Anda di halaman 1dari 12

MAKALAH SEJARAH INDONESIA

“ KERAJAAN SRIWIJAYA ”

DISUSUN OLEH :
KELOMPOK IV
X IPS 2
➢ RIKLAS FARKI
➢ WAWAN KRISDIANTO
➢ ZASKIA GITA PUTRI
➢ PUTRI MEISYA

SMA NEGERI 5 KENDARI


TAHUN AJARAN
2021/2022
KATA PENGANTAR

Puji dan puji syukur kami panjatkan kepada Allah SWT,karena atas rahmat, hidayah, dan
inayah-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan tugas makalah Kerajaan Sriwijaya ini sesuai
dengan batas waktu yang telah ditentukan. Shalawat dan salam selalu tercurah kepada junjungan
kita baginda Rasulullah SAW, yang telah membawa manusia dari alam jahiliah menuju alam yang
berilmu seperti sekarang ini. Makalah ini dapat hadir seperti sekarang ini tak lepas dari bantuan
banyak pihak. Untuk itu sudah sepantasnyalah kami mengucapkan rasa terima kasih yang sebesar-
besar buat mereka yang telah berjasa membantu kami selama proses pembuatan makalah Kerajaan
Sriwijaya ini dari awal hingga akhir. Namun, kami menyadari bahwa makalah ini masih ada hal-
hal yang belum sempurna dan luput dari perhatian kami. Baik itu dari bahasa yang digunakan
maupun dari teknik penyajiannya. Oleh karena itu, dengan segala kekurangan dan kerendahan
hati, kami sangat mengharapkan kritik dan saran dari para pembaca sekalian demi perbaikan
makalah Kerajaan Sriwijaya ini ke depannya. Akhirnya, besar harapan kami makalah Kerajaan
Sriwijaya ini dapat memberikan manfaat yang berarti untuk para pembaca.
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR .............................................................................................. 2


DAFTAR ISI............................................................................................................. 3
BAB I PENDAHULUAN ........................................................................................ 4
1.1 Latar Belakang ............................................................................................... 4
1.2 Rumusan masalah .......................................................................................... 4
1.3 Tujuan ............................................................................................................ 4

BAB II PEMBAHASAN ......................................................................................... 5


2.1 Sejarah berdirinya kerajaan sriwijaya ............................................................ 5
2.2 Kehidupan politik kerajaan sriwijaya ............................................................. 6
2.3 Kehidupan sosial kerajaan sriwijaya ............................................................... 6
2.4 Kehidupan ekonomi kerajaan sriwijaya .......................................................... 6
2.5 Kehidupan agama kerajaan sriwijaya ............................................................. 7
2.6 Masa keemasan kerajaan sriwijaya ................................................................. 8
2.7 Masa penurunan kerajaan sriwijaya ................................................................ 9
BAB III PENUTUP ............................................................................................... 11
3.1. Kesimpulan ................................................................................................... 11
3.2. Saran ............................................................................................................. 11
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................... 12
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Sriwijaya adalah salah satu kemaharajaan bahari yang pernah berdiri di pulau Sumatera
dan banyak memberi pengaruh di Nusanatara. Dalam bahasa sansekerta, Sri berarti “kemenangan”
atau “kejayaan”, maka nama Sriwijaya bermakna “kemenangan yang gemilang”.Latar Belakang
Berdirinya Kerajaan Sriwijaya. Menurut seorang pendata Tiongkok dari Dinasti Tang, I Tsing,
menulis bahwa ia mengunjungi Sriwijaya tahun 671 dan tinggal selama6 bulan. Selanjutnya pada
abad ke-7, muncul sejumlah berita tertulis yang menginformasikan adanya kerajaan Buddha yang
perkasa, bernama Sriwijaya. Dari prasasti yang ditemukan di Sumatera dan Bangka, bertarikh
682 Pusat Kerajaan Sriwijaya Menurut Prasasti Kedukan Bukit, yang bertarikh 605 Saka (683
M). Kadaulatan Sriwijaya pertama kali didirikan di sekitar Palembang, di tepian Sungai Musi.
Sebelum menetapkan pusat kerajaan Melayu, terlebih dahulu membicarakan adat istiadat kaum
pendatang yang mendirikan kerajaan Melayu. Di seberang Utara Selat Malaka, terhampar daerah
Semenanjung Melayu yang disebut Malaya didiami oleh penduduk asli bangsa Melayu. Kemudian
diseberang selatan memanjang pantai Timur Sumatra, dimana terletak pelabuhan Melayu yang
sudah dikenal pada zaman Sriwijaya. Nama Malaya dan Melayu itu sendiri berasal dari kata yang
sama, yaitu Malaya yang artinya: “Bukit”. Kata tersebut berkembang di dua tempat yang berbeda.
Diseberang Utara Selat Malaka, kata tersebut mempertahankan bentuk asli Malaya, sedangkan di
seberang Selatan kata tersebut mengalami Perubahan bunyi, menjadi Melayu.

1.2 Rumusan Masalah


1. Bagaimana sejarah berdirinya kerajaan sriwijaya ?
2. Bagaimana kehidupan politik kerajaan sriwijaya ?
3. Bagaimana kehidupan sosial kerajaan sriwijaya ?
4. Bgaimana kehidupan ekonomi kerajaan sriwijaya ?
5. Bagaimana kehidupan agama kerajaan sriwijaya ?
6. Kapankah masa keemasan kerajaan sriwijaya ?
7. Bagaimana masa penurunan kerajaan sriwijaya ?

1.3 Tujuan
1. Untuk mengetahui sejarah berdirinya kerajaan sriwijaya
2. Untuk mengetahui kehidupan politik kerajaan sriwijaya
3. Untuk mengetahui kehidupan sosial kerajaan sriwijaya
4. Untuk mengetahui kehidupan ekonomi kerajaan sriwijaya
5. Untuk mengetahui kehidupan agama kerajaan sriwijaya
6. Untuk mengetahui masa keemasan kerajaan sriwijaya
7. Untuk mengetahui masa penurunan kerajaan sriwijaya
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Sejarah Berdirinya Kerajaan Sriwijaya


Kerajaan ini menjadi pusat perdagangan dan merupakan negara bahari. Namun kerajaan
ini tidak memperluas kekuasaannya di luar wilayah kepulauan Asia Tenggara. Dengan
pengecualian berkontribusi untuk populasi Madagaskar sejauh 3.300 mil di barat. Beberapa ahli
masih memperdebatkan kawasan yang menjadi pusat pemerintahan Sriwijaya. Selain itu
kemungkinan kerajaan ini biasa memindahkan pusat pemerintahannya. Namun kawasan yang
menjadi ibukota tetap diperintah secara langsung oleh penguasa. Sedangkan daerah pendukungnya
diperintah oleh datu setempat.
Perjalanan Siddhayatra
Kemaharajaan Sriwijaya telah ada sejak 671 sesuai dengan catatan I Tsing. Dari
prasasti Kedukan Bukit pada tahun 682 di diketahui imperium ini di bawah kepemimpinan
Dapunta Hyang. Bahwa beliau berangkat dalam perjalanan suci siddhayatra untuk
“mengalap berkah”. Dengan memimpin 20.000 tentara dan 312 orang di kapal dengan
1.312 prajurit berjalan kaki dari Minanga Tamwan menuju Jambi dan Palembang.
Diketahui, Prasasti Kedukan Bukit adalah prasasti tertua yang ditulis dalam bahasa
Melayu. Para ahli berpendapat bahwa prasasti ini mengadaptasi ortografi India untuk
menulis prasasti ini. Pada abad ke-7 ini, orang Tionghoa mencatat bahwa terdapat dua
kerajaan yaitu Malayu dan Kedah menjadi bagian kemaharajaan Sriwijaya.
Berdasarkan prasasti Kota Kapur yang berangka tahun 686 ditemukan di pulau
Bangka. Kemaharajaan ini telah menguasai bagian selatan Sumatera, pulau Bangka dan
Belitung, hingga Lampung. Prasasti ini juga menyebutkan bahwa Sri Jayanasa telah
melancarkan ekspedisi militer untuk menghukum Bhumi Jawa yang tidak berbakti kepada
Sriwijaya. Peristiwa ini bersamaan dengan runtuhnya Tarumanagara di Jawa Barat dan
Holing (Kerajaan Ka lingga) di Jawa Tengah yang kemungkinan besar akibat serangan
Sriwijaya. Kemungkinan yang dimaksud dengan Bhumi Jawa adalah Tarumanegara.
Sriwijaya tumbuh dan berhasil mengendalikan jalur perdagangan maritim di Selat Malaka,
Selat Sunda, Laut China Selatan, Laut Jawa, dan Selat Karimata.
Penaklukan Kawasan
Ekspansi kerajaan ini ke Jawa dan Semenanjung Malaya, menjadikan Sriwijaya
mengendalikan simpul jalur perdagangan utama di Asia Tenggara. Berdasarkan observasi,
ditemukan reruntuhan candi-candi Sriwijaya di Thailand dan Kamboja. Pada abad ke-7,
pelabuhan Champa di sebelah timur Indochina mulai mengalihkan banyak pedagang dari
Sriwijaya. Untuk mencegah hal tersebut, Maharaja Dharmasetu melancarkan beberapa
serangan ke kota-kota pantai di Indochina. Kota Indrapura di tepi sungai Mekong, di awal
abad ke-8 berada di bawah kendali Sriwijaya. Sriwijaya meneruskan dominasinya atas
Kamboja. Sampai raja Khmer Jayawarman II, pendiri kemaharajaan Khmer, memutuskan
hubungan dengan Sriwijaya pada abad yang sama.
Di akhir abad ke-8 beberapa kerajaan di Jawa, antara lain Tarumanegara dan
Holing berada di bawah kekuasaan Sriwijaya. Menurut catatan, pada masa ini pula wangsa
Sailendra bermigrasi ke Jawa Tengah dan berkuasa di sana. Pada abad ini pula,
Langkasuka di semenanjung Melayu menjadi bagian kerajaan. Pada masa berikutnya, Pan
Pan dan Trambralinga, yang terletak di sebelah utara Langkasuka, juga berada di bawah
pengaruh Sriwijaya. Setelah Dharmasetu, Samaratungga menjadi penerus kerajaan. Ia
berkuasa pada periode 792 sampai 835. Tidak seperti Dharmasetu yang ekspansionis,
Samaratungga tidak melakukan ekspansi militer. Tetapi lebih memilih untuk memperkuat
penguasaan Sriwijaya di Jawa. Selama masa kepemimpinannya, ia membangun candi
Borobudur di Jawa Tengah yang selesai pada tahun 825.

2.2 Kehidupan Politik Kerajaan Sriwijaya


Kehidupan politik kerajaan Sriwijaya dapat ditinjau dari raja-raja yang memerintah,
wilayah kekuasaan, dan hubungannya dengan pihak luar negeri. Setelah berhasil menguasai
Palembang, ibukota Kerajaan Sriwijaya dipindahkan dari Muara Takus ke Palembang. Dari
Palembang, Kerajaan Sriwijaya dengan mudah dapat menguasai daerah-daerah di sekitarnya.
Seperti Pulau Bangka yang terletak di pertemuan jalan perdagangan internasional, Jambi Hulu
yang terletak di tepi Sungai Batanghari dan mungkin juga Jawa Barat (Tarumanegara). Maka
dalam abad ke-7 M, Kerajaan Sriwijaya telah berhasil menguasai kunci-kunci jalan perdagangan
yang penting seperti Selat Sunda, Selat Bangka, Selat Malaka, dan Laut Jawa bagian barat. Pada
abad ke-8 M, perluasan Kerajaan Sriwijaya ditujukan ke arah utara, yaitu menduduki
Semenanjung Malaya dan Tanah Genting Kra.
Pendudukan pada daerah Semenanjung Malaya memiliki tujuan untuk menguasai daerah
penghasil lada dan timah. Sedangkan pendudukan pada daerah Tanah Genting Kra memiliki
tujuan untuk menguasai lintas jalur perdagangan antara Cina dan India. Hubungan dengan luar
negeri, Kerajaan Sriwijaya menjalin hubungan baik dengan kerajaan-kerajaan di luar wilayah
Indonesia. Terutama dengan kerajaan-kerajaan yang berada di India, seperti Kerajaan
Pala/Nalanda di Benggala. Raja Nalanda, Dewapala Dewa menghadiahi sebidang tanah untuk
pembuatan asrama bagi pelajar dari nusantara yang ingin menjadi ‘dharma’ yang dibiayai oleh
Balaputradewa.

2.3 Kehidupan Sosial Kerajaan Sriwijaya


Letak Sriwijaya sangat strategis di jalur perdagangan antara India-Cina. Di samping itu
juga berhasil menguasai Selat Malaka yang merupakan urat nadi perdagangan di Asia Tenggara,
menjadikan Sriwijaya berhasil menguasai perdagangan nasional dan internasional. Penguasaan
Sriwijaya atas Selat Malaka mempunyai arti penting terhadap perkembangan Sriwijaya sebagai
negara maritim, sebab banyak kapal-kapal asing yang singgah untuk menambah air minum,
perbekalan makanan dan melakukan aktivitas perdagangan. Sriwijaya sebagai pusat perdagangan
akan mendapatkan keuntungan yang besar dan akan berpengaruh terhadap kehidupan masyarakat
yang hidup dari pelayaran dan perdagangan.

2.4 Kehidupan Ekonomi Kerajaan Sriwijaya


Di dunia perdagangan, Sriwijaya menjadi pengendali jalur perdagangan antara India dan
Tiongkok, yakni dengan penguasaan atas Selat Malaka dan Selat Sunda. Orang Arab mencatat
bahwa Sriwijaya memiliki aneka komoditas seperti kapur barus, kayu gaharu, cengkeh, pala,
kepulaga, gading, emas, dan timah, yang membuat raja Sriwijaya sekaya raja-raja di India.
Kekayaan yang melimpah ini telah memungkinkan Sriwijaya membeli kesetiaan dari vassal-
vassal-nya di seluruh Asia Tenggara. Dengan berperan sebagai entreport atau pelabuhan utama di
Asia Tenggara, dengan mendapatkan restu, persetujuan, dan perlindungan dari Kaisar China untuk
dapat berdagang dengan Tiongkok, Sriwijaya senantiasa mengelola jejaring perdagangan bahari
dan menguasai urat nadi pelayaran antara Tiongkok dan India. Karena alasan itulah Sriwijaya
harus terus menjaga dominasi perdagangannya dengan selalu mengawasi dan jika perlu
memerangi pelabuhan pesaing di negara jirannya. Keperluan untuk menjaga monopoli
perdagangan inilah yang mendorong Sriwijaya menggelar ekspedisi militer untuk menaklukkan
bandar pelabuhan pesaing di kawasan sekitarnya dan menyerap mereka ke dalam mandala
Sriwijaya. Bandar Malayu di Jambi, Kota Kapur di pulau Bangka, Tarumanagara dan pelabuhan
Sunda di Jawa Barat, Kalingga di Jawa Tengah, dan bandar Kedah dan Chaiya di semenanjung
Melaya adalah beberapa bandar pelabuhan yang ditaklukan dan diserap kedalam lingkup pengaruh
Sriwijaya.
Disebutkan dalam catatan sejarah Champa adanya serangkaian serbuan angkatan laut yang
berasal dari Jawa terhadap beberapa pelabuhan di Champa dan Kamboja. Mungkin angkatan laut
penyerbu yang dimaksud adalah armada Sriwijaya, karena saat itu wangsa Sailendra di Jawa
adalah bagian dari mandala Sriwijaya. Hal ini merupakan upaya Sriwijaya untuk menjamin
monopoli perdagangan laut di Asia Tenggara dengan menggempur bandar pelabuhan pesaingnya.
Sriwijaya juga pernah berjaya dalam hal perdagangan sedari tahun 670 hingga 1025 M.
Kejayaan bahari Sriwijaya terekam di relief Borobudur yaitu menggambarkan Kapal
Borobudur, kapal kayu bercadik ganda dan bertiang layar yang melayari lautan Nusantara sekitar
abad ke-8 Masehi. Fungsi cadik ini adalah untuk menyeimbangkan dan menstabilkan perahu.
Cadik tunggal atau cadik ganda adalah ciri khas perahu bangsa Austronesia dan perahu bercadik
inilah yang membawa bangsa Austronesia berlayar di seantero Asia Tenggara, Oseania, dan
Samudra Hindia. Kapal layar bercadik yang diabadikan dalam relief Borobudur mungkin adalah
jenis kapal yang digunakan armada Sailendra dan Sriwijaya dalam pelayaran antarpulaunya,
kemaharajaan bahari yang menguasai kawasan pada kurun abad ke-7 hingga ke-13 Masehi.
Selain menjalin hubungan dagang dengan India dan Tiongkok, Sriwijaya juga menjalin
perdagangan dengan tanah Arab. Kemungkinan utusan Maharaja Sri Indrawarman yang
mengantarkan surat kepada khalifah Umar bin Abdul-Aziz dari Bani Umayyah tahun 718,
kembali ke Sriwijaya dengan membawa hadiah Zanji (budak wanita berkulit hitam), dan
kemudian dari kronik Tiongkok disebutkan Shih-li-fo-shih dengan rajanya Shih-li-t-‘o-pa-mo (Sri
Indrawarman) pada tahun 724 mengirimkan hadiah untuk kaisar Cina, berupa ts’engchi
(bermaksud sama dengan Zanji dalam bahasa Arab).
Pada paruh pertama abad ke-10, di antara kejatuhan dinasti Tang dan naiknya dinasti
Song, perdagangan dengan luar negeri cukup marak, terutama Fujian, kerajaan Min dan kerajaan
Nan Han dengan negeri kayanya Guangdong. Tak diragukan lagi Sriwijaya mendapatkan
keuntungan dari perdagangan ini. Pada masa inilah diperkirakan rakyat Sriwijaya mulai mengenal
buah semangka (Citrullus lanatus (Thunb.) Matsum. & Nakai), yang masuk melalui perdagangan
mereka.

2.5 Kehidupan Agama Kerajaan Sriwijaya


Sebagai pusat pengajaran Buddha Vajrayana, Sriwijaya menarik banyak peziarah dan
sarjana dari negara-negara di Asia. Antara lain pendeta dari Tiongkok I Tsing, yang melakukan
kunjungan ke Sumatera dalam perjalanan studinya di Universitas Nalanda, India, pada tahun 671
dan 695, I Tsing melaporkan bahwa Sriwijaya menjadi rumah bagi sarjana Buddha sehingga
menjadi pusat pembelajaran agama Buddha. Selain berita diatas, terdapat berita yang dibawakan
oleh I Tsing, dinyatakan bahwa terdapat 1000 orang pendeta yang belajar agama Budha pada
Sakyakirti, seorang pendeta terkenal di Sriwijaya.
Terdapat lebih dari 1000 pandita Buddhis di Sriwijaya yang belajar serta mempraktikkan
Dharma dengan baik. Mereka menganalisa dan mempelajari semua topik ajaran sebagaimana
yang ada di India; vinaya dan ritual-ritual mereka tidaklah berbeda sama sekali [dengan yang ada
di India]. Apabila seseorang pandita Tiongkok akan pergi ke Universitas Nalanda di India untuk
mendengar dan mempelajari naskah-naskah Dharma auutentik, ia sebaiknya tinggal di Sriwijaya
dalam kurun waktu 1 atau 2 tahun untuk mempraktikkan vinaya dan bahasa sansekerta dengan
tepat.
Kerajaan Sriwijaya banyak dipengaruhi budaya India, pertama oleh budaya Hindu
kemudian diikuti pula oleh agama Buddha. Peranannya dalam agama Budha dibuktikannya
dengan membangun tempat pemujaan agama Budha di Ligor, Thailand. Raja-raja Sriwijaya
menguasai kepulauan Melayu melalui perdagangan dan penaklukkan dari kurun abad ke-7 hingga
abad ke-9, sehingga secara langsung turut serta mengembangkan bahasa Melayu beserta
kebudayaannya di Nusantara.

2.6 Masa Keemasan Kerajaan Sriwijaya


Berdasarkan sumber catatan sejarah dari Arab, Sriwijaya disebut dengan nama Sribuza.
Pada tahun 955 M, Al Masudi, seorang musafir (pengelana) sekaligus sejarawan Arab klasik
menulis catatan tentang Sriwijaya. Dalam catatan itu, digambarkan Sriwijaya adalah sebuah
kerajaan besar yang kaya raya, dengan tentara yang sangat banyak. Disebutkan kapal yang
tercepat dalam waktu dua tahun pun tidak cukup untuk mengelilingi seluruh pulau wilayahnya.
Hasil bumi Sriwijaya adalah kapur barus, kayu gaharu, cengkeh, kayu cendana, pala, kapulaga,
gambir dan beberapa hasil bumi lainya.
Catatan lain menuliskan bahwa Sriwijaya maju dalam bidang agraris. Ini disimpulkan dari
seorang ahli dari Bangsa Persia yang bernama Abu Zaid Hasan yang mendapat keterangan dari
Sujaimana, seorang pedagang Arab. Abu Zaid menulis bahwasanya Kerajaan Zabaj (Sriwijaya -
sebutan Sriwijaya oleh bangsa Arab pada masa itu-) memiliki tanah yang subur dan kekuasaan
yang luas hingga ke seberang lautan.
Hubungan dengan Wangsa Sailendra
Dari catatan sejarah dan bukti arkeologi, pada abad ke-9 Sriwijaya telah melakukan
kolonisasi di hampir seluruh kerajaan-kerajaan Asia Tenggara, antara lain: Sumatera,
Jawa, Semenanjung Malaya, Thailand, Kamboja, Vietnam, dan Filipina. Dominasi atas
Selat Malaka dan Selat Sunda, menjadikan Sriwijaya sebagai pengendali rute perdagangan
rempah dan perdagangan lokal yang mengenakan bea dan cukai atas setiap kapal yang
lewat. Sriwijaya mengumpulkan kekayaannya dari jasa pelabuhan dan gudang
perdagangan yang melayani pasar Tiongkok, dan India.
Sriwijaya Berkuasa di Jawa
Setelah Dharmasetu, Samaratungga menjadi Maharaja Sriwijaya berikutnya. Dia
memerintah sebagai penguasa pada kurun 792-835. Berbeda dari Dharmasetu yang
ekpansionis, Samaratungga tidak terjun dalam kancah ekspansi militer, melainkan lebih
suka untuk memperkuat pemerintahan dan pengaruh Sriwijaya atas Jawa. Dia secara
pribadi mengawasi pembangunan candi agung Borobudur; sebuah mandala besar dari batu
yang selesai pada 825, di masa pemerintahannya. Menurut George Coedes, “pada paruh
kedua abad kesembilan, Jawa dan Sumatra bersatu di bawah kekuasaan wangsa Sailendra
yang memerintah di Jawa. Dengan pusat perdagangan di Palembang.” Samaratungga
seperti Rakai Warak, tampaknya sangat dipengaruhi oleh kepercayaan Buddha Mahayana
yang cinta damai. Beliau berusaha untuk menjadi seorang penguasa yang welas asih.
Penggantinya adalah Putri Pramodhawardhani yang bertunangan dengan Rakai Pikatan
yang menganut aliran Siwa. Dia adalah putra Rakai Patapan, seorang rakai (penguasa
daerah) yang cukup berpengaruh di Jawa Tengah. Langkah politik ini tampaknya sebagai
upaya untuk mengamankan perdamaian dan kekuasaan Sailendra di Jawa, dengan cara
mendamaikan hubungan antara golongan Buddha aliran Mahayana dengan penganut
Hindu aliran Siwa.
2.7 Masa Penurunan Kerajaan Sriwijaya
Serbuan Kerajaan Chola
Tahun 1017 dan 1025, Rajendra Chola I, raja dari dinasti Chola di Koromandel,
India selatan, mengirim ekspedisi laut untuk menyerang Sriwijaya. Berdasarkan prasasti
Tanjore bertarikh 1030, Kerajaan Chola telah menaklukan daerah-daerah koloni Sriwijaya,
seperti wilayah Nikobar dan sekaligus berhasil menawan raja Sriwijaya yang berkuasa
waktu itu Sangrama-Vijayottunggawarman. Selama beberapa dekade berikutnya, seluruh
imperium Sriwijaya telah berada dalam pengaruh dinasti Chola. Meskipun demikian
Rajendra Chola I tetap memberikan peluang kepada raja-raja yang ditaklukannya untuk
tetap berkuasa selama tetap tunduk kepadanya. Hal ini dapat dikaitkan dengan adanya
berita utusan San-fo-ts’i ke Cina tahun 1028.
Faktor lain kemunduran Sriwijaya adalah faktor alam. Karena adanya pengendapan
lumpur di Sungai Musi dan beberapa anak sungai lainnya, sehingga kapal-kapal dagang
yang tiba di Palembang semakin berkurang. Akibatnya, Kota Palembang semakin menjauh
dari laut dan menjadi tidak strategis. Akibat kapal dagang yang datang semakin berkurang,
pajak berkurang dan memperlemah ekonomi dan posisi Sriwijaya.
Kerajaan Tanjungpura dan Nan Sarunai di Kalimantan adalah kerajaan yang
sezaman dengan Sriwijaya, namun Kerajaan Tanjungpura disebutkan dikelola oleh
pelarian orang Melayu Sriwijaya, yang ketika pada saat itu Sriwijaya diserang Kerajaan
Chola mereka bermigrasi ke Kalimantan Selatan. Namun pada masa ini Sriwijaya
dianggap telah menjadi bagian dari dinasti Chola. Kronik Tiongkok menyebutkan bahwa
pada tahun 1079, Kulothunga Chola I (Ti-hua-ka-lo) raja dinasti Chola disebut juga
sebagai raja San-fo-ts’i, yang kemudian mengirimkan utusan untuk membantu perbaikan
candi dekat Kanton.
Selanjutnya dalam berita Cina yang berjudul Sung Hui Yao disebutkan bahwa
kerajaan San-fo-tsi pada tahun 1082 masih mengirimkan utusan pada masa Cina di bawah
pemerintahan Kaisar Yuan Fong. Duta besar tersebut menyampaikan surat dari raja Kien-
pi bawahan San-fo-tsi, yang merupakan surat dari putri raja yang diserahi urusan negara
San-fo-tsi, serta menyerahkan pula 227 tahil perhiasan, rumbia, dan 13 potong pakaian.
Kemudian juga mengirimkan utusan berikutnya pada tahun 1088. Pengaruh invasi
Rajendra Chola I, terhadap hegemoni Sriwijaya atas raja-raja bawahannya melemah.
Beberapa daerah taklukan melepaskan diri, sampai muncul Dharmasraya dan Pagaruyung
sebagai kekuatan baru yang kemudian menguasai kembali wilayah jajahan Sriwijaya mulai
dari kawasan Semenanjung Malaya, Sumatera, sampai Jawa bagian barat.
Munculnya Malayu Dharmasraya
Pada tahun 1079 dan 1088, catatan Cina menunjukkan bahwa Sriwijaya
mengirimkan duta besar pada Cina. Khususnya pada tahun 1079, masing-masing duta
besar tersebut mengunjungi Cina. Ini menunjukkan bahwa ibu kota Sriwijaya selalu
bergeser dari satu kota maupun kota lainnya selama periode tersebut. Ekspedisi Chola
mengubah jalur perdagangan dan melemahkan Palembang, yang memungkinkan Jambi
untuk mengambil kepemimpinan Sriwijaya pada abad ke-11.
Berdasarkan sumber Tiongkok pada buku Chu-fan-chi yang ditulis pada tahun
1178, Chou-Ju-Kua menerangkan bahwa di kepulauan Asia Tenggara terdapat dua
kerajaan yang sangat kuat dan kaya, yakni San-fo-ts’i dan Cho-po (Jawa). Di Jawa dia
menemukan bahwa rakyatnya memeluk agama Budha dan Hindu, sedangkan rakyat San-
fo-ts’i memeluk Budha, dan memiliki 15 daerah bawahan yang meliputi; Si-lan
(Kamboja), Tan-ma-ling (Tambralingga, Ligor, selatan Thailand), Kia-lo-hi (Grahi,
Chaiya sekarang, selatan Thailand), Ling-ya-si-kia (Langkasuka), Kilantan (Kelantan),
Pong-fong (Pahang), Tong-ya-nong (Terengganu), Fo-lo-an (muara sungai Dungun daerah
Terengganu sekarang), Ji-lo-t’ing (Cherating, pantai timur semenanjung malaya), Ts’ien-
mai (Semawe, pantai timur semenanjung malaya), Pa-t’a (Sungai Paka, pantai timur
Semenanjung Malaya), Lan-wu-li (Lamuri di Aceh), Pa-lin-fong (Palembang), Kien-pi
(Jambi), dan Sin-t’o (Sunda).
Namun, istilah San-fo-tsi terutama pada tahun 1178 tidak lagi identik dengan
Sriwijaya, melainkan telah identik dengan Dharmasraya. Dari daftar 15 negeri bawahan
San-fo-tsi tersebut, ternyata adalah wilayah jajahan Kerajaan Dharmasraya. Walaupun
sumber Tiongkok tetap menyebut San-fo-tsi sebagai kerajaan yang berada di kawasan Laut
Cina Selatan. Hal ini karena dalam Pararaton telah disebutkan Malayu. Kitab ini
mengisahkan bahwa Kertanagara raja Singhasari, mengirim sebuah ekspedisi Pamalayu
atau Pamalayu, dan kemudian menghadiahkan Arca Amoghapasa kepada raja Melayu,
Srimat Tribhuwanaraja Mauli Warmadewa di Dharmasraya sebagaimana yang tertulis
pada prasasti Padang Roco. Peristiwa ini kemudian dikaitkan dengan manuskrip yang
terdapat pada prasasti Grahi. Begitu juga dalam Nagarakretagama yang menguraikan
tentang daerah jajahan Majapahit, juga sudah tidak menyebutkan lagi nama Sriwijaya
untuk kawasan yang sebelumnya merupakan kawasan Sriwijaya.
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Sriwijaya adalah salah satu kemaharajaan bahari yang pernah berdiri di pulau Sumatera
dan banyak memberi pengaruh di Nusantara dengan daerah kekuasaan berdasarkan peta
membentang dari Kamboja, Thailand Selatan, Semenanjung Malaya, Sumatera, Jawa Barat dan
kemungkinan Jawa Tengah. Dalam bahasa Sanskerta, sri berarti “bercahaya” atau “gemilang”,
dan wijaya berarti “kemenangan” atau “kejayaan”, maka nama Sriwijaya bermakna “kemenangan
yang gilang-gemilang”.
Bukti awal mengenai keberadaan kerajaan ini berasal dari abad ke-7; seorang pendeta
Tiongkok, I Tsing, menulis bahwa ia mengunjungi Sriwijaya tahun 671 dan tinggal selama 6
bulan. Selanjutnya prasasti yang paling tua mengenai Sriwijaya juga berada pada abad ke-7, yaitu
prasasti Kedukan Bukit di Palembang, bertarikh 682. Kemunduran pengaruh Sriwijaya terhadap
daerah bawahannya mulai menyusut dikarenakan beberapa peperangan di antaranya tahun 1025
serangan Rajendra Chola I dari Koromandel, selanjutnya tahun 1183 kekuasaan Sriwijaya di
bawah kendali kerajaan Dharmasraya.

3.2 Saran

Saran untuk para siswa agar jangan melupakan sejarah bangsa kita, dan berusaha menjaga
dan melestarikan peninggalan sejarah yang ada di Indonesia.
DAFTAR PUSTAKA

https://id.wikipedia.org/wiki/Sriwijaya
http://sejarahbudayanusantara.weebly.com/kerajaan-sriwijaya.html
http://kakakpintar.com/sejarah-kerajaan-sriwijaya-peninggalan-pendiri-prasasti-letak-
penyebab-runtuhnya
http://www.portalsejarah.com/sejarah-kerajaan-sriwijaya-kerajaan-maritim-terbesar.html
http://jagosejarah.blogspot.co.id/2015/06/sejarah-kerajaan-sriwijaya.html

Anda mungkin juga menyukai