Kerajaan Sriwijaya merupakan salah satu kerajaan maritim dengan corak
Buddha yang sangat besar pada masanya. Kerajaan Sriwijaya tumbuh di tengah ramainya jalur perdagangan melintasi Selat Malaka dengan banyaknya pedagang yang singgah di pelabuhan kota-kota untuk membeli rempah-rempah. Tak hanya barang, pada masa berdirinya Kerajaan Sriwijaya terjadi pula pertukaran kebudayaan yang dibawa oleh para pedagang dari China, India, dan Arab yang memengaruhi budaya di Pulau Sumatera hingga saat ini.
Silsilah Kerajaan Sriwijaya
Silsilah dinasti dan raja-raja dari kerajaan Sriwijaya secara berututan adalah sebagai berikut. 1. Dapunta Hyang Sri Jayanasa (683 M) Diperkirakan merupakan pendiri Kerajaan Sriwijaya, disebutkan dalam Prasasti Keduka Bukit, Talang Tuo, dan Kota Kapur. Raja menaklukkan Kerajaan Melayu dan Tarumanegara dalam masa pemerintahannya. 2. Indravarman (702 M) Indravarman sempat mengirimkan utusan ke Tiongkok pada 702-716 M, dan 724M. 3. Rudra Vikraman / Lieou-t`eng-wei-kong (728 M) Rudra Vikraman sempat mengirim utusan ke Tiongkok pada tahun 728- 748M. 4. Dharmasetu (790 M) 5. Sangramadhananjaya / Wisnu/ Vishnu (775 M) Selamakepemimpinannya, Raja yang membawa Sriwijaya menaklukkan Kamboja Selatan. 6. Samaratungga (792 M) Sriwijaya gagal mempertahankan kekuasaan di Kamboja Selatan pada tahun 802 M. 7. Balaputra Sri Kaluhunan (Balaputradewa) (835M) Raja yang membawa Kerajaan Sriwijaya ke masa keemasannya. Ia juga memerintahkan pembuatan biara untuk Kerajaan Cola di India dan meninggalkan Prasasti Nalanda. 8. Sri Udayadityawarman (960 M) Sempat mengirimkan utusan ke Tiongkok pada tahun 960 M. 9. Sri Wuja atau Sri Udayadityan (961 M) Mengirimkan utusan ke Tiongkok pada 961-962 M. 10. Hsiae-she (980 M) Selama kepemimpinannya, Raja Hsiae-she mengirimkan utusan ke Tiongkok pada 980-983 11. Sri Cudamaniwarmadewa (988 M) Saat Sriwijaya dibawah kekuasaannya, terjadi penyerangan dari Jawa. 12. Sri Marawijayottunggawarman (1008 M) Selama kepemimpinannya sempat mengirimkan utusan ke Tiongkok pada tahun 1008 13. Sumatrabhumi (1017 M) Pada masa kekuasaannya, Raja Sumatrabhumi mengirimkan utusan ke Tiongkok pada tahun 1017 14. Sri Sanggramawijayottunggawarman (1025) Sempat ditaklukan dan ditawan oleh Kerajaan Cola dari India, kemudian dilepaskan. 15. Sri Deva (1028 M) Sempat mengirimkan utusan ke Tiongkok pada 1028 M. 16. Dharmavira (1064 M) 17. Sri Maharaja (1156 M) Pernah mengirimkan utusan ke Tiongkok pada 1156 M. 18. Trailokaraja Maulibhusana Varmadeva (1178 M) Pada masa kekuasaannya mengirimkan utusan ke Tiongkok pada 1178 M. Pada tahun 1402 pangeran terakhir dari Kerajaan Sriwijaya, yakni Parameswara mendirikan Kesultanan Malaka di Semenanjung Malaysia.
Berdirinya Kerajaan Sriwijaya
Dalam buklet Sriwijaya, Sebuah Kejayaan Masa Lalu di Asia Tenggara yang dikeluarkan Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata, Direktorat Jenderal Sejarah dan Purbakala (2011) disebutkan bahwa waktu itu agama Buddha masuk ke nusantara dibawa oleh para pendeta yang ikut dalam kapal dagang sebelum melanjutkan perjalanan ke India. Sementara, pada abad ke-7 Kerajaan Sriwijaya didirikan oleh Dapunta Hyang Sri Jayanasa di daerah Palembang, Sumatera Selatan. Dalam prasasti Kedukan Bukit tercatat bahwa tahun 682 masehi menjadi tahun di mana kerajaan ini resmi didirikan. Nama Sriwijaya diambil dari bahasa Sansekerta dari kata 'sri' yang berarti cahaya dan 'wijaya' yang artinya kemenangan. Sebagai negara maritim, berdirinya Kerajaan Sriwijaya kemudian memberikan pengaruh besar di nusantara.
Sistem Pemerintahan Kerajaan Sriwijaya
Ada beberapa sektor pemerintahan yang menjadi fokus raja-raja kerajaan sriwijaya saat memerintah. Beberapa sektor pemerintahan dan bagaimana kerajaan sriwijaya mengaturnya dan sebagai berikut: a. Politik Sektor politik menjadi salah satu sektor paling penting dalam sistem pemerintahan yang dijalankan oleh Kerajaan Sriwijaya. Dalam hal ini, sistem politik kerajaan memegang peran penting yang mempengaruhi perjalanan panjang Kerajaan Sriwijaya. sistem politik kerajaan memegang peran penting yang mempengaruhi perjalanan panjang Kerajaan Sriwijaya. Kerajaan Sriwijaya mulai berkembang pada abad ke-7 dan dipimpin oleh seorang raja yang besar. Dalam pemerintahannya, sang raja berhasil memperluas wilayah Kerajaan Sriwijaya ke berbagai daerahTidak hanya berada di Pulau Sumatera saja, wilayah Kerajaan Sriwijaya juga masuk ke Semenanjung Melayu. Tidak hanya memperluas wilayah, Kerajaan Sriwijaya juga peduli dengan program pendidikan.
Mereka mengirimkan putra terbaik untuk menimba ilmu politik hingga ke
India agar bisa membangun Kerajaan Sriwijaya menjadi lebih besar lagi. Kehidupan Sosial Kerajaan Sriwijaya Untuk meningkatkan kehidupan sosial masyarakat, Kerajaan Sriwijaya mengadakan hubungan dengan kerajaan di sekitarnya dan mengembangkan pendidikan. Bukti bahwa Kerajaan Sriwijaya dikenal sebagai pusat pendidikan agama Buddha adalah catatan I Tsing yang menyatakan bahwa terdapat seribu pendeta Buddha yang belajar agama Buddha di Sriwijaya, bahkan I Tsing menyarankan kepada pendeta Cina agar belajar terlebih dahulu di Sriwijaya sebelum melanjutkan pendidikan ke India.
Salah satu guru yang terkenal adalah Dharmakirti. Berdasarkan catatan I
Tsing dapat diketahui bahwa rakyat Kerajaan Sriwijaya sudah berpendidikan tinggi. Oleh karena itu, Sriwijaya dapat dikatakan sebagai pusat ilmu pengetahuan agama.
Kehidupan Budaya Kerajaan Sriwijaya
Bukti bahwa Kerajaan Sriwijaya memiliki kebudayaan yang tinggi adalah dari prasasti-prasasti yang ditemukan. Prasasti tersebut tidak lagi menggunakan bahasa Sanskerta, tetapi sudah menggunakan bahasa Melayu Kuno. Hal tersbeut menunjukkan bahwa masyarakat Kerajaan Sriwijaya tidak menerima budaya asing begitu saja, tetapi disesuaikan dengan budaya setempat.
Kehidupan Ekonomi Kerajaan Sriwijaya
Salah satu faktor penyebab Kerajaan Sriwijaya disebut kerajaan maritim adalah karena Kerajaan Sriwijaya menitikberatkan perekonomiannya pada kegiatan perdagangan antarpulau dan antarkawasan. Kerajaan Sriwijaya merupakan kerajaan maritim yang menguasai perdagangan di wilayah perairan Asia Tenggara. Sebagai pusat perdagangan, setiap kapal yang singgah di pelabuhan Sriwijaya wajib membayar pajak ke raja. Dalam kronik Sung-Shih diberitahu bahwa rakyat Kerajaan Sriwijaya dibebaskan dari kewajiban membayar pajak kepada negara. Hal tersebut berbeda dengan kapal-kapalasing yang berlabuh di pelabuhan Sriwijaya. Bagi Kerajaan Sriwijaya, kegiatan perdagangan dianggap penting karena Kerajaan Sriwijaya menguasasi Selat Malaka, Tanah Genting Kra, dan Selat Sunda yang menjadi urat nadi perdagangan di Asia Tenggara.
Kerajaan Sriwijaya berkembang menjadi pelabuhan transit yang ramai
disinggahi kapal asing untuk mengambil air minum dan perbekalan makanan seta melakukan aktivitas perdagangan. Kerajaan Sriwijaya memperoleh banyak keuntungan dari komoditas ekspor dan pajak kapal asing yang singgah di pelabuhan-pelabuhan Sriwijaya.
Berikut beberapa barang yang menjadi komoditas ekspor Kerajaan
Sriwijaya. Barang ekspor ke Arab antara lain kayu gaharu, kapur barus, kayu cendana, gading, timah, kayu ulin, rempah-rempah, dan kemenyan. Barang ekspor ke Cina antara lain gading, air mawar, kemenyan, buah- buahan, gula putih, gelas, kapur barus, batu karang, pakaian, cula badak, wangi-wangian, bumbu masak, dan obat-obatan.
Peninggalan Kerajaan Sriwijaya
Salah satu sumber sejarah Kerajaan Sriwijaya adalah prasasti-prasasti yang banyak ditemukan di sekitar wilayah Sumatera bagian selatan. Selain itu terdapat pula beberapa prasasti yang ditemukan di pulau Jawa, bahkan di mancanegara. Berikut adalah pemaparannya.
Prasasti Kerajaan Sriwijaya
Prasasti peninggalan Kerajaan Sriwijaya ditulis menggunakan aksara palawa dalam bahasa Sanskerta. Sebagian prasasti ditulis dalam bahasa Melayu Kuno. Beberapa prasasti peninggalan Kerajaan Sriwijaya tersebut adalah sebagai berikut.
- Prasasti Kedukan Bukit
Prasasti Kedukan Bukit ditemukan di tepi Sungai Tatang, dekat Palembang. Prasasti ini berangka tahun 605 Saka (683 M). Isinya antara lain menerangkan bahwa seseorang bernama Dapunta Hyang mengadakan perjalanan suci atau disebut dengan siddhayatra dengan menggunakan perahu. Disebutkan bahwa Ia berangkat dari Minangtamwan dengan membawa pasukan sejumlah 20.000 personel. Kemungkinan “Minangtamwan” adalah “Minanga Tamwan” yang berarti daerah yang terletak di antara dua sungai besar yang bertemu. Poerbatjaraka & Soekmono mengungkapkan bahwa Minanga terletak di hulu Sungai Kampar, tepatnya di pertemuan Sungai Kampar Kanan dan Kampar Kiri. Poerbatjaraka juga mengatakan bahwa kata Minangatamwan bisa jadi merupakan nama lama dari Minangkabau. Sementara itu, Buchari berpendapat bahwa Minanga berada di hulu Batang Kuantan.
Prasasti Talang Tuo
Diberi nama Prasasti Talang Tuo karena ditemukan di sebelah barat Kota Palembang di daerah Talang Tuo. Prasasti ini berangka tahun 606 Saka atau setara dengan 684 masehi. Prasasti ini berhuruf Pallawa namun berbahasa Melayu Kuno.
Isinya menyebutkan mengenai pembangunan sebuah taman yang disebut
Sriksetra, atas perintah Dapunta Hyang Sri Jayagana, untuk kemakmuran semua makhluk. Selain itu terdapat pula doa dan harapan yang menunjukkan sifat agama Buddha.
Prasasti Telaga Batu
Prasasti ditemukan di kolam Telaga Biru (tidak jauh dari Sabokingking), Kota Palembang. Prasasti ini tidak bertarikh atau tidak dituliskan angka tahun pembuatannya. Diperkirakan prasasti ini berasal dari tahun yang sama dengan prasasti Kota Kapur, yakni sekitar 686 M.
Isinya mengenai kutukan-kutukan terhadap siapa saja yang melakukan
kejahatan dan tidak mengikuti peraturan Kerajaan atau perintah raja. Prasasti ini juga memuat data-data mengenai penyusunan ketatanegaraan Kerajaan Sriwijaya.
Prasasti Kota Kapur
Prasasti Kota Kapur ditemukan di desa Penangan, Mendo Barat, Pulau Bangka. Bertarikh (berangka) tahun 608 Saka (656 M). Coedes (2014, hlm. 65) menduga bahwa material batu prasasti ini didatangkan dari luar, karena jenis batunya tidak terdapat di Pulau Bangka. Isi utamanya adalah permintaan kepada para Dewa untuk menjaga kesatuan Sriwijaya. Prasasti ini juga berisi kutukan-kutukan terhadap mereka yang berbuat jahat, tidak tunduk kepada raja atau tidak patuh terhadap Kerajaan akan celaka. Keterangan penting lain adalah terdapat catatan usaha Sriwijaya untuk menaklukkan “bumi Jawa” yang belum tunduk kepada Kerajaan Sriwijaya.
Prasasti Karang Berahi
Prasasti Karang Berahi ditemukan di Desa Karang Berahi, Jambi. Prasasti ini berangka tahun 608 saka atau setara dengan 686 masehi. Isinya kurang lebih mirip dengan Prasasti Kota Kapur dan Prasasti Telaga Biru, yakni kutukan bagi yang tidak tunduk kepada Sriwijaya.
Sumber Sejarah Kerajaan Sriwijaya di Luar Indonesia
Selain prasasti yang ditemukan di Indonesia, beberapa prasasti yang lain juga ditemukan di luar Indonesia. Misalnya, Prasasti Ligor yang berangka tahun 775 M ditemukan di Ligor, Semenanjung Melayu, dan Prasasti Nalanda (tidak berangka) ditemukan di India Timur. Prasasti Tanjore (India) Prasasti Tanjaore ditemukan di India, dalam prasasti ini disebutkan bahwa pada tahun 1017 pasukannya menyerang kerajaan Swarnabhumi (Sumatera; Sriwijaya). Serangan itu diulang kembali pada tahun 1025, rajanya yang bernama Sanggramawijaya Tunggawarman berhasil ditawan oleh pasukan Cola, tetapi akhirnya Sanggramawijaya dilepaskan. Prasasti Srilanka Seperti penamaannya, prasasti ini ditemukan di Srinlanka, dan diperkirakan berasal dari abad XII. Isinya menyebutkan bahwa: Suryanaraya dari wangsa Malayupura dinobatkan sebagai maharaja di Suwarnapura (Sriwijaya). Pangeran Suryanarayana menundukkan Manabhramana.
Masa Kejayaan Kerajaan Sriwijaya
Nama raja kerajaan Sriwijaya yang paling terkenal adalah Balaputradewa. Ia memerintah sekitar abad ke-9 M. Pada masa pemerintahannya, Sriwijaya berkembang pesat dan mencapai masa kejayaan atau zaman keemasan. Ia berhasil menumbuhkan perekonomian kerajaan ini dan memperluas kekuasaan Sriwijaya hingga ke pulau di luar Indonesia. Balaputradewa adalah keturunan dari Dinasti Syailendra, yakni putra dari Raja Samaratungga dengan Dewi Tara dari Sriwijaya. Hal tersebut diterangkan dalam Prasasti Nalanda. Balaputradewa merupakan seorang raja yang besar di Sriwijaya. Raja Balaputradewa menjalin hubungan erat dengan Kerajaan Benggala yang saat itu diperintah oleh Raja Dewapala Dewa.
Keruntuhan Kerajaan Sriwijaya
Faktor kemunduran Kerajaan Sriwijaya dipengaruhi oleh kerajaan yang terlalu bergantung pada kehidupan perdagangan laut, sistem ketatanegaraan yang tidak tertata dengan baik, dan kondisi kekuasaan wilayah darat yang kurang diperhatikan akibat terlalu sibuk mengembangkan kelautan. Beberapa faktor kemunduran Kerajaan Sriwijaya lainnya (Kemdikbud, 2017, hlm. 109) meliputi: Keadaan alam sekitar Sriwijaya yang berubah, tidak dekat lagi dengan pantai. Hal tersebut disebabkan perubahaan aliran sungai Musi, Ogan, dan Komering membawa banyak lumpur sehingga tidak kondusif untuk perdagangan. Banyak daerah kekuasaan yang memerdekakan diri dari Sriwijaya. Hal ini diperkirakan disebabkan oleh melemahnya angkatan laut Sriwijaya, sehingga pengawasan menjadi semakin sulit. Sriwijaya mendapatkan serangan dari kerajaan-kerajaan lain. Utamanya, serangan yang diluncurkan oleh Raja Rajendracola dari Kerajaan Colamandala pada tahun 1017 M dan 1024 M. Kemudian tahun 1275 Kartanegara dari Singhasari melakukan ekspedisi Pamalayu yang menyebabkan daerah Melayu lepas dari genggaman Sriwijaya. Puncaknya keruntuhan kerajaan ini adalah pada tahun 1377, ketika armada laut dari Kerajaan Majapahit menyerang dan berhasil menaklukkan Kerajaan Sriwijaya. DAFTAR PUSTAKA
1. Coedes, George. (2014). Kedatuan Sriwijaya: kajian sumber prasasti
dan arkeologi : pilihan artikel. Depok: Komunitas Bambu. 2. Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. (2017). Sejarah Indonesia. Jakarta: Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. 3. Saptika. 2011. Kerajaan-kerajaan Hindu-Budha di Indonesia. Jakarta: Alfabeta. 4. https://serupa.id/kerajaan-sriwijaya-sejarah-peninggalan-silsilah- lengkap/ 5. https://www.freedomnesia.id/kehidupan-ekonomi-sosial-dan-budaya- kerajaan-sriwijaya/ KELOMPOK 1 ; - Nailatul Khairiyah - Andini - Zalfa - M. Shaka