Anda di halaman 1dari 15

Makalah

Sejarah Indonesia

Bab 2. Pedagang, Penguasa dan Pujangga pada Masa Klasik (Hindu-


Buddha)

[Kerajaan Sriwijaya- Kerajaan Singhasari]

SMAN 1 BENGKULU UTARA

Kelas : X IPS 3

Kelompok 6 :

1. Wanda Hamidah

2. Putu Dea Astikarani

3. Dewi Tri Utami

4. Rizakiyah Repa Mumtazah

4. Kerajaan Sriwijaya
Letak kerajaan ini berada di Sumatra Selatan. Dalam bahasa Sansekerta, sri berarti
"bercahaya" dan wijaya berarti "kemenangan" yang berarti Sriwijaya berarti cahaya
kemenangan. Arti kata ini sesuai dengan kondisi Sriwijaya yang terkenal karena
pelayarannya dan luas wilayahnya yang hampir mencakup Asia Tenggara. Bukti awal
mengenai keberadaan kerajaan ini berasal dari abad ke-7 dari seorang Tiongkok bernama I-
Tsing. I Tsing menjelaskan bahwa ia pernah mengunjungi Sriwijaya pada tahun 671. I Tsing
tinggal di kerajaan itu selama 6 bulan lamanya. Oleh karena itulah catatan I Tsing mengenai
Sriwijaya dianggap sumber terpercaya.

Dari catatan sejarawan Arab bisa diketahui bahwa Kerajaan Sriwijaya merupakan kerajaan
yang memiliki tentara sangat banyak. Hasil pertaniannya antara lain, kapur barus, kayu
gaharu, cengkeh, pala, kayu cendana, dan gambir. Hasil pertanian inilah yang
diperdagangkan oleh Sriwijaya dengan kerajaan-kerajaan lain. Dari catatan para pedang
asing diketahui bahwa Sriwijaya merupakan kerajaan besar pada masanya, dengan wilayah
dan relasi dagang yang luas sampai ke Madagaskar. Bukti yang memperkuat hubungan
dagang itu antara lain arca, stupa, maupun prasasti lainnya dari Sriwijaya. Selain itu,
Sriwijaya juga melakukan perdagangan dengan para pedagang Cina, India dan Arab.
Perdagangan itu dilakukan dengan kapal-kapal yang besar.

Selain itu bukti mengenai keberadaan kerajaan Sriwijaya diketahui dari Prasasti Kedukan
Bukit di Palembang, Sumatra, pada 682 M. Prasasti tersebut beraksara Pallawa dengan
bahasa Melayu Kuno. Dalam prasasti itu disebutkan bahwa raja berkunjung ke tempat-
tempat suci di daerah kekuasaannya. Namun pada abad ke-11, Sriwijaya mulai mengalami
kemunduran. Pada tahun 1006 M Kerajaan Medang di bawah pimpinan raja Darmawangsa
menyerang Sriwijaya. Pada 1025 M, Sriwijaya lagi-lagi mendapat serangan dari kerajaan
Cola, India. Hingga awal abad ke-13 M, Sriwijaya masih tetap berdiri, walaupun kekuatan
dan pengaruhnya sudah sangat jauh berkurang. Setelah itu tidak diketahui keberadaan
tentang kerajaan ini.

Setelah kerajaan Sriwijaya runtuh, cerita tentang Sriwijaya belum banyak diketahui.
Namun pada 1992-1993, sejarawan Perancis, George Coedès dari École française d'Extrême-
Orient berhasil membuktikan bahwa pusat Sriwijaya berada di Sungai Musi antara Bukit
Seguntang dan Sabokingking, Sumatra Selatan, Indonesia.Berikut beberapa perkembangan
Kerajaan Sriwijaya, yakni:

A. Faktor pendorong

Faktor-faktor pendorong perkembangan Kerajaan Sriwijaya yang tertulisdi dalam buku


Sejarah Nasional Indonesia (2019) karya Edi Hernadi :

1. Letak geografis

Kerajaan Sriwijaya terletak di daerah lintasan pelayaran dan perdagangan antara Asia Timur,
Asia Selatan.

Pusat pemerintahan Kerajaan Sriwijaya berada Palembang yang terletak di tepi sungai Musi.
Dengan letak yang sangat strategis mendorong para pedagang untuk melakukan kegiatan
perdaganganya.
Selain itu Sriwijaya juga menguasai dua perairan laut penting dalam perdagangan nusantara
yaitu Selat Malaka dan selat Sunda.

Selat tersebut merupakan jalur perdagangan internasional dari China ke India atau
sebaliknya.

Di depan muara sungai Musi terdapat pulau-pulau yang berfungsi sebagai pelindung
pelabuhan di muara sungai Musi.

Kondisi itu sangat tepat untuk kegiatan pemerintahan dan pertahanan Kerajaan Sriwijaya.

• Runtuhnya Kerajaan Funan Vietnam

Runtuhnya Kerajaan Funan di Vietnam terjadi karena serangan dari Kamboja.

Kondisi itu menjadikan kesempatan bagi Kerajaan Sriwijaya untuk cepat berkembang
sebagai negara maritim yang maju.

B. Masa keemasan

Setelah Dapunta Hyang Srijayanagara meninggal, Kerajaan Sriwijaya diperintah oleh


Balaputradewa.

Balaputradewa memerintah Kerajaan Sriwijaya pada abad ke-9. Balaputradewa merupakan


masih keturunan Dinasti Syailendra. Pada masa pemerintahan Balaputradewa, Kerajaan
Sriwijaya mencapai masa keemasan. Dalam prasasti Nalanda, Raja Balaputradewa adalah
raja besar Kerajaan Sriwijaya.

Raja Balaputradewa mendirikan asrama pelajar Sriwijaya yang diperuntukkan anak dari
Sriwijaya yang sedang menuntut ilmu di Nalanda, India.

Pada zaman tersebut India dan Benggala tempat beradanya perguruan Nalanda sedang
dipimpin oleh Raja Dewapaladewa. Agama Buddha pada masa itu juga mengalami
perkembangan pesat.

C. Perkembangan sosial masyarakat

Kehidupan sosial masyarakat Kerajaan Sriwijaya tidak lepas dari perkembangan


perekonomian. Kerajaan Sriwijaya juga menjalin hubungan yang baik dengan kerajaan
sekitarnya.

Hubungan tersebut bertujuan untuk meningkatkan kehidupan sosial masyarakatnya.


Masyarakat juga diberi kesempatan untuk memperoleh pendidikan di Nalanda.

Di Sriwijaya terdapat guru besar seperti Dharmapala dan Sakyakirti.


D. Perkembangan ekonomi

Dengan letak yang strategis membuat ekonomi di Kerajaan Sriwijaya berkembang. Apalagi
sebagai pusat perdagangan terbesar di Asia Tenggara.

Dikutip situs Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (kemendikbud), ramainya


perdagangan di selat Malaka berdampak bagi masyarakat.

Di mana mereka terlibat dalam perdagangan dan pelayaran. Masyarakat pun menjadi
makmur. Singgahnya kapal-kapal asing secara ekonomi sangatlah menguntungkan
bagi kerajaan Sriwijaya.

E. Perkembangan politik dan pemerintahan

Pada masa pemerintahan Dapunta Hyang Srijayanagara, Kerajaan Sriwijaya mulai


berkembang. Di mana melakukan perluasan wilayah ke berbagai daerah. Hal itu tertulis
dalam prasasti Kedukan Bukit dan Talang Tuo. Pada prasasti tersebut ditulis jika Dapunta
Hyang banyak melakukan perluasan wilayah pada abad ke-7. Daerah yang berhasil dikuasai
antara lain:

1. Tulang-Bawang yang terletak di daerah Lampung.

2. Daerah Kedah yang terletak di pantai barat Semenanjung Melayu . Penaklukkan


Kerajaan Sriwijaya terhadap Kedah berlangsung antara 682-685 M.

3. Pulau Bangka yang terletak dipertemuan jalan perdagangan internasional.Daerah


tersebut berhasil dikuasi pada 686 M berdasarkan prasasti Kota Kapur.

4. Daerah Jambi yang terletak di tepi Sungai Batanghari. Penaklukan daerah tersebut
terjadi pada 686 M. Ini dibuktikan lewat prasasti Karang Berahi.

5. Tanah Genting Kra merupakan bagian utara Semenanjung Melayu. Kedudukan Tanah
Genting Kra sangat penting, karena jarak antara pantai barat dan pantai timur sangat
dekat. Penguasaan Tanah Genting Kra diketahui dari prasasti Ligor yang berangka tahun 775
M.

F. Runtuhnya Kerajaan Sriwijaya

Runtuhnya Kerajaan Sriwijaya ketika pemerintahan dipegang oleh Sanggrama


Wijayatunggawarman. Di mana saat itu Kerajaan Sriwijaya mendapat serangan dari Kerajaan
Colomandala, India.
Dalam pertempuran tersebut, Raja Sanggrama sempat ditangkap meskipun kemudian
dibebaskan. Akibat dari serangan Kerajaan Colomandala mengakibatkan kedudukan
Sriwijaya semakin melemah.

Pada 1275 Kerajaan Sriwijaya mendapat serangan dari kerajaan Melayu dan Singosari
dalam rangka ekspedisi Pamalayu.

Kerajaan Sriwijaya mengalami kehancuran akibat serangan kerajaan Majapahit pada tahun
1337. Selain itu kerajaan-kerajaan kecil yang melepaskan diri dari pengaruh Kerajaan
Sriwijaya.

G. Raja-raja Kerajaan Sriwijaya

Raja-raja yang pernah memimpin Kerajaan Sriwijaya:

• Dapunta Hyang Srijayanagara

• Balaputradewa

• Sri Sudamaniwarmadewa

• Marowijayatunggawarman

• Sanggrama Wijayatunggawarman

Berikut beberapa prasasti peninggalan kerajaan Sriwijaya yang ditulis dengan huruf
Pallawa :

1. Prasasti Kedukan Bukit

Pada tanggal 29 November 1920, M. Batenburg menemukan sebuah batu bertulis di


Kampung Kedukan Bukit, Kelurahan 35 Ilir, Palembang-Sumatera Selatan. Prasasti berukuran
45 × 80 cm ini ditulis menggunakan bahasa Melayu Kuno dan aksara Pallawa. Isinya
menceritakan bahwa seorang utusan Kerajaan Sriwijaya bernama Dapunta Hyang telah
mengadakan sidhayarta (perjalanan suci) menggunakan perahu. Dalam perjalanan yang
disertai 2.000 pasukan tersebut, ia telah berhasil menaklukan daerah-daerah lain. Prasasti
peninggalan kerajaan Sriwijaya ini kini disimpan di Museum Nasional Indonesia.

2. Prasasti Talang Tuwo


Informasi yang termuat dalam prasasti Talang Tuwo ditulis menggunakan bahasa Melayu
Kuno dengan Aksara Pallawa. Di dalam prasasti ini terdapat angka tahun, yaitu tahun 606
Saka atau sekitar 684 masehi. Sejak ditemukan, prasasti ini kemudian disimpan di Museum
Nasional Indonesia di Jakarta. Berikut ini 14 baris arti aksara dalam Prasasti Talang Tuwo:

a. Pada tanggal 23 Maret 684 Masehi, pada saat itulah taman ini yang dinamakan
Śrīksetra dibuat di bawah pimpinan Sri Baginda Śrī Jayanāśa. Inilah niat baginda: Semoga
yang ditanam di sini, pohon kelapa, pinang, aren, sagu, dan bermacam-macam pohon,
buahnya dapat dimakan, demikian pula bambu haur, waluh, dan pattum, dan sebagainya;
dan semoga juga tanaman-tanaman lainnya dengan bendungan-bendungan dan kolam-
kolamnya, dan semua amal yang saya berikan, dapat digunakan untuk kebaikan semua
makhluk, yang dapat pindah tempat dan yang tidak, dan bagi mereka menjadi jalan terbaik
untuk mendapatkan kebahagiaan.

b. Jika mereka lapar waktu beristirahat atau dalam perjalanan, semoga mereka
menemukan makanan serta air minum. Semoga semua kebun yang mereka buka menjadi
berlebih (panennya). Semoga suburlah ternak bermacam jenis yang mereka pelihara, dan
juga budak-budak milik mereka. Semoga mereka tidak terkena malapetaka, tidak tersiksa
karena tidak bisa tidur.

c. Apa pun yang mereka perbuat, semoga semua planet dan bintang menguntungkan
mereka, dan semoga mereka terhindar dari penyakit dan ketuaan selama menjalankan
usaha mereka. Dan juga semoga semua hamba mereka setia pada mereka dan berbakti,
lagipula semoga teman-teman mereka tidak mengkhianati mereka dan semoga istri mereka
menjadi istri yang setia. Lebih-lebih lagi, di mana pun mereka berada, semoga di tempat itu
tidak ada pencuri, atau orang yang mempergunakan kekerasan, atau pembunuh, atau
penzinah.

d. Selain itu, semoga mereka mempunyai seorang kawan sebagai penasihat baik; semoga
dalam diri mereka lahir pikiran Boddhi dan persahabatan (…) dari Tiga Ratna, dan semoga
mereka tidak terpisah dari Tiga Ratna itu. Dan juga semoga senantiasa (mereka bersikap)
murah hati, taat pada peraturan, dan sabar; semoga dalam diri mereka terbit tenaga,
kerajinan, pengetahuan akan semua kesenian berbagai jenis; semoga semangat mereka
terpusatkan, mereka memiliki pengetahuan, ingatan, kecerdasan.

e. Lagi pula semoga mereka teguh pendapatnya, bertubuh intan seperti para
mahāsattwa berkekuatan tiada bertara, berjaya, dan juga ingat akan kehidupan-kehidupan
mereka sebelumnya, berindra lengkap, berbentuk penuh, berbahagia, bersenyum, tenang,
bersuara yang menyenangkan, suara Brahmā. Semoga mereka dilahirkan sebagai laki-laki,
dan keberadaannya berkat mereka sendiri; semoga mereka menjadi wadah Batu Ajaib,
mempunyai kekuasaan atas kelahiran-kelahiran, kekuasaan atas karma, kekuasaan atas
noda, dan semoga akhirnya mereka mendapatkan Penerangan sempurna lagi agung.

3. Prasasti Telaga Batu


Prasasti Telaga Batu dipahat pada sebuah batu berjenis Andesit, ukuran prasasti ini
cukup besar. Tingginya mencapai 118 cm, sementara lebarnya 148 cm. Pada bagian atas
prasasti terdapat hiasan 7 ekor kepala ular kobra, sedangkan dibagian bawah tengah
terdapat seperti pancuran atau cerat yang biasa untuk mengalirkan air. Informasi yang
tertulis pada prasasti Telaga Batu menggunakan bahasa Melayu Kuno dengan huruf Pallawa.
Tulisan pada batu jumlahnya sangat banyak dan panjang, yaitu sekitar 28 baris.

Namun garis besar isi Prasasti Telaga Batu berkaitan dengan kutukan terhadap siapa
saja yang melakukan kejahatan di Kerajaan Sriwijaya dan tidak taat terhadap perintah Datu.
Menurut Casparis, ia berpendapat bahwasanya orang-orang yang dimaksud adalah orang
berbahaya yang berpotensi melakukan perlawanan kepada kedatuan Sriwijaya, sehingga
perlu untuk di sumpah.

Orang-orang yang perlu di sumpah yaitu mulai dari rajaputra (putra raja), kumaramatya
(menteri), bhupati (bupati), senapati (panglima), nayaka (tokoh lokal terkemuka), pratyaya
(bangsawan), haji pratyaya (raja bawahan), dandanayaka (hakim), vasikarana (ahli senjata),
catabhata (tentara), marsi haji (pelayan raja) dan masih banyak lagi.

Dibandingkan dengan 4 prasasti kutukan lainnya yang sudah bahas, prasasti Telaga Batu
merupakan yang paling lengkap karena memuat nama -nama pejabat pemerintahan.
Prasasti ini juga menguatkan pendapat bahwasanya pusat kerajaan Sriwijaya berada di kota
Palembang.

4. Prasasti Kota Kapur

Tokoh penemu prasasti ini pertama kali dilaporkan oleh J.K Van Der Meulen, pada bulan
Desember tahun 1892. Fakta menariknya, prasasti Kota Kapur adalah prasasti pertama yang
merupakan peninggalan Kerajaan Sriwijaya.

• Orang pertama yang melakukan penelitian terhadap Prasasti Kota Kapur bernama H. Kern.
Ia merupakan seorang ahli Epigrafi berasal dari Belanda yang bekerja di Bataviaasch
Genootschap. Pada penelitiannya ini, ia menganggap bahwasanya Sriwijaya adalah nama
seorang raja.

• Kemudian tokoh yang berjasa mengungkap bahwasanya Sriwijaya adalah nama sebuah
kerajaan adalah George Coedes. Dari isi prasasti Kota Kapur, ia berhasil mengungkap
bahwasanya Sriwijaya merupakan nama sebuah kerajaan di Pulau Sumatera yang berdiri
pada abad ke 7 M.

• Ia juga menjelaskan bahwa kerajaan Sriwijaya merupakan kerajaan kuat yang pernah
menguasai seluruh wilayah Nusantara bagian barat, beserta semenanjuang Malaya dan
Thailand Selatan.
• Sampai saat ini, prasasti asli kota kapur berada di Museum Rijksmusem (museum kerajaan)
di kota Amsterdam, Belanda dengan status dipinjamkan oleh Museum Nasional Indonesia.
Lalu bagaimana isi naskah asli prasasti Kota Kapur? dan penjelasan terjemahannya?

• Kota Kapur merupakan salah satu dari lima prasasti kutukan yang dibuat oleh penguasa
Kadatuan Sriwijaya, yakni oleh Dapunta Hyang. Berikut ini naskah asli dan terjemahan isi
prasasti kota kapur menurut Coedes, antara lain:

Isi dari prasasti Kota Kapur yang diartikan sebagai beriku :

• Keberhasilan ! (disertai mantra persumpahan yang tidak dipahami artinya)

• Wahai sekalian dewata yang berkuasa, yang sedang berkumpul dan melindungi Kedatuan
Sriwijaya ini; kamu sekalian dewa-dewa yang mengawali permulaan segala sumpah !

• Bilamana di pedalaman semua daerah yang berada di bawah Kadatuan ini akan ada orang
yang memberontak yang bersekongkol dengan para pemberontak, yang berbicara dengan
pemberontak, yang mendengarkan kata pemberontak;

• yang mengenal pemberontak, yang tidak berperilaku hormat, yang tidak takluk, yang tidak
setia pada saya dan pada mereka yang oleh saya diangkat sebagai datu; biar orang-orang
yang menjadi pelaku perbuatan-perbuatan tersebut mati kena kutuk biar sebuah ekspedisi
untuk melawannya seketika di bawah pimpinan datu atau beberapa datu Sriwijaya, dan biar
mereka

• dihukum bersama marga dan keluarganya. Lagipula biar semua perbuatannya yang jahat;
seperti mengganggu :ketenteraman jiwa orang, membuat orang sakit, membuat orang gila,
menggunakan mantra, racun, memakai racun upas dan tuba, ganja,

• saramwat, pekasih, memaksakan kehendaknya pada orang lain dan sebagainya, semoga
perbuatan-perbuatan itu tidak berhasil dan menghantam mereka yang bersalah melakukan
perbuatan jahat itu; biar pula mereka mati kena kutuk. Tambahan pula biar mereka yang
menghasut orang

• supaya merusak, yang merusak batu yang diletakkan di tempat ini, mati juga kena kutuk;
dan dihukum langsung. Biar para pembunuh, pemberontak, mereka yang tak berbakti, yang
tak setia pada saya, biar pelaku perbuatan tersebut

• mati kena kutuk. Akan tetapi jika orang takluk setia kepada saya dan kepada mereka yang
oleh saya diangkat sebagai datu, maka moga-moga usaha mereka diberkahi, juga marga dan
keluarganya

• dengan keberhasilan, kesentosaan, kesehatan, kebebasan dari bencana, kelimpahan


segalanya untuk semua negeri mereka ! Tahun Saka 608, hari pertama paruh terang bulan
Waisakha (28 Februari 686 Masehi), pada saat itulah

• kutukan ini diucapkan; pemahatannya berlangsung ketika bala tentara Sriwijaya baru
berangkat untuk menyerang bhumi jawa yang tidak takluk kepada Sriwijaya.
5. Prasasti Karang Berahi

Prasasti Karang Brahi ditemukan oleh Kontrolir L.M. Berkhout pada tahun 1904 di tepian
Batang Merangin, Dusun Batu Bersurat, Desa Karang Berahi, Kecamatan Pamenang,
Merangin-Jambi. Sama seperti prasasti Telaga Batu, Prasasti Palas Pasemah, dan Prasasti
Kota Kapur, prasasti ini menjelaskan tentang kutukan pada mereka yang berbuat jahat dan
tidak setia pada sang Raja Sriwijaya.

5. Kerajaan Mataram Kuno

Kerajaan Mataram Kuno atau Kerajaan Medang merupakan kerajaan yang didirikan oleh
Rakai Mataram Sang Ratu Sanjaya sekitar abad ke-8. Kerajaan ini diyakni semula
berkembang di wilayah Jawa Tengah dan Yogyakarta pada Abad 8-10 Masehi, dengan
pusatnya ada di poros Kedu-Prambanan. Terdapat beberapa prasasti yang menjadi sumber
informasi penting mengenai sejarah Kerajaan Mataram Kuno. Di antaranya adalah Prasasti
Canggal dan Prasasti Mantyasih. Prasasti Canggala memuat informasi tentang asal usul
Sanjaya yang merupakan anak dari Sanna, seseorang yang berkuasa di tanah Jawa sebelum
berdirinya Kerajaan Mataram Kuno. Selain itu, dalam Prasasti Canggala, terdapat
Candrasengkala menggunakan bahasa Sansekerta dan Huruf Palawa yang berbunyi, Cruti
Indra Rasa. Arti candrasengkala itu ialah angka tahun 654 Cakra atau 732 Masehi.

Dalam perkembangannya, Kerajaan Mataram Kuno dibagi menjadi 2 periode, yaitu


Kerajaan Mataram Kuno masa Jawa Tengah dan Kerajaan Mataram Kuno era Jawa
Timur.

Pada periode Jawa Tengah, Kerajaan Mataram Kuno dipimpin oleh Wangsa Sanjaya
yang berkuasa hingga tahun 732 M dan Wangsa Sailendra yang bertakhta sampai 929 M.
Setelah Dyah Wawa sebagai raja terakhir wafat, Mpu Sindok kemudian memindahkan
Kerajaan Mataram Kuno ke daerah Jawa Timur. Dikutip dari buku Sejarah Indonesia:
Perkembangan Kehidupan Masyarakat Pemerintahan dan Budaya Pasa Masa Kerajaan
Hindu Budha di Indonesia karya Veni Rosfenti (2020:40), tidak diketahui secara pasti
akhir riwayat dari Dyah Wawa. Hanya ada keterangan bahwa raja Kerajaan Mataram
Kuno setelah Dyah Wawa adalah Mpu Sindok. Letusan gunung merapi diduga

menjadi salah satu alasan perpindahan pusat Kerajaan Mataram Kuno ke wilayah Jawat
Timur.

Merujuk buku The Geology of Indonesia karya Rein van Bemmelen (1949), letusan besar
Gunung Merapi pernah terjadi pada tahun 1006 Masehi. Baca juga: Sumber Sejarah Kerajaan
Medang & Letak Mataram Kuno Era Jawa Tengah Sejarah Kerajaan Medang: Masa Jaya &
Candi Peninggalan Mataram Kuno Selain itu, ada sejumlah faktor lain yang diperkirakan
menjadi penyebab pindahnya Kerajaan Mataram Kuno ke Jawa Timur. Dinukil dari buku The
Indianized states of Southeast Asia oleh George Coedes (1968), faktor lain yang
menyebabkan terjadinya perpindahan Kerajaan Mataram Kuno ke Jawa Timur seperti
ancaman serangan Kerajaan Sriwijaya dan wilayah yang kurang mendukung sektor ekonomi.
Lokasi Kerajaan Mataram Kuno setelah dipindahkan oleh Mpu Sindok, diperkirakan berada
di kawasan Tamwlang (sekitar Jombang, Jawa Timur).

Selain memindahkan kerajaan, Mpu Sindok juga mendirikan wangsa baru, yakni Wangsa
Isyana pada 928 Masehi. Saat berkuasa, Mpu Sindok memperoleh gelar Sri Maharaja Rakai
Hino Sri Isana Wikramadharmottunggadewa. Sementara itu, runtuhnya Kerajaan Mataram
Kuno periode Jawa Timur terjadi karena Peristiwa Mahapralaya. Pada peristiwa itu, Raja
Dharmawangsa Teguh sedang menggelar pernikahan putrinya. Hal tersebut tentunya
membuat pasukan Kerajaan Mataram Kuno menjadi lengah. Situasi itu dimanfaatkan oleh Aji
Wurawari dari Lwaram (Cepu), yang merupakan sekutu Kerajaan Sriwijaya, untuk menyerang
Kerajaan Mataram Kuno. Penyerangan tersebut berhasil menewaskan Dharmawangsa Teguh
sekaligus mengakhiri keberadaan Kerajaan Mataram Kuno.

Kehidupan Sosial Kerajaan Mataram Kuno & Sistem Ekonomi Kerajaan Mataram Kuno
merupakan salah satu kerajaan di Jawa yang memiliki corak agraris. Maka itu, mayoritas
penduduk Kerajaan Mataram Kuno memiliki mata pencaharian di sektor pertanian. Bukti
bahwa perekonomian Kerajaan Mataram Kuno ditopang oleh sektor agraris adalah
keterangan dalam prasasti Canggal yang menjelaskan bahwa tanah Jawa kaya akan padi.
Selain itu, wilayah Kerajaan Mataram Kuno memiliki banyak sungai dan dataran subur, baik
saat periode Jawa Tengah maupun Jawa Timur. Kehidupan Sosial-Budaya penduduk Kerajaan
Mataram Kuno juga terbilang maju. Hal tersebut dibuktikan dengan banyaknya peninggalan,
terutama berupa candi.

Contoh 2 candi peninggalan era Mataram Kuno yang hingga kini masih kesohor adalah Candi
Borobudur dan Candi Prambanan. Candi Borobudur terletak Borobudur, Kecamatan
Borobudur, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah. Candi tersebut, didirikan ketika Raja
Samaratungga dari Wangsa Syailendra berkuasa di Mataram Kuno. Candi Borobudhur ialah
bangunan tempat ibadah agama Buddha. Sedangkan Candi Prambanan merupakan
peninggalan Kerajaan Mataram Kuno yang dibangun pada era kekuasaan Rakai Pikatan.
Pembangunan Candi Prambanan dapat diselesaikan ketika Raja Daksa berkuasa. Candi
Prambanan terletak di Kranggan, Bokoharjo, Kecamatan Prambanan, Kabupaten Sleman,
Daerah Istimewa Yogyakarta.

Candi Prambanan banyak terpengaruh corak dari agama Hindu. Sistem sosial-politik
masyarakat Mataram Kuno hingga kini masih terus dipelajari, mengingat terbatasnya
sumber sejarah yang bisa digali informasinya. Adapun merujuk kajian Denys Lombard dalam
Nusa Jawa: Silang Budaya, Sejarah Kajian Terpadu; Jilid III: Warisan Kerajaan-kerajaan
Konsentris (1996), sejumlah prasasti yang berasal dari abad 8 M menunjukkan bahwa
organisasi komunitas desa menjadi fondasi masyarakat Mataram Kuno. Menurut Lombard,
prasasti-prasasti tersebut memperlihatkan bahwa, pada abad 8 M, Jawa Tengah menjadi
arena kontestasi sejumlah penguasa yang berhasil mempersatukan dan menguasai sejumlah
wanua (komunitas desa). Mereka yang berhasil menjadi pemimpin sejumlah wanua
menerima gelar rakai atau rakryan. Mereka membawahi sejumlah rama, pembesar di tingkat
wanua. Federasi regional beberapa wanua itu disebut watak. Nama dari tiap watak akan
disematkan pada rakai yang menjadi pemimpinnya. Sebagai misal, nama Rakai Pikatan
menunjukkan bahwa pemilik gelar itu menjadi penguasa daerah Pikatan. Untuk
meningkatkan prestisnya sebagai penguasa federasi wanua, para rakai kerap berlomba
membangun bangunan-bangunan suci, seperti candi.

Kekuasaan Dinasti Isyana Pertentangan di antara keluarga Mataram, tampaknya terus


berlangsung hingga masa pemerintahan Mpu Sindok pada tahun 929 M. Pertikaian yang
tidak pernah berhenti menyebabkan Mpu Sindok memindahkan ibukota kerajaan dari
Medang ke Daha (Jawa Timur) dan mendirikan dinasti baru yaitu Dinasti Isyanawangsa. Di
samping pertentangan keluarga, pemindahan pusat kerajaan juga dikarenakan kerajaan
mengalami kehancuran akibat letusan Gunung Merapi.

Berdasarkan prasasti, pusat pemerintahan Keluarga Isyana terletak di Tamwlang. Letak


Tamwlang diperkirakan dekat Jombang, sebab di Jombang masih ada desa yang namanya
mirip, yakni desa Tambelang. Daerah kekuasaannya meliputi Jawa bagian timur, Jawa bagian
tengah, dan Bali.Setelah Mpu Sindok meninggal, ia digantikan oleh anak perempuannya
bernama Sri Isyanatunggawijaya. Ia naik takhta dan kawin dengan Sri Lokapala. Dari
perkawinan ini lahirlah putra yang bernama Makutawangsawardana.
Makutawangsawardana naik takhta menggantikan ibunya. Kemudian pemerintahan
dilanjutkan oleh Dharmawangsa Tguh yang memeluk agama Hindu aliran Waisya. Pada masa
pemerintahannya, Dharmawangsa Tguh memerintahkan untuk menyadur kitab Mahabarata
dalam bahasa Jawa Kuno.

Setelah Dharmawangsa Tguh turun takhta ia digantikan oleh Raja Airlangga, yang saat itu
usianya masih 16 tahun. Hancurnya kerajaan Dharmawangsa menyebabkan Airlangga
berkelana ke hutan. Selama di hutan ia hidup bersama pendeta sambil mendalami agama.
Airlangga kemudian dinobatkan oleh pendeta agama Hindu dan Buddha sebagai raja.
Begitulah kehidupan agama pada masa Mataram Kuno. Meskipun mereka berbeda aliran
dan keyakinan, penduduk Mataram Kuno tetap menghargai perbedaan yang ada.Setelah
dinobatkan sebagai raja, Airlangga segera mengadakan pemulihan hubungan baik dengan
Sriwijaya, bahkan membantu Sriwijaya ketika diserang Raja Colamandala dari India Selatan.
Pada tahun 1037 M, Airlangga berhasil mempersatukan kembali daerah-daerah yang pernah
dikuasai oleh Dharmawangsa, meliputi seluruh Jawa Timur. Airlangga kemudian
memindahkan ibu kota kerajaannya dari Daha ke Kahuripan.
Pada tahun 1042, Airlangga mengundurkan diri dari takhta kerajaan, lalu hidup sebagai
pertapa dengan nama Resi Gentayu (Djatinindra). Menjelang akhir pemerintahannya
Airlangga menyerahkan kekuasaanya pada putrinya Sangrama Wijaya Tungga-Dewi. Namun,
putrinya itu menolak dan memilih untuk menjadi seorang petapa dengan nama Ratu
Giriputri Airlangga memerintahkan Mpu Bharada untuk membagi dua kerajaan. Kerajaan itu
adalah Kediri dan Janggala. Hal itu dilakukan untuk mencegah terjadinya perang saudara di
antara kedua putranya yang lahir dari selir. Kerajaan Janggala di sebelah timur diberikan
kepada putra sulungnya yang bernama Garasakan (Jayengrana), dengan ibu kota di
Kahuripan (Jiwana). Wilayahnya meliputi daerah sekitar Surabaya sampai Pasuruan, dan
Kerajaan Panjalu (Kediri). Kerajaan Kediri di sebelah barat diberikan kepada putra bungsunya
yang bernama Samarawijaya (Jayawarsa) dengan ibu kota di Kediri (Daha), meliputi daerah
sekitar Kediri dan Madiun.
Kerajaan Kediri adalah kerajaan pertama yang mempunyai sistem administrasi kewilayahan
negara berjenjang. Hierarki kewilayahan dibagi atas tiga jenjang. Struktur paling bawah
dikenal dengan thani (desa). Desa ini terbagi menjadi bagian-bagian yang lebih kecil lagi yang
dipimpin oleh seorang duwan. Setingkat lebih tinggi di atasnya disebut wisaya, yaitu
sekumpulan dari desa-desa. Tingkatan paling tinggi yaitu negara atau kerajaan yang disebut
dengan bhumi.

6. Kerajaan Kediri
Kehidupan politik pada bagian awal di Kerajaan Kediri ditandai dengan perang saudara
antara Samarawijaya yang berkuasa di Panjalu dan Panji Garasakan yang berkuasa di
Jenggala.Pada tahun 1052 M terjadi peperangan perebutan kekuasaan di antara kedua belah
pihak. Tahun 1117 M Bameswara tampil sebagai Raja Kediri. Prasasti yang ditemukan, antara
lain Prasasti Padlegan (1117 M) dan Panumbangan (1120 M). Isinya yang penting tentang
pemberian status perdikan untuk beberapa desa.

Pada tahun 1135 M tampil raja yang sangat terkenal, yakni Raja Jayabaya. la
meninggalkan tiga prasasti penting, yakni Prasasti Hantang atau Ngantang (1135 M), Talan
(1136 M) dan Prasasti Desa Jepun (1144 M). Prasasti Hantang memuat tulisan panjalu jayati,
artinya panjalu menang. Hal itu untuk mengenang kemenangan Panjalu atas Jenggala.
Jayabaya telah berhasil mengatasi berbagai kekacauan di kerajaan Di kalangan masyarakat
Jawa, nama Jayabaya sangat dikenal karena adanya Ramalan atau Jangka Jayabaya.

Pada masa pemerintahan Jayabaya telah digubah Kitab Baratayuda oleh Mpu Sedah dan
kemudian dilanjutkan oleh Mpu Panuluh. Perkembangan Politik, Sosial, dan Ekonomi Sampai
masa awal pemerintahan Jayabaya, kekacauan akibat pertentangan dengan Janggala terus
berlangsung Baru pada tahun 1135 M Jayabaya berhasil memadamkan kekacauan itu.
Sebagai bukti, adanya kata-kata panjalu jayati pada Prasasti Hantang. Setelah kerajaan stabil,
Jayabaya mulai menata dan mengembangkan kerajaannya.

Kehidupan Kerajaan Kedin menjadi teratur. Rakyat hidup makmur. Mata pencaharian yang
penting adalah pertanian dengan hasil utamanya padi Pelayaran dan perdagangan juga
berkembang. Hal ini ditopang oleh Angkatan Laut Kedin yang cukup tangguh Armada laut
Kedin mampu menjamin keamanan perairan Nusantara. Di Kediri telah ada Senopati
Sarwajala (panglima angkatan laut). Bahkan Sriwijaya yang pernah mengakui kebesaran
Kedin, yang telah mampu mengembangkan pelayaran dan perdagangan. Barang
perdagangan di Kediri antara lain emas, perak, gading, kayu cendana, dan pinang.

Di bidang kebudayaan, yang menonjol adalah perkembangan seni sastra dan pertunjukan
wayang. Di Kediri dikenal adanya wayang panji Beberapa karya sastrayang terkenal, sebagai
berikut.
1. Kitab Baratayuda

Kitab Baratayudha ditulis pada zaman Jayabaya, untuk memberikan gambaran


terjadinya perang saudara antara Panjalu melawan Jenggala. Perang saudara itu
digambarkan dengan perang antara Kurawa dengan Pandawa yang masing-masing
merupakan keturunan Barata.
2. Kitab Kresnayana

Kitab Kresnayana ditulis oleh Mpu Triguna pada zaman Raja Jayaswara Isinya
mengenal perkawinan antara Kresna dan Dewi Rukmini

3. Kitab Smaradahana

Kitab Smaradahana ditulis pada zaman Raja Kameswari oleh Mpu Darmaja. Isinya
menceritakan tentang sepasang suami Istri Smara dan Rati yang menggoda Dewa Syiwa yang
sedang bertapa. Smara dan Rail kena kutuk dan mati terbakar oleh api (dahana) karena
kesaktian Dewa Sylwa. Akan tetapi, kedua suami istri itu dihidupkan lagi dan menjelma
sebagai Kameswara dan permaisurinya.

4. Kitab Lubdaka

Kitab Lubdaka ditulis oleh Mpu Tanakung pada zaman Raja Kameswara.
Isinya tentang seorang pemburu bernama Lubdaka, la sudah banyak membunuh. Pada suatu
ketika la mengadakan pemujaan yang istimewa terhadap Syiwa, sehingga rohnya yang
semestinya masuk neraka, menjadi masuk surga.Raja yang terakhir di Kerajaan Kediri adalah
Kertajaya atau Dandang Gendis Pada masa pemerintahannya, terjadi pertentangan antara
raja dan para pendeta atau kaum brahmana,karena Kertajaya berlaku sombong dan berani
melanggar adat.

7. Kerajaan Singhasari

Kerajaan Singasari atau disebut juga Kerajaan Tumapel, adalah sebuah kerajaan bercorak
Hindu-Buddha yang didirikan oleh Ken Arok atau disebut juga Ken Angrok pada 1222.
Sejarah kerajaan ini terkait erat dengan sosok Ken Angrok yang mendirikan Wangsa Rajasa
dan Kerajaan Tumapel. Kertanegara menginginkan wilayah Singhasari hingga meliputi
seluruh Nusantara. Beberapa daerah berhasil ditaklukkan, misalnya Bali, Kalimantan Barat
Daya, Maluku, Sunda, dan Pahang. Penguasaan daerah-daera inih di luar Jawa yang
merupakan pelaksanaan politik luar negeri bertujuan untuk mengimbangi pengaruh Kubilai
Khan dari Cina.Untuk menciptakan pemerintahan yang kuat dan teratur, Kertanegara telah
membentuk badan-badan pelaksana. Raja sebagai penguasa tertinggi. Kemudian raja
mengangkat tim penasihat yang terdiri atas Rakryan i Hino, Rakryan i Sirikan, dan Rakryan i
Halu.Pada masa pemerintahan Kertanegara, agama Hindu maupun Buddha berkembang
dengan baik. Bahkan terjadi Sinkretisme antara agama Hindu dan Buddha, menjadi bentuk
Syiwa-Buddha. Sebagai contoh, berkembangnya aliran Tantrayana. Kertanegara sendiri
penganut aliran Tantrayana
Raja-Raja yang Memerintah Singhasari yaitu:

1.Ken Arok (1222 – 1227 M)

Setelah berakhirnya Kerajaan Kediri, kemudian berkembang Kerajaan Singhasari. Pusat


Kerajaan Singhasari kira-kira terletak di dekat Kota Malang, Jawa Timur. Kerajaan ini
didirikan oleh Ken Arok. Ken Arok berhasil tampil sebagai raja, walaupun ia berasal dari
kalangan rakyat biasa. Menurut kitab Pararaton, Ken Arok adalah anak seorang petani dari
Desa Pangkur, di sebelah timur Gunung Kawi, daerah Malang. Ibunya bernama Ken
Endok.pada waktu masih bayi, Ken Arok diletakkan oleh ibunya di sebuah makam. Bayi ini
kemudian ditemukan oleh seorang pencuri, bernama Lembong. Akibat dari didikan dan
lingkungan keluarga pencuri, maka Ken Arok tumbuh menjadi seorang penjahat yang sering
menjadi buronan pemerintah Kerajaan Kediri. Suatu ketika Ken Arok berjumpa dengan
pendeta Lohgawe. Ken Arok mengatakan ingin menjadi orang baik-baik. Kemudian dengan
perantaraan Lohgawe, Ken Arok diabdikan kepada seorang Akuwu (bupati) Tumapel,
bernama Tunggul Ametung.

2.Anusapati Tahun 1227 M.

Anusapati naik takhta Kerajaan Singhasari. Ia memerintah selama 21 tahun. Akan tetapi, ia
belum banyak berbuat untuk pembangunan kerajaan.Lambat laun berita tentang
pembunuhan Ken Arok sampai pula kepada Tohjoyo (putra Ken Arok). Oleh karena ia
mengetahui pembunuh ayahnya adalah Anusapati, maka Tohjoyo ingin membalas dendam,
yaitu membunuh Anusapati.

3.Tohjoyo (1248 M)

Setelah berhasil membunuh Anusapati, Tohjoyo naik takhta. Masa pemerintahannya sangat
singkat, Ronggowuni yang merasa berhak atas takhta kerajaan, menuntut takhta kepada
Tohjoyo. Ronggowuni dalam hal ini dibantu oleh Mahesa Cempaka, putra dari Mahesa
Wongateleng. Menghadapi tuntutan ini, maka Tohjoyo mengirim pasukannya di bawah
Lembu Ampal untuk melawan Ronggowuni. Kemudian terjadi pertmpuran antara pasukan
Tohjoyo dengan pengikut Ronggowuni. Dalam pertmpuran tersebut Lembu Ampal berbalik
memihak Ronggowuni.

4.Ronggowuni (1248 - 1268 M)

Ronggowuni naik takhta Kerajaan Singhasari tahun 1248 M. Ronggowuni bergelar Sri Jaya
Wisnuwardana. Dalam memerintah ia didampingi oleh Mahesa Cempaka yang
berkedudukan sebagai Ratu Anggabaya. Mahesa Cempaka bergelar Narasimhamurti. Di
samping itu, pada tahun 1254 M Wisnuwardana juga mengangkat putranya yang bernama
Kertanegara sebagai raja muda atau Yuwaraja. Pada saat itu Kertanegara masih sangat
muda.
5.Kertanegara (1268 - 1292 M)

Tahun 1268 M Kertanegara naik takhta menggantikan Ronggowuni. Ia bergelar Sri


Maharajadiraja Sri Kertanegara. Kertanegara merupakan raja yang paling terkenal di
Singhasari. Ia bercita-cita, Singhasari menjadi kerajaan yang besar. Untuk mewujudkan cita-
citanya, maka Kertanegara melakukan berbagai usaha.

Anda mungkin juga menyukai