Enam buah prasasti yang ditemukan di beberapa tempat banyak bercerita tentang
menggunakan huruf Pallawa, sedangkan bahasa yang digunakan adalah bahasa asli Indonesia,
yaitu bahasa Melayu kuno. Enam buah prasasti dan beberapa prasasti dari abad ke VII dan ke
Pada awalnya Sriwijaya berpusat di Sumatera Tengah. Dari daerah sekitar Jambi itu,
Sriwijaya mulai melebarkan sayapnya ke arah timur. Sesudah itu perluasan wilayah ditujukan
ke arah selatan, yakni ke daerah-daerah sekitar pulau Bangka dan Lampung Selatan. Selain
itu, Sriwijaya juga melebarkan sayapnya ke pulau Jawa. Jawa merupakan saingan utama
Sriwijaya dalam pelayaran dan perdagangan luar negeri jalur Indonesia – Cina - India.
Prasasti Kedukan Bukit yang berangka tahun 605 Saka (683 M) (di wilayah
Palembang) menceritakan bahwa seorang raja Sriwijaya bernama Dapunta Hyang telah
mengadakan perjalanan suci itu disebut-sebut sebagai siddhayatra. Perjalanan ini bermaksud
untuk menaklukkan beberapa daerah agar tunduk pada Sriwijaya. Berkat perjalanan suci yang
Kata Sriwijaya dijumpai pertama kali di dalam prasasti Kota Kapur dari pulau
Bangka. Berdasarkan telaah prasasti kota ini H. Kern pada tahun 1913, mengidentifikasikan
Lima tahun kemudian, yaitu tahun 1918, G. Coedès dengan menggunakan sumber-
sumber prasasti dan berita Cina berhasil menjelaskan bahwa kata Sriwijaya yang terdapat
dalam prasasti Kota Kapur adalah nama sebuah kerajaan di Sumatera Selatan dengan
pusatnya di Palembang. Di dalam berita Cina, kerajaan ini dikenal dengan She-li-fo-she.
Pendapat bahwa She-li-fo-she adalah sebuah kerajaan di pantai timur Sumatera Selatan, di
tepi sungai Musi, dekat Palembang, juga pernah dikemukakan oleh Samuel Beal pada tahun
Banyak versi yang menyebutkan mengenai keberadaan ibu kota Sriwijaya. Ada yang
mengatakan di Jambi, ada pula yang mengatakan di Palembang. Namun di sini yang paling
banyak memiliki bukti sebagai Ibu Kota Sriwijaya atau pusat pemerintahan adalah
Palembang. Dari berita i-ts’sing, di sini beliau pernah melakukan perjalanan bersama Wu-
hing dari Fo-shih ke India melalui pelabuhan Melayu, maka letak Fo-shih harus di sebelah
tenggara pelabuhan Melayu, karena tidak mungkin ada di sebelah baratnya. Satu-satunya
pelabuhan di sebelah tenggara Jambi adalah muara sungai Musi. Demikianlah, Fo-shis harus
terletak di muara sungai Musi. Nama Palembang pada zaman I-ts’ing belum terkenal.
kita lihat bahwa bayang-bayang di Walcakra tidak menjadi panjang ataupun menjadi pendek
pada pertengahan bulan ke delapan. Pada tengah hari tak tampak bayang-bayang orang
berdiri di bawah matahari. Lain halnya kalau musim semi. Matahari tepat di atas kepala dua
kali satu tahun. Kalau matahari di sebelah selatan, bayang-bayang membujur ke utara,
panjangnya kurang lebih dua atau tiga kaki. Kalau matahari di sebelah utara, bayang-
bayangnya sama, tapi jatuh keselatan.” Dari berita itu dapat ditarik kesimpulan bahwa Shih-
Dari situ dapat disimpulkan bahwa Sriwijaya terletak di tepi sungai, di sebelah
tempat yang memenuhi syarat tersebut adalah muara sungai Musi di daerah Palembang. Bukti
lain adalah di temukanya arca Budha Mahayana dan Hinayana di Palembang sebagai pusat
kerajaan Sriwijaya.
Bukti lainnya adalah Prasasti Kedukan Bukit merupakan prasasti tertua yang
berangka tahun yang ditemukan di Indonesia. Bahkan dalam prasasti ini terdapat tiga
pertanggalan dalam satu angka tahun 682 M. Prasasti ini dikenal juga dengan nama Prasasti
Sriwijaya I. dari ketiga pertanggalan ini, diketahui ada tenggang waktu antara satu peristiwa
dengan peristiwa lain. Antara Dapunta Hiyana “mengambil Siddhayatra” dan merayakan hari
Waisak dengan Dapunta Hiyan bertolak dari Minana, ada tenggang waktu 26 hari. Tenggang
waktu yang lain adalah antara tanggal 19 Mei 682 M dan tanggal 16 Juni 682 M selama 28
hari. Selama itu, Dapunta Hiyan dan pasukannya melakukan perjalanan darat dan air sambil
(dalam Utomo, 2006:140) menduga bahwa wanua (perkampungan) Sriwijaya terletak di kota
Palembang sekarang. Secara garis besar Prasasti Kedukan Bukit yang ditulis pada tanggal 16
Juni 682 M berisi tentang keberhasilan perjalanan Dapunta Hiyan (Ronkel (1974), dalam
Utomo,2006:140).
Prasasti lain yang menguatkan dugaan bahwa Palembang merupakan kota Sriwijaya
adalah Prasasti Talang Tuo dan Prasasti Telaga Batu. Prasasti Talang Tuo berisi tentang
pembangunan Taman Sriksetra atas perintah Dapunta Hiyan Sri Jayanasa pada tanggal 23
Maret 684 M. Logikanya, taman yang dibangun oleh Dapunta Hiyan itu adalah taman
kerajaan dan seharusnya ditempatkan dekat pusat kadatuannya. Secara fungsional, taman
keraton.
Prasasti Telaga Batu, seperti halnya prasasti-prasasti lain yang ditemukan di luar
Palembang, adalah prasasti persumpahan. Kalau di dalam prasasti yang ditemukan di luar
kadatuan, maka di dalam Prasasti Telaga Batu disebutkan nama-nama jabatan dan pegawai
pemerintah dalam struktur birokrasi Kadatuan Sriwijaya. Pejabat-pejabat dan pegawai inilah
yang disumpah oleh Datu Sriwijaya dengan tujuan agar tidak melakukan pemberontakan.
Sudah sepantasnya prasasti ini ditempatkan di pusat pemerintahan, karena di pusat itulah
Fokus utama terkait kehidupan politik Kerajaan Sriwijaya yaitu wilayah kekuasaan, raja-raja
yang memerintah, dan hubungan dengan kerajaan lain baik dalam dan luar negeri.
Berdasarkan bukti yang ada dari isi prasasti Leiden, Kerajaan Sriwijaya telah melakukan
kerjasama dengan kerajaan Chola di India. Hubungan baik dengan kerajaan tersebut ditandai
dengan pengiriman pendeta dari Sriwijaya ke India dan pembuatan Biara untuk pendeta
tersebut. Selanjutnya, berikut ini raja-raja yang perah berkuasa di Kerajaan Sriwijaya,
meliputi :
Sriwijaya. Namanya terdapat dalam Prasasti Kedukkan Bukit dan Talang Tuo. Saat
maritim terbesar.
masehi.
Selain kedua raja kerajaan Sriwijaya diatas, ternyata masih banyak raja-raja lain. Namun,
sumber mengenai kehidupan politik kerajaan Sriwijaya pada masa raja-raja lainnya kurang
lengkap. Nama raja-raja tersebut seperti Sri Indra Waraman 724 M (berasal dari berita
China), Rudrawikrama 727 (berita China), Wishnu 775 M (Prasasti Ligor), Maharaja 851 M
(Prasasti Leiden), dan Sri Sanggarama Wijayatunggawarman 1044 (dalam prasasti Chola).
(Nusantara saat itu) dan sebagian wilayah di Asia Tenggara. Namun pusat pemerintahannya
di daerah yang sekarang menjadi kota Palembang. Sriwijaya juga berhasil menaklukkan
diperjual belikan kepada para pedagang asing yang singgah. Hal ini didukung dengan letak
yang sangat strategis sebagai jalur perdagangan Internasional. Hasil bumi dari pertanian
tersebut mendongkrak kegiatan perdagangan, akibatnya banyak pedagang dari China dan
Faktor lain pendukung kegiatan ekonomi adalah berhasilnya Sriwijaya menguasai wilayah-
wilayah strategis di sekitarnya seperti Selat Sunda, Selat Malaka, Laut Natuna dan Laut Jawa.
Dikuasainya daerah-daerah tersebut tidak terlepas dari kekuatan armada laut Kerajaan
Kehidupan sosial masyarakat di Kerajaan Sriwijaya berbaur dengan para pedagang dari luar,
karena saat itu wilayah tersebut merupakan pelabuhan bagi kapal-kapal asing yang singgah.
Kemungkinan bahasa yang berkembang adalah bahasa melayu kuno, mereka menggunakan
penggunaan nama-nama khas India dan pengaruh agama Hindu-Budha semakin menyebar
menyeluruh, baik masyarakat maupun di dalam kerajaan. I Tsing, orang China yang pernah
singgah di Kerajaan Sriwijaya juga menjelaskan bahwa banyak para pendeta dari luar yang
berdatangan untuk berguru/belajar bahasa Sanskerta dan mempelajari kitab suci agama
Budha.
dirangkai menurut alur waktu dari abad ke-7 sampai menjelang runtuhnya
Raja Dapunta Hyang Sri Jayanaga telah menuliskan Prasasti Keduka Bukit , Talang
Tuo (684 M), dan Kota Kapur. Selain itu, Dapunta Hyang Sri Jayanaga
9. Sri Wuja atau Sri Udayadityan (961 M). Selama kepemimpinannya, Raja
M.//
15. Sri Deva (1028 M). Selama kepemimpinannya, Raja Sri Deva mengirimkan
17. Sri Maharaja (1156 M). Selama kepemimpinannya, Raja Sri Maharaja
Di sekitar tahun 425, agama Buddha sudah diperkenalkan di Sriwijaya lebih tepatnya di Palembang dan sudah
banyak para peziarah serta peneliti dari berbagai negara di Asia seperti pendeta Tiongkok I Ching yang
berkunjung ke Sumatera dalam perjalanan studinya ke universitas Nalanda. Ia menulis jika Sriwijaya menjadi
rumah bagi ribuan sarjana Budha. Berikut ini kami berikan ulasan mengenai peninggalan Kerajaan Sriwijaya
secara lengkap, silahkan dilihat dibawah ini.
Sampai tahun 2012, Prasasti Kota Kapur ini masih ada di Rijksmuseum yang merupakan Museum Kerajaan
Amsterdam, Belanda dengan status dipinjamkan oleh Museum Nasional Indonesia. Prasasti Kota Kapur ini
ditemukan lebih dulu sebelum prasasti Kedukan Bukit serta Prasasti Talang Tuwo. Dari Prasasti ini Sriwijaya
diketahui sudah berkuasa atas sebagian wilayah Sumatera, Lampung, Pulau Bangka dan juga Belitung. Dalam
Prasasti ini juga dikatakan jika Sri Jayasana sudah melakukan ekspedisi militer yakni untuk menghukum Bhumi
Jawa yang tidak mau tunduk dengan Sriwijaya. Peristiwa ini terjadi hampir bersamaan dengan runtuhnya
Taruma di Jawa bagian Barat dan juga Kalingga atau Holing di daerah Jawa bagian Tengah yang kemungkinan
terjadi karena serangan dari Sriwijaya. Sriwijaya berhasil tumbuh serta memegang kendali atas jalur
perdagangan maritim di Selat Malaka, Laut Cina Selatan, Selat Sunda, Laut Jawa serta Selat Karimata.
2. Prasasti Ligor
Pada bagian atas prasasti ada hiasan 7 buah kepala ular kobra serta di bagian tengah terdapat pancuran tempat
mengalirnya air pembasuh. Tulisan pada prasasti ini memiliki 28 baris dengan huruf Pallawa dan memakai
bahasa Melayu Kuno. Secara garis besar, isi dari tulisan ini adalah tentang kutukan untuk mereka yang berbuat
kejahatan di kedatuan Sriwijaya dan tidak mematuhi perintah dari datu. Casparis lalu mengemukakan pendapat
jika orang yang termasuk berbahaya dan juga bisa melawan kedatuan Sriwijaya perlu untuk disumpah yakni
putra raja (rājaputra), menteri (kumārāmātya), bupati (bhūpati), panglima (senāpati), Pembesar/tokoh lokal
terkemuka (nāyaka), bangsawan (pratyaya), raja bawahan (hāji pratyaya), hakim (dandanayaka), ketua
pekerja/buruh (tuhā an vatak = vuruh), pengawas pekerja rendah (addhyāksi nījavarna), ahli senjata
(vāsīkarana), tentara (cātabhata), pejabat pengelola (adhikarana), karyawan toko (kāyastha), pengrajin
(sthāpaka), kapten kapal (puhāvam), peniaga (vaniyāga), pelayan raja (marsī hāji), dan budak raja (hulun hāji).
Prasasti ini menjadi prasasti kutukan lengkap sebab juga dituliskan nama pejabat pemerintahan dan menurut
dugaan beberapa ahli sejarah, orang yang terulis di dalam prasasti juga tinggal di Palembang yang merupakan
ibukota kerajan. Sedangkan Soekmono beranggapan jika tidak mungkin Sriwijaya berasal dari Palembang sebab
adanya kutukan kepada siapa pun yang tidak patuh pada kedatuan dan juga mengusulkan Minanga seperti yang
tertulis pada prasasti Kedukan Bukit yang diasumsikan berada di sekitar Candi Muara Tikus ibukota Sriwijaya.
Dari Prasasti Kedukan Bukit ini diperoleh data yakni Dapunta Hyang yang berangkat dari Minanga lalu
menaklukan kawasan dimana ditemukan prasasti tersebut yakni Sungai Musi, Sumatera Selatan. Dengan
kemiripan bunyi, maka ada juga yang beranggapan jika Minanga Tamwan merupakan Minangkabau yaitu
eilayah pegunungan di hulu Sungai Batanghari. Sebagian lagi berpendapat jika Minanga tidak sama seperti
Melayu dan kedua wilayah tersebut berhasil ditaklukan oleh Dapunta Hyang. Sedangkan Soekmono
beranggapan jika Minanga Tamwan berarti pertemuan 2 sungai sebab tawan memiliki arti temuan yaitu
pertemuan dari Sungai Kampar Kanan dengan Sungai Kampar Kiri di Riau yang merupakan wilayah di sekitar
Candi Muara Tikus.
Sebagian lagi berpendapat jika Minanga berubah tutur menjadi Binanga yakni sebuah kawasan yang ada di hilir
Sungai Barumun, Sumatera Utara, sedangkan pendapat lainnya beranggapan jika armada yang dipimpin
Jayanasa berasal dari luar Sumatera yaitu Semenanjung Malaya. Dalam bukunya, Kiagus Imran Mahmud
menuliskan jika Minanga tidak mungkin berarti Minangkabau sebab istilah ini baru ada sesudah masa Sriwijaya
dan ia juga berpendapat jika Minanga yang dimaksud merupakan pertemuan dari 2 sungai di Minanga yaitu
Sungai Komering dan juga Lebong, Tulisan Matayap memang tidak terlalu jelas sehingga mungkin yang
dimaksud adalah Lengkayap yakni sebuah daerah di Sumatera Selatan.
Pada kaki Bukit Seguntang tepi bagian utara Sungai Musi, Louis
Constant Westenenk yang merupakan seorang residen Palembang menemukan sebuah Prasasti pada 17
November 1920. Prasasti yang disebut dengan Talang Tuwo ini berisi tentang doa dedikasi yang menceritakan
aliran Budha yang dipakai pada masa Sriwijaya kala itu merupakan aliran Mahayana dan ini dibuktikan dengan
penggunaan kata khas aliran Budha Mahayana seperti Vajrasarira, Bodhicitta, Mahasattva serta
annuttarabhisamyaksamvodhi.
Prasasti ini masih dalam keadaan yang baik dan ditulis pada bidang datar berukuran 50 cm x 80 cm berangka
606 Saka atau 23 Maret 684 Masehi berbahasa Melayu Kuno dan ditulis dengan aksara Pallawa. Prasasti ini
memiliki 14 baris kalimat dan sarjana pertama yang sudha berhasil menerjemahkan prasasti tersebut adalah Van
Ronkel serta Bosh yang sudah dimuat pada Acta Orientalia. Prasasti ini kemudian disimpan pada Museum
Nasional Jakarta mulai tahun 1920. Prasasti ini menceritakan tentang pembangunan taman oleh Raja Sriwijaya
yakni Sri Jayanasa yang dibuat untuk rakyat pada abad ke-7. Dalam prasasti tertulis jika taman berada di tempat
dengan pemandangan sangat indah dan lahan yang dipakai memiliki bukit serta lembah. Pada dasar lembah juga
mengalir sungai menuju Sungai Musi. Taman ini dinamakan Taman Sriksetra yang juga ada dalam prasasti.
Dalam Prasasti Talang Tuwo ini dituliskan niat dari Baginda yakni, Semoga yang ditanam di sini, pohon kelapa,
pinang, aren, sagu, dan bermacam-macam pohon, buahnya dapat dimakan, demikian pula bambu haur, waluh,
dan pattum, dan sebagainya; dan semoga juga tanaman-tanaman lainnya dengan bendungan-bendungan dan
kolam-kolamnya, dan semua amal yang saya berikan, dapat digunakan untuk kebaikan semua mahluk, yang
dapat pindah tempat dan yang tidak, dan bagi mereka menjadi jalan terbaik untuk mendapatkan
kebahagiaan.” “Jika mereka lapar waktu beristirahat atau dalam perjalanan, semoga mereka menemukan
makanan serta air minum. Semoga semua kebun yang mereka buka menjadi berlebih (panennya). Semoga
suburlah ternak bermacam jenis yang mereka pelihara, dan juga budak-budak milik mereka.” “Semoga mereka
tidak terkena malapetaka, tidak tersiksa karena tidak bisa tidur. Apa pun yang mereka perbuat, semoga semua
planet dan rasi menguntungkan mereka, dan semoga mereka terhindar dari penyakit dan ketuaan selama
menjalankan usaha mereka.” Dan juga semoga semua hamba mereka setia pada mereka dan berbakti, lagi pula
semoga teman-teman mereka tidak mengkhianati mereka dan semoga istri mereka bagi istri yang setia. Lebih-
lebih lagi, di mana pun mereka berada, semoga di tempat itu tidak ada pencuri, atau orang yang mempergunakan
kekerasan, atau pembunuh, atau penzinah dan seterusnya.
8. Prasasti Leiden
Prasasti Leiden juga menjadi peninggalan bersejarah Kerajaan Sriwijaya yang ditulis pada lempengan tembaga
dalam bahasa Sansekerta serta Tamil dan pada saat ini Prasasti Leiden ada di museum Belanda dengan isi yang
menceritakan tentang hubungan baik dari dinasti Chola dari Tamil dengan dinasti Sailendra dari Sriwijaya, india
Selatan.
9. Prasasti Berahi
Pak Natsir mengemukakan pendapat jika Prasasti Karang berahi ditemukan pada lokasi berdekatan dengan
struktur bata kuno yang sekarang digunakan sebagai lokasi pemakaman. Dari cerita di Dusun Batu Bersurat,
dulu Prasasti Karangberahi ditemukan oleh cucu Temenggung Lakek pada tahun 1727 yang dimana pada masa
tersebut, Dusun Batu Bersurat disebut dengan Dusun Tanjung Agung. Anak Temenggung Lakek yang bernama
Jariah lalu membawa batu Prasasti Karangberahi ke masjid Asyobirin di dekat aliran Batang Merangin dan pada
masa Belanda, Batu Prasasti dipindahkan ke Kota Bangko dan ditempatkan di halaman kantor residen yang saat
ini digunakan sebagai Kantor Dinas Budpar Kabupaten Merangin. Saat masa penjajahan Jepang, masyarakat
Karang Berahi minta agar batu tersebut dikembalikan ke Desa Karang Berahi dan dikabulkan oleh Jepang yang
kemudian dikembalikan ke lingkungan masjid Asobirin di tepi Batang Merangin.
Arsitektur dari Candi Muara Takus ini sangat unik sebab tidak ditemukan pada wilayah Indonesia yang lain dan
memiliki kesamaan bentuk dengan Stupa Budha di Myanmar, Vietnam serta Sri Lanka sebab pada stupa
mempunyai ornamen roda serta kepala singa yang hampir ditemukan juga di semua kompleks Candi Muara
Takus.
Dalam kompleks candi ini terdapat 9 buah candi yang baru mengalami proses pemugaran yakni Gedong Satu,
Kembar Batu, Kotomahligai, Gedong Dua, Tinggi, Gumpung, Candi Astano, Kembang Batu, Telago Rajo dan
juga Kedaton. Dalam kompleks Candi Muaro Jambi tidak hanya ditemukan beberapa buah candi saja, namun
juga ditemukan parit atau kanal kuno buatan manusia, kolam penampungan air dan juga gundukan tanah yang
pada bagian dalamnya terdapat struktur bata kuno. Dalam kompleks candi ini setidaknya terdapat 85 buah
menapo yang dimiliki oleh penduduk setempat.
Candi Bahal, Candi Portibi atau Biaro Bahal merupakan kompleks candi
Buddha dengan aliran Vajrayana yang ada di Desa Bahal, kecamatan Padang Bolak, Portibi, Kabupaten Padang
Lawas, Sumatera Utara.
Candi ini terbuat dari material bata merah yang pada bagian kaki candi terdapat hiasan berupa papan berkeliling
dengan ukiran tokoh yaksa berkepala hewan yang sedang menari. Wajah penari tersebut memakai topeng hewan
seperti upacara di Tibet dan diantara papan tersebut ada hiasan berupa ukiran singa yang sedang duduk.
Candi ini juga sangat cocok untuk dijadikan destinasi saat anda berkunjung ke sumatera karena keindahannya
yang sangat mencolok. Selain itu anda juga dapat melestarikan budaya di indonesia.
Ternyata Kerajaan sebesar Sriwijaya juga bisa mengalami keruntuhan, nah lantas faktor-
faktor apa saja yang menyebabkan keruntuhan kerajaan maritim yang sangat besar ini? mari
kita simak
Setelah Raja Balaputradewa wafat, tidak ada raja yang cakap untuk memerintah Kerajaan
Sriwijaya. Hal tersebut menyebabkan Kerajaan Sriwijaya semakin mengalami kemunduran.
http://fadlinobita.blogspot.com
Akibat pengendapan lumpur yang dibawa oleh Sungai Musi dan sungai lainya, akhirnya
Kota Palembang semakin jauh dari laut.
3. Berkurangnya kapal dagang yang singgah
Serangan yang dilakukan oleh Raja Teguh Darmawangsa dari Kerajaan Medang atas
wilayah Sriwijaya bagian selatan pada tahun 992.
Serangan yang dilakukan oleh Kerajaan Colamandala dari India Selatan atas
Semenanjung Malaka pada tahun 1017.
Pendudukan yang dilakukan oleh Raja Kertanegara dari Singosari atas wiayah Melayu
pada tahun 1270. Pendudukan ini dikenal sebagai Ekspedisi Pamalayu.
Pendudukan yang dilakukan Kerajaan Majapahit atas seluruh wilayah Sriwijaya pada
tahun 1377. Pendudukan tersebut dalam upaya mewujudkan kesatuan Nusantara.
Sumber
http://news.detik.com/read/2012/03/24/173813/1875495/10/perahu-kuno-kerajaan-sriwijaya-