yang
dilalui, termasuk wilayah Indonesia. Karena posisi Indonesia yang strategis di tengah-tengah
jalur hubungan dagang China dengan Romawi, maka terjadilah hubungan dagang antara
Indonesia dan China beserta India.
1
B. Rumusan Masalah
C. Tujuan
4. Mengetahui aspek kehidupan politik, ekonomi, dan sosial budaya dalam pemerintahan
Kerajaan Sriwijaya.
2
BAB II
PEMBAHASAN
B. Lokasi Kerajaan
Sriwijaya merupakan salah satu kerajaan besar yang pernah membawa
kejayaan kepulauan Nusantara di masa lampau. Bukan saja dikenal di wilayah Indonesia,
tetapi hampir setiap bangsa yang berada jauh di luar Indonesia mengenal Kerajaan
Sriwijaya. Hal ini disebabkan karena letak Sriwijaya yang sangat strategis dan dekat
dengan jalur perdagangan antar bangsa yakni Selat Malaka. Selat Malaka pada masa itu
adalah jalur perdagangan ramai yang menghubungkan pedagang-pedagang Cina dengan
India maupun Romawi.
George Coedes, seorang sejarawan, menulis karangan berjudul Le Royaume de
Crivijaya pada tahun 1918 M. Coedes kemudian menetapkan bahwa Sriwijaya adalah
nama sebuah kerajaan di Sumatera Selatan. Lebih lanjut, Coedes juga menetapkan bahwa
letak ibukota Sriwijaya adalah Palembang, dengan bersandar pada anggapan Groeneveldt
dalam karangannya, Notes on the Malay Archipelago and Malacca, Compiled from
Chinese Source, yang menyatakan bahwa, San-fo-ts‘I adalah Palembang yang terletak di
Sumatera Selatan, yaitu tepatnya di tepi Sungai Musi atau sekitar kota Palembang
sekarang.
.
3
C. Sumber Sejarah
Sumber-sumber sejarah yang mendukung keberadaan Kerajaan Sriwijaya berasal
dari berita asing dan prasasti-prasasti.
1. Sumber Cina
Kunjungan I-sting, seorang peziarah Budha dari China pertama kali pada tahun
671 M. Dalam catatannya disebutkan bahwa saat itu terdapat lebih dari seribu orang
pendeta Budha di Sriwijaya. Aturan dan upacara para pendeta Budha tersebut sama
dengan aturan dan upacara yang dilakukan oleh para pendeta Budha di pusat ajaran
agama Budha, India. I-tsing tinggal selama 6 bulan di Sriwijaya untuk belajar bahasa
Sansekerta, setelah itu ia berangkat ke Nalanda, India. Setelah lama belajar di Nalanda,
tahun 685 I-tsing kembali ke Sriwijaya dan tinggal selama beberapa tahun untuk
menerjemahkan teks-teks Budha dari bahasa Sansekerta ke bahasa Cina. Catatan Cina
yang lain menyebutkan tentang utusan Sriwijaya yang datang secara rutin ke Cina, yang
terakhir pada tahun 988 M.
2. Sumber Arab
Orang-orang Arab sering menyebut Sriwijaya dengan nama Sribuza, Sabay atau
Zabaq. Mas‘udi, seorang sejarawan Arab klasik menulis catatan tentang Sriwijaya pada
tahun 955 M. Dalam catatan itu, digambarkan Sriwijaya merupakan sebuah kerajaan
besar, dengan tentara yang sangat banyak. Hasil bumi Sriwijaya adalah kapur barus, kayu
gaharu, cengkeh, kayu cendana, pala, kardamunggu, gambir dan beberapa hasil bumi
lainya. Bukti lain yang mendukung adalah ditemukannya perkampungan-perkampungan
Arab sebagai tempat tinggal sementara di pusat Kerajaan Sriwijaya.
3. Sumber India
Kerajaan Sriwijaya pernah menjalin hubungan dengan raja-raja dari kerajaan-
kerajaan di India seperti Kerajaan Nalanda dan Kerajaan Chola. Dengan Kerajaan
Nalanda disebutkan bahwa Raja Sriwijaya mendirikan sebuah prasasti yang dikenal
dengan nama Prasasti Nalanda. Dalam prasasti tersebut dinyatakan bahwa Raja Nalanda
yang bernama Raja Dewa Paladewa berkenan membebaskan 5 desa dari pajak. Sebagai
gantinya, kelima desa tersebut wajib membiayai para mahasiswa dari Kerajaan Sriwijaya
yang menuntut ilmu di Kerajaan Nalanda. Di samping menjalin hubungan dengan
Kerajaan Nalanda, Kerajaan Sriwijaya juga menjalin hubungan dengan Kerajaan Chola
(Cholamandala) yang terletak di India Selatan. Hubungan ini menjadi retak setelah Raja
Rajendra Chola ingin menguasai Selat Malaka.
4. Sumber lain
Pada tahun 1886, Beal mengemukakan pendapatnya bahwa Shih-li-fo-shih
merupakan suatu daerah yang terletak di tepi Sungai Musi. Sumber lain, yakni Kern, pada
tahun 1913 M telah menerbitkan tulisan mengenai Prasasti Kota Kapur, prasasti
peninggalan Sriwijaya yang ditemukan di Pulau Bangka. Namun, saat itu, Kern
menganggap Sriwijaya yang tercantum pada prasasti itu adalah nama seorang raja, karena
Cri biasanya digunakan sebagai sebutan atau gelar raja.
4
Sumber dalam negeri berasal dari prasasti-prasasti yang dibuat oleh raja-raja dari
Kerajaan Sriwijaya. Prasasti-prasasti dari Kerajaan Sriwijaya sebagian besar
menggunakan huruf Pallawa dan bahasa Melayu Kuno. Prasasti itu antara lain sebagai
berikut.
5. Prasasti Ligor
Prasasti berangka tahun 775 M itu menyebutkan tentang ibu kota Ligor yang
difungsikan untuk mengawasi pelayaran perdagangan di Selat Malaka.
6. Prasasti Nalanda
Prasasti itu menyebutkan Raja Balaputra Dewa sebagai Raja terakhir dari Dinasti
Syailendra yang terusir dari Jawa Tengah akibat kekalahannya melawan Kerajaan
Mataram dari Dinasti Sanjaya. Dalam prasasti itu, Balaputra Dewa meminta kepada Raja
Nalanda agar mengakui haknya atas Kerajaan Syailendra. Di samping itu, prasasti ini
juga menyebutkan bahwa Raja Dewa Paladewa berkenan membebaskan 5 buah desa dari
pajak untuk membiayai para mahasiswa Sriwijaya yang belajar di Nalanda.
5
7. Prasasti Telaga Batu
Prasasti ini ditemukan di sekitar Palembang pada tahun 1918 M. Berbentuk batu
lempeng mendekati segi lima, di atasnya ada tujuh kepala ular kobra, dengan sebentuk
mangkuk kecil dengan cerat (mulut kecil tempat keluar air) di bawahnya. Menurut para
arkeolog, prasasti ini digunakan untuk pelaksanaan upacara sumpah kesetiaan dan
kepatuhan para calon pejabat. Dalam prosesi itu, pejabat yang disumpah meminum air
yang dialirkan ke batu dan keluar melalui cerat tersebut. Sebagai sarana untuk upacara
persumpahan, prasasti seperti itu biasanya ditempatkan di pusat kerajaan, maka diduga
kuat Palembang merupakan pusat Kerajaan Sriwijaya.
1. Negara Maritim
Dalam upaya mewujudkan cita-cita agar Sriwijaya menjadi kerajaan Maritim,
perluasan kerajaan dilakukan untuk menguasai jalur perdagangan di Selat Malaka dan
Selat Sunda yang merupakan jalur perdagangan dan pelayaran yang sangat penting.
Keberhasilan Sriwijaya berkuasa atas semua selat itu menjadikan Kerajaan Sriwijaya
sebagai penguasa tunggal jalur aktivitas perdagangan dunia yang melalui Asia Tenggara.
Armada Sriwijaya yang kuat dapat menjamin keamanan aktivitas pelayaran dan
perdagangan. Armada Sriwijaya juga dapat memaksa perahu dagang untuk singgah di pusat atau
di bandar-bandar Kerajaan Sriwijaya. Semakin ramainya aktivitas pelayaran dan perdagangan
menjadikan Sriwijaya sebagai tempat pertemuan para pedagang atau pusat perdagangan di Asia
Tenggara. Pengaruh dan peranan Kerajaan Sriwijaya semakin besar di lautan. Bahkan para
pedagang dari Kerajaan Sriwijaya juga melakukan hubungan sampai di luar wilayah Indonesia,
sampai ke China di sebelah utara, dan Laut Merah serta Teluk Persia di sebelah barat.
1. Kehidupan Politik
Salah satu cara untuk memperluas pengaruh kerajaan adalah melakukan perkawinan dengan
kerajaan lain. Hal ini dilakukan oleh penguasa Sriwijaya, Dapunta Hyang pada tahun 664 M
dengan Sobakancana, putri kedua raja Kerajaan Tarumanegara.
Raja merupakan pemegang kekuasaan tertinggi dalam sistem pemerintahan Kerajaan Sriwijaya.
Ada tiga syarat utama untuk menjadi raja Sriwijaya, yaitu :
6
Berikut daftar silsilah para Raja Kerajaan Sriwijaya :
1. Dapunta Hyang Sri Yayanaga (Prasasti Kedukan Bukit 683 M, Prasasti Talangtuo 684
M) Berita mengenai raja ini diketahui dari Prasasti Kedukan Bukit tahun 683 M dan
Prasasti Talangtuo tahun 684 M. Pada masa pemerintahannya, Raja Dapunta Hyang Sri
Yayanaga telah berhasil memperluas wilayah kekuasaannya sampai ke wilayah
Minangatamwan, Jambi. Sejak awal pemerintahannya, Raja Dapunta Hyang telah
mencita-citakan agar Kerajaan Sriwijaya menjadi kerajaan maritim.
2. Cri Indrawarman (berita Cina, 724 M)
3. Rudrawikrama (berita Cina, 728 M)
4. Wishnu (Prasasti Ligor, 775 M)
5. Maharaja (berita Arab, 851 M)
6. Balaputradewa (Prasasti Nalanda, 860 M) Pada masa pemerintahan Balaputradewa,
Kerajaan Sriwijaya mengalami masa kejayaannya Pada awalnya, Raja Balaputradewa
adalah raja dari kerajaan Syailendra (Jawa Tengah). Ketika terjadi perang saudara di
Kerajaan Syailendra, antara Balaputradewa dan Pramodhawarni (kakaknya) yang dibantu
oleh Rakai Pikatan (Dinasti Sanjaya), Balaputradewa mengalami kekalahan. Akibat
kekalahan itu, Raja Balaputradewa lari ke Sriwijaya. Di Kerajaan Sriwijaya berkuasa
Raja Dharma Setru (kakak dari ibu Balaputradewa) yang tidak memiliki keturunan,
sehingga kedatangan Raja Balaputradewa disambut baik. Kemudian ia diangkat menjadi
raja.
7. Cri Udayadityawarman (berita Cina, 960 M)
8. Cri Udayaditya (Berita Cina, 962 M)
9. Cri Cudamaniwarmadewa (Berita Cina, 1003. Prasasti Leiden, 1044 M)
10. Maraviyatunggawarman (Prasasti Leiden, 1044 M)
11. Cri Sanggrama Wijayatunggawarman (Prasasti Chola, 1004 M) Pada masa
pemerintahannya, Sriwijaya mengalami ancaman dari Kerajaan Chola. Di bawah Raja
Rajendra Chola, Kerajaan Chola melakukan serangan dan berhasil merebut Kerajaan
Sriwijaya. Sanggrama Wijayatunggawarman berhasil ditawan. Namun, pada masa
pemerintahan Raja Kulottungga I di Kerajaan Chola, Raja Sanggrama
Wijayatunggawarman dibebaskan kembali.
1. Struktur Birokrasi
Kerajaan Sriwijaya menerapkan struktur birokrasi yang bersifat langsung, karena raja berperan
penting dalam pengawasan terhadap tempat-tempat yang dianggap strategis. Raja dapat
memberikan penghargaan terhadap penguasa daerah yang setia dan sebaliknya dapat menjatuhi
hukumanterhadap penguasa daerah yang tidak setia kepada kerajaan.
Dalam beberapa prasasti disebutkan tentang pelaksanaan suatu keputusan raja, lengkap dengan
perincian hadiah atau sanksi yang dapat diterima dalam suatu peristiwa. Selain itu, ditemukan
prasasti-prasasti yang mencatat masalah-masalah penyelesaian hokum sengketa antarwarga. Hal
yang menarik bahwa sebagian prasasti memuat ancaman-ancaman atau kutukan-kutukan yang
ditujukan kepada keluarga raja itu sendiri. Walaupun kedengarannya aneh, namun ada pendapat
yang menganggap bahwa hal itu sangat mungkin terjadi, karena keluarga-keluarga raja yang
menjadi ancaman itu, kekuasaannya berada di luar pengawasan langsung dari raja yang berkuasa.
7
1. Kehidupan Ekonomi
Penguasaan Kerajaan Sriwijaya di urat nadi perhubungan pelayaran dan perdagangan Asia
Tenggara yaitu di Selat Malaka, mempunyai arti penting bagi perekonomian kerajaan. Karena
banyak kapal-kapal asing yang singgah untuk menambah air minum, perbekalan makanan,
istirahat, atau melakukan aktivitas perdagangan. Karena bertambah ramainya kegiatan
perdagangan di Selat Malaka, Sriwijaya membangun ibukota baru di Semenanjung Malaka, yaitu
di Ligor yang dibuktikan dengan Parasasti Ligor (755 M). Pendirian ibukota Ligor tersebut
bukan berarti meninggalkan ibukota di Sumatera Selatan, melainkan hanya untuk melakukan
pengawasan lebih dekat terhadap aktivitas perdagangan di Selat Malaka atau menghindari
penyeberangan yang dilakukan oleh para pedagang melalui Tanah Genting Kra.
Menurut catatan asing, bumi Sriwijaya menghasilkan cengkeh, kapulaga, pala, lada, pinang,
kayu gaharu, kayu cendana, kapur barus, gading, timah, emas, perak, kayu hitam, kayu sapan,
rempah-rempah dan penyu. Barang-barang tersebut dijual atau dibarter dengan kain katu, sutera
dan porselen melalui relasi dagang dengan Cina, India, Arab dan Madagaskar.
8
walaupun klaim tersebut tidak mendasar. Pengaruh Sriwijaya nampak pada
bangunan pagodaBorom That yang bergaya Sriwijaya. Setelah kejatuhan Sriwijaya, Chaiya
terbagi menjadi tiga kota yakni (Mueang) Chaiya, Thatong (Kanchanadit) dan Khirirat Nikhom.
Sriwijaya juga berhubungan dekat dengan kerajaan Pala di Benggala, terutama dalam bidang
kebudayaan dan agama. Sebuah prasasti tertahun 860 M mencatat bahwa raja Balaputradewa
mendedikasikan seorang biara kepada Universitas Nalada, Pala. Relasi dengan dinasti Chola di
India selatan cukup baik dan menjadi buruk setelah terjadi peperangan di abad ke-11.
Selain dengan Kerajaan Pala, Sriwijaya juga menjalin hubungan baik dengan Kerajaan
Cholamandala. Raja Sriwijaya yakni Raja Sanggrama Wijayatunggawarman mendirikan sebuah
biara (1006 M) di Kerajaan Chola untuk tempat tinggal para bhiksu dari Kerajaan Sriwijaya.
Namun, persaingan di bidang pelayaran dan perdagangan membuat keduanya bermusuhan.Raja
Rajendra Chola melakukan serangan ke Kerajaan Sriwijaya sampai dua kali. Serangan pertama
tahun 1007 M mengalami kegagalan. Pada serangan kedua (1023 M) Kerajaan Chola berhasil
merebut kota dan bandar-bandar penting Sriwijaya, bahkan Raja Sanggrama
Wijayatunggawarman berhasil ditawan.
1. Masa Keemasan
Pada paruh pertama abad ke-10 yaitu antara masa jatuhnya Dinasti Tang dan naiknya dinasti
Song, perdagangan dengan luar negeri cukup marak, terutama Fujian, Kerajaan Min dan negeri
kaya Guangdong, Kerajaan Nan Han. Tak diragukan lagi Sriwijaya mendapatkan keuntungan
dari perdagangan ini. Pada tahun 903, penulis Muslim Ibn Batutah sangat terkesan dengan
kemakmuran Sriwijaya. Daerah urban kerajaan meliputi Palembang (khususnya Bukit
Seguntang), Muara Jambi dan Kedah.
1. Masa Kemunduran
Tahun 1025, Rajendra Chola, Raja Chola dari Koromandel, India selatan menaklukkan Kedah
dari Sriwijaya dan menguasainya. Kerajaan Chola meneruskan penyerangan dan penaklukannya
selama 20 tahun berikutnya ke seluruh imperium Sriwijaya. Meskipun invasi Chola tidak
berhasil sepenuhnya, invasi tersebut telah melemahkan hegemoni Sriwijaya yang berakibat
terlepasnya beberapa wilayah dengan membentuk kerajaan sendiri, seperti Kediri, sebuah
kerajaan yang berbasiskan pada pertanian.
Antara tahun 1079 – 1088, orang Tionghoa mencatat bahwa Sriwijaya mengirimkan duta besar
dari Jambi dan Palembang. Tahun 1082 dan 1088, Jambi mengirimkan lebih dari dua duta besar
ke China. Pada periode inilah pusat Sriwijaya telah bergeser secara bertahap dari Palembang ke
Jambi. Ekspedisi Chola telah melemahkan Palembang, dan Jambi telah menggantikannya
sebagai pusat kerajaan.
Berdasarkan sumber Tiongkok pada buku Chu-fan-chi yang ditulis pada tahun 1178, Chou-Ju-
Kua menerangkan bahwa di kepulauan Asia Tenggara terdapat dua kerajaan yang sangat kuat
dan kaya, yakni Sriwijaya dan Jawa (Kediri). Di Jawa dia menemukan bahwa rakyatnya
memeluk agama Budha dan Hindu, sedangkan rakyat Sriwijaya memeluk Budha. Berdasarkan
sumber ini pula dikatakan bahwa beberapa wilayah kerajaan Sriwijaya ingin melepaskan diri,
antara lain Kien-pi (Kampe, di utara Sumatra) dan beberapa koloni di semenanjung Malaysia.
Pada masa itu wilayah Sriwijaya meliputi; Pong-fong (Pahang), Tong-ya-nong (Trengganu),
Ling-ya-ssi-kia (Langkasuka), Kilan-tan (Kelantan), Fo-lo-an, Ji-lo-t’ing (Jelutong), Ts’ien-mai,
Pa-t’a (Batak), Tan-ma-ling (Tambralingga, Ligor), Kia-lo-hi (Grahi, bagian utara semenanjung
9
Malaysia), Pa-lin-fong (Palembang), Sin-t’o (Sunda), Lan-wu-li (Lamuri di Aceh), and Si-lan
(Srilanka).
Pada tahun 1288, Singosari, penerus kerajaan Kediri di Jawa, menaklukan Palembang dan Jambi
selama masa ekspedisi Pamalayu. Di tahun 1293, Majapahit pengganti Singosari, memerintah
Sumatra. Raja ke-4 Hayam Wuruk memberikan tanggung jawab tersebut kepada
Pangeran Adityawarman, seorang peranakan Minang dan Jawa. Pada tahun 1377 terjadi
pemberontakan terhadap Majapahit, tetapi pemberontakan tersebut dapat dipadamkan walaupun
di selatan Sumatra sering terjadi kekacauan dan pengrusakan.
Kedudukan Sriwijaya makin terdesak karena munculnya kerajaan-kerajaan besar yang juga
memiliki kepentingan dalam dunia perdagangan, seperti Kerajaan Siam di sebelah utara.
Kerajaan Siam memperluas kekuasaannya ke arah selatan dengan menguasai daerah-daerah di
Semenanjung Malaka termasuk Tanah Genting Kra. Jatuhnya Tanah Genting Kra ke dalam
kekuasaan Kerajaan Siam mengakibatkan lemahnya kegiatan pelayaran dan perdagangan di
Kerajaan Sriwijaya.
Di masa berikutnya, terjadi pengendapan pada Sungai Musi yang berakibat tertutupnya akses
pelayaran ke Palembang. Hal ini tentunya sangat merugikan perdagangan kerajaan. Penurunan
Sriwijaya terus berlanjut hingga masuknya Islam ke Aceh yang disebarkan oleh pedagang-
pedagang Arab dan India. Di akhir abad ke-13, Kerajaan Pasai di bagian utara Sumatra
berpindah agama Islam.
Maka sejak akhir abad ke-13 M Kerajaan Sriwijaya menjadi kerajaan kecil dan wilayahnya
terbatas pada daerah Palembang. Kerajaan Sriwijaya yang kecil dan lemah akhirnya dihancurkan
oleh Kerajaan Majapahit pada tahun 1377 M.
10
BAB III
PENUTUP
1. Kesimpulan
1. Kerajaan Sriwijaya merupakan kerajaan bercorak Hindu terbesar di Indonesia,
bahkan dijuluki sebagai pusat agama Hindu di luar India.
2. Kerajaan Sriwijaya adalah kerajaan yang sangat kuat dan kaya raya. Terbukti dari
sebutan negara maritimnya.
3. Sejarah Kerajaan Sriwijaya dapat diakses dari prasasti-prasasti peninggalan
kerajaan baik di dalam maupun di lur negeri serta dari berita-berita asing
.
2. Saran
1. Sejarah harus selalu kita kaji agar menjadi sebuah pengetahuan dan motivasi dalm
mengisi kenerdekaan
2. Lestarikan terus nilai-nilai budaya sejarah bangsa.
11
DAFTAR PUSTAKA
Bellwood, Peter and James J. Fox, Darrell Tryon. The Austronesians: Historical and
Comparative Perspectives.
Hirth, Friedrich and Chao Ju-kua, W.W.Rockhill. The Chinese and Arab Trade in the Twelfth
and Thirteen centuries. Entitled Chu-fan-chi St Petersburg, 1911.
http://wikipedia/sejarahkerajaansriwijaya/com
Karso, Drs, dkk. Pelajaran Sejarah Untuk SMTA kelas 1. Bandung: Penerbit Angkasa, ISBN.
979-404-179-3-7, 1988.
Munoz, Paul Michel. Early Kingdoms of the Indonesian Archipelago and the Malay Peninsula.
Singapore: Editions Didier Millet, pages 171, 143, 140, 132, 130, 124, 113. ISBN 981-4155-67-
5, 2006.
Notosusanto, Nugroho, dkk. Sejarah Nasional Indonesia 1. Jakarta: CV. Adhi Waskita
Semarang, ISBN. 979-462-144-7, 1992.
Soekmono, Drs. R. (1973, 5th reprint edition in 1988). Pengantar Sejarah Kebudayaan
Indonesia 2, 2nd ed.. Yogyakarta: Penerbit Kanisius, page 60.
Taylor. Indonesia, hal. 29.
Taylor, Jean Gelman. Indonesia: Peoples and Histories. New Haven and London: Yale
University Press, pp. 8-9. ISBN 0-300-10518-5, 2003.
Zain, Sabri. Sejarah Melayu, Buddhist Empires.
12