PENDAHULUAN
1. LATAR BELAKANG
Wilayah Indonesia terdiri dari pulau besar dan kecil yang dihubungkan oleh selat dan laut, hal
ini menyebabkan sarana pelayaran merupakan lalu lintas utama penghubung antar pulau. Pelayaran ini
dilakukan dalam rangka mendorong aktivitas perdagangan. Pelayaran perdagangan yang dilakukan
oleh bangsa Indonesia, bukan hanya dalam wilayah Indonesia saja, tetapi telah jauh sampai ke luar
wilayah Indonesia.
Pelayaran dan perdagangan di Asia semakin ramai setelah ditemukan jalan melalui laut antara
Romawi dan China. Rute jalur laut yang dilalui dalam hubungan dagang China dengan Romawi telah
mendorong munculnya hubungan dagang pada daerah-daerah yang dilalui, termasuk wilayah
Indonesia. Karena posisi Indonesia yang strategis di tengah-tengah jalur hubungan dagang China
dengan Romawi, maka terjadilah hubungan dagang antara Indonesia dan China beserta India.
Melalui hubungan itu juga, berkembang kebudayaan-kebudayaan yang dibawa oleh para
pedagang di Indonesia. Dalam perkembangan hubungan perdagangan antara Indonesia dan India,
lambat laun agama Hindu dan Budha masuk dan tersebar di Indonesia serta dianut oleh raja-raja dan
para bangsawan. Dari lingkungan raja dan bangsawan itulah agama Hindu-Budha tersebar ke
lingkungan rakyat biasa.
Agama Hindu-Budha diperkirakan masuk ke Indonesia pada awal Tarikh Masehi, dibawa oleh
para musafir dari India. Raja-raja dan para bangsawan yang pertama kali menganut agama ini
kemudian membangun kerajaan-kerajaan yang bercorak Hindu-Budha seperti Kerajaan Kutai yang
terletak di Kalimantan Timur, Kerajaan Tarumanegara di Jawa Barat, Kerajaan Holing, Kerajaan
Melayu di Sumatra Selatan dan berpusat di Jambi, Kerajaan Sriwijaya, Kerajaan Mataram Kuno,
Kerajaan Kediri, Kerajaan Singasari, Kerajaan Bali dan Pajajaran, serta Kerajaan Majapahit.
Masing-masing kerajaan tentu memiliki sejarah dan peninggalan-peninggalan yang harus kita
ketahui. Salah satunya adalah Kerajaan Sriwijaya. Kerajaan yang terletak di Sumatera Selatan dan
beribukota di Palembang ini memiliki nilai sejarah yang tinggi untuk kita ketahui seperti historiografi,
sejarah berdirinya, lokasi kerajaan, prasasti-prasasti peninggalan, hubungan regional dan luar negeri,
masa kejayaannya, masa kemunduran maupun aspek-aspek kehidupan apa saja yang terkandung dalam
kerajaan ini.
2. RUMUSAN MASALAH
Adapun Rumusan masalah dalam makalah ini adalah:
1. Raja-Raja yang memerintah dikerajaan Sriwijaya
2. Bagaimana Kehidupan Ekonomi pada masa Kerajaan Sriwijaya
3. Kehidupan Politik Sriwijaya
4. Peninggalan-Peninggalan Sriwijaya
5. Factor-Faktor Penyebab Runthnya Kerajaan Sriwijaya
6. Asal Usul Lahirnya Kerajaan Sriwijaya
BAB II
PEMBAHASAN
Bukti awal mengenai keberadaan kerajaan ini berasal dari abad ke-7; seorang pendeta
Tiongkok, I Tsing, menulis bahwa ia mengunjungi Sriwijaya pada tahun 671 dan tinggal selama 6
bulan. Selanjutnya prasasti yang paling tua mengenai Sriwijaya juga berada pada abad ke-7, yaitu
prasasti Kedukan Bukit di Palembang. Tidak terdapat catatan lebih lanjut mengenai Sriwijaya dalam
sejarah Indonesia; masa lalunya yang terlupakan dibentuk kembali oleh sarjana asing. Tidak ada orang
Indonesia modern yang mendengar mengenai Sriwijaya sampai tahun 1920-an, ketika sarjana Perancis
George Cœdès mempublikasikan penemuannya dalam surat kabar berbahasa Belanda dan Indonesia.
Coedès menyatakan bahwa referensi Tiongkok terhadap "San-fo-ts'i", sebelumnya dibaca "Sribhoja",
dan beberapa prasasti dalam Melayu Kuno merujuk pada kekaisaran yang sama.
Selain berita-berita diatas tersebut, telah ditemukan oleh Balai Arkeologi Palembang sebuah
perahu kuno yang diperkirakan ada sejak masa awal atau proto Kerajaan Sriwijaya di Desa Sungai
Pasir, Kecamatan Cengal, Kabupaten Ogan Komering Ilir, Sumatera Selatan. Sayang, kepala perahu
kuno itu sudah hilang dan sebagian papan perahu itu digunakan justru buat jembatan. Tercatat ada 17
keping perahu yang terdiri dari bagian lunas, 14 papan perahu yang terdiri dari bagian badan dan
bagian buritan untuk menempatkan kemudi. Perahu ini dibuat dengan teknik pasak kayu dan papan ikat
yang menggunakan tali ijuk. Cara ini sendiri dikenal dengan sebutan teknik tradisi Asia Tenggara.
Selain bangkai perahu, ditemukan juga sejumlah artefak-artefak lain yang berhubungan dengan temuan
perahu, seperti tembikar, keramik, dan alat kayu.
Namun sebelumnya Soekmono berpendapat bahwa, “Pusat Sriwijaya terletak pada kawasan
sehiliran Batang Hari, antara Muara Sabak sampai ke Muara Tembesi (di provinsi Jambi sekarang)”.
Namun yang pasti pada masa penaklukan oleh Rajendra Chola I, berdasarkan prasasti Tanjore,
Sriwijaya telah beribukota di Kadaram (Kedah sekarang).
1. Berita dari Cin
Dalam perjalanannya untuk menimba ilmu agama Buddha di India, I-Tsing pendeta dari Cina,
singgah di Shi-li-fo-shih (Sriwijaya) selama enam bulan dan mempelajari paramasastra atau tata
bahasa Sanskerta. Kemudian, bersama guru Buddhis, Sakyakirti, ia menyalin kitab
Hastadandasastra ke dalam bahasa Cina. Berita Cina dari dinasti Tang menyebutkan bahwa Shi-
li-fo-shih (Sriwijaya) adalah kerajaan Buddhis yang terletak di Laut Selatan. Adapun berita
sumber dari dinasti Sung menyebutkan bahwa utusan Cina sering datang ke San-fo-tsi. Diyakini
bahwa yang disebut San-fo-tsi itu adalah Sriwijaya.
2. Berita dari Arab
Berita Arab menyebutkan adanya negara Zabag (Sriwijaya). Ibu Hordadheh mengatakan bahwa
Raja Zabag banyak menghasilkan emas. Setiap tahunnya emas yang dihasilkan seberat 206 kg.
Berita lain disebutkan oleh Alberuni. Ia mengatakan bahwa Zabag lebih dekat dengan Cina
daripada India. Negara ini terletak di daerah yang disebut Swarnadwipa (Pulau Emas) karena
banyak menghasilkan emas.
3. Berita dari India
Prasasti Nalanda menyebutkan bahwa Raja Dewa Paladewa dari Nalanda, India, telah
membebaskan lima buah desa dari pajak. Sebagai imbalannya, kelima desa itu wajib membiayai
para mahasiswa dari Kerajaan Sriwijaya yang menuntut ilmu di Kerajaan Nalanda.
4. Berita dari dalam negeri
Sumber-sumber sejarah dalam negeri mengenai Sriwijaya adalah prasasti- prasasti berhuruf
Pallawa dan berbahasa Melayu Kuno:
a. Palembang.
b. Prasasti Talang Tuo berangka tahun 606 Saka (684 M) ditemukan di sebelah barat
Pelembang.
c. Prasasti Kota Kapur berangka tahun 608 Saka (686 M) ditemukan di Bangka.
d. Prasasti Karang Berahi berangka tahun 608 Saka (686 M). Isi prasasti ini memperjelas
bahwa secara politik, Sriwijaya bukanlah negara kecil, melainkan memiliki wilayah
yang luas.
e. Prasasti Telaga Batu (tidak berangka tahun).
f. Prasasti Ligor berangkat tahun 697 Saka (775 M) ditemukan di Tanah Genting Kra.
Dari sumber-sumber sejarah tersebut dapat disimpulkan bahwa pendiri Kerajaan Sriwijaya
adalah Dapunta Hyang Sri Jayanegara yang berkedudukan di Minangatwan. Kedua, Raja Dapunta
Hyang berusaha memperluas wilayah kekuasaannya dengan menaklukkan wilayah di sekitar Jambi.
5. Peninggalan-Peninggalan Sriwijaya
Di sekitar tahun 425, agama Buddha sudah diperkenalkan di Sriwijaya lebih tepatnya di Palembang dan
sudah banyak para peziarah serta peneliti dari berbagai negara di Asia seperti pendeta Tiongkok I
Ching yang berkunjung ke Sumatera dalam perjalanan studinya ke universitas Nalanda. Ia menulis jika
Sriwijaya menjadi rumah bagi ribuan sarjana Budha. Berikut ini kami berikan ulasan mengenai
peninggalan Kerajaan Sriwijaya secara lengkap, silahkan dilihat dibawah ini.
Prasasti Kota Kapur yang merupakan peninggalan Kerajaan Sriwijaya ini ditemukan di Pulau
Bangka bagian Barat yang ditulis dengan memakai bahasa Melayu Kuno serta aksara Pallawa. Prasasti
ini ditemukan oleh J.K Van der Meulen tahun 1892 dengan isi yang menceritakan tentang kutukan
untuk orang yang berani melanggar titah atau pertintah dari kekuasaan Raja Sriwijaya. Prasasti ini
kemudian diteliti oleh H.Kern yang merupakan ahli epigrafi berkebangsaan Belanda yang bekerja di
Bataviaasch Genootschap di Batavia. Awalnya ia beranggapan jika Sriwijaya merupakan nama dari
seorang raja. George Coedes lalu mengungkapkan jika Sriwijaya adalah nama dari Kerajaan di
Sumatera abad ke-7 Masehi yang mrupakan Kerajaan kuat dan pernah berkuasa di bagian Barat
Nusantara, Semenanjung Malaya serta Thailand bagian Selatan
Sampai tahun 2012, Prasasti Kota Kapur ini masih ada di Rijksmuseum yang merupakan
Museum Kerajaan Amsterdam, Belanda dengan status dipinjamkan oleh Museum Nasional Indonesia.
Prasasti Kota Kapur ini ditemukan lebih dulu sebelum prasasti Kedukan Bukit serta Prasasti Talang
Tuwo. Dari Prasasti ini Sriwijaya diketahui sudah berkuasa atas sebagian wilayah Sumatera, Lampung,
Pulau Bangka dan juga Belitung. Dalam Prasasti ini juga dikatakan jika Sri Jayasana sudah melakukan
ekspedisi militer yakni untuk menghukum Bhumi Jawa yang tidak mau tunduk dengan Sriwijaya.
Peristiwa ini terjadi hampir bersamaan dengan runtuhnya Taruma di Jawa bagian Barat dan juga
Kalingga atau Holing di daerah Jawa bagian Tengah yang kemungkinan terjadi karena serangan dari
Sriwijaya. Sriwijaya berhasil tumbuh serta memegang kendali atas jalur perdagangan maritim di Selat
Malaka, Laut Cina Selatan, Selat Sunda, Laut Jawa serta Selat Karimata.
2. Prasasti Ligor
Prasasti Ligor ditemuan di Nakhon Si Thammarat, wilayah Thailand bagian Selatan yang
memiliki pahatan di kedua sisinya. Pada bagian sisi pertama dinamakan Prasasti Ligor A atau
manuskrip Viang Sa, sementara di sisi satunya merupakan Prasasti Ligor B yang kemungkinan besar
dibuat oleh raja dari wangsa Sailendra yang menjelaskan tentang pemberian gelar Visnu
Sesawarimadawimathana untuk Sri Maharaja. Prasasti Ligor A menceritakan tentang Raja Sriwijaya
yang merupakan raja dari semua raja di dunia yang mendirikan Trisamaya Caitya untuk Kajara.
Sedangkan pada Prasasti Ligor B yang dilengkapi dengan angka tahun 775 dan memakai aksara Kawi
menceritakan tentang nama Visnu yang memiliki gelar Sri Maharaja dari keluarga Śailendravamśa dan
mendapatk julukan Śesavvārimadavimathana berarti pembunuh musuh yang sombong sampai tak
tersisa.
Prasasti Palas Pasemah ditemukan di pinggir rawa Desa Palas Pasemah, Lampung Selatan,
Lampung yang ditulis dengan memakai bahasa Melayu Kuno aksara Pallawa dan terdiri dari 13 baris
tulisan. Isi dari prasasti ini menjelaskan tentang kutukan dari orang yang tidak mau tunduk dengan
kekuasaan Sriwijaya. Jika dilihat dari aksara, Prasasti Palas Pasemah ini diduga berasal dari abad ke-7
Masehi.
4. Prasasti Hujung Langit
Prasasti Hujung Langit merupakan Prasasti dari Kerajaan Sriwijaya yang ditemukan pada
sebuah desa bernama Desa Haur Kuning, Lampung dan juga ditulis dalam bahasa Melayu Kuno serta
aksara Pallawa. Isi dari prasasti ini tidak terlalu jelas sebab kerusakan yang terjadi sudah cukup banyak,
namun diperkirakan berasal dari tahun 997 Masehi dan isinya tentang pemberian tanah Sima.
Peninggalan Kerajaan Sriwijaya selanjutnya adalah prasasti telaga batu. Prasasti Telaga Batu
ditemukan di kolam Telaga Biru, Kelurahan 3 Ilir, Kecamatan Ilir Timur II, Kota Palembang tahun
1935 yang berisi tentang kutukan untuk mereka yang berbuat jahat di kedautan Sriwijaya dan kini
disimpan pada Museum Nasional Jakarta. Di sekitar lokasi penemuan Prasasti Telaga Batu ini juga
ditemukan Prasasti Telaga Batu 2 yang menceritakan tentang keberadaam sebuah vihara dan pada
tahun sebelumnya juga ditemukan lebih dari 30 buah Prasasti Siddhayatra yang juga sudah disimpan di
Museum Nasional Jakarta. Prasasti Telaga Batu dipahat di batu andesit dengan tinggi 118 cm serta
lebar 148 cm.
Pada bagian atas prasasti ada hiasan 7 buah kepala ular kobra serta di bagian tengah terdapat
pancuran tempat mengalirnya air pembasuh. Tulisan pada prasasti ini memiliki 28 baris dengan huruf
Pallawa dan memakai bahasa Melayu Kuno. Secara garis besar, isi dari tulisan ini adalah tentang
kutukan untuk mereka yang berbuat kejahatan di kedatuan Sriwijaya dan tidak mematuhi perintah dari
datu. Casparis lalu mengemukakan pendapat jika orang yang termasuk berbahaya dan juga bisa
melawan kedatuan Sriwijaya perlu untuk disumpah yakni putra raja (rājaputra), menteri
(kumārāmātya), bupati (bhūpati), panglima (senāpati), Pembesar/tokoh lokal terkemuka (nāyaka),
bangsawan (pratyaya), raja bawahan (hāji pratyaya), hakim (dandanayaka), ketua pekerja/buruh (tuhā
an vatak = vuruh), pengawas pekerja rendah (addhyāksi nījavarna), ahli senjata (vāsīkarana), tentara
(cātabhata), pejabat pengelola (adhikarana), karyawan toko (kāyastha), pengrajin (sthāpaka), kapten
kapal (puhāvam), peniaga (vaniyāga), pelayan raja (marsī hāji), dan budak raja (hulun hāji).
Pada kaki Bukit Seguntang tepi bagian utara Sungai Musi, Louis Constant Westenenk yang
merupakan seorang residen Palembang menemukan sebuah Prasasti pada 17 November 1920. Prasasti
yang disebut dengan Talang Tuwo ini berisi tentang doa dedikasi yang menceritakan aliran Budha yang
dipakai pada masa Sriwijaya kala itu merupakan aliran Mahayana dan ini dibuktikan dengan
penggunaan kata khas aliran Budha Mahayana seperti Vajrasarira, Bodhicitta, Mahasattva serta
annuttarabhisamyaksamvodhi.
Prasasti ini masih dalam keadaan yang baik dan ditulis pada bidang datar berukuran 50 cm x 80
cm berangka 606 Saka atau 23 Maret 684 Masehi berbahasa Melayu Kuno dan ditulis dengan aksara
Pallawa. Prasasti ini memiliki 14 baris kalimat dan sarjana pertama yang sudha berhasil
menerjemahkan prasasti tersebut adalah Van Ronkel serta Bosh yang sudah dimuat pada Acta
Orientalia. Prasasti ini kemudian disimpan pada Museum Nasional Jakarta mulai tahun 1920. Prasasti
ini menceritakan tentang pembangunan taman oleh Raja Sriwijaya yakni Sri Jayanasa yang dibuat
untuk rakyat pada abad ke-7. Dalam prasasti tertulis jika taman berada di tempat dengan pemandangan
sangat indah dan lahan yang dipakai memiliki bukit serta lembah. Pada dasar lembah juga mengalir
sungai menuju Sungai Musi. Taman ini dinamakan Taman Sriksetra yang juga ada dalam prasasti.
8. Prasasti Leiden
Prasasti Leiden juga menjadi peninggalan bersejarah Kerajaan Sriwijaya yang ditulis pada
lempengan tembaga dalam bahasa Sansekerta serta Tamil dan pada saat ini Prasasti Leiden ada di
museum Belanda dengan isi yang menceritakan tentang hubungan baik dari dinasti Chola dari Tamil
dengan dinasti Sailendra dari Sriwijaya, india Selatan.
9. Prasasti Berahi
Prasasti Berahi ditemukan oleh Kontrolir L.M. Berhout tahun 1904 di tepi Batang Merangin,
Dusun Batu Bersurat, Desa Karang Berahi, kecamatan Pamenang, Merangin, Jambi. Seperti pada
Prasasti Telaga Batu, Prasasti Kota Kapur dan juga Prasasti Palas Pasemah dijelaskan tentang kutukan
untuk mereka yang melakukan kejahatan dan tidak setia dengan Raja Sriwijaya. Prasasti ini tidak
dilengkapi dengan tahun, akan tetapi bisa diidentifikasi memakai aksara Pallawa dan bahasa Melayu
Kuno dengan isi mengenai kutukan untuk orang yang tidak setia dan tidak tunduk dengan Driwijaya
seperti pada Prasasti Gunung Kapur dan Prasasti Telaga Batu.
Peninggalan Kerajaan Sriwijaya selanjutnya adalah Candi Muara Takus. Candi Muara Takus
terletak di Desa Muara Takus Kecamatan XIII Koto, Kabupaten Kampar, Riau, Indonesia yang
dikelilingi dengan tembok 74 x 74 meter terbuat dari batu putih ketinggian lebih kurang 80 cm. Candi
ini sudah ada sejak jaman keemasan Kerajaan Sriwijaya dan menjadi salah satu pusat pemerintahan
Kerajaan tersebut. Candi ini terbuat dari batu pasir, batu bata dan batu sungai yang berbeda dengan
candi kebanyakan di Jawa yang terbuat dari batu andesit. Bahan utama membuat Candi Muara Takus
ini adalah tanah liat yang diambil dari desa Pongkai. Dalam kompleks ini terdapat sebuah stupa
berukuran besar dengan bentuk menara yang sebagian besar terbuat dari batu bata dan batu pasir
kuning dan di dalam bangunan Candi Muara Takus juga terdapat bangunan candi yakni Candi Bungsu,
Candi Tua, Palangka dan juga Stupa Mahligai.
11. Candi Muaro Jambi
Kompleks Candi Muaro Jambi merupakan kompleks candi terluas di Asia Tenggara yakni
seluas 3981 hektar dan kemungkinan besar adalah peninggalan dari Kerajaan Sriwijaya serta Kerajaan
Melayu. Candi Mauaro Jambi terletak di Kecamatan Maro Sebo, Kabupaten Muaro nJambi, Jambi,
indonesia di tepi Batang Hari. Kompleks candi ini pertama kali dilaporkan pada tahun 1824 oleh letnan
inggris bernama S.C. Crooke saat melakukan pemetaan daerah aliran sungai untuk keperluan militer.
Kemudian pada tahun 1975, pemerintah Indonesia melakukan pemugaran serius dipimpin oleh R.
Soekmono. Dari aksara Jawa Juno yang terdapat dari beberapa lempengan yang juga ditemukan,
seorang pakar epigrafi bernama Boechari menyimpulkan jika candi tersebut merupakan peninggalan
dari abad ke-9 sampai 12 Masehi.
Candi Bahal, Candi Portibi atau Biaro Bahal merupakan kompleks candi Buddha dengan aliran
Vajrayana yang ada di Desa Bahal, kecamatan Padang Bolak, Portibi, Kabupaten Padang Lawas,
Sumatera Utara.
Candi ini terbuat dari material bata merah yang pada bagian kaki candi terdapat hiasan berupa
papan berkeliling dengan ukiran tokoh yaksa berkepala hewan yang sedang menari. Wajah penari
tersebut memakai topeng hewan seperti upacara di Tibet dan diantara papan tersebut ada hiasan berupa
ukiran singa yang sedang duduk.
Candi ini juga sangat cocok untuk dijadikan destinasi saat anda berkunjung ke sumatera karena
keindahannya yang sangat mencolok. Selain itu anda juga dapat melestarikan budaya di indonesia.
13. Gapura Sriwijaya
Gapura Sriwijaya terletak di Dusun Rimba, Kecamatan Dempo Tengah, Kota Pagar Alam,
Sumatera Selatan. Dalam situs Gapura Sriwijaya ini terdapat 9 Gapura akan tetapi sampai saat ini baru
ditemukan sebanyak 7 gapura saja. Keadaan gapura pada situs ini sudah dalam keadaan roboh karena
kemungkinan disebabkan oleh faktor alam seperti erosi, gempa dan lainnya. Reruntuhan Gapura
Sriwijaya ini berbentuk bebatuan segi lima memanjang dengan tanda cekungan bentuk oval ke dalam
pada salah satu bagian sisi batu. Tanda cekungan ini merupakan pengunci supaya batu bisa disatukan
atau ditempel.