Anda di halaman 1dari 19

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Wilayah Indonesia terdiri dari pulau besar dan kecil yang dihubungkan oleh selat dan
laut, hal ini menyebabkan sarana pelayaran merupakan lalu lintas utama penghubung antar
pulau. Pelayaran ini dilakukan dalam rangka mendorong aktivitas perdagangan. Pelayaran
perdagangan yang dilakukan oleh bangsa Indonesia, bukan hanya dalam wilayah saja, tetapi
telah jauh sampai ke luar wilayah Indonesia.

Pelayaran dan perdagangan di Asia semakin ramai setelah ditemukan jalan melalui
laut antara Romawi dan China. Rute jalur laut yang dilalui dalam hubungan dagang China
dengan Romawi telah mendorong munculnya hubungan dagang pada daerah-daerah yang
dilalui, termasuk wilayah Indonesia. Karena posisi Indonesia yang strategis di tengah-tengah
jalur hubungan dagang China dengan Romawi, maka terjadilah hubungan dagang antara
Indonesia dan China beserta India.

Melalui hubungan itu juga, berkembang kebudayaan-kebudayaan yang dibawa oleh


para pedagang di Indonesia. Dalam perkembangan hubungan perdagangan antara Indonesia
dan India, lambat laun agama Hindu dan Budha masuk dan tersebar di Indonesia serta dianut
oleh raja-raja dan para bangsawan. Dari lingkungan raja dan bangsawan itulah agama Hindu-
Budha tersebar ke lingkungan rakyat biasa.

Agama Hindu-Budha diperkirakan masuk ke Indonesia pada awal Tarikh Masehi,


dibawa oleh para musafir dari India. Raja-raja dan para bangsawan yang pertama kali
menganut agama ini kemudian membangun kerajaan-kerajaan yang bercorak Hindu-Budha.
Diantara kerajaan yang bercorak hindu budha adalah kerajaan kalingga dan sriwijaya.

Letak Kerajaan Kalingga atau Kerajaan Halong, diperkirakan di Jawa Tengah. Nama
Kaling berasal dari Kalingga, nama sebuah kerajaan di India Selatan. Sumbernya adalah
berita Cina yang menyebutkan bahwa kotanya dikelilingi dengan pagar kayu, rajanya
beristana di rumah yang bertingkat, yang ditutup dengan atap, Orang-orangnya sudah pandai
tulis-menulis dan mengenal juga ilmu perbintangan. Kalingga atau Ho-ling (sebutan dari
sumber Tiongkok) adalah sebuah kerajaan bercorak Hindu yang muncul di Jawa Tengah
1
sekitar abad ke-6 Masehi. Letak pusat kerajaan ini belumlah jelas, kemungkinan berada di
suatu tempat antara Kabupaten Pekalongan dan Kabupaten Jepara sekarang.

Kerajaan Sriwijaya merupakan salah satu kerajaan besar yang bukan saja dikenal di
wilayah Indonesia, tetapi dikenal di setiap bangsa atau negara yang berada jauh di luar
Indo¬nesia. Hal ini disebabkan letak Kerajaan Sriwijaya yang sangat strategis dan dekat
dengan Selat Malaka. Telah kita ketahui, Selat Malaka pada saat itu merupakan jalur
perdagangan yang sangat ramai dan dapat menghubung-kan antara pedagang-pedagang dari
Cina dengan India maupun Romawi.

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana sejarah berdirinya kerajaan Kalingga dan Sriwijaya?
2. Apa peninggalan kerajaan Kalingga dan Sriwijaya?
3. Daerah-daerah mana yang dikuasai kerajaan Kalingga dan Sriwijaya?
4. Bagaimana pemerintahan dan kehidupan masyaraknya pada masa kerajaan Kalingga
dan Sriwijaya?
5. Bagaimana keruntuhan kerajaan Kalingga dan Sriwijaya?

C. Tujuan

1. Mengetahui sejarah berdirinya kerajaan Kalingga dan Sriwijaya


2. Mengetahui peninggalan kerajaan Kalingga dan Sriwijaya
3. Daerah-daerah mana yang dikuasai kerajaan Kalingga dan Sriwijaya
4. Mengetahui pemerintahan dan kehidupan masyaraknya pada masa kerajaan
Kalingga dan Sriwijaya
5. Mengetahui keruntuhan kerajaan Kalingga dan Sriwijaya

2
BAB II

PEMBAHASAN

A. Kerajaan Kalingga
1. Sejarah

Kalingga atau Ho-ling (sebutan dari sumber Tiongkok) adalah sebuah kerajaan
bercorak Hindu-Budha yang muncul di Jawa Tengah sekitar abad ke-6 Masehi. Letak
pusat kerajaan ini belumlah jelas, kemungkinan berada di suatu tempat antara
Kabupaten Pekalongan dan Kabupaten Jepara sekarang. Sumber sejarah kerajaan ini
masih belum jelas dan kabur, kebanyakan diperoleh dari sumber catatan Tiongkok,
tradisi kisah setempat, dan naskah Carita Parahyangan yang disusun berabad-abad
kemudian pada abad ke-16 menyinggung secara singkat mengenai Ratu Shima dan
kaitannya dengan Kerajaan Galuh. Kalingga telah ada pada abad ke-6 Masehi dan
keberadaannya diketahui dari sumber-sumber Tiongkok.

Kerajaan ini pernah diperintah oleh Ratu Shima, yang dikenal memiliki
peraturan barang siapa yang mencuri, akan dipotong tangannya. Catatan sejarah
mengenai keberadaan Kerajaan Kalingga didapatkan dari dua sumber utama, yaitu
dari kronik sejarah Tiongkok, serta catatan sejarah manuskrip lokal, ditambah dengan
tradisi lisan setempat yang menyebutkan mengenai Ratu legendaris bernama Ratu
Shima.

2. Peninggalan Kerajaan

 Prasasti Tuk Mas

Prasasti Tuk Mas ditemukan di lereng barat Gunung Merapi, tepatnya di Dusun Dakawu,
Desa Lebak, Kecamatan Grabag, Magelang, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah. Prasasti
bertuliskan huruf Pallawa yang berbahasa Sanskerta. Prasasti menyebutkan tentang mata air
yang bersih dan jernih. Sungai yang mengalir dari sumber air tersebut disamakan dengan
Sungai Gangga di India. Pada prasasti itu ada gambar-gambar seperti trisula, kendi, kapak,
keong (instrumen), cakra dan bunga teratai yang merupakan lambang keeratan hubungan
manusia dengan dewa-dewa Hindu.[4]

 Prasasti Sojomerto

3
Prasasti Sojomerto ditemukan di Desa Sojomerto, Kecamatan Reban, Kabupaten Batang,
Jawa Tengah. Prasasti ini beraksara Kawi dan berbahasa Melayu Kuno dan berasal dari
sekitar abad ke-7 masehi. Prasasti ini bersifat keagamaan Siwais. Isi prasasti memuat keluarga
dari tokoh utamanya, Dapunta Selendra, yaitu ayahnya bernama Santanu, ibunya bernama
Bhadrawati, sedangkan istrinya bernama Sampula. Prof. Drs. Boechari berpendapat bahwa
tokoh yang bernama Dapunta Sailendra adalah cikal-bakal raja-raja keturunan Wangsa
Sailendra yang berkuasa di Kerajaan Medang. Kedua temuan prasasti ini menunjukkan bahwa
kawasan pantai utara Jawa Tengah dahulu berkembang kerajaan yang bercorak Hindu Siwais.
Catatan ini menunjukkan kemungkinan adanya hubungan dengan Wangsa Sailendra atau
Kerajaan Medang yang berkembang kemudian di Jawa Tengah Selatan.

Temuan arkeologi

 Candi Angin Candi Angin ditemukan di Desa Tempur, Kecamatan Keling,


Kabupaten Jepara, Jawa Tengah.
 Candi Bubrah Candi Bubrah ditemukan di Desa Tempur, Kecamatan Keling,
Kabupaten Jepara, Jawa Tengah.
 Situs Puncak Sanga Likur Gunung Muria. Di Puncak Rahtawu (Gunung Muria)
dekat dengan Kecamatan Keling di sana terdapat empat arca batu, yaitu arca Batara
Guru, Narada, Togog, dan Wisnu. Sampai sekarang belum ada yang bisa memastikan
bagaimana mengangkut arca tersebut ke puncak itu mengingat medan yang begitu
berat. Pada tahun 1990, di seputar puncak tersebut, Prof Gunadi[5] dan empat orang
tenaga stafnya dari Balai Arkeologi Nasional Yogyakarta (kini Balai Arkeologi
Yogyakarta) menemukan Prasasti Rahtawun. Selain empat arca, di kawasan itu ada
pula enam tempat pemujaan yang letaknya tersebar dari arah bawah hingga menjelang
puncak. Masing-masing diberi nama (pewayangan) Bambang Sakri, Abiyoso,
Jonggring Saloko, Sekutrem, Pandu Dewonoto, dan Kamunoyoso.

4
Pekalongan sebagai pelabuhan kuno

Masa keemasan Pekalongan ketika menjadi sentral Pulau Jawa dengan kemajuan
pelabuhan sebagai pusat perdagangan. David Ricardo tahun 1817 dalam buku yang berjudul
Principle of Political Economy and Taxation menyimpulkan bahwa Pekalongan memang
memiliki sebuah keunggulan dibandingkan daerah lain.

Catatan sejarah yang menempatkan Pekalongan sebagai pelabuhan kuno yang besar
bagi kerajaan-kerajaan di Jawa menjadi tanda bahwa kemajuan wilayah Pekalongan memang
sangat diperhitungkan. Daratan yang sekarang menjadi wilayah administrasi Kabupaten
Pekalongan dan Kota Pekalongan masih berupa lautan. Dalam peta gugusan pantai kuno
disebutkan bahwa wilayah-wilayah pegunungan pedesaan seperti Bandar, Doro (wilayah
Pekalongan Selatan), dulunya masih berupa pantai. Kedalaman pantai kuno masa itu
mencapai sekitar 150 meter, sehingga memungkinkan kapal-kapal seperti jung atau cadik
yang seperti digambarkan dalam relief Candi Borobudur bisa berlabuh, sangat besar
kemungkinannya dulu wilayah ini menjadi pelabuhan kuno yang besar, yang menjadi pintu
masuk persebaran dan jalur perdagangan kuno antara Jawa dengan negeri luar (Tiongkok,
India, Arab).

Wilayah bagian selatan Pekalongan (daerah Dataran Tinggi Dieng/Banjarnegara) yang


konon menjadi pusat Kerajaan Kalingga, kerajaan yang berdiri sekitar abad 6 M, yang
menjadi cikal bakal raja-raja keturunan Wangsa Sanjaya dan Wangsa Sailendra. Sanjaya yang
lantas mendirikan Kerajaan Medang (Mataram Kuno). Borobudur itu menurut para sejarawan
dibangun pada masa Sailendra.

Kedatangan penghuni Kerajaan Kalingga yang bermigrasi dari India tak mungkin tiba-
tiba berada di Dataran Tinggi Dieng (kalaupun daerah dataran tinggi Dieng memang dulunya
pusat Kerajaan Kalingga) tanpa melewati pintunya Jawa bagian tengah, yaitu Pekalongan.
Adapula para sejarawan masih memperkirakan keberadaan ibu kota kerajaan Kalingga itu
terletak di sekitar antara Pekalongan dan Jepara.

3. Daerah yang dikuasai kerajaan Kalingga

Menurut berita Cina yang berasal dari Dinasti Tang menyebutkan bahwa letak
kerajaan kalingga berbatasan dengan laut sebelah selatan, Tan-Hen-La (Kamboja) di sebelah
utara, Po-Li (Bali) di sebelah timur, dan To-Po-Teng di sebelah barat. Nama lain dari Holing

5
adalah Cho-Po (jawa) sehingga berdasarkan berita cina tersebut dapat di simpulkan bahwa
kerajaan kalingga / holing terletak di pulau jawa, khususnya jawa tengah.

4. Pemerintahan dan kehidupan masyarakat pada masa kerajaan Kalingga

Menurut berita China, Kerajaan Holing atau Kalingga diperintah oleh seorang wanita
bernama Ratu Sima. Masa pemerintahannya dimulai sekitar tahun 674 M. Kepemimpinan
Ratu Sima sangat keras, namun adil dan bijaksana. Setiap pelanggar diberikan sanksi tegas.
Tidak peduli apakah pelanggar tersebut adalah warga istana atau bukan. Rakyat selalu tunduk
dan taat pada ratu sima, begitu juga dengan pejabat kerajaan. Oleh karena itu ketertiban dan
ketenteraman di Kalingga berjalan dengan baik.

Menurut naskah Carita Parahyangan, Ratu Sima memiliki cucu bernama Sahana yang
menikah dengan Raja Brantasenawa dari Kerajaan Galuh. Sahana memiliki anak bernama
Sanjaya yang kelak menjadi Dinasti Sanjaya. Sepeninggalan Ratu Sima, Kerajaan Kalingga
ditaklukan oleh Kerajaan Sriwijaya.

Kehidupan sosial di Kerajaan Kalingga berjalan dengan tertib dan teratur. Hal ini
terjadi berkat kepemimpinan Ratu Sima yang tegas dan bijaksana dalam menjalankan hukum
dan pemerintahannya. Perekonomian Kerajaan Kalingga bergerak dibidang perdagangan dan
pertanian. Bagi masyarakat yang tinggal di pesisir pantai utara di Jawa Tengah, perdagangan
adalah mata pencaharian utama mereka. Letaknya yang cukup strategis membuat Kalingga
sering disinggahi oleh para pedagang dari luar negeri. Kalingga merupakan daerah penghasil
kulit penyu, emas, perak, cula badak, dan gading. Di Holing ada sumber air asin yang
dimanfaatkan untuk membuat garam. Hidup rakyat Holing tenteram, karena tidak ada
kejahatan dan kebohongan.

Berkat kondisi itu rakyat Ho-ling sangat memperhatikan pendidikan. Buktinya rakyat
ho-ling sudah mengenal tulisan, selain tulisan masyarakat Ho-ling juga telah mengenal ilmu
perbintangan dan dimanfaat dalam bercocok tanam. Sementara itu, sebagian masyarakat yang
tinggal di pedalaman yang subur, memanfaatkan kondisi tanah yang subur tersebut untuk
mengembangkan sektor pertanian. Hasil-hasil pertanian yang diperdagangkan antara lain
beras dan minuman. Penduduk Kalingga dikenal pandai membuat minuman berasal dari
bunga kelapa dan bunga aren. Minuman tersebut memiliki rasa manis dan dapat
memabukkan. Dari hasil perdagangan dan pertanian tersebut, penduduk Kalingga hidup
makmur.

6
5. Keruntuhan Kerajaan Kalingga

Runtuhnya kerajaan kalingga yaitu akibat serangan dari Sriwijaya yang menguasai
perdagangan, akibat dari serangan tersebut yang mengakibatkan pemerintahan Kijen akhirnya
menyingkir ke Jawa bagian Timur atau mundur ke pedalaman Jawa bagian Tengah yakti
sekitar pada tahun 742-755 Masehi.

Bersama Melayu dan tarumanegara yang sebelumnya telah tunduk oleh kerajaan
Sriwijaya, dan kemudian ke 3 kerajaan itu menjadi pesaing kuat jaringan perdagangan
Sriwijaya-Buddha, dan kemudian kerajaan kalingga diganti dengan Bumi Mataram.

B. Kerajaan Sriwijaya
1. Sejarah

Sriwijaya merupakan salah satu kerajaan besar yang pernah membawa kejayaan
kepulauan Nusantara di masa lampau. Bukan saja dikenal di wilayah Indonesia, tetapi hampir
setiap bangsa yang berada jauh di luar Indonesia mengenal Kerajaan Sriwijaya. Hal ini
disebabkan karena letak Sriwijaya yang sangat strategis dan dekat dengan jalur perdagangan
antar bangsa yakni Selat Malaka. Selat Malaka pada masa itu adalah jalur perdagangan ramai
yang menghubungkan pedagang-pedagang Cina dengan India maupun Romawi.

Dalam bahasa Sanskerta, sri berarti "bercahaya" atau "gemilang", dan wijaya berarti
"kemenangan" atau "kejayaan", maka nama Sriwijaya bermakna "kemenangan yang gilang-
gemilang".

George Coedes, seorang sejarawan, menulis karangan berjudul Le Royaume de


Crivijaya pada tahun 1918 M. Coedes kemudian menetapkan bahwa Sriwijaya adalah nama
sebuah kerajaan di Sumatera Selatan. Lebih lanjut, Coedes juga menetapkan bahwa letak
ibukota Sriwijaya adalah Palembang, dengan bersandar pada anggapan Groeneveldt dalam
karangannya, Notes on the Malay Archipelago and Malacca, Compiled from Chinese Source,
yang menyatakan bahwa, San-fo-ts‘I adalah Palembang yang terletak di Sumatera Selatan,
yaitu tepatnya di tepi Sungai Musi atau sekitar kota Palembang sekarang.

7
Dari tepian Sungai Musi di Sumatera Selatan, pengaruh Kerajaan Sriwijaya semakin
meluas. Mencakup wilayah Selat Malaka, Selat Sunda, Selat Bangka, Laut Jawa bagian barat,
Bangka, Jambi Hulu, Jawa Barat (Tarumanegara), Semenanjung Malaya hingga ke Tanah
Genting Kra.

Sumber Sejarah

Sumber-sumber sejarah yang mendukung keberadaan Kerajaan Sriwijaya berasal dari


berita asing dan prasasti-prasasti.

Sumber dari Luar Negeri

1. Sumber Cina

Kunjungan I-sting, seorang peziarah Budha dari China pertama kali pada tahun 671 M.
Dalam catatannya disebutkan bahwa saat itu terdapat lebih dari seribu orang pendeta Budha di
Sriwijaya. Aturan dan upacara para pendeta Budha tersebut sama dengan aturan dan upacara
yang dilakukan oleh para pendeta Budha di pusat ajaran agama Budha, India. I-tsing tinggal
selama 6 bulan di Sriwijaya untuk belajar bahasa Sansekerta, setelah itu ia berangkat ke
Nalanda, India. Setelah lama belajar di Nalanda, tahun 685 I-tsing kembali ke Sriwijaya dan
tinggal selama beberapa tahun untuk menerjemahkan teks-teks Budha dari bahasa Sansekerta
ke bahasa Cina. Catatan Cina yang lain menyebutkan tentang utusan Sriwijaya yang datang
secara rutin ke Cina, yang terakhir pada tahun 988 M.

2. Sumber Arab

Orang-orang Arab sering menyebut Sriwijaya dengan nama Sribuza, Sabay atau Zabaq.
Mas‘udi, seorang sejarawan Arab klasik menulis catatan tentang Sriwijaya pada tahun 955 M.
Dalam catatan itu, digambarkan Sriwijaya merupakan sebuah kerajaan besar, dengan tentara
yang sangat banyak. Hasil bumi Sriwijaya adalah kapur barus, kayu gaharu, cengkeh, kayu
cendana, pala, kardamunggu, gambir dan beberapa hasil bumi lainya. Bukti lain yang
mendukung adalah ditemukannya perkampungan-perkampungan Arab sebagai tempat tinggal
sementara di pusat Kerajaan Sriwijaya.

3. Sumber India

Kerajaan Sriwijaya pernah menjalin hubungan dengan raja-raja dari kerajaan-kerajaan di


India seperti Kerajaan Nalanda dan Kerajaan Chola. Dengan Kerajaan Nalanda disebutkan
8
bahwa Raja Sriwijaya mendirikan sebuah prasasti yang dikenal dengan nama Prasasti
Nalanda. Dalam prasasti tersebut dinyatakan bahwa Raja Nalanda yang bernama Raja Dewa
Paladewa berkenan membebaskan desa dari pajak. Sebagai gantinya, kelima desa tersebut
wajib membiayai para mahasiswa dari Kerajaan Sriwijaya yang menuntut ilmu di Kerajaan
Nalanda. Di samping menjalin hubungan dengan Kerajaan Nalanda, Kerajaan Sriwijaya juga
menjalin hubungan dengan Kerajaan Chola (Cholamandala) yang terletak di India Selatan.
Hubungan ini menjadi retak setelah Raja Rajendra Chola ingin menguasai Selat Malaka.

4. Sumber lain

Pada tahun 1886, Beal mengemukakan pendapatnya bahwa Shih-li-fo-shih merupakan


suatu daerah yang terletak di tepi Sungai Musi. Sumber lain, yakni Kern, pada tahun 1913 M
telah menerbitkan tulisan mengenai Prasasti Kota Kapur, prasasti peninggalan Sriwijaya yang
ditemukan di Pulau Bangka. Namun, saat itu, Kern menganggap Sriwijaya yang tercantum
pada prasasti itu adalah nama seorang raja, karena Cri biasanya digunakan sebagai sebutan
atau gelar raja.

2. Peninggalan Kerajaan
Peninggalan Kerajaan Sriwijaya merupakan peninggalan berupa arkeologi berupa
prasasti-prasasti. Sumber dalam negeri berasal dari prasasti-prasasti yang dibuat oleh raja-raja
dari Kerajaan Sriwijaya. Prasasti-prasasti dari Kerajaan Sriwijaya sebagian besar
menggunakan huruf Pallawa dan bahasa Melayu Kuno. Prasasti itu antara lain sebagai
berikut.

1. Prasasti Kota Kapur

Prasasti ini merupakan yang paling tua, bertarikh 682 M, menceritakan tentang kisah
perjalanan suci Dapunta Hyang dari Minana dengan perahu, bersama dua laksa (20.000)
tentara dan 200 peti perbekalan, serta 1.213 tentara yang berjalan kaki. Sumber lain
menyatakan prasasti ini berisi tentang penaklukan Bumi Jawa yang tidak setia kepada
Sriwijaya. Prasasti Kota Kapur ditemukan di Pulau Bangka.

2. Prasasti Kedukan Bukit

9
Prasasti berangka tahun 683 M itu menyebutkan bahwa raja Sriwijaya bernama Dapunta
Hyang yang membawa tentara sebanyak 20.000 orang berhasil menundukan Minangatamwan.
Dengan kemenangan itu, Kerajaan Sriwijaya menjadi makmur. Daerah yang dimaksud
Minangatamwan itu kemungkinan adalah daerah Binaga yang terletak di Jambi. Daerah itu
sangat strategis untuk perdagangan.

3. Prasasti Talangtuo

Prasasti berangka tahun 684 M itu menyebutkan tentang pembuatan Taman Srikesetra atas
perintah Raja Dapunta Hyang.

4. Prasasti Karang Berahi

Prasasti berangka tahun 686 M itu ditemukan di daerah pedalaman Jambi, yang menunjukan
penguasaan Sriwijaya atas daerah itu.

5. Prasasti Ligor

Prasasti berangka tahun 775 M itu menyebutkan tentang ibu kota Ligor yang difungsikan
untuk mengawasi pelayaran perdagangan di Selat Malaka.

6. Prasasti Nalanda

Prasasti itu menyebutkan Raja Balaputra Dewa sebagai Raja terakhir dari Dinasti Syailendra
yang terusir dari Jawa Tengah akibat kekalahannya melawan Kerajaan Mataram dari Dinasti
Sanjaya. Dalam prasasti itu, Balaputra Dewa meminta kepada Raja Nalanda agar mengakui
haknya atas Kerajaan Syailendra. Di samping itu, prasasti ini juga menyebutkan bahwa Raja
Dewa Paladewa berkenan membebaskan 5 buah desa dari pajak untuk membiayai para
mahasiswa Sriwijaya yang belajar di Nalanda.

7. Prasasti Telaga Batu

Prasasti ini ditemukan di sekitar Palembang pada tahun 1918 M. Berbentuk batu lempeng
mendekati segi lima, di atasnya ada tujuh kepala ular kobra, dengan sebentuk mangkuk kecil
dengan cerat (mulut kecil tempat keluar air) di bawahnya. Menurut para arkeolog, prasasti ini
digunakan untuk pelaksanaan upacara sumpah kesetiaan dan kepatuhan para calon pejabat.
Dalam prosesi itu, pejabat yang disumpah meminum air yang dialirkan ke batu dan keluar
melalui cerat tersebut. Sebagai sarana untuk upacara persumpahan, prasasti seperti itu
10
biasanya ditempatkan di pusat kerajaan, maka diduga kuat Palembang merupakan pusat
Kerajaan Sriwijaya.

3. Daerah yang dikuasai kerajaan Sriwijaya


Sriwijaya (atau juga disebut Śrīivijaya; Jawa: ꦯꦿꦷ ꦮꦶꦗꦪ (bahasa Jawa: Sriwijaya);
Thai: ศรีวช ั ; Siwichai) adalah salah satu kemaharajaan bahari yang pernah berdiri di
ิ ย
pulau Sumatra dan banyak memberi pengaruh di Nusantara dengan daerah kekuasaan
berdasarkan peta membentang dari Kamboja, Thailand Selatan, Semenanjung Malaya,
Sumatra, Jawa Barat dan kemungkinan Jawa Tengah.

4. Pemerintahan dan kehidupan masyarakat pada masa kerajaan Sriwijaya

Salah satu cara untuk memperluas pengaruh kerajaan adalah melakukan perkawinan
dengan kerajaan lain. Hal ini dilakukan oleh penguasa Sriwijaya, Dapunta Hyang pada tahun
664 M dengan Sobakancana, putri kedua raja Kerajaan Tarumanegara.

Saat kerajaan Funan di Indo-China runtuh, Sriwijaya memperluas daerah


kekuasaannya hingga bagian barat Nusantara. Di wilayah utara, melalui kekuatan armada
lautnya, Sriwijaya mampu mengusai lalu lintas perdagangan antara India dan Cina, serta
menduduki Semenanjung Malaya. Kekuatan armada terbesar Sriwijaya juga melakukan
ekspansi wilayah hingga ke Pulau Jawa, Brunei atau Borneo. Hingga pada abad ke-8,
Kerajaan Sriwijaya telah mampu menguasai seluruh jalur perdagangan di Asia Tenggara.

Raja merupakan pemegang kekuasaan tertinggi dalam sistem pemerintahan Kerajaan


Sriwijaya. Ada tiga syarat utama untuk menjadi raja Sriwijaya, yaitu :

1. Samraj, artinya berdaulat atas rakyatnya.


2. Indratvam, artinya memerintah seperti Dewa Indra yang selalu memberikan
kesejahteraan bagi rakyatnya.
3. Ekachattra, artinya mampu memayungi (melindungi) seluruh rakyatnya.

Berikut daftar silsilah para Raja Kerajaan Sriwijaya :

1. Dapunta Hyang Sri Yayanaga (Prasasti Kedukan Bukit 683 M, Prasasti Talangtuo 684
M)

11
Berita mengenai raja ini diketahui dari Prasasti Kedukan Bukit tahun 683 M dan
Prasasti Talangtuo tahun 684 M. Pada masa pemerintahannya, Raja Dapunta Hyang Sri
Yayanaga telah berhasil memperluas wilayah kekuasaannya sampai ke wilayah
Minangatamwan, Jambi. Sejak awal pemerintahannya, Raja Dapunta Hyang telah mencita-
citakan agar Kerajaan Sriwijaya menjadi kerajaan maritim.

2. Cri Indrawarman (berita Cina, 724 M)


3. Rudrawikrama (berita Cina, 728 M)
4. Wishnu (Prasasti Ligor, 775 M)
5. Maharaja (berita Arab, 851 M)
6. Balaputradewa (Prasasti Nalanda, 860 M)

Pada masa pemerintahan Balaputradewa, Kerajaan Sriwijaya mengalami masa


kejayaannya. Pada awalnya, Raja Balaputradewa adalah raja dari kerajaan Syailendra (Jawa
Tengah). Ketika terjadi perang saudara di Kerajaan Syailendra, antara Balaputradewa dan
Pramodhawarni (kakaknya) yang dibantu oleh Rakai Pikatan (Dinasti Sanjaya),
Balaputradewa mengalami kekalahan. Akibat kekalahan itu, Raja Balaputradewa lari ke
Sriwijaya. Di Kerajaan Sriwijaya berkuasa Raja Dharma Setru (kakak dari ibu
Balaputradewa) yang tidak memiliki keturunan, sehingga kedatangan Raja Balaputradewa
disambut baik. Kemudian ia diangkat menjadi raja.

7. Cri Udayadityawarman (berita Cina, 960 M)


8. Cri Udayaditya (Berita Cina, 962 M)
9. Cri Cudamaniwarmadewa (Berita Cina, 1003. Prasasti Leiden, 1044 M)
10. Maraviyatunggawarman (Prasasti Leiden, 1044 M)
11. Cri Sanggrama Wijayatunggawarman (Prasasti Chola, 1004 M)

Pada masa pemerintahannya, Sriwijaya mengalami ancaman dari Kerajaan Chola. Di


bawah Raja Rajendra Chola, Kerajaan Chola melakukan serangan dan berhasil merebut
Kerajaan Sriwijaya. Sanggrama Wijayatunggawarman berhasil ditawan. Namun, pada masa
pemerintahan Raja Kulottungga I di Kerajaan Chola, Raja Sanggrama Wijayatunggawarman
dibebaskan kembali.

1. Struktur Birokrasi

Kerajaan Sriwijaya menerapkan struktur birokrasi yang bersifat langsung, karena raja
berperan penting dalam pengawasan terhadap tempat-tempat yang dianggap strategis. Raja
12
dapat memberikan penghargaan terhadap penguasa daerah yang setia dan sebaliknya dapat
menjatuhi hukumanterhadap penguasa daerah yang tidak setia kepada kerajaan.

Dalam beberapa prasasti disebutkan tentang pelaksanaan suatu keputusan raja,


lengkap dengan perincian hadiah atau sanksi yang dapat diterima dalam suatu peristiwa.
Selain itu, ditemukan prasasti-prasasti yang mencatat masalah-masalah penyelesaian hokum
sengketa antarwarga. Hal yang menarik bahwa sebagian prasasti memuat ancaman-ancaman
atau kutukan-kutukan yang ditujukan kepada keluarga raja itu sendiri. Walaupun
kedengarannya aneh, namun ada pendapat yang menganggap bahwa hal itu sangat mungkin
terjadi, karena keluarga-keluarga raja yang menjadi ancaman itu, kekuasaannya berada di luar
pengawasan langsung dari raja yang berkuasa.

1. Kehidupan Ekonomi

Penguasaan Kerajaan Sriwijaya di urat nadi perhubungan pelayaran dan perdagangan


Asia Tenggara yaitu di Selat Malaka, mempunyai arti penting bagi perekonomian kerajaan.
Karena banyak kapal-kapal asing yang singgah untuk menambah air minum, perbekalan
makanan, istirahat, atau melakukan aktivitas perdagangan. Karena bertambah ramainya
kegiatan perdagangan di Selat Malaka, Sriwijaya membangun ibukota baru di Semenanjung
Malaka, yaitu di Ligor yang dibuktikan dengan Parasasti Ligor (755 M). Pendirian ibukota
Ligor tersebut bukan berarti meninggalkan ibukota di Sumatera Selatan, melainkan hanya
untuk melakukan pengawasan lebih dekat terhadap aktivitas perdagangan di Selat Malaka
atau menghindari penyeberangan yang dilakukan oleh para pedagang melalui Tanah Genting
Kra.

Menurut catatan asing, bumi Sriwijaya menghasilkan cengkeh, kapulaga, pala, lada,
pinang, kayu gaharu, kayu cendana, kapur barus, gading, timah, emas, perak, kayu hitam,
kayu sapan, rempah-rempah dan penyu. Barang-barang tersebut dijual atau dibarter dengan
kain katu, sutera dan porselen melalui relasi dagang dengan Cina, India, Arab dan
Madagaskar.

1. Kehidupan Sosial dan Budaya

Sriwijaya yang merupakan kerajaan besar penganut agama Budha, serta merupakan
pusat agama Budha yang penting di Asia Tenggara dan Asia Timur. Agama Budha yang
berkembang di Kerajaan Sriwijaya adalah agama Budha Mahayana. Menurut berita dari Tibet,
seorang pendeta bernama Atica datang dan tinggal di Sriwijaya (1011-1023 M) untuk belajar
13
agama Budha dari seorang guru bernama Dharmapala. Menurutnya, Sriwijaya merupakan
pusat agama Budha di luar India.

Peninggalan-peninggalan Kerajaan Sriwijaya banyak ditemukan di daerah Palembang,


Jambi, Riau, Malaysia, dan Thailand. Ini disebabkan karena Sriwijaya merupakan kerajaan
maritim yang selalu berpindah-pindah, tidak menetap di satu tempat dalam kurun waktu yang
lama. Prasasti dan situs yang ditemukan di sekitar Palembang, yaitu Prasasti Boom Baru
(abad ke7 M), Prasasti Kedukan Bukit (682 M), Prasasti Talangtuo (684 M), Prasasti Telaga
Batu ( abad ke-7 M), Situs Candi Angsoka, Situs Kolam Pinishi, dan Situs Tanjung Rawa.
Peninggalan sejarah Kerajaan Sriwijaya lainnya yang ditemukan di Jambi, Sumatera Selatan
dan Bengkulu, yaitu Candi Kotamahligai, Candi Kedaton, Candi Gedong I, Candi Gedong II,
Candi Gumpung, Candi Tinggi, Candi Kembar batu, Candi Astono dan Kolam Telagorajo,
Situs Muarojambi. Di Lampung, prasasti yang ditemukan adalah Prasasti Palas Pasemah dan
Prasasti Bungkuk (Jabung). Di Riau, ditemukan Candi Muara Takus yang berbentuk stupa
Budha.

1. Hubungan Regional dan Luar Negeri

Meskipun catatan sejarah dan bukti arkeologi jarang ditemukan, tetapi beberapa
menyatakan bahwa pada abad ke-7, Sriwijaya telah melakukan kolonisasi atas seluruh
Sumatra, Jawa Barat, dan beberapa daerah di Semenanjung Melayu. Dominasi atas Selat
Malaka dan Selat Sunda, menjadikan Sriwijaya sebagai pengendali rute perdagangan rempah
dan perdagangan lokal yang mengenakan biaya atas setiap kapal yang lewat. Palembang
mengakumulasi kekayaannya sebagai pelabuhan dan gudang perdagangan yang melayani
pasar Tiongkok, Melayu, dan India.

Kerajaan Jambi merupakan kekuatan pertama yang menjadi pesaing Sriwijaya yang akhirnya
dapat ditaklukkan pada abad ke-7 dan ke-9. Di Jambi, pertambangan emas merupakan sumber
ekonomi cukup penting dan kata Suwarnadwipa (pulau emas) mungkin merujuk pada hal ini.
Kerajaan Sriwijaya juga membantu menyebarkan kebudayaan Melayu ke seluruh Sumatra,
Semenanjung Melayu, dan Kalimantan bagian Barat. Pada abad ke-11 pengaruh Sriwijaya
mulai menyusut. Hal ini ditandai dengan seringnya konflik dengan kerajaan-kerajaan Jawa,
pertama dengan Singasari dan kemudian dengan Majapahit. Di akhir masa, pusat kerajaan
berpindah dari Palembang ke Jambi.

14
Pada masa awal, Kerajaan Khmer juga menjadi daerah jajahan Sriwijaya. Banyak sejarawan
mengklaim bahwa Chaiya, di propinsi Surat Thani, Thailand sebagai ibu kota terakhir
kerajaan, walaupun klaim tersebut tidak mendasar. Pengaruh Sriwijaya nampak pada
bangunan pagoda Borom That yang bergaya Sriwijaya. Setelah kejatuhan Sriwijaya, Chaiya
terbagi menjadi tiga kota yakni (Mueang) Chaiya, Thatong (Kanchanadit) dan Khirirat
Nikhom.

Sriwijaya juga berhubungan dekat dengan kerajaan Pala di Benggala, terutama dalam bidang
kebudayaan dan agama. Sebuah prasasti tertahun 860 M mencatat bahwa raja Balaputradewa
mendedikasikan seorang biara kepada Universitas Nalada, Pala. Relasi dengan dinasti Chola
di India selatan cukup baik dan menjadi buruk setelah terjadi peperangan di abad ke-11.

Selain dengan Kerajaan Pala, Sriwijaya juga menjalin hubungan baik dengan Kerajaan
Cholamandala. Raja Sriwijaya yakni Raja Sanggrama Wijayatunggawarman mendirikan
sebuah biara (1006 M) di Kerajaan Chola untuk tempat tinggal para bhiksu dari Kerajaan
Sriwijaya. Namun, persaingan di bidang pelayaran dan perdagangan membuat keduanya
bermusuhan.Raja Rajendra Chola melakukan serangan ke Kerajaan Sriwijaya sampai dua
kali. Serangan pertama tahun 1007 M mengalami kegagalan. Pada serangan kedua (1023 M)
Kerajaan Chola berhasil merebut kota dan bandar-bandar penting Sriwijaya, bahkan Raja
Sanggrama Wijayatunggawarman berhasil ditawan.

5. Keruntuhan Kerajaan Sriwijaya

Tahun 1025, Rajendra Chola, Raja Chola dari Koromandel, India selatan menaklukkan
Kedah dari Sriwijaya dan menguasainya. Kerajaan Chola meneruskan penyerangan dan
penaklukannya selama 20 tahun berikutnya ke seluruh imperium Sriwijaya. Meskipun invasi
Chola tidak berhasil sepenuhnya, invasi tersebut telah melemahkan hegemoni Sriwijaya yang
berakibat terlepasnya beberapa wilayah dengan membentuk kerajaan sendiri, seperti Kediri,
sebuah kerajaan yang berbasiskan pada pertanian.

Antara tahun 1079 – 1088, orang Tionghoa mencatat bahwa Sriwijaya mengirimkan duta
besar dari Jambi dan Palembang. Tahun 1082 dan 1088, Jambi mengirimkan lebih dari dua
duta besar ke China. Pada periode inilah pusat Sriwijaya telah bergeser secara bertahap dari
Palembang ke Jambi. Ekspedisi Chola telah melemahkan Palembang, dan Jambi telah
menggantikannya sebagai pusat kerajaan.

15
Berdasarkan sumber Tiongkok pada buku Chu-fan-chi yang ditulis pada tahun 1178,
Chou-Ju-Kua menerangkan bahwa di kepulauan Asia Tenggara terdapat dua kerajaan yang
sangat kuat dan kaya, yakni Sriwijaya dan Jawa (Kediri). Di Jawa dia menemukan bahwa
rakyatnya memeluk agama Budha dan Hindu, sedangkan rakyat Sriwijaya memeluk Budha.
Berdasarkan sumber ini pula dikatakan bahwa beberapa wilayah kerajaan Sriwijaya ingin
melepaskan diri, antara lain Kien-pi (Kampe, di utara Sumatra) dan beberapa koloni di
semenanjung Malaysia. Pada masa itu wilayah Sriwijaya meliputi; Pong-fong (Pahang),
Tong-ya-nong (Trengganu), Ling-ya-ssi-kia (Langkasuka), Kilan-tan (Kelantan), Fo-lo-an, Ji-
lo-t’ing (Jelutong), Ts’ien-mai, Pa-t’a (Batak), Tan-ma-ling (Tambralingga, Ligor), Kia-lo-hi
(Grahi, bagian utara semenanjung Malaysia), Pa-lin-fong (Palembang), Sin-t’o (Sunda), Lan-
wu-li (Lamuri di Aceh), and Si-lan (Srilanka).

Pada tahun 1288, Singosari, penerus kerajaan Kediri di Jawa, menaklukan Palembang
dan Jambi selama masa ekspedisi Pamalayu. Di tahun 1293, Majapahit pengganti Singosari,
memerintah Sumatra. Raja ke-4 Hayam Wuruk memberikan tanggung jawab tersebut kepada
Pangeran Adityawarman, seorang peranakan Minang dan Jawa. Pada tahun 1377 terjadi
pemberontakan terhadap Majapahit, tetapi pemberontakan tersebut dapat dipadamkan
walaupun di selatan Sumatra sering terjadi kekacauan dan pengrusakan.

Kedudukan Sriwijaya makin terdesak karena munculnya kerajaan-kerajaan besar yang


juga memiliki kepentingan dalam dunia perdagangan, seperti Kerajaan Siam di sebelah utara.
Kerajaan Siam memperluas kekuasaannya ke arah selatan dengan menguasai daerah-daerah di
Semenanjung Malaka termasuk Tanah Genting Kra. Jatuhnya Tanah Genting Kra ke dalam
kekuasaan Kerajaan Siam mengakibatkan lemahnya kegiatan pelayaran dan perdagangan di
Kerajaan Sriwijaya.

Di masa berikutnya, terjadi pengendapan pada Sungai Musi yang berakibat tertutupnya
akses pelayaran ke Palembang. Hal ini tentunya sangat merugikan perdagangan kerajaan.
Penurunan Sriwijaya terus berlanjut hingga masuknya Islam ke Aceh yang disebarkan oleh
pedagang-pedagang Arab dan India. Di akhir abad ke-13, Kerajaan Pasai di bagian utara
Sumatra berpindah agama Islam.

Maka sejak akhir abad ke-13 M Kerajaan Sriwijaya menjadi kerajaan kecil dan
wilayahnya terbatas pada daerah Palembang. Kerajaan Sriwijaya yang kecil dan lemah
akhirnya dihancurkan oleh Kerajaan Majapahit pada tahun 1377 M.

16
Pada tahun 1402, Parameswara, pangeran terakhir Sriwijaya mendirikan Kesultanan
Malaka di Semenanjung Malaysia

BAB III

PENUTUP

17
A. Kesimpulan

Masuk dan berkembangnya agama dan kebudayaan Hindu-Budha membawa


pengaruh besar di berbagai bidang. Kerajaan-kerajaan yang bercorak Hindu-Budha
merupakan salah satu bukti adanya pengaruh kebudayaan Hindu-Budha di Indonesia.
Setiap kerajaan dipimpin oleh seorang raja yang memiliki kekuasaan mutlak dan turun-
temurun. Kerajaan-kerajaan itu antara lain : Kerajaan Kutai, Kerajaan Tarumanegara,
Kerajaan Sriwijaya, Mataram Kuno, Kerajaan Singhasari, Kerajaan Majapahit, Kerajaan
tulang Bawang, Kerajaan Kota Kapur, Kerajaan Buleleng, dan Kerajaan Dinasti
Warmadewa. Masuknya kebudayaan India ke Indonesia telah membawa pengaruh besar
terhadap perkembangan kebudayaaan di Indonesia. Namun kebudayaan asli Indonesia
tidak begitu luntur. Kebudayaan yang datang dari India mengalami proses erajaan
penyesuaian dengan kebudayaan, maka terjadilah proses akulturasi kebudayaan.

A. SARAN
Kebudayaan yang berkembang di Indoneisa pada tahap awal diyakini berasal dari
India. Pengaruh itu diduga mulai masuk pada awal abad masehi. Apabila kita
membandingkan peninggalan sejarah yang ada di Indonesia akan ditemukan kemiripan
itu. Sebelum kenal dengan kebudayaan India, bangunan yang kita miliki masih sangat
sederhana. Saat itu belum dikenal arsitektur bangunan seperti candi atau keraton. Tata
kota di pusat kerajaan juga dipengaruhi kebudayaan hindu. Demikian pula dalam hal
kebudayaan yang lain seperti peribadatan dan kesastraan.Kita harus menjaga kelestarian
dan budaya-budaya yang ditinggalkan agama Hindu-Budha.

18
DAFTAR PUSTAKA

Djoened Poesponegoro, Marwati. 1993. Sejarah Nasional Indonesia II. Jakarta : Balai
pustaka.
Iwan Setiawan dkk, 2008.Wawasan Sosial, Jakarta : Pusat Perbukuan Departemen Pendidikan
Nasional Indonesia
Mulyana, Slamet. 1981. Kuntala, Sriwijaya dan Suwarnabhumi. Jakarta : Yayasan Indayu.
https://armia11ips104.blogspot.com/2012/10/makalah-kerajaan-hindu-budha-di.html. Diakes
Pada Tanggal 07 November 2019 Pukul 20.30 WIB
https://kumpulanmakalahdotblog.wordpress.com/2018/01/16/makalah-kerajaan-
sriwijaya/amp/ Diakes Pada Tanggal 07 November 2019 Pukul 20.30 WIB
https://presbaglogmandiri.blogspot.com/2016/08/makalah-kerajaan-sriwijaya-dan-
melayu.html?m=1 Diakes Pada Tanggal 07 November 2019 Pukul 22.00 WIB

https://tugassma1purworejo.blogspot.com/2017/02/makalah-sejarah-sejarah-kerajaan-
hindu.html?m=1 Diakes Pada Tanggal 08 November 2019 Pukul 20.30 WIB

19

Anda mungkin juga menyukai