Kerajaan Sriwijaya bermula dari daerah pantai timur Sumatra yang telah menjadi jalur
perdagangan ramai dan banyak dikunjungi para pedagang India dari sekitar awal tahun masehi.
Karena keadaan tersebut, mulai bermunculan pusat-pusat perdagangan pula di sekitar sana.
Lambat laun, pusat-pusat perdagangan tersebut berkembang menjadi kerajaan-kerajaan kecil
di sekitar abad ke-7 masehi.
Beberapa kerajaan kecil tersebut antara lain: Tulangbawang, Melayu, dan Sriwijaya. Di
antara ketiga Kerajaan tersebut yang berhasil berkembang hingga masa kejayaannya adalah
Sriwijaya. Sebetulnya, kerajaan Melayu juga sempat berkembang pesat di Jambi, namun
berhasil ditaklukkan oleh Sriwijaya.
Letak geografis kerajaan Sriwijaya diperkirakan terdapat di Palembang. Namun, ada pula
yang berpendapat di Jambi, bahkan di luar Indonesia. Meskipun begitu, pendapat yang paling
banyak didukung oleh para ahli adalah bahwa lokasi Kerajaan Sriwijaya berada di Palembang.
Ada juga yang berpendapat bahwa Kerajaan Sriwijaya adalah kerajaan maritim dan tidak
memiliki sistem ketatanegaraan yang rapi. Mereka lebih memilih untuk terus mengawasi
kekuasaan mereka di laut dan tidak terlalu memperhatikan pusat pemerintahan di darat.
Sehingga, pendapat tersebut menyatakan bahwa kerajaan ini adalah kerajaan nomaden
(selalu berpindah-pindah) dan tidak memiliki lokasi pusat pemerintahan yang tetap. Namun
hingga saat ini hasil penelitian yang paling banyak mendapat dukungan menunjukkan bahwa
pusat Kerajaan Sriwijaya adalah di Palembang. Hanya saja, ketika pusat kerajaan tersebut
mengalami kemunduran, pusat pemerintahan Sriwijaya pindah ke Jambi.
1
Daerah Kekuasaan Sriwijaya
Sriwijaya berpusat di antara Sumatera selatan, sebagian Malaysia, dan sebagian besar
pulau Jawa. Ketika berjaya, daerah kekuasaan Kerajaan Sriwijaya sangatlah luas bahkan
membentang dari Kamboja, Thailand, Semenanjung Malaya, Sumatera, Jawa, Kalimatan, dan
Sulawesi.
Pernyataan di atas sesuai dengan pendapat Saptika (2011, hlm. 33) yang mengatakan
bahwa Sriwijaya adalah salah satu Kemaharajaan maritim yang kuat di Pulau Sumatera dan
banyak memberi pengaruh di Nusantara dengan daerah kekuasaan membentang dari Kamboja,
Thailand, Semenanjung Malaya, Sumatera, Jawa, Kalimantan, dan Sulawesi.
Salah satu sumber sejarah Kerajaan Sriwijaya adalah prasasti-prasasti yang banyak
ditemukan di sekitar wilayah Sumatera bagian selatan. Selain itu terdapat pula beberapa
prasasti yang ditemukan di pulau Jawa, bahkan di mancanegara. Berikut adalah penjelasannya.
Prasasti Kedukan Bukit ditemukan di tepi Sungai Tatang, dekat Palembang. Prasasti ini
berangka tahun 605 Saka (683 M). Isinya antara lain menerangkan bahwa seorang bernama
Dapunta Hyang mengadakan perjalanan suci (siddhayatra) dengan menggunakan perahu. Ia
berangkat dari Minangatamwan dengan membawa tentara 20.000 personel.
Prasasti Kedukan Bukit ditemukan di tepi Sungai Tatang yang berada di dekat
Palembang. Prasasti ini berasal dan bahkan berangka tahun 605 Saka yang setara dengan tahun
683 masehi.
Isinya menerangkan bahwa seseorang bernama
Dapunta Hyang mengadakan perjalanan suci atau
disebut dengan siddhayatra dengan menggunakan
perahu. Disebutkan bahwa Ia berangkat dari
Minangtamwan dengan membawa pasukan sejumlah
20.000 personel.
2
Kemungkinan “Minangtamwan” adalah “Minanga Tamwan” yang berarti daerah yang
terletak di antara dua sungai besar yang bertemu. Poerbatjaraka & Soekmono mengungkapkan
bahwa Minanga terletak di hulu Sungai Kampar, tepatnya di pertemuan Sungai Kampar Kanan
dan Kampar Kiri.
Poerbatjaraka juga mengatakan bahwa kata Minangatamwan bisa jadi merupakan nama
lama dari Minangkabau. Sementara itu, Buchari berpendapat bahwa Minanga berada di hulu
Batang Kuantan.
Diberi nama Prasasti Talang Tuo karena ditemukan di sebelah barat Kota Palembang di
daerah Talang Tuo. Prasasti ini berangka tahun 606 Saka atau setara dengan 684 masehi.
Prasasti ini berhuruf Pallawa namun berbahasa Melayu Kuno.
Prasasti ditemukan di kolam Telaga Biru (tidak jauh dari Sabokingking), Kota Palembang.
Prasasti ini tidak bertarikh atau tidak dituliskan angka tahun pembuatannya. Diperkirakan
prasasti ini berasal dari tahun yang sama dengan prasasti Kota Kapur, yakni sekitar 686 M.
Isinya mengenai kutukan-kutukan terhadap siapa
saja yang melakukan kejahatan dan tidak
mengikuti peraturan Kerajaan atau perintah raja.
Prasasti ini juga memuat data-data mengenai
penyusunan ketatanegaraan Kerajaan Sriwijaya.
3
Prasasti Kota Kapur
Prasasti Kota Kapur ditemukan di desa Penangan, Mendo Barat, Pulau Bangka. Bertarikh
(berangka) tahun 608 Saka (656 M). Coedes (2014:65) menduga bahwa material batu prasasti
ini didatangkan dari luar, karena jenis batunya tidak terdapat di Pulau Bangka.
Selain prasasti yang ditemukan di Indonesia, beberapa prasasti yang lain juga ditemukan
di luar Indonesia. Misalnya, Prasasti Ligor yang berangka tahun 775 M ditemukan di Ligor,
Semenanjung Melayu, dan Prasasti Nalanda (tidak berangka) ditemukan di India Timur.
Ditemukan di India, dalam prasasti ini disebutkan bahwa pada tahun 1017 pasukannya
menyerang kerajaan Swarnabhumi (Sumatera; Sriwijaya). Serangan itu diulang kembali pada
4
tahun 1025, rajanya yang bernama Sanggramawijayatunggawarman berhasil ditawan oleh
pasukan Cola, tetapi akhirnya Sanggramawijaya dilepaskan.
Prasasti Srilanka
Ditemukan di Srinlanka dan diperkirakan berasal dari abad XII, isinya menyebutkan
bahwa : Suryanaraya dari wangsa Malayupura dinobatkan sebagai maharaja di Suwarnapura
(Sriwijaya). Pangeran Suryanarayana menundukkan Manabhramana.
Sumber Cina yang lain menyebutkan pada tahun 1156 raja Srimaharaja mengirim utusan
ke Cina , juga pada tahun 1178.
Tahun 988 M, datang seorang utusan dari Fo-tsi (Sriwijaya) di Cina. Setelah tinggal
selama dua tahun di Cina, ia pergi ke Kanton dan mendengar bahwa negaranya diserang She-
po. Maka, ia terpaksa tinggal setahun lagi di Cina. Pada tahun 992 M, ia berlayar kembali ke
Campa, tetapi karena tidak ada kabar apa pun tentang negerinya, ia kembali ke Cina dan
meminta perlindungan kaisar Cina.
Di depan muara sungai Musi terdapat pulau-pulau yang dapat berfungsi sebagai
pelindung, sehingga ideal untuk kegiatan pertahanan dan pemerintahan. Lokasi ini juga
merupakan jalur perdagangan internasional (terutama dari India dan Cina). Sungai
besar, peran laut juga cocok untuk penduduknya yang telah memiliki bakat sebagai
pelaut ulung.
5
Perkembangan Politik dan Pemerintahan Sriwijaya
Kerajaan Sriwijaya mulai berkembang pada abad ke-7 M. Pada awal perkembangannya
raja disebut sebagai Dapunta Hyang (Prasasti Kedukan Bukit dan talang Tuo). Dapunta Hyang
secara terus-menerus melakukan usaha perluasan daerah kekuasaan Sriwijaya. Berikut adalah
runutan penguasaannya.
Berkat perluasaan daerah tersebut, Sriwijaya menjadi kerajaan yang besar. Untuk lebih
memperkuat pertahanannya, pada tahun 775 M Sriwijaya membangun pangkalan kerajaan di
daerah Ligor atas perintah raja Darmasetra.
Kehidupan beragama di Sriwijaya sangatlah kuat dan semarak. Bahkan Sriwijaya berhasil
menjadi pusat agama Buddha Mahayana di kawasan Asia Tenggara. I-tsing dalam catatannya
menceritakan bahwa ribuan pelajar dan pendeta agama Buddha tinggal di Sriwijaya. Salah satu
pendeta Buddha yang terkenal adalah Sakyakirti. Banyak pelajar asing yang sengaja datang ke
Sriwijaya untuk mempelajari bahasa Sanskerta. Antara tahun 1011-1023 sempat datang
seorang pendeta agama Buddha dari Tibet yang bernama Atisa untuk memperdalam
pengetahuan agamanya.Peninggalan Kerajaan Sriwijaya yang berhubungan dengan
perkembangan agama meliputi:
6
Suatu ketika Raja Balaputra menghadiahkan sebidang tanah kepada Balaputradewa
untuk pendirian sebuah asrama bagi para pelajar dan siswa yang sedang belajar di Nalanda,
yang dibiayai oleh Balaputradewa, sebagai “dharma”.
Hal itu tercatat dengan baik dalam prasasti Nalanda, yang saat ini berada di Universitas
Nawa Nalanda, India. Bahkan bentuk asrama itu mempunyai kesamaan arsitektur dengan candi
Muara Jambi, yang berada di Provinsi Jambi saat ini.
Awalnya, penduduk Sriwijaya kebanyakan hidup dengan bertani. Akan tetapi, karena
lokasi Sriwijaya yang terletak di tepi Sungai Musi yang terhubung ke pantai, perdagangan
menjadi cepat berkembang. Kemudian, perdagangan akhirnya menjadi mata pencaharian
pokok Sriwijaya.
Perkembangan perdagangan itu tentunya dipicu oleh letak geografis Kerajaan Sriwijaya
yang strategis. Letaknya tepat berada di persimpangan jalur perdagangan internasional. Para
pedagang Cina yang berlayar menuju India akan singgah terlebih dahulu di Sriwijaya, begitu
pula sebaliknya.
Dengan demikian, Kerajaan Sriwijaya semakin ramai dan berkembang menjadi pusat
perdagangan. Kerajaan ini juga mulai menguasai jalur perdagangan nasional maupun
internasional. Jalur perdagangan Sriwijaya membentang dari Laut Natuna, Selat Malaka, Selat
Sunda, dan Laut Jawa hingga ke Asia Tenggara yang merupakan jalur perdagangan internasional
antara India dan Cina.
Hasil budaya kerajaan sriwijaya meliputi gading, kulit, beberapa jenis binatang liar untuk
kepentingan ekspor. Sementara itu mereka cenderung banyak mengimpor beras, rempah-
rempah, kayu manis, kemenyan, emas, gading, dan binatang.
7
Silsilah Kerajaan Sriwijaya
8
Pada tahun 1402 pangeran terakhir dari Kerajaan Sriwijaya, yakni Parameswara
mendirikan Kesultanan Malaka di Semenanjung Malaysia.
Raja terkenal Kerajaan Sriwijaya ini (Balaputradewa) adalah seorang raja yang besar di
Sriwijaya. Raja Balaputradewa menjalin hubungan erat dengan Kerajaan Benggala yang saat itu
diperintah oleh Raja Dewapala Dewa.
Beberapa faktor kemunduran Kerajaan Sriwijaya lainnya (Kemdikbud, 2017, hlm. 109)
meliputi:
1. Keadaan alam sekitar Sriwijaya yang berubah, tidak dekat lagi dengan pantai. Hal
tersebut disebabkan perubahaan aliran sungai Musi, Ogan, dan Komering membawa
banyak lumpur sehingga tidak kondusif untuk perdagangan.
2. Banyak daerah kekuasaan yang memerdekakan diri dari Sriwijaya. Hal ini diperkirakan
disebabkan oleh melemahnya angkatan laut Sriwijaya, sehingga pengawasan menjadi
semakin sulit.
3. Sriwijaya mendapatkan serangan dari kerajaan-kerajaan lain. Utamanya, serangan yang
diluncurkan oleh Raja Rajendracola dari Kerajaan Colamandala pada tahun 1017 M dan
1024 M. Kemudian tahun 1275 Kartanegara dari Singhasari melakukan ekspedisi
Pamalayu yang menyebabkan daerah Melayu lepas dari genggaman Sriwijaya.
Puncaknya keruntuhan kerajaan ini adalah pada tahun 1377, ketika armada laut dari
Kerajaan Majapahit menyerang dan berhasil menaklukkan Kerajaan Sriwijaya.