Anda di halaman 1dari 19

KERAJAAN SRIWIJAYA

KONDISI GEOGRAFIS KERAJAAN SRIWIJAYA

Enam buah prasasti yang ditemukan di beberapa tempat banyak bercerita tentang

awal mula Kerajaan Sriwijaya di masa lampau. Prasasti-prasasti tersebut umumnya

menggunakan huruf Pallawa, sedangkan bahasa yang digunakan adalah bahasa asli Indonesia,

yaitu bahasa Melayu kuno. Enam buah prasasti dan beberapa prasasti dari abad ke VII dan ke

VIII sebagai pelengkap, menceritakan usaha-usaha Sriwijaya memperluas kekuasaannya.

Pada awalnya Sriwijaya berpusat di Sumatera Tengah. Dari daerah sekitar Jambi itu,

Sriwijaya mulai melebarkan sayapnya ke arah timur. Sesudah itu perluasan wilayah ditujukan

ke arah selatan, yakni ke daerah-daerah sekitar pulau Bangka dan Lampung Selatan. Selain

itu, Sriwijaya juga melebarkan sayapnya ke pulau Jawa. Jawa merupakan saingan utama

Sriwijaya dalam pelayaran dan perdagangan luar negeri jalur Indonesia – Cina - India.

Prasasti Kedukan Bukit yang berangka tahun 605 Saka (683 M) (di wilayah

Palembang) menceritakan bahwa seorang raja Sriwijaya bernama Dapunta Hyang telah

mengadakan perjalanan suci itu disebut-sebut sebagai siddhayatra. Perjalanan ini bermaksud

untuk menaklukkan beberapa daerah agar tunduk pada Sriwijaya. Berkat perjalanan suci yang

tidak sia-sia ini, kelak akan membawa kemakmuran bagi Sriwijaya.

Kata Sriwijaya dijumpai pertama kali di dalam prasasti Kota Kapur dari pulau

Bangka. Berdasarkan telaah prasasti kota ini H. Kern pada tahun 1913, mengidentifikasikan

kata Sriwijaya tadi sebagai nama seorang raja.

Lima tahun kemudian, yaitu tahun 1918, G. Coedès dengan menggunakan sumber-

sumber prasasti dan berita Cina berhasil menjelaskan bahwa kata Sriwijaya yang terdapat

dalam prasasti Kota Kapur adalah nama sebuah kerajaan di Sumatera Selatan dengan

pusatnya di Palembang. Di dalam berita Cina, kerajaan ini dikenal dengan She-li-fo-she.
Pendapat bahwa She-li-fo-she adalah sebuah kerajaan di pantai timur Sumatera Selatan, di

tepi sungai Musi, dekat Palembang, juga pernah dikemukakan oleh Samuel Beal pada tahun

1884. Hanya di saat itu orang belum mengenal nama Sriwijaya.

Banyak versi yang menyebutkan mengenai keberadaan ibu kota Sriwijaya. Ada yang

mengatakan di Jambi, ada pula yang mengatakan di Palembang. Namun di sini yang paling

banyak memiliki bukti sebagai Ibu Kota Sriwijaya atau pusat pemerintahan adalah

Palembang. Dari berita i-ts’sing, di sini beliau pernah melakukan perjalanan bersama Wu-

hing dari Fo-shih ke India melalui pelabuhan Melayu, maka letak Fo-shih harus di sebelah

tenggara pelabuhan Melayu, karena tidak mungkin ada di sebelah baratnya. Satu-satunya

pelabuhan di sebelah tenggara Jambi adalah muara sungai Musi. Demikianlah, Fo-shis harus

terletak di muara sungai Musi. Nama Palembang pada zaman I-ts’ing belum terkenal.

Kemudian mengenai letak Sriwijaya diberitakan oleh I-ts’ing dengan panjang

bayang-bayang orang yang berdiri di bawah matahari. Katanya “ di negeri Shih-li-fo-shih,

kita lihat bahwa bayang-bayang di Walcakra tidak menjadi panjang ataupun menjadi pendek

pada pertengahan bulan ke delapan. Pada tengah hari tak tampak bayang-bayang orang

berdiri di bawah matahari. Lain halnya kalau musim semi. Matahari tepat di atas kepala dua

kali satu tahun. Kalau matahari di sebelah selatan, bayang-bayang membujur ke utara,

panjangnya kurang lebih dua atau tiga kaki. Kalau matahari di sebelah utara, bayang-

bayangnya sama, tapi jatuh keselatan.” Dari berita itu dapat ditarik kesimpulan bahwa Shih-

li-fo-shih terletak di sebelah garis khatulistiwa.

Dari situ dapat disimpulkan bahwa Sriwijaya terletak di tepi sungai, di sebelah

tenggara (timur) pelabuhan Melayu (Jambi), di sekitar garis khatulistiwa. Satu-satunya

tempat yang memenuhi syarat tersebut adalah muara sungai Musi di daerah Palembang. Bukti

lain adalah di temukanya arca Budha Mahayana dan Hinayana di Palembang sebagai pusat

kerajaan Sriwijaya.
Bukti lainnya adalah Prasasti Kedukan Bukit merupakan prasasti tertua yang

berangka tahun yang ditemukan di Indonesia. Bahkan dalam prasasti ini terdapat tiga

pertanggalan dalam satu angka tahun 682 M. Prasasti ini dikenal juga dengan nama Prasasti

Sriwijaya I. dari ketiga pertanggalan ini, diketahui ada tenggang waktu antara satu peristiwa

dengan peristiwa lain. Antara Dapunta Hiyana “mengambil Siddhayatra” dan merayakan hari

Waisak dengan Dapunta Hiyan bertolak dari Minana, ada tenggang waktu 26 hari. Tenggang

waktu yang lain adalah antara tanggal 19 Mei 682 M dan tanggal 16 Juni 682 M selama 28

hari. Selama itu, Dapunta Hiyan dan pasukannya melakukan perjalanan darat dan air sambil

menaklukkan daerah-daerah yang dilaluinya.

Berdasarkan pembacaan dan tempat ditemukan Prasasti Kedukan Bukit, Boechari

(dalam Utomo, 2006:140) menduga bahwa wanua (perkampungan) Sriwijaya terletak di kota

Palembang sekarang. Secara garis besar Prasasti Kedukan Bukit yang ditulis pada tanggal 16

Juni 682 M berisi tentang keberhasilan perjalanan Dapunta Hiyan (Ronkel (1974), dalam

Utomo,2006:140).

Prasasti lain yang menguatkan dugaan bahwa Palembang merupakan kota Sriwijaya

adalah Prasasti Talang Tuo dan Prasasti Telaga Batu. Prasasti Talang Tuo berisi tentang

pembangunan Taman Sriksetra atas perintah Dapunta Hiyan Sri Jayanasa pada tanggal 23

Maret 684 M. Logikanya, taman yang dibangun oleh Dapunta Hiyan itu adalah taman

kerajaan dan seharusnya ditempatkan dekat pusat kadatuannya. Secara fungsional, taman

mempunyai hubungan dengan keraton, dalam pengertian sebagai kelengkapan suatu

keraton.

Prasasti Telaga Batu, seperti halnya prasasti-prasasti lain yang ditemukan di luar

Palembang, adalah prasasti persumpahan. Kalau di dalam prasasti yang ditemukan di luar

Palembang isinya hanya persumpahan, tanpa menyebutkan pejabat-pejabat dan pegawai

kadatuan, maka di dalam Prasasti Telaga Batu disebutkan nama-nama jabatan dan pegawai
pemerintah dalam struktur birokrasi Kadatuan Sriwijaya. Pejabat-pejabat dan pegawai inilah

yang disumpah oleh Datu Sriwijaya dengan tujuan agar tidak melakukan pemberontakan.

Sudah sepantasnya prasasti ini ditempatkan di pusat pemerintahan, karena di pusat itulah

tinggal para pejabat dan pegawai kadatuan.

POLITIK KERAJAAN SRIWIJAYA

Fokus utama terkait kehidupan politik Kerajaan Sriwijaya yaitu wilayah kekuasaan, raja-raja

yang memerintah, dan hubungan dengan kerajaan lain baik dalam dan luar negeri.

Berdasarkan bukti yang ada dari isi prasasti Leiden, Kerajaan Sriwijaya telah melakukan

kerjasama dengan kerajaan Chola di India. Hubungan baik dengan kerajaan tersebut ditandai

dengan pengiriman pendeta dari Sriwijaya ke India dan pembuatan Biara untuk pendeta

tersebut. Selanjutnya, berikut ini raja-raja yang perah berkuasa di Kerajaan Sriwijaya,

meliputi :

 Dapunta Hyang Srijayanasa : Ia adalah raja pertama sekaligus pendiri Kerajaan

Sriwijaya. Namanya terdapat dalam Prasasti Kedukkan Bukit dan Talang Tuo. Saat

Srijayasana berkuasa, ia berhasil memperluas wilayah kerajaan sampai ke Jambi.

Cita-cita yang menjadi pedoman yakni menjadikan Sriwijaya sebagai kerajaan

maritim terbesar.

 Balaputeradewa : Tidak dijelaskan secara jelas, namun perlu kalian ketahui,

Balaputeradewa merupakan raja yang berhasil membawa kerajaan Sriwijaya

berkembang pesat. Masa pemerintahannya diperkirakan berlangsung pada tahun 850

masehi.
Selain kedua raja kerajaan Sriwijaya diatas, ternyata masih banyak raja-raja lain. Namun,

sumber mengenai kehidupan politik kerajaan Sriwijaya pada masa raja-raja lainnya kurang

lengkap. Nama raja-raja tersebut seperti Sri Indra Waraman 724 M (berasal dari berita

China), Rudrawikrama 727 (berita China), Wishnu 775 M (Prasasti Ligor), Maharaja 851 M

(Berita Arab), Sriudayadityawarman 960 (Berita Chiana), Marawijayatunggawarman 1044 M

(Prasasti Leiden), dan Sri Sanggarama Wijayatunggawarman 1044 (dalam prasasti Chola).

Wilayah kekuasaan kerajaan Sriwijaya membentang luas di Indonesia bagian barat

(Nusantara saat itu) dan sebagian wilayah di Asia Tenggara. Namun pusat pemerintahannya

di daerah yang sekarang menjadi kota Palembang. Sriwijaya juga berhasil menaklukkan

daerah di luar nusantara seperti Kedah di Semenanjung Malaya.

EKONOMI KERAJAAN SRIWIJAYA

Kehidupan Ekonomi Kerajaan Sriwijaya meliputi kegiatan pertanian, hasilnya kemudian

diperjual belikan kepada para pedagang asing yang singgah. Hal ini didukung dengan letak

yang sangat strategis sebagai jalur perdagangan Internasional. Hasil bumi dari pertanian

tersebut mendongkrak kegiatan perdagangan, akibatnya banyak pedagang dari China dan

India ramai-ramai berdatangan.

Faktor lain pendukung kegiatan ekonomi adalah berhasilnya Sriwijaya menguasai wilayah-

wilayah strategis di sekitarnya seperti Selat Sunda, Selat Malaka, Laut Natuna dan Laut Jawa.

Dikuasainya daerah-daerah tersebut tidak terlepas dari kekuatan armada laut Kerajaan

Sriwijaya dengan kapalnya yang begitu banyak.


SOSIAL KERAJAAN SRIWIJAYA

Kehidupan sosial masyarakat di Kerajaan Sriwijaya berbaur dengan para pedagang dari luar,

karena saat itu wilayah tersebut merupakan pelabuhan bagi kapal-kapal asing yang singgah.

Kemungkinan bahasa yang berkembang adalah bahasa melayu kuno, mereka menggunakan

bahasa tersebut untuk berkomunikasi dengan para pedagang.

Budaya asing, khususnya dari India berkembang di wilayah Sriwijaya. Contohnya

penggunaan nama-nama khas India dan pengaruh agama Hindu-Budha semakin menyebar

menyeluruh, baik masyarakat maupun di dalam kerajaan. I Tsing, orang China yang pernah

singgah di Kerajaan Sriwijaya juga menjelaskan bahwa banyak para pendeta dari luar yang

berdatangan untuk berguru/belajar bahasa Sanskerta dan mempelajari kitab suci agama

Budha.

SILSILAH KERAJAAN SRIWIJAYA


Silsilah raja-raja di Kerajaan Sriwijaya sampai saat ini belum ditemukan

secara utuh. Beberapa data yang dihimpun merupakan fragmen yang

dirangkai menurut alur waktu dari abad ke-7 sampai menjelang runtuhnya

Kerajaan Sriwijaya. Beberapa sumber yang dipakai dalam penulisan ini

diambil dari Paul Michel Munoz (2006:175); Marwati Djoenoed Poesponegoro

& Nugroho Notosusanto (1993); dan Slamet Muljana//(1981). Silsilah

raja-raja di Sriwijaya sebagai berikut:

1. Dapunta Hyang Sri Jayanaga (683 M). Selama masa pemerintahannya,

Raja Dapunta Hyang Sri Jayanaga telah menuliskan Prasasti Keduka Bukit , Talang

Tuo (684 M), dan Kota Kapur. Selain itu, Dapunta Hyang Sri Jayanaga

juga menaklukkan Kerajaan Melayu dan Tarumanegara.

2. Indravarman (702 M). Selama masa kepemimpinan Indravarman, dikirim

utusan ke Tiongkok pada 702-716 M,dan 724 M.

3. Rudra Vikraman atau Lieou-t`eng-wei-kong (728 M). Selama masa

kepemimpinan Rudra Vikraman, dikirim utusan ke Tiongkok pada 728-748 M.

4. Dharmasetu (790 M).

5. Wisnu (795 M) dengan gelar Sarwarimadawimathana yang artinya

?pembunuh musuh-musuh yang sombong tiada bersisa ? (775 M). Selama


kepemimpinannya, Raja Wisnu memulai pembangunan Candi Borobudur pada

770 M dan menaklukkan Kamboja Selatan.

6. Samaratungga (792 M). Selama kepemimpinan Raja Samaratungga,

Sriwijaya kehilangan daerah taklukannya di Kamboja Selatan pada 802 M.

7. Balaputra Sri Kaluhunan (Balaputradewa) (835 M). Raja ini

memerintahkan pembuatan biara untuk Kerajaan Cola di India dengan

meninggalkan Prasasti Nalanda.

8. Sri Udayadityawarman (960 M). Selama kepemimpinannya, Raja Sri

Udayadityawarman mengirimkan utusan ke Tiongkok pada 960 M.//

9. Sri Wuja atau Sri Udayadityan (961 M). Selama kepemimpinannya, Raja

Sri Udayadityan mengirimkan utusan ke Tiongkok pada 961-962 M.//

10. Hsiae-she (980 M). Selama kepemimpinannya, Raja Hsiae-she

mengirimkan utusan ke Tiongkok pada 980-983 M.//

11. Sri Cudamaniwarmadewa (988 M). Saat beliau memerintah, terjadi

penyerangan dari Jawa.//

12. Sri Marawijayottunggawarman (1008 M). Selama kepemimpinannya, Raja

Sri Marawijayottunggawarman mengirimkan utusan ke Tiongkok pada 1008

M.//

13. Sumatrabhumi (1017 M). Selama kepemimpinannya, Raja Sumatrabhumi


mengirimkan utusan ke Tiongkok pada 1017 M.//

14. Sri Sanggramawijayottunggawarman (1025). Selama kepemimpinan Raja

Sri Sanggramawijayottunggawarman, Sriwijaya dapat dikalahkan oleh

Kerajaan Cola dan sang raja sempat ditawan. //

15. Sri Deva (1028 M). Selama kepemimpinannya, Raja Sri Deva mengirimkan

utusan ke Tiongkok pada 1028 M.//

16. Dharmavira (1064 M).

17. Sri Maharaja (1156 M). Selama kepemimpinannya, Raja Sri Maharaja

mengirimkan utusan ke Tiongkok pada 1156 M.

18. Trailokaraja Maulibhusana Varmadeva (1178 M). Selama

kepemimpinannya, Raja Trailokaraja Maulibhusana Varmadevamengirimkan

utusan ke Tiongkok pada 1178 M.

19. Pada tahun 1402, Parameswara, pangeran terakhir Sriwijaya mendirikan

Kesultanan Malaka di Semenanjung Malaysia.


PENINGGALAN KERAJAAN SRIWIJAYA

Di sekitar tahun 425, agama Buddha sudah diperkenalkan di Sriwijaya lebih tepatnya di Palembang dan sudah
banyak para peziarah serta peneliti dari berbagai negara di Asia seperti pendeta Tiongkok I Ching yang
berkunjung ke Sumatera dalam perjalanan studinya ke universitas Nalanda. Ia menulis jika Sriwijaya menjadi
rumah bagi ribuan sarjana Budha. Berikut ini kami berikan ulasan mengenai peninggalan Kerajaan Sriwijaya
secara lengkap, silahkan dilihat dibawah ini.

1. Prasasti Kota Kapur

Prasasti Kota Kapur yang merupakan peninggalan


Kerajaan Sriwijaya ini ditemukan di Pulau Bangka bagian Barat yang ditulis dengan memakai bahasa Melayu
Kuno serta aksara Pallawa. Prasasti ini ditemukan oleh J.K Van der Meulen tahun 1892 dengan isi yang
menceritakan tentang kutukan untuk orang yang berani melanggar titah atau pertintah dari kekuasaan Raja
Sriwijaya. Prasasti ini kemudian diteliti oleh H.Kern yang merupakan ahli epigrafi berkebangsaan Belanda yang
bekerja di Bataviaasch Genootschap di Batavia. Awalnya ia beranggapan jika Sriwijaya merupakan nama dari
seorang raja. George Coedes lalu mengungkapkan jika Sriwijaya adalah nama dari Kerajaan di Sumatera abad
ke-7 Masehi yang mrupakan Kerajaan kuat dan pernah berkuasa di bagian Barat Nusantara, Semenanjung
Malaya serta Thailand bagian Selatan.

Sampai tahun 2012, Prasasti Kota Kapur ini masih ada di Rijksmuseum yang merupakan Museum Kerajaan
Amsterdam, Belanda dengan status dipinjamkan oleh Museum Nasional Indonesia. Prasasti Kota Kapur ini
ditemukan lebih dulu sebelum prasasti Kedukan Bukit serta Prasasti Talang Tuwo. Dari Prasasti ini Sriwijaya
diketahui sudah berkuasa atas sebagian wilayah Sumatera, Lampung, Pulau Bangka dan juga Belitung. Dalam
Prasasti ini juga dikatakan jika Sri Jayasana sudah melakukan ekspedisi militer yakni untuk menghukum Bhumi
Jawa yang tidak mau tunduk dengan Sriwijaya. Peristiwa ini terjadi hampir bersamaan dengan runtuhnya
Taruma di Jawa bagian Barat dan juga Kalingga atau Holing di daerah Jawa bagian Tengah yang kemungkinan
terjadi karena serangan dari Sriwijaya. Sriwijaya berhasil tumbuh serta memegang kendali atas jalur
perdagangan maritim di Selat Malaka, Laut Cina Selatan, Selat Sunda, Laut Jawa serta Selat Karimata.
2. Prasasti Ligor

Prasasti Ligor ditemuan di Nakhon Si Thammarat,


wilayah Thailand bagian Selatan yang memiliki pahatan di kedua sisinya. Pada bagian sisi pertama dinamakan
Prasasti Ligor A atau manuskrip Viang Sa, sementara di sisi satunya merupakan Prasasti Ligor B yang
kemungkinan besar dibuat oleh raja dari wangsa Sailendra yang menjelaskan tentang pemberian gelar Visnu
Sesawarimadawimathana untuk Sri Maharaja. Prasasti Ligor A menceritakan tentang Raja Sriwijaya yang
merupakan raja dari semua raja di dunia yang mendirikan Trisamaya Caitya untuk Kajara. Sedangkan pada
Prasasti Ligor B yang dilengkapi dengan angka tahun 775 dan memakai aksara Kawi menceritakan tentang
nama Visnu yang memiliki gelar Sri Maharaja dari keluarga Śailendravamśa dan mendapatk julukan
Śesavvārimadavimathana berarti pembunuh musuh yang sombong sampai tak tersisa.

3. Prasasti Palas Pasemah


Prasasti Palas Pasemah ditemukan di pinggir rawa Desa Palas Pasemah, Lampung Selatan, Lampung yang
ditulis dengan memakai bahasa Melayu Kuno aksara Pallawa dan terdiri dari 13 baris tulisan. Isi dari prasasti ini
menjelaskan tentang kutukan dari orang yang tidak mau tunduk dengan kekuasaan Sriwijaya. Jika dilihat dari
aksara, Prasasti Palas Pasemah ini diduga berasal dari abad ke-7 Masehi.

4. Prasasti Hujung Langit


Prasasti Hujung Langit merupakan Prasasti dari Kerajaan Sriwijaya yang ditemukan pada sebuah desa bernama
Desa Haur Kuning, Lampung dan juga ditulis dalam bahasa Melayu Kuno serta aksara Pallawa. Isi dari prasasti
ini tidak terlalu jelas sebab kerusakan yang terjadi sudah cukup banyak, namun diperkirakan berasal dari tahun
997 Masehi dan isinya tentang pemberian tanah Sima.

5. Prasasti Telaga Batu

Peninggalan Kerajaan Sriwijaya selanjutnya adalah


prasasti telaga batu. Prasasti Telaga Batu ditemukan di kolam Telaga Biru, Kelurahan 3 Ilir, Kecamatan Ilir
Timur II, Kota Palembang tahun 1935 yang berisi tentang kutukan untuk mereka yang berbuat jahat di kedautan
Sriwijaya dan kini disimpan pada Museum Nasional Jakarta. Di sekitar lokasi penemuan Prasasti Telaga Batu
ini juga ditemukan Prasasti Telaga Batu 2 yang menceritakan tentang keberadaam sebuah vihara dan pada tahun
sebelumnya juga ditemukan lebih dari 30 buah Prasasti Siddhayatra yang juga sudah disimpan di Museum
Nasional Jakarta. Prasasti Telaga Batu dipahat di batu andesit dengan tinggi 118 cm serta lebar 148 cm.

Pada bagian atas prasasti ada hiasan 7 buah kepala ular kobra serta di bagian tengah terdapat pancuran tempat
mengalirnya air pembasuh. Tulisan pada prasasti ini memiliki 28 baris dengan huruf Pallawa dan memakai
bahasa Melayu Kuno. Secara garis besar, isi dari tulisan ini adalah tentang kutukan untuk mereka yang berbuat
kejahatan di kedatuan Sriwijaya dan tidak mematuhi perintah dari datu. Casparis lalu mengemukakan pendapat
jika orang yang termasuk berbahaya dan juga bisa melawan kedatuan Sriwijaya perlu untuk disumpah yakni
putra raja (rājaputra), menteri (kumārāmātya), bupati (bhūpati), panglima (senāpati), Pembesar/tokoh lokal
terkemuka (nāyaka), bangsawan (pratyaya), raja bawahan (hāji pratyaya), hakim (dandanayaka), ketua
pekerja/buruh (tuhā an vatak = vuruh), pengawas pekerja rendah (addhyāksi nījavarna), ahli senjata
(vāsīkarana), tentara (cātabhata), pejabat pengelola (adhikarana), karyawan toko (kāyastha), pengrajin
(sthāpaka), kapten kapal (puhāvam), peniaga (vaniyāga), pelayan raja (marsī hāji), dan budak raja (hulun hāji).

Prasasti ini menjadi prasasti kutukan lengkap sebab juga dituliskan nama pejabat pemerintahan dan menurut
dugaan beberapa ahli sejarah, orang yang terulis di dalam prasasti juga tinggal di Palembang yang merupakan
ibukota kerajan. Sedangkan Soekmono beranggapan jika tidak mungkin Sriwijaya berasal dari Palembang sebab
adanya kutukan kepada siapa pun yang tidak patuh pada kedatuan dan juga mengusulkan Minanga seperti yang
tertulis pada prasasti Kedukan Bukit yang diasumsikan berada di sekitar Candi Muara Tikus ibukota Sriwijaya.

6. Prasasti Kedukan Bukit

Prasasti Kedukan Bukit ditemukan tanggal 29


November 1920 oleh M. Batenburg di Kampung Kedukan Bukit, Kelurahan 35 Ilir, Palembang, Sumatera
Selatan, lebih tepatnya di tepi Sungai Tatang yang mengalir ke Sungai Musi. Prasasti ini memiliki ukuran 45 cm
x 80 cm memakai bahasa Melayu Kuno dan aksara Pallawa. Isi dari prasasti ini menceritakan tentang seorang
utusan Kerajaan Sriwijaya yakni Dapunta Hyang yang mengadakan Sidhayarta atau perjalanan suci memakai
perahu. Dalam perjalanan tersebut, ia didampingi dengan 2000 pasukan dan berhasil menaklukan beberapa
daerah lainnya dan prasasti tersebut kini juga tersimpan di Museum Nasional Jakarta.
Di baris ke-8 prasasti ini ada unsur tanggal, akan tetapi pada bagian akhir sudah hilang yang seharusnya diisi
dengan bulan. Berdasarkan dari data fragmen prasasti No. D.161 yang ditemukan pada situs Telaga Batu, J.G de
Casparis serta M. Boechari diisi dengan nama bulan Asada sehingga penangalan prasasti tersebut menjadi
lengkap yakni hari e-5 paro terang bulan Asada yang bertepatan dengan tanggal 16 Juni 682 Masehi. George
Cœdès berpendapat jika siddhayatra memiliki arti ramuan bertuah namun juga bisa diartikan lain. Dari kamus
Jawa Kuno Zoetmulder tahun 1995 berarti sukses dalam perjalanan dan bisa disimpulkan jika isi prasasti adalah
Sri Baginda yang naik sampan untuk melaksanakan penyerangan sudah sukses melakukan perjalanan tersebut.

Dari Prasasti Kedukan Bukit ini diperoleh data yakni Dapunta Hyang yang berangkat dari Minanga lalu
menaklukan kawasan dimana ditemukan prasasti tersebut yakni Sungai Musi, Sumatera Selatan. Dengan
kemiripan bunyi, maka ada juga yang beranggapan jika Minanga Tamwan merupakan Minangkabau yaitu
eilayah pegunungan di hulu Sungai Batanghari. Sebagian lagi berpendapat jika Minanga tidak sama seperti
Melayu dan kedua wilayah tersebut berhasil ditaklukan oleh Dapunta Hyang. Sedangkan Soekmono
beranggapan jika Minanga Tamwan berarti pertemuan 2 sungai sebab tawan memiliki arti temuan yaitu
pertemuan dari Sungai Kampar Kanan dengan Sungai Kampar Kiri di Riau yang merupakan wilayah di sekitar
Candi Muara Tikus.

Sebagian lagi berpendapat jika Minanga berubah tutur menjadi Binanga yakni sebuah kawasan yang ada di hilir
Sungai Barumun, Sumatera Utara, sedangkan pendapat lainnya beranggapan jika armada yang dipimpin
Jayanasa berasal dari luar Sumatera yaitu Semenanjung Malaya. Dalam bukunya, Kiagus Imran Mahmud
menuliskan jika Minanga tidak mungkin berarti Minangkabau sebab istilah ini baru ada sesudah masa Sriwijaya
dan ia juga berpendapat jika Minanga yang dimaksud merupakan pertemuan dari 2 sungai di Minanga yaitu
Sungai Komering dan juga Lebong, Tulisan Matayap memang tidak terlalu jelas sehingga mungkin yang
dimaksud adalah Lengkayap yakni sebuah daerah di Sumatera Selatan.

7. Prasasti Talang Tuwo

Pada kaki Bukit Seguntang tepi bagian utara Sungai Musi, Louis
Constant Westenenk yang merupakan seorang residen Palembang menemukan sebuah Prasasti pada 17
November 1920. Prasasti yang disebut dengan Talang Tuwo ini berisi tentang doa dedikasi yang menceritakan
aliran Budha yang dipakai pada masa Sriwijaya kala itu merupakan aliran Mahayana dan ini dibuktikan dengan
penggunaan kata khas aliran Budha Mahayana seperti Vajrasarira, Bodhicitta, Mahasattva serta
annuttarabhisamyaksamvodhi.
Prasasti ini masih dalam keadaan yang baik dan ditulis pada bidang datar berukuran 50 cm x 80 cm berangka
606 Saka atau 23 Maret 684 Masehi berbahasa Melayu Kuno dan ditulis dengan aksara Pallawa. Prasasti ini
memiliki 14 baris kalimat dan sarjana pertama yang sudha berhasil menerjemahkan prasasti tersebut adalah Van
Ronkel serta Bosh yang sudah dimuat pada Acta Orientalia. Prasasti ini kemudian disimpan pada Museum
Nasional Jakarta mulai tahun 1920. Prasasti ini menceritakan tentang pembangunan taman oleh Raja Sriwijaya
yakni Sri Jayanasa yang dibuat untuk rakyat pada abad ke-7. Dalam prasasti tertulis jika taman berada di tempat
dengan pemandangan sangat indah dan lahan yang dipakai memiliki bukit serta lembah. Pada dasar lembah juga
mengalir sungai menuju Sungai Musi. Taman ini dinamakan Taman Sriksetra yang juga ada dalam prasasti.

Dalam Prasasti Talang Tuwo ini dituliskan niat dari Baginda yakni, Semoga yang ditanam di sini, pohon kelapa,
pinang, aren, sagu, dan bermacam-macam pohon, buahnya dapat dimakan, demikian pula bambu haur, waluh,
dan pattum, dan sebagainya; dan semoga juga tanaman-tanaman lainnya dengan bendungan-bendungan dan
kolam-kolamnya, dan semua amal yang saya berikan, dapat digunakan untuk kebaikan semua mahluk, yang
dapat pindah tempat dan yang tidak, dan bagi mereka menjadi jalan terbaik untuk mendapatkan
kebahagiaan.” “Jika mereka lapar waktu beristirahat atau dalam perjalanan, semoga mereka menemukan
makanan serta air minum. Semoga semua kebun yang mereka buka menjadi berlebih (panennya). Semoga
suburlah ternak bermacam jenis yang mereka pelihara, dan juga budak-budak milik mereka.” “Semoga mereka
tidak terkena malapetaka, tidak tersiksa karena tidak bisa tidur. Apa pun yang mereka perbuat, semoga semua
planet dan rasi menguntungkan mereka, dan semoga mereka terhindar dari penyakit dan ketuaan selama
menjalankan usaha mereka.” Dan juga semoga semua hamba mereka setia pada mereka dan berbakti, lagi pula
semoga teman-teman mereka tidak mengkhianati mereka dan semoga istri mereka bagi istri yang setia. Lebih-
lebih lagi, di mana pun mereka berada, semoga di tempat itu tidak ada pencuri, atau orang yang mempergunakan
kekerasan, atau pembunuh, atau penzinah dan seterusnya.

8. Prasasti Leiden
Prasasti Leiden juga menjadi peninggalan bersejarah Kerajaan Sriwijaya yang ditulis pada lempengan tembaga
dalam bahasa Sansekerta serta Tamil dan pada saat ini Prasasti Leiden ada di museum Belanda dengan isi yang
menceritakan tentang hubungan baik dari dinasti Chola dari Tamil dengan dinasti Sailendra dari Sriwijaya, india
Selatan.

9. Prasasti Berahi

Prasasti Berahi ditemukan oleh Kontrolir L.M. Berhout


tahun 1904 di tepi Batang Merangin, Dusun Batu Bersurat, Desa Karang Berahi, kecamatan Pamenang,
Merangin, Jambi. Seperti pada Prasasti Telaga Batu, Prasasti Kota Kapur dan juga Prasasti Palas Pasemah
dijelaskan tentang kutukan untuk mereka yang melakukan kejahatan dan tidak setia dengan Raja Sriwijaya.
Prasasti ini tidak dilengkapi dengan tahun, akan tetapi bisa diidentifikasi memakai aksara Pallawa dan bahasa
Melayu Kuno dengan isi mengenai kutukan untuk orang yang tidak setia dan tidak tunduk dengan Driwijaya
seperti pada Prasasti Gunung Kapur dan Prasasti Telaga Batu.

Pak Natsir mengemukakan pendapat jika Prasasti Karang berahi ditemukan pada lokasi berdekatan dengan
struktur bata kuno yang sekarang digunakan sebagai lokasi pemakaman. Dari cerita di Dusun Batu Bersurat,
dulu Prasasti Karangberahi ditemukan oleh cucu Temenggung Lakek pada tahun 1727 yang dimana pada masa
tersebut, Dusun Batu Bersurat disebut dengan Dusun Tanjung Agung. Anak Temenggung Lakek yang bernama
Jariah lalu membawa batu Prasasti Karangberahi ke masjid Asyobirin di dekat aliran Batang Merangin dan pada
masa Belanda, Batu Prasasti dipindahkan ke Kota Bangko dan ditempatkan di halaman kantor residen yang saat
ini digunakan sebagai Kantor Dinas Budpar Kabupaten Merangin. Saat masa penjajahan Jepang, masyarakat
Karang Berahi minta agar batu tersebut dikembalikan ke Desa Karang Berahi dan dikabulkan oleh Jepang yang
kemudian dikembalikan ke lingkungan masjid Asobirin di tepi Batang Merangin.

10. Candi Muara Takus

Peninggalan Kerajaan Sriwijaya selanjutnya adalah


Candi Muara Takus. Candi Muara Takus terletak di Desa Muara Takus Kecamatan XIII Koto, Kabupaten
Kampar, Riau, Indonesia yang dikelilingi dengan tembok 74 x 74 meter terbuat dari batu putih ketinggian lebih
kurang 80 cm. Candi ini sudah ada sejak jaman keemasan Kerajaan Sriwijaya dan menjadi salah satu pusat
pemerintahan Kerajaan tersebut. Candi ini terbuat dari batu pasir, batu bata dan batu sungai yang berbeda
dengan candi kebanyakan di Jawa yang terbuat dari batu andesit. Bahan utama membuat Candi Muara Takus ini
adalah tanah liat yang diambil dari desa Pongkai. Dalam kompleks ini terdapat sebuah stupa berukuran besar
dengan bentuk menara yang sebagian besar terbuat dari batu bata dan batu pasir kuning dan di dalam bangunan
Candi Muara Takus juga terdapat bangunan candi yakni Candi Bungsu, Candi Tua, Palangka dan juga Stupa
Mahligai.

Arsitektur dari Candi Muara Takus ini sangat unik sebab tidak ditemukan pada wilayah Indonesia yang lain dan
memiliki kesamaan bentuk dengan Stupa Budha di Myanmar, Vietnam serta Sri Lanka sebab pada stupa
mempunyai ornamen roda serta kepala singa yang hampir ditemukan juga di semua kompleks Candi Muara
Takus.

11. Candi Muaro Jambi

Kompleks Candi Muaro Jambi merupakan kompleks


candi terluas di Asia Tenggara yakni seluas 3981 hektar dan kemungkinan besar adalah peninggalan dari
Kerajaan Sriwijaya serta Kerajaan Melayu. Candi Mauaro Jambi terletak di Kecamatan Maro Sebo, Kabupaten
Muaro nJambi, Jambi, indonesia di tepi Batang Hari. Kompleks candi ini pertama kali dilaporkan pada tahun
1824 oleh letnan inggris bernama S.C. Crooke saat melakukan pemetaan daerah aliran sungai untuk keperluan
militer. Kemudian pada tahun 1975, pemerintah Indonesia melakukan pemugaran serius dipimpin oleh R.
Soekmono. Dari aksara Jawa Juno yang terdapat dari beberapa lempengan yang juga ditemukan, seorang pakar
epigrafi bernama Boechari menyimpulkan jika candi tersebut merupakan peninggalan dari abad ke-9 sampai 12
Masehi.

Dalam kompleks candi ini terdapat 9 buah candi yang baru mengalami proses pemugaran yakni Gedong Satu,
Kembar Batu, Kotomahligai, Gedong Dua, Tinggi, Gumpung, Candi Astano, Kembang Batu, Telago Rajo dan
juga Kedaton. Dalam kompleks Candi Muaro Jambi tidak hanya ditemukan beberapa buah candi saja, namun
juga ditemukan parit atau kanal kuno buatan manusia, kolam penampungan air dan juga gundukan tanah yang
pada bagian dalamnya terdapat struktur bata kuno. Dalam kompleks candi ini setidaknya terdapat 85 buah
menapo yang dimiliki oleh penduduk setempat.

12. Candi Bahal

Candi Bahal, Candi Portibi atau Biaro Bahal merupakan kompleks candi
Buddha dengan aliran Vajrayana yang ada di Desa Bahal, kecamatan Padang Bolak, Portibi, Kabupaten Padang
Lawas, Sumatera Utara.
Candi ini terbuat dari material bata merah yang pada bagian kaki candi terdapat hiasan berupa papan berkeliling
dengan ukiran tokoh yaksa berkepala hewan yang sedang menari. Wajah penari tersebut memakai topeng hewan
seperti upacara di Tibet dan diantara papan tersebut ada hiasan berupa ukiran singa yang sedang duduk.

Candi ini juga sangat cocok untuk dijadikan destinasi saat anda berkunjung ke sumatera karena keindahannya
yang sangat mencolok. Selain itu anda juga dapat melestarikan budaya di indonesia.

13. Gapura Sriwijaya


Gapura Sriwijaya terletak di Dusun Rimba, Kecamatan Dempo Tengah, Kota Pagar Alam, Sumatera Selatan.
Dalam situs Gapura Sriwijaya ini terdapat 9 Gapura akan tetapi sampai saat ini baru ditemukan sebanyak 7
gapura saja. Keadaan gapura pada situs ini sudah dalam keadaan roboh karena kemungkinan disebabkan oleh
faktor alam seperti erosi, gempa dan lainnya. Reruntuhan Gapura Sriwijaya ini berbentuk bebatuan segi lima
memanjang dengan tanda cekungan bentuk oval ke dalam pada salah satu bagian sisi batu. Tanda cekungan ini
merupakan pengunci supaya batu bisa disatukan atau ditempel.

SEBAB RUNTUHNYA KERAJAAN SRIWIJAYA

Ternyata Kerajaan sebesar Sriwijaya juga bisa mengalami keruntuhan, nah lantas faktor-
faktor apa saja yang menyebabkan keruntuhan kerajaan maritim yang sangat besar ini? mari
kita simak

1. Tidak adanya raja yang cakap memerintah

Setelah Raja Balaputradewa wafat, tidak ada raja yang cakap untuk memerintah Kerajaan
Sriwijaya. Hal tersebut menyebabkan Kerajaan Sriwijaya semakin mengalami kemunduran.

2. Letak Kota Palembang semakin jauh dari laut

http://fadlinobita.blogspot.com
Akibat pengendapan lumpur yang dibawa oleh Sungai Musi dan sungai lainya, akhirnya
Kota Palembang semakin jauh dari laut.
3. Berkurangnya kapal dagang yang singgah

Kapal di era sriwijaya


Akibat semakin jauhnya Kota Palembang dari laut menyebabkab daerah tersebut tidak
strategis lagi. Kapal-kapal dagang lebih memilih singgah di tempat lain. Hal tersebut
menyebabkan kegiatan perdagangan berkunrang dan pendapatan kerajaan dari pajak
menurun.

4. Banyak daerah yang melepaskan diri dari Sriwijaya


Akibat semakin melemahnya perekonomian Kerajaan Sriwijaya maka penguasa kerajaan
tidak mampu lagi mengontrol daerah kekuasaanya. Daerah kekuasaan Kerajaan Sriwijaya
yang telah melepaskan diri adalah Jawa Tengah dan Melayu.

5. Terjadinya serangan atas Sriwijaya dari kerajaan lain

 Serangan yang dilakukan oleh Raja Teguh Darmawangsa dari Kerajaan Medang atas
wilayah Sriwijaya bagian selatan pada tahun 992.
 Serangan yang dilakukan oleh Kerajaan Colamandala dari India Selatan atas
Semenanjung Malaka pada tahun 1017.
 Pendudukan yang dilakukan oleh Raja Kertanegara dari Singosari atas wiayah Melayu
pada tahun 1270. Pendudukan ini dikenal sebagai Ekspedisi Pamalayu.
 Pendudukan yang dilakukan Kerajaan Majapahit atas seluruh wilayah Sriwijaya pada
tahun 1377. Pendudukan tersebut dalam upaya mewujudkan kesatuan Nusantara.

Sumber

http://news.detik.com/read/2012/03/24/173813/1875495/10/perahu-kuno-kerajaan-sriwijaya-

ditemukan-di-sumatera-selatan diakses pada tanggal 03 November 2018 pukul 15:10

Anda mungkin juga menyukai