SMK TI MENGWITANI
Jl. Mengwi, Mengwitani, Kec. Mengwi, Kabupaten Badung, Bali 80351 (0361) 810111
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa atas berkat dan rahmat-Nya,
sehingga kami dapat menyelesaikan penyusunan makalah yang membahas tentang
“Kerajaan Sriwijaya" dengan baik dan tepat pada waktunya.
Makalah ini kami susun guna memenuhi tugas sekolah mata pelajaran Sejarah. Dalam
menyusun makalah ini terdapat bantuan dari berbagai pihak untuk menyelesaikan pembuatan
makalah ini.
Kami menyadari makalah ini masih jauh dari sempurna. Oleh karena itu kami memohon
sebesar besarnya atas kekurangan yang terdapat dimakalah ini.
1.3 Tujuan
2.1 Historiografi
Nama Kerajaan : Sriwijaya
Ibukota : Palembang
Bahasa : Melayu kuno/Sansekerta
Agama : Hindu & Buddha
Pemarintahan : Munarkai
Sejarah : 1. Didirikan pada tahun 600-an Masehi
2. Invasi Majapahit tahun 1300-an Masehi
Mata Uang : Koin emas dan perak
1. Lokasi Kerajaan
Sriwijaya merupakan salah satu kerajaan besar yang pernah membawa
kejayaan kepulauan Nusantara di masa lampau. Bukan saja dikenal di wilayah Indonesia,
tetapi hampir setiap bangsa yang berada jauh di luar Indonesia mengenal Kerajaan
Sriwijaya. Hal ini disebabkan karena letak Sriwijaya yang sangat strategis dan dekat
dengan jalur perdagangan antar bangsa yakni Selat Malaka. Selat Malaka pada masa itu
adalah jalur perdagangan ramai yang menghubungkan pedagang-pedagang Cina dengan
India maupun Romawi.
George Coedes, seorang sejarawan, menulis karangan berjudul Le Royaume de
Crivijaya pada tahun 1918 M. Coedes kemudian menetapkan bahwa Sriwijaya adalah
nama sebuah kerajaan di Sumatera Selatan. Lebih lanjut, Coedes juga menetapkan bahwa
letak ibukota Sriwijaya adalah Palembang, dengan bersandar pada anggapan Groeneveldt
dalam karangannya, Notes on the Malay Archipelago and Malacca, Compiled from
Chinese Source, yang menyatakan bahwa, San-fo-ts‘I adalah Palembang yang terletak di
Sumatera Selatan, yaitu tepatnya di tepi Sungai Musi atau sekitar kota Palembang
sekarang. Dari tepian Sungai Musi di Sumatera Selatan, pengaruh Kerajaan Sriwijaya
semakin meluas. Mencakup wilayah Selat Malaka, Selat Sunda, Selat Bangka, Laut Jawa
bagian barat, Bangka, Jambi Hulu, Jawa Barat (Tarumanegara), Semenanjung Malaya
hingga ke Tanah Genting Kra. Salah satu faktor penyebab Kerajaan Sriwijaya disebut
Kerajaan maritim adalah Sriwijaya menitikberatkan perekonomiannya pada kegiatan
perdagangan antar pulau dan antarkawasan. Kerajaan Sriwijaya merupakan Kerajaan
maritim yang menguasai perdagangan di wilayah perairan asia tenggara.
2.2 Sumber Sejarah
Sumber-sumber sejarah yang mendukung keberadaan Kerajaan Sriwijaya berasal dari
berita asing dan prasasti-prasasti.
a) Sumber Cina
Kunjungan I-sting, seorang peziarah Budha dari China pertama kali pada tahun 671
M. Dalam catatannya disebutkan bahwa saat itu terdapat lebih dari seribu orang
pendeta Budha di Sriwijaya. Aturan dan upacara para pendeta Budha tersebut sama
dengan aturan dan upacara yang dilakukan oleh para pendeta Budha di pusat ajaran
agama Budha, India. I-tsing tinggal selama 6 bulan di Sriwijaya untuk belajar
bahasa Sansekerta, setelah itu ia berangkat ke Nalanda, India. Setelah lama belajar
di Nalanda, tahun 685 I-tsing kembali ke Sriwijaya dan tinggal selama beberapa
tahun untuk menerjemahkan teks-teks Budha dari bahasa Sansekerta ke bahasa
Cina. Catatan Cina yang lain menyebutkan tentang utusan Sriwijaya yang datang
secara rutin ke Cina, yang terakhir pada tahun 988 M.
b) Sumber Arab
Orang-orang Arab sering menyebut Sriwijaya dengan nama Sribuza, Sabay atau
Zabaq. Mas‘udi, seorang sejarawan Arab klasik menulis catatan tentang Sriwijaya
pada tahun 955 M. Dalam catatan itu, digambarkan Sriwijaya merupakan sebuah
kerajaan besar, dengan tentara yang sangat banyak. Hasil bumi Sriwijaya adalah
kapur barus, kayu gaharu, cengkeh, kayu cendana, pala, kardamunggu, gambir dan
beberapa hasil bumi lainya. Bukti lain yang mendukung adalah ditemukannya
perkampungan-perkampungan Arab sebagai tempat tinggal sementara di pusat
Kerajaan Sriwijaya.
c) Sumber India
Kerajaan Sriwijaya pernah menjalin hubungan dengan raja-raja dari kerajaan-
kerajaan di India seperti Kerajaan Nalanda dan Kerajaan Chola. Dengan Kerajaan
Nalanda disebutkan bahwa Raja Sriwijaya mendirikan sebuah prasasti yang dikenal
dengan nama Prasasti Nalanda. Dalam prasasti tersebut dinyatakan bahwa Raja
Nalanda yang bernama Raja Dewa Paladewa berkenan membebaskan 5 desa dari
pajak. Sebagai gantinya, kelima desa tersebut wajib membiayai para mahasiswa
dari Kerajaan Sriwijaya yang menuntut ilmu di Kerajaan Nalanda. Di samping
menjalin hubungan dengan Kerajaan Nalanda, Kerajaan Sriwijaya juga menjalin
hubungan dengan Kerajaan Chola (Cholamandala) yang terletak di India Selatan.
Hubungan ini menjadi retak setelah Raja Rajendra Chola ingin menguasai Selat
Malaka.
Sumber dalam negeri berasal dari prasasti-prasasti yang dibuat oleh raja-raja dari
Kerajaan Sriwijaya. Prasasti-prasasti dari Kerajaan Sriwijaya sebagian besar
menggunakan huruf Pallawa dan bahasa Melayu Kuno. Prasasti itu antara lain sebagai
berikut.
Tahun 1025, Rajendra Chola, Raja Chola dari Koromandel, India selatan menaklukkan
pertahanan dari Sriwijaya dan menguasainya. Kerajaan Chola meneruskan penyerangan dan
penaklukannya selama 20 tahun berikutnya ke seluruh imperium Sriwijaya. Meskipun invasi
Chola tidak berhasil sepenuhnya, invasi tersebut telah melemahkan hegemoni Sriwijaya yang
berakibat terlepasnya beberapa wilayah dengan membentuk kerajaan sendiri, seperti Kediri,
sebuah kerajaan yang berbasiskan pada pertanian.
Antara tahun 1079 – 1088, orang Tionghoa mencatat bahwa Sriwijaya mengirimkan duta
besar dari Jambi dan Palembang. Tahun 1082 dan 1088, Jambi mengirimkan lebih dari dua
duta besar ke China. Pada periode inilah pusat Sriwijaya telah bergeser secara bertahap dari
Palembang ke Jambi. Ekspedisi Chola telah melemahkan Palembang, dan Jambi telah
menggantikannya sebagai pusat kerajaan. Berdasarkan sumber Tiongkok pada buku Chu-fan-
chi yang ditulis pada tahun 1178, Chou-Ju-Kua menerangkan bahwa di kepulauan Asia
Tenggaraterdapat dua kerajaan yang sangat kuat dan kaya, yakni Sriwijaya dan Jawa (Kediri).
Di Jawa dia menemukan bahwa rakyatnya memeluk agama Budha dan Hindu, sedangkan
rakyat Sriwijaya memeluk Budha.
Pada tahun 1288, Singosari, penerus kerajaan Kediri di Jawa, menaklukan Palembang dan
Jambi selama masa ekspedisi Pamalayu. Di tahun 1293, Majapahit pengganti Singosari,
memerintah Sumatra. Raja ke-4 Hayam Wuruk memberikan tanggung jawab tersebut kepada
Pangeran Adityawarman, seorang peranakan Minang dan Jawa. Pada tahun 1377 terjadi
pemberontakan terhadap Majapahit, tetapi pemberontakan tersebut dapat dipadamkan
walaupun di selatan Sumatra sering terjadi kekacauan dan pengrusakan.
Di masa berikutnya, terjadi pengendapan pada Sungai Musi yang berakibat tertutupnya
akses pelayaran ke Palembang. Hal ini tentunya sangat merugikan perdagangan kerajaan.
Penurunan Sriwijaya terus berlanjut hingga masuknya Islam ke Aceh yang disebarkan oleh
pedagang-pedagang Arab dan India. Di akhir abad ke-13, Kerajaan Pasai di bagian utara
Sumatra berpindah agama Islam.
Maka sejak akhir abad ke-13 M Kerajaan Sriwijaya menjadi kerajaan kecil dan
wilayahnya terbatas pada daerah Palembang. Kerajaan Sriwijaya yang kecil dan lemah
akhirnya dihancurkan oleh Kerajaan Majapahit pada tahun 1377 M. Pada tahun 1402,
Parameswara, pangeran terakhir Sriwijaya mendirikan Kesultanan Malaka di Semenanjung
Malaysia.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
3.2 Saran
DAFTAR PUSTAKA