Anda di halaman 1dari 14

MAKALAH

KERAJAAN HINDU BUDHA DI INDONESIA

(KERAJAAN SRIWIJAYA)

DI Susun Oleh:

KELOMPOK 5

1. Ufya Annisa

2. Mirrah Najati Ramadhani

3. Nabila Dzakwan

4. Muh. Aidil Fitrah

MADRASAH ALIYAH NEGERI 3 BONE

TAHUN AJARAN 2022/202

1
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Belum banyak bukti fisik mengenai Sriwijaya yang dapat
ditemukan. Tidak terdapat catatan lebih lanjut mengenai Sriwijaya dalam
sejarah Indonesia; masa lalunya yang terlupakan dibentuk kembali oleh
sarjana asing. Tidak ada orang Indonesia modern yang mendengar mengenai
Sriwijaya sampai tahun 1920-an, ketika sarjana Perancis George Cœdès
mempublikasikan penemuannya dalam surat kabar berbahasa Belanda dan
Indonesia. Coedès menyatakan bahwa referensi Tiongkok terhadap “San-fo-
ts‟i”, sebelumnya dibaca “Sribhoja”, dan beberapa prasasti dalam Melayu
Kuno merujuk pada kekaisaran yang sama.
Historiografi Sriwijaya diperoleh dan disusun dari dua macam
sumber utama; catatan sejarah Tiongkok dan sejumlah prasasti batu Asia
Tenggara yang telah ditemukan dan diterjemahkan. Catatan perjalanan
bhiksu peziarah I Ching sangat penting, terutama dalam menjelaskan
kondisi Sriwijaya ketika ia mengunjungi kerajaan itu selama 6 bulan pada
tahun 671. Sekumpulan prasasti siddhayatra abad ke-7 yang ditemukan di
Palembang dan Pulau Bangka juga merupakan sumber sejarah primer yang
penting.
Bukti awal mengenai keberadaan kerajaan ini berasal dari
abad ke-7; seorang pendeta Tiongkok, I Tsing, menulis bahwa ia
mengunjungi Sriwijaya tahun 671 dan tinggal selama 6 bulan. Prasasti yang
paling tua mengenai Sriwijaya juga berada pada abad ke-7, yaitu prasasti
Kedukan Bukit di Palembang, bertarikh 682. Kemunduran pengaruh
Sriwijaya terhadap daerah bawahannya mulai menyusut dikarenakan
beberapa peperangan diantaranya serangan dari raja Dharmawangsa
Teguh dari Jawa di tahun 990, dan tahun 1025 serangan Rajendra
Chola I dari Koromandel, selanjutnya tahun 1183 kekuasaan Sriwijaya
dibawah kendali kerajaan Dharmasraya.Setelah Sriwijaya jatuh, kerajaan

1
ini terlupakan dan eksistensi Sriwijaya baru diketahui secara resmi tahun
1918 oleh sejarawan Perancis George Cœdès dari École française
d‟Extrême-Orient.

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana sejarah berdirinya kerajaan Sriwijaya?
2. Bagaimana kehidupan politik, sosial, ekonomi, dan agama kerajaan
Sriwijaya?
3. Kapankah masa keemasan kerajaan Sriwijaya?
4. Bagaimana penyebab runtuhnya kerajaan Sriwijaya?

C. Tujuan Penulisan

1. Untuk mengetahui sejarah berdirinya kerajaan Sriwijaya


2. Untuk mengetahui kehidupan politik, sosial, ekonomi, dan agama kerajaan
Sriwijaya
3. Untuk mengetahui masa keemasan kerajaan Sriwijaya
4. Untuk mengetahui penyebab runtuhnya kerajaan Sriwijaya

2
BAB II
PEMBAHASAN

A. Sejarah Berdirinya Kerajaan Sriwijaya


Kerajaan ini menjadi pusat perdagangan dan merupakan negara
bahari, namun kerajaan ini tidak memperluas kekuasaannya di luar wilayah
kepulauan Asia Tenggara, dengan pengecualian berkontribusi untuk
populasi Madagaskar sejauh 3.300 mil di barat. Beberapa ahli masih
memperdebatkan kawasan yang menjadi pusat pemerintahan Sriwijaya,
selain itu kemungkinan kerajaan ini biasa memindahkan pusat
pemerintahannya, namun kawasan yang menjadi ibukota tetap diperintah
secara langsung oleh penguasa, sedangkan daerah pendukungnya diperintah
oleh datu setempat.
1. Perjalanan Siddhayatra
Kemaharajaan Sriwijaya telah ada sejak 671 sesuai dengan catatan
I Tsing. Dari prasasti Kedukan Bukit pada tahun 682 di diketahui
imperium ini di bawah kepemimpinan Dapunta Hyang. Bahwa beliau
berangkat dalam perjalanan suci siddhayatra untuk “mengalap berkah”,
dan memimpin 20.000 tentara dan 312 orang di kapal dengan 1.312
prajurit berjalan kaki dari Minanga Tamwan menuju Jambi dan
Palembang. Diketahui, Prasasti Kedukan Bukit adalah prasasti tertua yang
ditulis dalam bahasa Melayu. Para ahli berpendapat bahwa prasasti ini
mengadaptasi ortografi India untuk menulis prasasti ini. Pada abad ke-7
ini, orang Tionghoa mencatat bahwa terdapat dua kerajaan yaitu Malayu
dan Kedah menjadi bagian kemaharajaan Sriwijaya.
Berdasarkan prasasti Kota Kapur yang berangka tahun 686
ditemukan di pulau Bangka, kemaharajaan ini telah menguasai bagian
selatan Sumatera, pulau Bangka dan Belitung, hingga Lampung. Prasasti
ini juga menyebutkan bahwa Sri Jayanasa telah melancarkan ekspedisi
militer untuk menghukum Bhumi Jawa yang tidak berbakti kepada
Sriwijaya, peristiwa ini bersamaan dengan runtuhnya Tarumanagara di

3
Jawa Barat dan Holing (Kalingga) di Jawa Tengah yang kemungkinan
besar akibat serangan Sriwijaya. Kemungkinan yang dimaksud dengan
Bhumi Jawa adalah Tarumanegara. Sriwijaya tumbuh dan berhasil
mengendalikan jalur perdagangan maritim di Selat Malaka, Selat Sunda,
Laut China Selatan, Laut Jawa, dan Selat Karimata.
2. Penaklukan Kawasan
Ekspansi kerajaan ini ke Jawa dan Semenanjung Malaya,
menjadikan Sriwijaya mengendalikan simpul jalur perdagangan utama di
Asia Tenggara. Berdasarkan observasi, ditemukan reruntuhan candi-candi
Sriwijaya di Thailand dan Kamboja. Pada abad ke-7, pelabuhan Champa
di sebelah timur Indochina mulai mengalihkan banyak pedagang dari
Sriwijaya. Untuk mencegah hal tersebut, Maharaja Dharmasetu
melancarkan beberapa serangan ke kota-kota pantai di Indochina. Kota
Indrapura di tepi sungai Mekong, di awal abad ke-8 berada di bawah
kendali Sriwijaya. Sriwijaya meneruskan dominasinya atas Kamboja,
sampai raja Khmer Jayawarman II, pendiri kemaharajaan Khmer,
memutuskan hubungan dengan Sriwijaya pada abad yang sama.
Di akhir abad ke-8 beberapa kerajaan di Jawa, antara lain
Tarumanegara dan Holing berada di bawah kekuasaan Sriwijaya. Menurut
catatan, pada masa ini pula wangsa Sailendra bermigrasi ke Jawa Tengah
dan berkuasa di sana. Pada abad ini pula, Langkasuka di semenanjung
Melayu menjadi bagian kerajaan. Pada masa berikutnya, Pan Pan dan
Trambralinga, yang terletak di sebelah utara Langkasuka, juga berada di
bawah pengaruh Sriwijaya. Setelah Dharmasetu, Samaratungga menjadi
penerus kerajaan. Ia berkuasa pada periode 792 sampai 835. Tidak seperti
Dharmasetu yang ekspansionis, Samaratungga tidak melakukan ekspansi
militer, tetapi lebih memilih untuk memperkuat penguasaan Sriwijaya di
Jawa. Selama masa kepemimpinannya, ia membangun candi Borobudur di
Jawa Tengah yang selesai pada tahun 825.

4
B. Kehidupan Politik, Sosial, Ekonomi, Politik Kerajaan Sriwijaya
1. Kehidupan Politik
Kehidupan politik kerajaan Sriwijaya dapat ditinjau dari raja-raja
yang memerintah, wilayah kekuasaan, dan hubungannya dengan pihak luar
negeri. Setelah berhasil menguasai Palembang, ibukota Kerajaan Sriwijaya
dipindahkan dari Muara Takus ke Palembang. Dari Palembang, Kerajaan
Sriwijaya dengan mudah dapat menguasai daerah-daerah di sekitarnya
seperti Pulau Bangka yang terletak di pertemuan jalan perdagangan
internasional, Jambi Hulu yang terletak di tepi Sungai Batanghari dan
mungkin juga Jawa Barat (Tarumanegara). Maka dalam abad ke-7 M,
Kerajaan Sriwijaya telah berhasil menguasai kunci-kunci jalan
perdagangan yang penting seperti Selat Sunda, Selat Bangka, Selat
Malaka, dan Laut Jawa bagian barat. Pada abad ke-8 M, perluasan
Kerajaan Sriwijaya ditujukan ke arah utara, yaitu menduduki Semenanjung
Malaya dan Tanah Genting Kra.
Pendudukan pada daerah Semenanjung Malaya memiliki tujuan
untuk menguasai daerah penghasil lada dan timah. Sedangkan pendudukan
pada daerah Tanah Genting Kra memiliki tujuan untuk menguasai lintas
jalur perdagangan antara Cina dan India. Hubungan dengan luar negeri.
Kerajaan Sriwijaya menjalin hubungan baik dengan kerajaan-kerajaan di
luar wilayah Indonesia, terutama dengan kerajaan-kerajaan yang berada di
India, seperti Kerajaan Pala/Nalanda di Benggala. Raja Nalanda,
Dewapala Dewa menghadiahi sebidang tanah untuk pembuatan asrama
bagi pelajar dari nusantara yang ingin menjadi „dharma‟ yang dibiayai
oleh Balaputradewa.
2. Kehidupan Sosial
Letak Sriwijaya sangat strategis di jalur perdagangan antara India-
Cina. Di samping itu juga berhasil menguasai Selat Malaka yang
merupakan urat nadi perdagangan di Asia Tenggara, menjadikan Sriwijaya
berhasil menguasai perdagangan nasional dan internasional. Penguasaan
Sriwijaya atas Selat Malaka mempunyai arti penting terhadap

5
perkembangan Sriwijaya sebagai negara maritim, sebab banyak kapal-
kapal asing yang singgah untuk menambah air minum, perbekalan
makanan dan melakukan aktivitas perdagangan. Sriwijaya sebagai pusat
perdagangan akan mendapatkan keuntungan yang besar dan akan
berpengaruh terhadap kehidupan masyarakat yang hidup dari pelayaran
dan perdagangan.
3. Kehidupan Ekonomi
Di dunia perdagangan, Sriwijaya menjadi pengendali jalur
perdagangan antara India dan Tiongkok, yakni dengan penguasaan atas
Selat Malaka dan Selat Sunda. Orang Arab mencatat bahwa Sriwijaya
memiliki aneka komoditas seperti kapur barus, kayu gaharu, cengkeh,
pala, kepulaga, gading, emas, dan timah, yang membuat raja Sriwijaya
sekaya raja-raja di India. Kekayaan yang melimpah ini telah
memungkinkan Sriwijaya membeli kesetiaan dari vassal-vassal-nya di
seluruh Asia Tenggara. Dengan berperan sebagai entreport atau pelabuhan
utama di Asia Tenggara, dengan mendapatkan restu, persetujuan, dan
perlindungan dari Kaisar China untuk dapat berdagang dengan Tiongkok,
Sriwijaya senantiasa mengelola jejaring perdagangan bahari dan
menguasai urat nadi pelayaran antara Tiongkok dan India.
Karena alasan itulah Sriwijaya harus terus menjaga dominasi
perdagangannya dengan selalu mengawasi dan jika perlu memerangi
pelabuhan pesaing di negara jirannya. Keperluan untuk menjaga monopoli
perdagangan inilah yang mendorong Sriwijaya menggelar ekspedisi militer
untuk menaklukkan bandar pelabuhan pesaing di kawasan sekitarnya dan
menyerap mereka ke dalam mandala Sriwijaya. Bandar Malayu di Jambi,
Kota Kapur di pulau Bangka, Tarumanagara dan pelabuhan Sunda di Jawa
Barat, Kalingga di Jawa Tengah, dan bandar Kedah dan Chaiya di
semenanjung Melaya adalah beberapa bandar pelabuhan yang ditaklukan
dan diserap kedalam lingkup pengaruh Sriwijaya.
Disebutkan dalam catatan sejarah Champa adanya serangkaian
serbuan angkatan laut yang berasal dari Jawa terhadap beberapa pelabuhan

6
di Champa dan Kamboja. Mungkin angkatan laut penyerbu yang dimaksud
adalah armada Sriwijaya, karena saat itu wangsa Sailendra di Jawa adalah
bagian dari mandala Sriwijaya. Hal ini merupakan upaya Sriwijaya untuk
menjamin monopoli perdagangan laut di Asia Tenggara dengan
menggempur bandar pelabuhan pesaingnya. Sriwijaya juga pernah berjaya
dalam hal perdagangan sedari tahun 670 hingga 1025 M.
Kejayaan bahari Sriwijaya terekam di relief Borobudur yaitu
menggambarkan Kapal Borobudur, kapal kayu bercadik ganda dan
bertiang layar yang melayari lautan Nusantara sekitar abad ke-8 Masehi.
Fungsi cadik ini adalah untuk menyeimbangkan dan menstabilkan perahu.
Cadik tunggal atau cadik ganda adalah ciri khas perahu bangsa
Austronesia dan perahu bercadik inilah yang membawa bangsa
Austronesia berlayar di seantero Asia Tenggara, Oseania, dan Samudra
Hindia. Kapal layar bercadik yang diabadikan dalam relief Borobudur
mungkin adalah jenis kapal yang digunakan armada Sailendra dan
Sriwijaya dalam pelayaran antarpulaunya, kemaharajaan bahari yang
menguasai kawasan pada kurun abad ke-7 hingga ke-13 Masehi.
Selain menjalin hubungan dagang dengan India dan Tiongkok,
Sriwijaya juga menjalin perdagangan dengan tanah Arab. Kemungkinan
utusan Maharaja Sri Indrawarman yang mengantarkan surat kepada
khalifah Umar bin Abdul-Aziz dari Bani Umayyah tahun 718, kembali ke
Sriwijaya dengan membawa hadiah Zanji (budak wanita berkulit hitam),
dan kemudian dari kronik Tiongkok disebutkan Shih-li-fo-shih dengan
rajanya Shih-li-t-„o-pa-mo (Sri Indrawarman) pada tahun 724
mengirimkan hadiah untuk kaisar Cina, berupa ts‟engchi (bermaksud sama
dengan Zanji dalam bahasa Arab).
Pada paruh pertama abad ke-10, di antara kejatuhan dinasti Tang
dan naiknya dinasti Song, perdagangan dengan luar negeri cukup marak,
terutama Fujian, kerajaan Min dan kerajaan Nan Han dengan negeri
kayanya Guangdong. Tak diragukan lagi Sriwijaya mendapatkan
keuntungan dari perdagangan ini. Pada masa inilah diperkirakan rakyat

7
Sriwijaya mulai mengenal buah semangka (Citrullus lanatus (Thunb.)
Matsum. & Nakai), yang masuk melalui perdagangan mereka.
4. Kehidupan Agama
Sebagai pusat pengajaran Buddha Vajrayana, Sriwijaya menarik
banyak peziarah dan sarjana dari negara-negara di Asia. Antara lain
pendeta dari Tiongkok I Tsing, yang melakukan kunjungan ke Sumatera
dalam perjalanan studinya di Universitas Nalanda, India, pada tahun 671
dan 695, I Tsing melaporkan bahwa Sriwijaya menjadi rumah bagi sarjana
Buddha sehingga menjadi pusat pembelajaran agama Buddha. Selain
berita diatas, terdapat berita yang dibawakan oleh I Tsing, dinyatakan
bahwa terdapat 1000 orang pendeta yang belajar agama Budha pada
Sakyakirti, seorang pendeta terkenal di Sriwijaya.
Terdapat lebih dari 1000 pandita Buddhis di Sriwijaya yang belajar
serta mempraktikkan Dharma dengan baik. Mereka menganalisa dan
mempelajari semua topik ajaran sebagaimana yang ada di India; vinaya
dan ritual-ritual mereka tidaklah berbeda sama sekali [dengan yang ada di
India]. Apabila seseorang pandita Tiongkok akan pergi ke Universitas
Nalanda di India untuk mendengar dan mempelajari naskah-naskah
Dharma auutentik, ia sebaiknya tinggal di Sriwijaya dalam kurun waktu 1
atau 2 tahun untuk mempraktikkan vinaya dan bahasa sansekerta dengan
tepat.
Kerajaan Sriwijaya banyak dipengaruhi budaya India, pertama oleh
budaya Hindu kemudian diikuti pula oleh agama Buddha. Peranannya
dalam agama Budha dibuktikannya dengan membangun tempat pemujaan
agama Budha di Ligor, Thailand. Raja-raja Sriwijaya menguasai
kepulauan Melayu melalui perdagangan dan penaklukkan dari kurun abad
ke-7 hingga abad ke-9, sehingga secara langsung turut serta
mengembangkan bahasa Melayu beserta kebudayaannya di Nusantara.
C. Masa Keemasan Kerajaan Sriwijaya
Berdasarkan sumber catatan sejarah dari Arab, Sriwijaya disebut
dengan nama Sribuza. Pada tahun 955 M, Al Masudi, seorang musafir

8
(pengelana) sekaligus sejarawan Arab klasik menulis catatan tentang
Sriwijaya. Dalam catatan itu, digambarkan Sriwijaya adalah sebuah kerajaan
besar yang kaya raya, dengan tentara yang sangat banyak. Disebutkan kapal
yang tercepat dalam waktu dua tahun pun tidak cukup untuk mengelilingi
seluruh pulau wilayahnya. Hasil bumi Sriwijaya adalah kapur barus, kayu
gaharu, cengkeh, kayu cendana, pala, kapulaga, gambir dan beberapa hasil
bumi lainya.
Catatan lain menuliskan bahwa Sriwijaya maju dalam bidang
agraris. Ini disimpulkan dari seorang ahli dari Bangsa Persia yang bernama
Abu Zaid Hasan yang mendapat keterangan dari Sujaimana, seorang
pedagang Arab. Abu Zaid menulis bahwasanya Kerajaan Zabaj (Sriwijaya -
sebutan Sriwijaya oleh bangsa Arab pada masa itu-) memiliki tanah yang
subur dan kekuasaan yang luas hingga ke seberang lautan.
1. Hubungan dengan Wangsa Sailendra
Dari catatan sejarah dan bukti arkeologi, pada abad ke-9 Sriwijaya
telah melakukan kolonisasi di hampir seluruh kerajaan-kerajaan Asia
Tenggara, antara lain: Sumatera, Jawa, Semenanjung Malaya, Thailand,
Kamboja, Vietnam, dan Filipina. Dominasi atas Selat Malaka dan Selat
Sunda, menjadikan Sriwijaya sebagai pengendali rute perdagangan
rempah dan perdagangan lokal yang mengenakan bea dan cukai atas
setiap kapal yang lewat. Sriwijaya mengumpulkan kekayaannya dari
jasa pelabuhan dan gudang perdagangan yang melayani pasar Tiongkok,
dan India.
2. Sriwijaya Berkuasa di Jawa
Setelah Dharmasetu, Samaratungga menjadi Maharaja Sriwijaya
berikutnya. Dia memerintah sebagai penguasa pada kurun 792-835.
Berbeda dari Dharmasetu yang ekpansionis, Samaratungga tidak terjun
dalam kancah ekspansi militer, melainkan lebih suka untuk memperkuat
pemerintahan dan pengaruh Sriwijaya atas Jawa. Dia secara pribadi
mengawasi pembangunan candi agung Borobudur; sebuah mandala
besar dari batu yang selesai pada 825, di masa pemerintahannya.

9
Menurut George Coedes, “pada paruh kedua abad kesembilan, Jawa dan
Sumatra bersatu di bawah kekuasaan wangsa Sailendra yang
memerintah di Jawa.
Dengan pusat perdagangan di Palembang.” Samaratungga seperti
Rakai Warak, tampaknya sangat dipengaruhi oleh kepercayaan Buddha
Mahayana yang cinta damai. Beliau berusaha untuk menjadi seorang
penguasa yang welas asih. Penggantinya adalah Putri
Pramodhawardhani yang bertunangan dengan Rakai Pikatan yang
menganut aliran Siwa. Dia adalah putra Rakai Patapan, seorang rakai
(penguasa daerah) yang cukup berpengaruh di Jawa Tengah. Langkah
politik ini tampaknya sebagai upaya untuk mengamankan perdamaian
dan kekuasaan Sailendra di Jawa, dengan cara mendamaikan hubungan
antara golongan Buddha aliran Mahayana dengan penganut Hindu aliran
Siwa.
D. Faktor Penyebab Runtuhnya Kerajaan Sriwijaya
Kemunduran dan keruntuhan Kerajaan Sriwijaya disebabkan oleh
beberapa hal berikut:
1. Serangan Raja Dharmawangsa pada tahun 990 M, ketika itu yang berkuasa
di Sriwijaya ialah Sri Sudamani Warmadewa. Walaupun serangan ini tidak
berhasil, tetapi telah melemahkan Sriwijaya.
2. Serangan dari Kerajaan Colamandala yang diperintahkan oleh Raja
Rajendracoladewapada tahun 1023 dan 1030. Serangan ini ditujukan ke
semenanjung Malaka dan berhasil menawan raja Sriwijaya. Serangan
ketiga dilakukan pada tahun 1068 M dilakukan olehWirarajendra,
cucu Rajendracoladewa.
3. Pengiriman ekspedisi Pamalayu atas perintah Raja Kertanegara, 1275-
1292, yang diterima dengan baik oleh Raja Melayu
(Jambi), Mauliwarmadewa, semakin melemahkan kedudukan Sriwijaya.
4. Muncul dan berkembangnya kerajaan Islam Samudra Pasai yang
mengambil alih posisi Sriwijaya.

10
5. Serangan Kerajaan Majapahit dipimpin Adityawarman atas perintah
Mahapatih Gajah Mada pada tahun 1377 yang mengakibatkan Sriwijaya
menjadi taklukan Majapahit. Pendudukan yang dilakukan Kerajaan
Majapahit atas seluruh wilayah Sriwijaya pada tahun 1377. Pendudukan
tersebut dalam upaya mewujudkan kesatuan Nusantara.
6. Letak Kota Palembang semakin jauh dari laut. Akibat pengendapan
lumpur yang dibawa oleh Sungai Musi dan sungai lainya, akhirnya Kota
Palembang semakin jauh dari laut.
7. Berkurangnya kapal dagang yang singgah. Akibat semakin jauhnya Kota
Palembang dari laut menyebabkab daerah tersebut tidak strategis lagi.
Kapal-kapal dagang lebih memilih singgah di tempat lain. Hal tersebut
menyebabkan kegiatan perdagangan berkunrang dan pendapatan kerajaan
dari pajak menurun.
8. Banyak daerah yang melepaskan diri dari Sriwijaya. Akibat semakin
melemahnya perekonomian Kerajaan Sriwijaya maka penguasa kerajaan
tidak mampu lagi mengontrol daerah kekuasaanya. Daerah kekuasaan
Kerajaan Sriwijaya yang telah melepaskan diri adalah Jawa Tengah dan
Melayu.

11
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Sriwijaya adalah salah satu kemaharajaan bahari yang pernah berdiri di
pulau Sumatera dan banyak memberi pengaruh di Nusantara dengan daerah
kekuasaan berdasarkan peta membentang dari Kamboja, Thailand Selatan,
Semenanjung Malaya, Sumatera, Jawa Barat dan kemungkinan Jawa Tengah.
Dalam bahasa Sanskerta, sri berarti “bercahaya” atau “gemilang”, dan wijaya
berarti “kemenangan” atau “kejayaan”, maka nama Sriwijaya bermakna
“kemenangan yang gilang-gemilang”.
Bukti awal mengenai keberadaan kerajaan ini berasal dari abad ke-7;
seorang pendeta Tiongkok, I Tsing, menulis bahwa ia mengunjungi Sriwijaya
tahun 671 dan tinggal selama 6 bulan. Selanjutnya prasasti yang paling tua
mengenai Sriwijaya juga berada pada abad ke-7, yaitu prasasti Kedukan Bukit di
Palembang, bertarikh 682. Kemunduran pengaruh Sriwijaya terhadap daerah
bawahannya mulai menyusut dikarenakan beberapa peperangan di antaranya
tahun 1025 serangan Rajendra Chola I dari Koromandel, selanjutnya tahun 1183
kekuasaan Sriwijaya di bawah kendali kerajaan Dharmasraya.

B. Saran
Saran untuk para siswa agar jangan melupakan sejarah bangsa kita, dan
berusaha menjaga dan melestarikan peninggalan sejarah yang ada di Indonesia.

12
DAFTAR PUSTAKA

https://id.wikipedia.org/wiki/Sriwijaya
http://sejarahbudayanusantara.weebly.com/kerajaan-sriwijaya.html
http://kakakpintar.com/sejarah-kerajaan-sriwijaya-peninggalan-pendiri-prasasti-
letak-penyebab-runtuhnya
http://www.portalsejarah.com/sejarah-kerajaan-sriwijaya-kerajaan-maritim-
terbesar.html
http://jagosejarah.blogspot.co.id/2015/06/sejarah-kerajaan-sriwijaya.html
https://doc.lalacomputer.com/makalah-kerajaan-sriwijaya/

13

Anda mungkin juga menyukai