1
Gambar peta lokasi (letak geografis) Kerajaan Sriwijaya.
2
Gambar Prasasti Kedukan Bukit (Utomo, 2010).
Kemungkinan “Minangtamwan” adalah “Minanga Tamwan” yang berarti daerah yang
terletak di antara dua sungai besar yang bertemu. Poerbatjaraka & Soekmono
mengungkapkan bahwa Minanga terletak di hulu Sungai Kampar, tepatnya di
pertemuan Sungai Kampar Kanan dan Kampar Kiri.
Poerbatjaraka juga mengatakan bahwa kata Minangatamwan bisa jadi merupakan
nama lama dari Minangkabau. Sementara itu, Buchari berpendapat bahwa Minanga
berada di hulu Batang Kuantan.
3
3. Prasasti Telaga Batu
Prasasti ditemukan di kolam Telaga Biru (tidak jauh dari Sabokingking), Kota Palembang.
Prasasti ini tidak bertarikh atau tidak dituliskan angka tahun pembuatannya. Diperkirakan
prasasti ini berasal dari tahun yang sama dengan prasasti Kota Kapur, yakni sekitar 686 M.
4
Isi utamanya adalah permintaan kepada para Dewa untuk menjaga kesatuan Sriwijaya.
Prasasti ini juga berisi kutukan-kutukan terhadap mereka yang berbuat jahat, tidak
tunduk kepada raja atau tidak patuh terhadap Kerajaan akan celaka. Keterangan
penting lain adalah terdapat catatan usaha Sriwijaya untuk menaklukkan “bumi Jawa”
yang belum tunduk kepada Kerajaan Sriwijaya.
5
E. Perkembangan Politik dan Pemerintahan Sriwijaya
Kerajaan Sriwijaya mulai berkembang pada abad ke-7 M. Pada awal perkembangannya
raja disebut sebagai Dapunta Hyang (Prasasti Kedukan Bukit dan talang Tuo). Dapunta Hyang
secara terus-menerus melakukan usaha perluasan daerah kekuasaan Sriwijaya. Berikut adalah
runutan penguasaannya.
Semua penguasaan tersebut berdasarkan jalur perdagangan yang dianggap penting untuk
mengembangkan perekonomian maritim Kerajaan Sriwijaya. Berkat perluasaan daerah
tersebut, Sriwijaya menjadi kerajaan yang besar. Untuk lebih memperkuat pertahanannya,
pada tahun 775 M Sriwijaya membangun pangkalan kerajaan di daerah Ligor atas perintah
raja Darmasetra.
6
Peninggalan Kerajaan Sriwijaya yang berhubungan dengan perkembangan agama meliputi:
1. Candi Muara Takus, ditemukan di dekat Sungai Kampar di daerah Riau.
2. Arca Buddha, ditemukan di daerah Bukit Siguntang.
3. Wihara Nagipattana, dibangun oleh Sriwijaya di Nagipattana, India Selatan.
Suatu ketika Raja Balaputra menghadiahkan sebidang tanah kepada Balaputradewa untuk
pendirian sebuah asrama bagi para pelajar dan siswa yang sedang belajar di Nalanda, yang
dibiayai oleh Balaputradewa, sebagai “dharma”.
Hal itu tercatat dengan baik dalam prasasti Nalanda, yang saat ini berada di Universitas Nawa
Nalanda, India. Bahkan bentuk asrama itu mempunyai kesamaan arsitektur dengan candi
Muara Jambi, yang berada di Provinsi Jambi saat ini.
Hal tersebut menandakan Sriwijaya memperhatikan ilmu pengetahuan, terutama
pengetahuan agama Buddha dan bahasa Sanskerta bagi generasi mudanya. Hal itu juga sesuai
dengan pendapat Prasetya (2010, hlm. 32) yang mengungkapkan bahwa Sriwijaya merupakan
kerajaan besar penganut agama Buddha yang telah mengembangkan iklim kondusif untuk
perkembangan agama Budha.
1. Keadaan alam sekitar Sriwijaya yang berubah, tidak dekat lagi dengan pantai. Hal tersebut
disebabkan perubahaan aliran sungai Musi, Ogan, dan Komering membawa banyak lumpur
sehingga tidak kondusif untuk perdagangan.
2. Banyak daerah kekuasaan yang memerdekakan diri dari Sriwijaya. Hal ini diperkirakan
disebabkan oleh melemahnya angkatan laut Sriwijaya, sehingga pengawasan menjadi
semakin sulit.
3. Sriwijaya mendapatkan serangan dari kerajaan-kerajaan lain. Utamanya, serangan yang
diluncurkan oleh Raja Rajendracola dari Kerajaan Colamandala pada tahun 1017 M dan 1024
M. Kemudian tahun 1275 Kartanegara dari Singhasari melakukan ekspedisi Pamalayu yang
menyebabkan daerah Melayu lepas dari genggaman Sriwijaya.
Referensi
1. Coedes, George. (2014). Kedatuan Sriwijaya: kajian sumber prasasti dan arkeologi : pilihan
artikel. Depok: Komunitas Bambu.
2. Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. (2017). Sejarah Indonesia. Jakarta: Kementerian
Pendidikan dan Kebudayaan.
3. Saptika. 2011. Kerajaan-kerajaan Hindu-Budha di Indonesia. Jakarta: Alfabeta.