Anda di halaman 1dari 23

Sejarah Kerajaan Sriwijaya – Kerajaan Sriwijaya adalah kerajaan Melayu kuno di pulau Sumatra yang

berpengaruh di kepulauan Nusantara. Dalam bahasa Sangsekerta, nama Kerajaan Sriwijaya berasal dari
kata “sri” yang berarti bercahaya, dan “wijaya” yang berarti kemenangan.

Sriwijaya Sebagai Kerajaan Nasional


Pertama

©blackthingker.wordpress.com
Kerajaan Sriwijaya merupakan salah satu kerajaan yang pernah besar dan jaya
di Indonesia. Kerajaan sriwijaya juga disebut negara nasional pertama karena
pada masa kejayaannya, wilayah kekuasaannya meliputi Indonesia bagian barat,
Siam bagian selatan, semenanjung Malaya, sebagian Filiphina, dan Brunai
Darusalam di pulau Kalimantan.

Selain itu, berdasarkan temuan peninggalannya dapat diketahui daerah yang


tunduk dengan Sriwijaya, misalnya prasasti Karang Berahi di Jambi, prasasti
Kota Kapur di Pulau Bangka, dan Candi Muara Takus di Riau.

Sedangkan mengenai pusat pemerintahan, G. Goedes memperkirakan Kerajaan


Sriwijaya berada di Palembang. Namun beberapa ahli mempunyai pendapat lain,
seperti R.C. Majumdar (pulau Jawa dan selanjutnya Ligor). H.G. Quatrich Wales
(Chaiya atau Perak), J.I. Moens (berawal di Kedah dan berpindah ke Muara
Takus), Soekmono (Jambi), dan Boechari di Mukha Upang, Palembang.

Sumber Sejarah Kerajaan Sriwijaya

©ririfahlen.blogspot.com
Nama Sriwijaya sudah terkenal dalam perdagangan Internasional. Hal tersebut
dibuktikan dengan adanya berbagai sumber yang menerangkan mengenai
keberadaan Sriwijaya, di antaranya;

Menurut berita Arab


Dikabarkan bahwa pedagang Arab melakukan kegiatan perdagangan di
Kerajaan Sriwijaya, bahkan di sekitar Sriwijaya ada ditemukan peninggalan yang
besar kemungkinan bekas perkampungan orang Arab.

Menurut berita India


Dikabarkan bahwa dulunya kerajaan Sriwijaya pernah mengadakan hubungan
kerjasama dengan beberapa kerajaan di India, seperti Colamandala dan
Nalanda bahkan Kerajaan Nalanda membangun sebuah prasasti yang
menceritakan mengenai Sriwijaya.
Dari berita Cina
Dikabarkan bahwa pada pedagang yang berasal dari Cina sering singgah di
wilayah Kerajaan Sriwijaya sebelum melanjutkan perjalanan ke India dan Arab.
Berita dari Cina juga mengabarkan bahwa di abad ke-7 telah ada beberapa
kerajaan yang berdiridi Sumatra, di antaranya kerajaan Tulang Bawang, di
Sumatra Selatan, Melayu di Jambi, dan Sriwijaya. Keberadaan Kerajaan
Sriwijaya ini dapat diperoleh informasinya, misalnya, dari cerita pendeta Budha
dari Tiongkok, I-tsing.

Baca juga: Hari Perempuan Internasional dalam Sejarah

Diceritakan bahwa I-tsing kembali ke Kerajaan Sriwijaya pada tahun 685


lalu menetap di sana selama 4 tahun untuk tujuan menerjemahkan berbagai
kitab suci Budha dari bahasa Sangsekerta ke bahasa Tionghoa. Karena pada
kenyataannya dalam cerita tersebut, beliau tidak bisa menyelesaikan sendiri
pekerjaan itu, oleh karena itu pada tahun 689, dia pergi ke Kanton untuk mencari
pembantu dan segera kembali lagi ke Sriwijaya. Selanjutnya, baru pada tahun
696, I-tsing pulang ke Tiongkok.

Prasasti Peninggalan Kerajaan Sriwijaya


©keseniankriya.blogspot.co.id
Walau letak secara pasti pusat kerajaan sulit dibuktikan, tapi kebesaran dan
pengaruh Kerajaan Sriwijaya sangat nyata. Hal ini dibuktikan dari berbagai
prasasti peninggalan Kerajaan Sriwijaya yang memuat tentang berita-berita
Sriwijaya.

1. Prasasti Kedukan Bukit (605 S/683M)


Prasasti ini ditemukan di tepi sungai Talang, dekat Palembang. Peninggalan
Kerajaan Sriwijaya ini isinya antara lain menerangkan seorang bernama Dapunta
Hyang yang mengadakan perjalanan suci (siddhayatra) dengan cara
menggunakan perahu. Ia berangkat dari Minangatamwan dengan membawa
tentara sebanyak 20.000 orang.

2. Prasasti Talang Tuo (606 S/684M)


Prasasti Talang Tuo adalah salah satu peninggalan kerajaan Sriwijaya yang
ditemukan di bagian sebelah barat kota Palembang, daerah Talang Tuo. Prasasti
ini berisi 14 baris tulisan dalam bahasa Melayu kuno dan ditulis dengan huruf
Pallawa. Isinya tentang pembuatan taman (kebun) Sriksetra atas perintah Punta
Hyang dengan tujuan untuk kemakmuran semua makhluk. Di Samping itu, ada
juga doa dan harapan yang jelas yang menunjukkan sifat agama Hindu.
3. Prasasti Telaga Batu Juga Peninggalan Kerajaan Sriwijaya
Di Telaga Batu, dekat Palembang ditemukan sebuah prasasti berbahasa Melayu
kuno dan huruf Pallawa. Prasasti ini tidak ada angka tahunnya dan isinya
tentang kutukan-kutukan yang sangat seram kepada siapa saja yang melakukan
kejahatan dan tidak taat kepada perintah-perintah raja.

4. Prasasti Kota Kapur (608 S/686 M)


Prasasti Kota Kapur merupakan prasasti peninggalan kerajaan Sriwijaya yang
ditemukan di Pulau Bangka, isinya berupa doa kepada para dewa untuk menjaga
kesatuan Sriwijaya dan menghukum setiap orang yang bermaksud jahat.

5. Prasasti Karang Berahi (608 S/686 M)


Prasasti Karang Berahi ditemukan di Jambi. Isi prasasti peninggalan Kerajaan
Sriwijaya ini sama dengan isi Prasasti Kota Kapur.

Beberapa prasasti yang lain, yakni Prasasti Ligor dan prasasti Nalanda. Prasasti
Ligor berangka tahun 775 dan ditemukan di Ligor, Semenanjung Melayu.
Sementara Prasasti Nalanda ditemukan di Nalanda, India Timur.

Letak Kerajaan Sriwijaya dan


Pemerintahannya
©indonesiatamasya.blogspot.co.id
Mengapa Sriwijaya cepat berkembang menjadi kerajaan yang kuat dan besar
terutama dalam bidang maritim? bagaimana sistem pemerintahan yang
diterapkan oleh kerajaan Sriwijaya? Mari kita bahas satu demi satu pertanyaan di
atas!

1. Secara geografis, Pelembang merupakan daerah yang strategis, terutama


keberadaan sungai Musi yang menghubungkan dengan daerah
pedalaman Pulau Sumatra. Pulau-pulau yang terletak di depan muara
sungai Musi sangat berguna sebagai pelindung pelabuhan sehingga
keadaan ini sangat tepat untuk kegiatan pemerintahan dan pertahanan.
2. Pantai timur Sumatra merupakan persimpangan lalu lintas pelayaran
internasional hingga sekarang.
3. Runtuhnya kerajaan Funan di Vietnam akibat serangan Kamboja. Hal ini
memberi kesempatan Sriwijaya berkembang cepat sebagai negara
Maritim.
4. Sriwijaya memiliki berbagai kemampuan, terutama untuk kegiatan
pelayaran dan perdagangan. Misalnya beberapa sungai yang besar,
perairan laut yang cukup tenang, dan penduduk yang berbakat seperti
pelaut ulung.

Baca juga: 20 Dinosaurus Terbesar Di Dunia yang Pernah Menguasai Bumi

Dari prasasti Kota Kapur, diketahui bahwa Kerajaan Sriwijaya diceritakan pernah
berusaha menginvasi daerah Bhumi Jawa yang tidak setia kepada Sriwijaya.
Wilayah yang dimaksud dengan Bhumi Jawa adalah Jawa, khususnya Jawa
Barat. Berita Cina juga menerangkan adanya serangan ke kerajaan Kaling
sehingga mendesak kerajaan Kaling pindah ke sebelah timur. Jika dihubungkan
dengan kedua cerita tersebut, diduga yang melakukan serangan adalah
Sriwijaya yang ingin menguasai Jawa Tengah karena pantai utara Jawa
merupakan jalur perdagangan yang penting.

Raja yang terkenal dari Kerajaan Sriwijaya adalah Balaputradewa. Ia


memerintah sekitar abad ke-9. Pada masa pemerintahannya, Sriwijaya
berkembang pesat menjadi kerajaan yang besar dan menjadi pusat agama
Budha di Asia Tenggara. Kerajaan ini menjalin hubungan dekat dengan
kerajaan-kerajaan di India seperti Nalanda dan Cola. Balaputradewa adalah
keturunan dari dinasti Syailendra, yakni putra dari Raja Samaratungga dengan
Dewi Tara dari Sriwijaya. Keterangan tersebut diketahui dari Prasasti Nalanda.

Pada saat Raja Sri Sudamaniwarmadewa memerintah, Sriwijaya pernah


mendapat serangan dari raja Darmawangsa dari Jawa Timur. Setelah
penyerangan tersebut, Sri Sudaniwarmadewa digantikan oleh putranya yang
bernama Marawijayottunggawarman.

Untuk mengendalikan daerah kekuasaannya yang luas dan berjauhan,


pemerintah Kerajaan Sriwijaya memercayakan kepengurusan setiap daerah
kepada seorang rakryan (wakil raja di daerah). Dalam hal ini Sriwijaya sudah
mengenal struktur pemerintahan yang sangat bagus.

Perkembangan Ekonomi Kerajaan Sriwijaya


©antoksoesanto.blogspot.co.id
Sriwijaya adalah kerajaan maritim yang mengandalkan perekonomiannya pada
kegiatan perdagangan dan hasil-hasil laut. Letak geografis dan keadaan
Sriwijaya yang strategis mendukung perdagangan menjadi berkembang pesat.
Tampilnya Sriwijaya sebagai pusat perdagangan, memberikan kemakmuran bagi
rakyat dan negara Sriwijaya.
Kapal-kapal yang singgah dan melakukan bongkar muat, harus membayar pajak
harus membayar pajak sehingga mendatangkan keuntungan. Dalam kegiatan
perdagangan, Sriwijaya mengekspor gading, kulit, dan beberapa jenis binatang
liar. Sedangkan barang inpornya antara lain beras, rempah-rempah, kayu manis,
kemenyang, emas, gading, dan binatang.

Kehidupan Beragama Kerajaan Sriwijaya


©salsaistimelining.weebly.com
Sriwijaya merupakan pusat studi agama Budha Mahayana di seluruh wilayah
Asia Tenggara. Menurut I-tsing, di Sriwijaya tinggal ribuan pendeta dan pelajar
(mahasiswa) agama Budha. Salah seorang pendeta yang terkenal adalah
Sakyakirti. Banyak mahasiswa asing yang akan belajar agama Budha di
Nalanda, India datang ke Sriwijaya terlebih dahulu untuk belajar bahsa
Sangsekerta. Bahkan, antara tahun 1011 – 1023 datang seorang pendeta
agama Budha dari Tibet bernama Atisa untuk memperdalam pengetahuan
agama Budha.

Baca juga: Kerajaan Islam di Indonesia Beserta Raja dan Peninggalannya

Di Nagipattana, India bagian selatan, Sriwijaya telah membangun wihara pada


tahun 1006, sebagai tempat suci agama Budha. Hubungan Sriwijaya dengan
India Selatan waktu itu sangat erat. Bangunan lain yang sangat penting adalah
Biaro Bahal di Padang Lawas, Tapanuli Selatan. Dalam kaitannya dengan
perkembangan agama dan kebudayaan Budha, di Sriwijaya ditemukan beberapa
peninggalan. Misalnya, Candi Muara Takus yang ditemukan dekat Sungai
Kampar di daerah Riau dan arca Budha Budha di daerah Bukit Siguntang.

Kebudayaan Kerajaan Sriwijaya

©satujam.com
Ditemukan prasasti Kudukan Bukit , Prasasti Talang Tuo, dan Prasasti Telaga
Batu membuktikan bahwa Palembang sebagai pusat Kerajaan Sriwijaya memiliki
peradaban yang Maju. Penggalian arkeologis banyak menemukan keramik dan
tembikar, ini membuktikan bahwa di Palembang terdapat pemukiman kuno.

Ditemukan pula kolam dan kanal berbentuk teratur, ini semakin menguatkan
dugaan bahwa Sriwijaya telah mencapai kebudayaan yang tinggi.
Faktor Penyebab Kemunduran Kerajaan
Sriwijaya

©hidayatdesu.wordpress.com
Beberapa faktor penyebab mundurnya Kerajaan Sriwijaya di antaranya adalah
sebagai berikut.

1. Faktor geografis, berupa perubahan letak Kerajaan Sriwijaya. Perubahan


yang dimaksud adalah lumpur Sungai Musi yang mengendap
menyebabkan pusat Kerajaan Sriwijaya tidak lagi diminati lagi oleh
pedagang internasional.
2. Lemahnya kontrol pemerintahan pusat sehingga banyak daerah yang
melepaskan diri.
3. Berkembangnya kekuatan politik di Jawa dan India. Sriwijaya mendapat
serangan dari raja Rajendracola dari Colamandala tahun 1017 dan 1025.
Serangan itu diulangi lagi pada tahun 1025, mengakibatkan Raja Sriwijaya
yang memerintah saat itu, Sri Sanggramawijayattungawarman ditangkap
oleh pihak kerajaan Colamandala. Tahun 1275, Raja Kertanegara dari
Singosari melakukan ekspedisi Pamalayu. Hal itu juga menjadi faktor
penyebab lepasnya daerah Melayu dari kekuasaan Sriwijaya. Akhir dari
kerajaan Sriwijaya terjadi saat armada laut Majapahit menyerang Sriwijaya
tahun 1377.

Kerajaan Sriwijaya
Dalam sejarah Indonesia ada dua kerajaan kuno yang selalu disebutkan sebagai kerajaan-kerajaan yang
megah dan jaya, yang melambangkan kemegahan dan kejayaan Indone¬sia di zaman dulu. Kedua
kerajaan itu adalah Sriwijaya dan Majapahit.
Lokasi Kerajaan
a. Kerajaan Sriwijaya merupakan salah satu kerajaan besar yang bukan saja dikenal di wilayah
Indonesia, tetapi dikenal di setiap bangsa atau negara yang berada jauh di luar Indo¬nesia. Hal ini
disebabkan letak Kerajaan Sriwijaya yang sangat strategis dan dekat dengan Selat Malaka. Telah kita
ketahui, Selat Malaka pada saat itu merupakan jalur perdagangan yang sangat ramai dan dapat
menghubung-kan antara pedagang-pedagang dari Cina dengan India maupun Romawi.
Dari tepian Sungai Must di Sumatra Selatan, pengaruh Kerajaan Sriwijaya terus meluas yang mencakup
Selat Malaka, Selat Sunda, Selat Bangka, Laut Jawa bagian barat, Bangka, Jambi Hulu, dan mungkin
juga Jawa Barat (Tarumanegara), Semenanjung Malaya hingga ke Tanah Genting Kra. Luasnya wilayah
laut yang dikuasai Kerajaan Sriwijaya menjadikan Sriwijaya sebagai kerajaan maritim yang besar pada
zamannya.
b. Sumber Sejarah
Sumber-sumber sejarah yang mendukung keberadaan Kerajaan Sriwijaya berasal dari berita asing dan
prasasti-prasasti.
Berita Asing
Mengingat Kerajaan Sriwijaya me¬rupakan kerajaan maritim dengan letak yang sangat strategis, banyak
pedagang-pedagang asing yang datang untuk melakukan aktivitas di Kerajaan Sriwijaya. Untuk itu
banyak ditemukan informasi mengenai keberadaan Keraja¬an Sriwijaya ini. Berita asing tersebut antara
lain sebagai berikut.
Berita Arab Dari berita Arab dapat di-ketahui bahwa banyak pedagang Arab yang melakukan kegiatan
perdagangan di Kerajaan Sriwijaya. Bahkan di pusat Kerajaan Sriwijaya ditemukan perkam-pungan-
perkampungan orang-orang Arab sebagai tempat tinggal sementara. Keberadaan Kerajaan Sriwijaya
juga diketahui dari sebutan orang-orang Arab terhadap Kerajaan Sriwijaya seperti Zabaq, Sabay, atau
Sribusa.
Berita India Dari berita India dapat diketahui bahwa raja dari Kerajaan Sri¬wijaya pernah menjalin
hubungan dengan raja-raja dari kerajaan yang ada di India seperti Kerajaan Nalanda dan Kerajaan
Chola.
Dengan Kerajaan Nalanda disebutkan bahwa Raja Sriwijaya mendirikan satu prasasti yang dikenal
dengan nama Prasasti Nalanda. Dalam prasasti tersebut dinyatakan Raja Nalanda yang bernama Raja
Dewa Paladewa berkenan membebaskan 5 desa dari pajak. Sebagai gantinya, kelima desa itu wajib
membiayai para mahasiswa dari Kerajaan Sriwijaya yang menuntut ilmu di Kerajaan Nalanda.
Di samping menjalin hubungan dengan Kerajaan Nalanda, Kerajaan Sriwijaya juga menjalin hubungan
dengan Kerajaan Chola (Cholamandala) yang terletak di India Selatan. Hubungan ini menjadi retak
setelah Raja Rajendra Chola ingin menguasai Selat Malaka.
Berita Cina Dari berita Cina, dapat diketahui bahwa pedagang-pedagang Kerajaan Sriwijaya telah
menjalin hubungan perdagangan dengan pedagang-pedagang Cina. Para pedagang Cina sering singgah
di Kerajaan Sriwijaya untuk selanjutnya meneruskan perjalanannya ke India maupun Romawi.
Berita dalam Negeri
Berita-berita dalam negeri berasal dari prasasti-prasasti yang dibuat oleh raja-raja dari Kerajaan
Sriwijaya. Prasasti tersebut sebagian besar mengguna-kan huruf Pallawa dan bahasa Melayu Kuno.
Prasasti itu antara lain sebagai berikut.
Prasasti Kedukan Bukit Prasasti berangka tahun 684 M itu menyebutkan bahwa Raja Sriwijaya bernama
Dapunta Hyang membawa tentara sebanyak 20.000 orang berhasil menundukkan Minangatamwan.
Dengan kemenangan itu, Kerajaan Sriwijaya menjadi makmur. Daerah yang dimaksud Minangatamwan
itu kemungkinan adalah daerah Binaga yang terletak di Jambi. Daerah itu sangat strategis untuk
perdagangan.
Prasasti Telaga Batu Prasasti itu menyebutkan tentang kutukan raja terhadap siapa saja yang tidak taat
terhadap Raja Sriwijaya dan juga melakukan tindakan kejahatan.
Prasasti Talang Tuwo Prasasti berangka tahun 684 M. itu menyebutkan tentang pembuatan Taman
Srikesetra atas perin¬tah Raja Dapunta Hyang.
Prasasti Kota Kapur Prasasti berangka tahun 686 M. itu menyebutkan bahwa
Kerajaan Sriwijaya berusaha untuk menaklukkan Bumi Jawa yang tidak setia kepada Kerajaan Sriwijaya.
Prasasti tersebut ditemukan di Pulau Bangka.
Prasasti Karang Berahi Prasasti berangka tahun 686 M. itu ditemukan di daerah pedalaman Jambi, yang
menunjukkan penguasaan Kerajaan Sriwijaya atas daerah itu.
Prasasti Ligor Prasasti berangka tahun 775 M. itu menyebutkan tentang ibukota Ligor dengan tujuan
untuk mengawasi pelayaran dan perdagangan di Selat Malaka.
Prasasti Nalanda Prasasti ini menyebutkan Raja Balaputra Dewa sebagai raja terakhir dari Dinasti
Syailendra yang terusir dari Jawa Tengah akibat kekalahannya melawan Kerajaan Mataram dari Dinasti
Sanjaya. Dalam prasasti itu, Balaputra Dewa meminta kepada Raja Nalanda agar mengakui haknya atas
Dinasti Syailendra. Prasasti ini juga menyebutkan bahwa Raja Dewa Paladewa berkenan membebaskan
5 desa dari pajak untuk membiayai para mahasiswa Sriwijaya yang belajar di Nalanda.
c. Kehidupan Politik
Dalam perkembangan sejarah Indonesia, Kerajaan Sriwijaya merupakan sebuah kerajaan besar yang
megah dan jaya di masa lampau. Namun, tidak semua raja yang pernah memerintah meninggalkan
prasasti. Raja-raja yang berhasil diketahui pernah memerintah Kerajaan Sriwijaya adalah sebagai berikut.
Raja Dapunta Hyang Berita mengenai raja ini diketahui melalui Prasasti Kedukan Bukit (683 M). Pada
masa pemerintahannya. Raja Dapunta Hyang telah berhasil memperluas wilayah kekuasaannya sampai
ke wilayah Jambi, yaitu dengan menduduki wilayah Minangatamwan. Sejak awal pemerintahannya. Raja
Dapunta Hyang telah mencita-citakan agar Kerajaan Sriwijaya menjadi kerajaan maritim.
Raja Balaputra Dewa Pada masa pemerintahan Balaputra Dewa, Kerajaan Sriwijaya mengalami masa
kejayaannya. Pada awalnya. Raja Balaputra Dewa adalah raja dari Kerajaan Syailendra (di Jawa
Tengah). Ketika terjadi perang saudara di Kerajaan Syailendra antara Balaputra Dewa dan
Pramodhawardani (kakaknya) yang dibantu oleh Rakai Pikatan (Dinasti Sanjaya), Balaputra Dewa
mengalami kekalahan. Akibat kekalahan itu. Raja Balaputra Dewa lari ke Sriwijaya. Di Kerajaan Sriwijaya
berkuasa Raja Dharma Setru (kakak dari ibu Raja Balaputra Dewa) yang tidak memiliki keturunan,
sehingga kedatangan Raja Balaputra Dewa di Kerajaan Sriwijaya disambut baik. Kemudian, ia diangkat
menjadi raja.
Pada masa pemerintahan Raja Balaputra Dewa, Kerajaan Sriwijaya berkembang pesat. Raja Balaputra
Dewa meningkatkan kegiatan pelayaran dan perdagangan rakyat Sriwijaya.
Raja Sanggrama Wijayatunggawarman. Pada masa pemerintahannya, Kerajaan Sriwijaya mengalami
ancaman dari Kerajaan Chola. Di bawah Raja Rajendra Chola, Kerajaan Chola melakukan serangan dan
berhasil merebut Kerajaan Sriwijaya. Sanggrana Wijayattunggawarman berhasil ditawan. Namun pada
masa pemerintahan Raja Kulottungga I di Kerajaan Chola, Raja Sanggrama Wijayattunggawarman
dibebaskan kembali.
d. Wilayah Kekuasaan Kerajaan Sriwijaya
Pada awal pertumbuhannya, Kerajaan Sriwijaya mengadakan perluasan wilayah kekuasaan ke daerah-
daerah sekitamya. Setelah berhasil menguasai Palembang, ibukota Kerajaan Sriwijaya dipindah dari
Muara Takus ke Palembang. Dari Palembang, Kerajaan Sriwijaya dengan mudah dapat menguasai
daerah-daerah di sekitamya seperti Bangka, Jambi Hulu dan mungkin juga Jawa Barat (Tammanegara).
Maka dalam abad ke-7 M, Kerajaan Sriwijaya telah berhasil menguasai kunci-kunci jalan perdagangan
yang penting seperti Selat Sunda, Selat Bangka, Selat Malaka, dan Laut Jawa bagian barat.
Pada abad ke-8 M, perluasan Kerajaan Sriwijaya ditujukan ke arah utara, yaitu menduduki Semenanjung
Malaya dan Tanah Genting Kra. Pendudukan terhadap daerah Semenanjung Malaya bertujuan untuk
menguasai daerah penghasil lada dan timah. Sedangkan pendudukan terhadap Tanah Genting Kra
bertujuan untuk menguasai jalur perdagangan antara Cina dan India. Tanah Genting Kra sering
digunakan oleh para pedagang untuk menye-berang dari perairan Laut Hindia ke Laut Cina Selatan,
untuk menghindari persinggahan di pusat Kerajaan Sriwijaya.
Pada akhir abad ke-8 M, Kerajaan Sriwijaya telah berhasil menguasai seluruh jalur perdagangan di Asia
Tenggara, baik yang melalui Selat Sunda maupun Selat Malaka, Selat Karimata, dan Tanah Genting Kra.
Dengan wilayah kekuasaan itu, Kerajaan Sriwijaya menjadi Kerajaan Laut terbesar di Asia Tenggara.
e. Sriwijaya sebagai Negara Maritim
Berita tentang Kerajaan Sriwijaya berasal dari seorang musafir Cina bernama I-tsing (671 M). Berita lain
berasal dari tahun 683 M dengan ditemukannya Prasasti Kedukan Bukit di Bukit Sigutang (dekat
Palembang).
Prasasti mi menyebutkan bahwa seorang raja yang bijaksana berlayar ke luar negeri untuk mencari
kekuatan gaib. Usaha besar yang dimaksudkan itu adalah perjalanan ekspedisi Raja Sriwijaya yang
berhasil dengan gemilang menaklukan Bangka dan Melayu (di Jambi).
Prasasti Kota Kapur (686 M) yang ditemukan di Pulau Bangka menyata-kan bahwa penduduk Pulau
Bangka tunduk pada Kerajaan Sriwijaya. Diberitakan pula bahwa Kerajaan Sriwijaya telah melakukan
ekspedisi ke Pulau Jawa. Perluasan yang dilakukan Kerajaan Sriwijaya bertujuan untuk menguasai jalur
perdagangan di Selat Malaka dan Selat Sunda, yang merupa-kan jalur pelayaran dan perdagangan yang
penting. Keberhasilan Kerajaan Sriwijaya berkuasa atas semua selat itu menjadikannya sebagai
penguasa tunggal jalur aktivitas perdagangan dunia yang melalui Asia Tenggara.
Armada Kerajaan Sriwijaya yang kuat dapat menjamin keamanan aktivitas pelayaran dan perdagangan.
Armada Sriwijaya juga dapat memaksa perahu dagang untuk singgah di pusat atau di bandar Kerajaan
Sriwijaya. Semakin ramainya aktivitas pelayaran perdagangan mengakibatkan Kerajaan Sriwijaya
menjadi tempat pertemuan para pedagang atau pusat perdagangan di Asia Tenggara. Pengaruh dan
peranan Kerajaan Sriwijaya semakin besar di laut. Bahkan para pedagang dari Kerajaan Sriwijaya juga
melakukan hubungan sampai di luar wilayah Indonesia, sampai ke Cina di sebelah utara/ atau Laut
Merah dan Teluk Persia di sebelah barat.
f. Hubungan Luar Negeri
Kerajaan Sriwijaya menjalin hubungan baik dengan kerajaan-kerajaan di luar Indonesia, terutama dengan
kerajaan-kerajaan yang berada di India, seperti Kerajaan Pala (Nalanda) di Benggala dan Kerajaan
Cholamandala di pantai timur India Selatan.
D Sriwijaya dan Pala
Sekitar abad ke-8 M hingga abad ke-11 M daerah Benggala diperintah oleh raja-raja dari Dinasti Pala.
Seorang rajanya yang terbesar bernama Raja Dewa Paladewa (abad ke-9 M). Hubungan Kerajaan
Sriwijaya dengan Kera¬jaan Pala amat baik, terutama dalam bidang kebudayaan dan agama. Kedua
kerajaan ini menganut agama Buddha. Banyak Bhiksu dari Kerajaan Sriwijaya belajar agama di
perguruan tinggi Nalanda. Hubungan baik ini dibuktikan dengan Prasasti Nalanda (860 M). Di samping
pembebasan lima desa dari pajak, prasasti itu juga berisi pernyataan bahwa Raja Balaputra Dewa terusir
dari Kerajaan Syailendra akibat kalah perang melawan kakaknya Pramo-dhawardani dan kemudian
diangkat menjadi raja di Kerajaan Sriwijaya. Dengan demikian, hubungan dengan Kerajaan Pala adalah
untuk mendapat-kan dukungan dalam memperkuat kedudukannya menjadi raja di Sriwijaya.
Sriwijaya dan Cholamandala
Pada awalnya hubungan kedua kerajaan itu amat baik. Raja Sriwijaya yang bernama Sanggrama
Wijayattunggawarman mendirikan satu biara (1006 M) di Kerajaan Chola untuk tempat tinggal para
bhiksu dari Kerajaan Sriwijaya.
Persahabatan kedua kerajaan berubah menjadi permusuhan akibat persaingan di bidang pelayaran dan
perdagangan. Raja Rajendra Chola yang berkuasa di Kerajaan Chola melakukan dua kali serangan ke
Kerajaan Sriwijaya. Serangan pertama tahun 1007 M mengalami kegagalan. Namun, serangan kedua
(1023/1024 M) berhasil merebut kota dan bandar-bandar penting Kerajaan Sriwijaya/ bahkan Raja
Sanggrama Wijayattunggawarman berhasil ditawan.
Serangan itu tidak mengakibatkan terjadinya penjajahan, karena tujuannya hanya membinasakan
armada Kerajaan Sriwijaya. Jika kekuatan Kerajaan Sriwijaya berhasil ditaklukkan, maka jaringan
pelayaran perdagangan di wilayah Asia Tenggara hingga India dapat dikuasai oleh Kerajaan Chola.
Walaupun serangan Kerajaan Chola tidak mematikan Kerajaan Sriwijaya, tetapi untuk sementara
kekuatan Sriwijaya lumpuh. Kelumpuhan Kerajaan Sriwijaya merupakan peluang baik bagi Airlangga di
Jawa Timur yang dengan cepat menyusun kekuatan angkatan perangnya, baik di darat maupun di laut.
Dalam waktu singkat keruntuhan Kerajaan Dharmawangsa dapat ditegakkan kembali, sehingga ketika
kekuatan Kerajaan Sriwijaya pulih kembali, di Jawa Timur telah berdiri negara besar dan kuat, sebagai
saingannya.

g. Mundurnya Kerajaan Sriwijaya


Pada akhir abad ke-13 M, Kerajaan Sriwijaya mengalami kemunduran. Hal ini disebabkan oleh faktor
politik dan ekonomi.
Faktor Politik Kedudukan Kerajaan Sriwijaya makin terdesak, karena munculnya kerajaan-kerajaan besar
yang juga memiliki kepentingan dalam dunia perdagangan, seperti Kerajaan Siam di sebelah utara.
Kerajaan Siam memperluas kekuasaannya ke arah selatan dengan menguasai daerah-daerah di
Semenanjung Malaka termasuk Tanah Genting Kra. Jatuhnya Tanah Genting Kra ke dalam kekuasaan
Kerajaan Siam mengakibatkan kegiatan pelayaran perdagangan di Kerajaan Sriwijaya semakin
berkurang.
Dari daerah timur, Kerajaan Sriwijaya terdesak oleh perkembangan Kerajaan Singasari, yang pada waktu
itu diperintah oleh Raja Kertanegara. Kerajaan Singasari yang berdta-cita menguasai seluruh wilayah
Nusantara mulai mengirim ekspedisi ke arah barat yang dikenal dengan istilah Ekspedisi Pamalayu.
Dalam ekspedisi ini, Kerajaan Singasari mengadakan pendudukan terhadap Kerajaan Melayu, Pahang,
dan Kalimantan, sehingga mengakibatkan kedudukan Kerajaan Sriwijaya makin terdesak.
Faktor Ekonomi Para pedagang yang melakukan aktivitas perdagangan di Kerajaan Sriwijaya semakin
berkurang, karena daerah-daerah strategis yang pernah dikuasai oleh Kerajaan Sriwijaya telah jatuh ke
kekuasaan raja-raja sekitarnya. Akibatnya, para pedagang yang melakukan penyeberangan ke Tanah
Genting Kra atau yang melakukan kegiatan ke daerah Melayu (sudah dikuasai Kerajaan Singasari) tidak
lagi melewati wilayah kekuasaan Sriwijaya. Keadaan seperti ini tentu mengurangi sumber pendapatan
kerajaan.
Dengan alasan faktor politik dan ekonomi, maka sejak akhir abad ke-13 M Kerajaan Sriwijaya menjadi
kerajaan kecil dan wilayahnya terbatas pada daerah Palembang. Kerajaan Sriwijaya yang kecil dan
lemah akhirnya dihancurkan oleh Kerajaan Majapahit tahun 1377 M.
Alasan Cola Serang Sriwijaya
Sebelumnya bersahabat, Cola kemudian berubah sikap. Kerajaan di India itu
mengubrak-abrik Sriwijaya.
Risa Herdahita Putri

12 April 2018

Sekarang share article bisa


dapat poin! Cari tahu

BAGIKAN


Rajendra Chola di medan perang, dalam panil relief Candi Kolaramma, India

SERANGAN Kerajaan Cola, sebuah dinasti Tamil di India Selatan,


konon turut mengantar Kerajaan Sriwijaya ke akhir masa
keemasannya. Padahal, sebelumnya Sriwijaya dan India Selatan
berhubungan baik sejak abad ke-9 M. Prasasti Nalanda (860 M)
menyebut Raja Sriwijaya, Balaputradewa, pernah mendirikan vihara
di Nalanda.
Hal itu ditiru penerusnya. Pada 1005 M, Raja Cudamaniwarman
mendirikan kuil di Nagipattana (Nagapattinam, Pantai Koromandel).
Pembangunan candi ini tak selesai kemudian dilanjutkan putranya,
Marawijayatunggawarman. Saat itu, Kerajaan Cola sudah berdiri
dan dipimpin oleh Rajaraja (985-1014).

Namun, ketika Rajendracola I naik takhta pada 1012 menggantikan


ayahnya, Rajaraja, sikapnya terhadap Sriwijaya berubah. Dia
menyerang Sriwijaya pada 1025 M dan 1068/1069 M. Penyebabnya
tak begitu jelas.

Namun, menurut Bambang Budi Utomo, arkeolog senior di Puslit


Arkenas, alasannya mungkin karena faktor ekonomi. Kala itu,
pedagang Tamil telah menguasai sekitar Teluk Benggala. Mereka
menyebar hingga ke Myanmar, Thailand, hingga ujung utara barat
laut Sumatra, yaitu Barus, Banda Aceh, dan Medan. Para pedagang
itu kemudian membentuk persatuan pedagang bernama “Yang Ke
Lima Ratus dari Seribu Arah” (Ayyavole-500).

“Ini disebutkan dalam sebuah prasasti Tamil yang ditemukan di


Lobu Tua, Barus. Prasasti ini memperkuat dugaan adanya
komunitas Tamil di Sumatra,” kata Bambang ketika ditemui di
kantornya.

Prasasti itu menyebut para pedagang Tamil harus membayar pajak


kepada raja Cola, bukan kepada Sriwijaya sebagai penguasa
setempat.
“Untuk apa? Melindungi kepentingan orang Tamil. Istilahnya kalau
sekarang 'jatah preman'; si preman melindungi pedagang dari
gusuran,” ujar Bambang.

Sebagai balasannya, Bambang menduga, ketika pedagang Tamil


merasa dirugikan Sriwijaya, mereka mengadu kepada Cola. Sudah
menjadi tugas Cola untuk melindungi para pedagang itu.

“Ini interpretasi saya. Mungkin pajak (ke Sriwijaya, red.) terlalu


berat, diseranglah Sriwijaya,” katanya.

Menurut Claude Guillot dkk. dalam Barus Seribu Tahun yang Lalu,
penguasa Cola pada masa itu menjalin hubungan erat dengan
perkumpulan pedangang, khususnya dengan Ayyavole-500 yang
ada di Lobu Tua.

Menurutnya, ini terkait dengan misi politik kerajaan. Pemerintahan


Rajendra adalah puncak ketika Kerajaan Cola ingin memperluas
kekuasaannya. Cola berkeinginan menjalin hubungan dengan
wilayah timur, seperti Tiongkok dan Kamboja. Meski sebenarnya
orang India sudah ada di Barus sejak pertengahan abad ke-9 M.
Dinasti Cola waktu itu belum menonjol dan hanya menguasai satu
daerah kecil di delta Sungai Kaveri.

“Dengan perluasan wilayah kekuasaan Dinasti Cola memungkinkan


para pedagang Tamil, yang merupakan anggota perkumpulan yang
didukung pemerintah, berhasil menguasai jaringan perdagangan
yang lama, seperti jaringan perdagangan kamper yang menuju
Barus,” catat Guillot.

Bambang tak setuju. Menurutnya, kerajaan-kerajaan yang pernah


ada di India hanya berkuasa di Asia Selatan. Pengaruhnya saja
yang sampai ke banyak wilayah, seperti gaya seni dan aliran
filsafat.

Sementara orang Tamil tak begitu membawa pengaruh di wilayah


Sriwijaya, terutama dalam hal seni, misalnya arca. Pedagang Tamil
yang datang ke wilayah Sriwijaya membawa arcanya dari India.

Misalnya, arca bergaya Tamil yang ditemukan di Kota Cina, Medan.


Batu yang dijadikan bahan membuat arca tak ditemukan di
Sumatra atau Nusantara, tapi hanya ada di India.

“Artinya apa? Itu barang dibuat di India oleh komunitas Tamil,


dibawa ke Kota Cina untuk diletakkan di vihara yang dibangun oleh
Komunitas Tamil untuk pemujaannya,” terang Bambang.

Hasilnya, gaya seni Tamil tak berkembang di Indonesia. Tak ada


seniman Nusantara yang mengadopsi gaya itu.

“Serangannya bisa jadi karena Sriwijaya yang salah memberikan


pajak terlalu tinggi. Tapi ini belum terbukti,” lanjut Bambang.

Yang jelas, Bambang menambahkan, serangan itu bukan bermotif


untuk menguasai wilayah Sriwijaya. Tak ada sumber tertulis soal
itu, baik prasasti maupun naskah Nusantara dan India.
Alih-alih menduduki, Cola hanya datang mengubrak-abrik Sriwijaya,
menawan rajanya pada serangan kedua, dan kembali ke
negaranya. “Cola itu hanya mengingatkan: nggakusah macam-
macam,” jelas Bambang.

Buktinya, kata Bambang, Sriwijaya dengan raja penggantinya,


masih sempat membantu pembangunan kuil Tao di Kanton. Kuil ini
kemudian dihancurkan tentara Khubilai Khan ketika Mongol
menghajar Dinasti Song.

“Artinya, kekuasaan Sriwijaya masih eksis. Meski raja ditawan Cola,


tapi tetap berlanjut, karena Tamil tidak menduduki, mereka cuma
menyerang dan pergi lagi,” tambah Bambang.

Hubungan Sriwijaya dengan Nalanda


Diposkan pada April 28, 2016 oleh admin

Plat Tembaga Nalanda dikeluarkan oleh raja Benggala bernama Dewapaladewa pada tahun 860
Masehi. Prasasti ini ditulis dalam tulisan Devanagari dan Proto-Bengali. Isi Plat Tembaga
Nalanda adalah mengenai permintaan Raja Balaputradewa dari Suwarnadwipa untuk mendirikan
sangharama (biara) di Nalanda, dan Raja Dewapaladewa memberikan lima desa yang hasilnya
digunakan untuk memelihara sangharama tersebut dan membiayai siswa-siswa di sana.
Berikut adalah kutipan dari isi Plat Tembaga Nalanda:

“… Atas permintaan Maharaja Balaputradewa yang termashyur, Raja dari Suwarnadwipa,


melalui utusannya, saya telah membangun sebuah biara di Nalanda dimana berdasarkan dekrit
ini, semua pendapatan dianugerahkan untuk Bhagawan Buddha, perwujudan dari semua
kebajikan agung seperti Prajnaparamita, dianugerahkan untuk persembahan-persembahan,
tempat tinggal, pakaian, dana makanan, tempat tidur, kebutuhan-kebutuhan untuk orang sakit
seperti obat-obatan, dan sebagainya, untuk kumpulan para bhikshu dari empat bagian (yang
terdiri dari) para Bodhisattva yang menguasai Tantra, dan delapan Aryapudgala untuk menulis
permata Dharma dari teks-teks Buddhis dan untuk memelihara dan memperbaiki biara bila rusak
…”

“Dengan pikiran yang terinspirasi oleh berbagai keagungan Nalanda dan karena rasa bhakti pada
Putra Suddhodana, serta setelah menyadari bahwa kekayaan bersifat berubah-ubah seperti
gelembung-gelembung aliran air gunung, beliau yang ketenarannya seperti Sangharthamitra …
yang kekayaannya menyokong komunitas Sangha. Dibangunlah di sana (di Nalanda) sebuah
biara yang merupakan tempat tinggal bagi kumpulan para bhikshu yang memiliki berbagai
kualitas bajik, bangunan berwarna putih dengan serangkaian tempat tinggal yang indah dan
dinding yang halus. Atas permintaan tersebut, Raja Dewapaladewa … melalui para utusan,
dengan sangat hormat dan penuh rasa bhakti, mengeluarkan sebuah piagam, yang
menganugerahkan lima desa dengan tujuan seperti diuraikan di atas, demi kebahagiaan dirinya
sendiri, kebahagiaan orang tuanya dan kebahagiaan dunia …”

“… Selama lautan tetap ada, atau selama anak sungai Gangga digerakkan oleh kepangan rambut
Siva, selama para Raja Naga yang tak tergoyahkan, memikul bumi yang berat dan luas dengan
mudah setiap hari, dan selama puncak permata mahkota gunung-gunung di Timur (Udaya) dan
Barat (Asta) tergores oleh kuku kuda mentari, semoga selama itu pula tindakan bajik ini yang
menyebabkan kebajikan di seluruh dunia, tetap langgeng …”
Dari plat tembaga tersebut, jelas terlihat adanya hubungan agama dan politik yang erat antara
kerajaan Sriwijaya dan Dinasti Pala di India. Hubungan ini juga diperluas dengan adanya
hubungan perdagangan dan pendidikan.

Anda mungkin juga menyukai