Anda di halaman 1dari 26

Sriwijaya

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas


(Dialihkan dari Kerajaan Sriwijaya)

Untuk kegunaan lain dari Sriwijaya, lihat Sriwijaya (disambiguasi).

Sriwijaya

600-an1100-an

Jangkauan terluas Kemaharajaan Sriwijaya sekitar abad ke-8 Masehi.

Ibu kota

Sriwijaya, Jawa,
Kadaram, Dharmasraya

Bahasa

Melayu Kuna, Sanskerta

Agama

Buddha
Vajrayana,Buddha
Mahayana,Buddha
Hinayana, Hindu

Pemerintahan

Monarki

Maharaja
- 683

Sri Jayanasa

- 702

Sri Indrawarman

- 775

Dharanindra

- 792

Samaratungga

- 835

Balaputradewa

- 988

Sri Cudamani
Warmadewa

- 1008

Sri MaraVijayottunggawarman

- 1025

SangramaVijayottunggawarman

Sejarah
- Didirikan

600-an

- InvasiDharmasraya

1100-an

Mata uang

Koin emas dan perak


Artikel ini bagian dari seri

Sejarah Indonesia

Lihat pula:
Garis waktu sejarah Indonesia
Sejarah Nusantara
Prasejarah

Kerajaan Hindu-Buddha
Kutai (abad ke-4)
Tarumanagara (358669)
Sriwijaya (abad ke-7 sampai ke-11)
Sailendra (abad ke-8 sampai ke-9)
Kerajaan Medang (7521045)
Kerajaan Sunda (9321579)
Kediri (10451221)
Dharmasraya (abad ke-12 sampai ke-14)
Singhasari (12221292)
Majapahit (12931500)
Malayapura (abad ke-14 sampai ke-15)

Kerajaan Islam
Kesultanan Ternate (1257sekarang)
Kerajaan Pagaruyung (1500-1825)
Kesultanan Malaka (14001511)
Kerajaan Inderapura (1500-1792)
Kesultanan Demak (14751548)
Kesultanan Aceh (14961903)
Kesultanan Banten (15271813)
Kesultanan Mataram (15881681)
Kesultanan Siak (1723-1945)

Kerajaan Kristen
Kerajaan Larantuka (1600-1904)

Kolonialisme bangsa Eropa


Portugis (15121850)
VOC (1602-1800)
Belanda (18001942)

Kemunculan Indonesia
Kebangkitan Nasional (1899-1942)
Pendudukan Jepang (19421945)

Revolusi nasional (19451950)

Indonesia Merdeka
Orde Lama (19501959)
Demokrasi Terpimpin (19591966)
Orde Baru (19661998)
Era Reformasi (1998sekarang)
lbs

Sriwijaya (atau juga disebut Srivijaya; Thai: atau "r wichy") adalah salah satu kemaharajaan bahari
yang pernah berdiri di pulauSumatera dan banyak memberi pengaruh di Nusantara dengan daerah kekuasaan
membentang dari Kamboja, Thailand Selatan, Semenanjung Malaya, Sumatera, Jawa, dan pesisir Kalimantan.
[1][2]

Dalam bahasa Sanskerta, sri berarti "bercahaya" atau "gemilang", dan wijaya berarti "kemenangan" atau

"kejayaan",[2] maka nama Sriwijaya bermakna "kemenangan yang gilang-gemilang". Bukti awal mengenai
keberadaan kerajaan ini berasal dari abad ke-7; seorang pendeta Tiongkok, I Tsing, menulis bahwa ia
mengunjungi Sriwijaya tahun 671 dan tinggal selama 6 bulan.[3][4] Selanjutnya prasasti yang paling tua
mengenai Sriwijaya juga berada pada abad ke-7, yaitu prasasti Kedukan Bukit di Palembang, bertarikh 682.
[5]

Kemunduran pengaruh Sriwijaya terhadap daerah bawahannya mulai menyusut dikarenakan beberapa

peperangan[2] di antaranya serangan dari raja Dharmawangsa Teguh dari Jawa pada tahun 990, dan tahun
1025 serangan Rajendra Chola I dari Koromandel, selanjutnya tahun 1183 kekuasaan Sriwijaya di bawah
kendali kerajaan Dharmasraya.[6]
Setelah jatuh, kerajaan ini terlupakan dan keberadaannya baru diketahui kembali lewat publikasi tahun 1918
dari sejarawan Perancis George Cds dari cole franaise d'Extrme-Orient.[7]
Daftar isi
[sembunyikan]

1 Catatan sejarah
2 Pembentukan dan pertumbuhan
3 Agama
4 Budaya
5 Perdagangan
6 Hubungan dengan wangsa Sailendra

7 Hubungan dengan kekuatan regional


8 Masa keemasan
9 Masa penurunan
10 Struktur pemerintahan
11 Raja yang memerintah
12 Warisan sejarah
13 Rujukan
14 Pranala luar

[sunting]Catatan

sejarah

Tidak terdapat catatan lebih lanjut mengenai Sriwijaya dalam sejarah Indonesia; masa lalunya yang terlupakan
dibentuk kembali oleh sarjana asing. Tidak ada orang Indonesia modern yang mendengar mengenai Sriwijaya
sampai tahun 1920-an, ketika sarjana Perancis George Cdsmempublikasikan penemuannya dalam koran
berbahasa Belanda dan Indonesia.[8] Coeds menyatakan bahwa referensi Tiongkok terhadap "San-fo-ts'i",
sebelumnya dibaca "Sribhoja", dan beberapa prasasti dalam Melayu Kuno merujuk pada kekaisaran yang
sama.[9]
Sriwijaya menjadi simbol kebesaran Sumatera awal, dan kerajaan besar Nusantara selain Majapahit di Jawa
Timur. Pada abad ke-20, kedua kerajaan tersebut menjadi referensi oleh kaum nasionalis untuk menunjukkan
bahwa Indonesia merupakan satu kesatuan negara sebelelumkolonialisme Belanda.[8]
Sriwijaya disebut dengan berbagai macam nama. Orang Tionghoa menyebutnya Shih-li-fo-shih atau San-fots'i atau San Fo Qi. Dalam bahasa Sanskerta dan bahasa Pali, kerajaan Sriwijaya
disebut Yavadesh dan Javadeh. Bangsa Arab menyebutnya Zabaj dan Khmer menyebutnyaMalayu.
Banyaknya nama merupakan alasan lain mengapa Sriwijaya sangat sulit ditemukan. [2] Sementara dari
peta Ptolemaeus ditemukan keterangan tentang adanya 3 pulau Sabadeibei yang kemungkinan berkaitan
dengan Sriwijaya.[6]
Sekitar tahun 1993, Pierre-Yves Manguin melakukan observasi dan berpendapat bahwa pusat Sriwijaya
berada di Sungai Musi antara Bukit Seguntang danSabokingking (terletak di provinsi Sumatera
Selatan sekarang), tepatnya di sekitar situs Karanganyar yang kini dijadikan Taman Purbakala Kerajaan

Sriwijaya.[2]Pendapat ini didasarkan dari foto udara tahun 1984 yang menunjukkan bahwa situs Karanganyar
menampilkan bentuk bangunan air, yaitu jaringan kanal, parit, kolam serta pulau buatan yang disusun rapi
yang dipastikan situs ini adalah buatan manusia. Bangunan air ini terdiri atas kolam dan dua pulau berbentuk
bujur sangkar dan empat persegi panjang, serta jaringan kanal dengan luas areal meliputi 20 hektar. Di
kawasan ini ditemukan banyak peninggalan purbakala yang menunjukkan bahwa kawasan ini pernah menjadi
pusat permukiman dan pusat aktifitas manusia.[10] Namun sebelumnya Soekmono berpendapat bahwa pusat
Sriwijaya terletak pada kawasan sehiliran Batang Hari, antara Muara Sabak sampai ke Muara Tembesi (di
provinsi Jambi sekarang),[6] dengan catatan Malayutidak di kawasan tersebut, jika Malayu pada kawasan
tersebut, ia cendrung kepada pendapat Moens, [11] yang sebelumnya juga telah berpendapat bahwa letak dari
pusat kerajaan Sriwijaya berada pada kawasan Candi Muara Takus (provinsi Riau sekarang), dengan asumsi
petunjuk arah perjalanan dalam catatan I Tsing,[12]serta hal ini dapat juga dikaitkan dengan berita tentang
pembangunan candi yang dipersembahkan oleh raja Sriwijaya (Se li chu la wu ni fu ma tian hwa atau Sri
Cudamaniwarmadewa) tahun 1003 kepada kaisar Cina yang dinamakan cheng tien wan shou (Candi Bungsu,
salah satu bagian dari candi yang terletak di Muara Takus). [13] Namun yang pasti pada masa penaklukan
oleh Rajendra Chola I, berdasarkan prasasti Tanjore, Sriwijaya telah beribukota di Kadaram (Kedahsekarang).
[6]

[sunting]Pembentukan

dan pertumbuhan

Candi Gumpung, candi Buddha di Muaro Jambi, Kerajaan Melayu yang ditaklukkan Sriwijaya.

Reruntuhan Wat (Candi) Kaew yang berasal dari zaman Sriwijaya di Chaiya, Thailand Selatan.

Belum banyak bukti fisik mengenai Sriwijaya yang dapat ditemukan. [8] Kerajaan ini menjadi pusat perdagangan
dan merupakan negara bahari, namun kerajaan ini tidak memperluas kekuasaannya di luar wilayah
kepulauan Asia Tenggara, dengan pengecualian berkontribusi untuk populasi Madagaskar sejauh 3.300 mil di
barat. Beberapa ahli masih memperdebatkan kawasan yang menjadi pusat pemerintahan Sriwijaya, selain itu
kemungkinan kerajaan ini biasa memindahkan pusat pemerintahannya, namun kawasan yang menjadi ibukota
tetap diperintah secara langsung oleh penguasa, sedangkan daerah pendukungnya diperintah
oleh datu setempat.
Kemaharajaan Sriwijaya telah ada sejak 671 sesuai dengan catatan I Tsing, dari prasasti Kedukan Bukit pada
tahun 682 di diketahui imperium ini di bawah kepemimpinan Dapunta Hyang. Di abad ke-7 ini, orang Tionghoa
mencatat bahwa terdapat dua kerajaan yaitu Malayu dan Kedah menjadi bagian kemaharajaan Sriwijaya.
[2]

Berdasarkan prasasti Kota Kapur yang yang berangka tahun 686 ditemukan di pulau Bangka, kemaharajaan

ini telah menguasai bagian selatan Sumatera, pulau Bangka dan Belitung, hingga Lampung. Prasasti ini juga
menyebutkan bahwa Sri Jayanasa telah melancarkan ekspedisi militer untuk menghukum Bhumi Jawa yang
tidak berbakti kepada Sriwijaya, peristiwa ini bersamaan dengan runtuhnya Tarumanagara di Jawa Barat dan
Holing (Kalingga) di Jawa Tengah yang kemungkinan besar akibat serangan Sriwijaya. Sriwijaya tumbuh dan
berhasil mengendalikan jalur perdagangan maritim di Selat Malaka, Selat Sunda, Laut China Selatan, Laut
Jawa, dan Selat Karimata.
Ekspansi kerajaan ini ke Jawa dan Semenanjung Malaya, menjadikan Sriwijaya mengendalikan dua pusat
perdagangan utama di Asia Tenggara. Berdasarkan observasi, ditemukan reruntuhan candi-candi Sriwijaya
di Thailand dan Kamboja. Di abad ke-7, pelabuhan Cham di sebelah timur Indochina mulai mengalihkan
banyak pedagang dari Sriwijaya. Untuk mencegah hal tersebut, Maharaja Dharmasetu melancarkan beberapa
serangan ke kota-kota pantai di Indochina. Kota Indrapura di tepi sungai Mekong, di awal abad ke-8 berada di
bawah kendali Sriwijaya. Sriwijaya meneruskan dominasinya atas Kamboja, sampai raja Khmer Jayawarman
II, pendiri kemaharajaan Khmer, memutuskan hubungan dengan Sriwijaya pada abad yang sama. [2] Di akhir
abad ke-8 beberapa kerajaan di Jawa, antara lain Tarumanegara danHoling berada di bawah kekuasaan
Sriwijaya. Menurut catatan, pada masa ini pula wangsa Sailendra bermigrasi keJawa Tengah dan berkuasa
disana. Di abad ini pula, Langkasuka di semenanjung Melayu menjadi bagian kerajaan. [2] Di masa berikutnya,
Pan Pan dan Trambralinga, yang terletak di sebelah utara Langkasuka, juga berada di bawah pengaruh
Sriwijaya.
Setelah Dharmasetu, Samaratungga menjadi penerus kerajaan. Ia berkuasa pada periode 792 sampai 835.
Tidak seperti Dharmasetu yang ekspansionis, Samaratungga tidak melakukan ekspansi militer, tetapi lebih
memilih untuk memperkuat penguasaan Sriwijaya di Jawa. Selama masa kepemimpinannya, ia
membangun candi Borobudur di Jawa Tengah yang selesai pada tahun 825.[2]

[sunting]Agama

Arca Buddha dalam langgam Amarawati setinggi 2,77 meter, ditemukan di situs Bukit Seguntang, Palembang, berasal dari
abad ke-7 sampai ke-8 masehi.

Sebagai pusat pengajaran Buddha Vajrayana, Sriwijaya menarik banyak peziarah dan sarjana dari negaranegara di Asia. Antara lain pendeta dari Tiongkok I Tsing, yang melakukan kunjungan ke Sumatera dalam
perjalanan studinya di Universitas Nalanda,India, pada tahun 671 dan 695, I Tsing melaporkan bahwa Sriwijaya
menjadi rumah bagi sarjana Buddha sehingga menjadi pusat pembelajaran agama Buddha. Pengunjung yang
datang ke pulau ini menyebutkan bahwa koin emas telah digunakan di pesisir kerajaan. Selain itu ajaran
Buddha aliran Buddha Hinayana danBuddha Mahayana juga turut berkembang di Sriwijaya. Menjelang akhir
abad ke-10, Atia, seorang sarjana Buddha asal Benggala yang berperan dalam mengembangkan Buddha
Vajrayana di Tibet dalam kertas kerjanya Durbodhloka menyebutkan ditulis pada masa pemerintahan Sri
Cudamani Warmadewa penguasaSriwijayanagara di Malayagiri di Suvarnadvipa.[14]
Kerajaan Sriwijaya banyak dipengaruhi budaya India, pertama oleh budaya Hindu kemudian diikuti pula oleh
agama Buddha. Raja-raja Sriwijaya menguasai kepulauan Melayu melalui perdagangan dan penaklukkan dari
kurun abad ke-7 hingga abad ke-9, sehingga secara langsung turut serta mengembangkan bahasa
Melayu beserta kebudayaannya di Nusantara.
".... banyak raja dan pemimpin yang berada di pulau-pulau pada Lautan Selatan percaya dan mengagumi Buddha,
dihati mereka telah tertanam perbuatan baik. Di dalam benteng kota Sriwijaya dipenuhi lebih dari 1000 biksu Budha,
yang belajar dengan tekun dan mengamalkannya dengan baik.... Jika seorang biarawan Cina ingin pergi ke India
untuk belajar Sabda, lebih baik ia tinggal dulu di sini selama satu atau dua tahun untuk mendalami ilmunya sebelum
dilanjutkan di India".

Gambaran Sriwijaya menurut I Tsing.[4]

Sangat dimungkinkan bahwa Sriwijaya yang termahsyur sebagai bandar pusat perdagangan di Asia Tenggara,
tentunya menarik minat para pedagang dan ulama muslim dari Timur Tengah, sehingga beberapa kerajaan
yang semula merupakan bagian dari Sriwijaya, kemudian tumbuh menjadi cikal-bakal kerajaan-kerajaan Islam
di Sumatera kelak, disaat melemahnya pengaruh Sriwijaya.
Ada sumber yang menyebutkan, karena pengaruh orang muslim Arab yang banyak berkunjung dan berdagang
di Sriwijaya, maka seorang raja Sriwijaya yang bernama Sri Indrawarman pada tahun 718 diduga masuk
Islam[15] atau setidaknya tertarik untuk mempelajari Islam dan kebudayaan Arab, sehingga mungkin kehidupan
sosial Sriwijaya adalah masyarakat sosial yang di dalamnya terdapat masyarakat Budha dan Muslim sekaligus.
Tercatat beberapa kali raja Sriwijaya berkirim surat ke khalifah Islam di Damaskus, Suriah. Pada salah satu
naskah surat yang ditujukan kepada khalifah Umar bin Abdul Aziz (717-720) berisi permintaan agar khalifah
sudi mengirimkan ulama ke istana Sriwijaya.[16]

[sunting]Budaya

Candi Muara Takus, salah satu kawasan yang dianggap sebagai ibukota Sriwijaya.

Berdasarkan berbagai sumber sejarah, sebuah masyarakat yang kompleks dan kosmopolitan yang sangat
dipengaruhi alam pikiran budha wajrayana digambarkan bersemi di ibu kota Sriwijaya. Beberapa prasasti
siddhayatra abad ke-7 seperti Prasasti Talang Tuwo menggambarkan ritual budha untuk memberkati peristiwa
penuh berkah yaitu peresmian taman Sriksetra, anugerah Maharaja Sriwijaya untuk rakyatnya. Prasasti Telaga
Batu menggambarkan kerumitan dan tingkatan jabatan pejabat kerajaan, sementara Prasasti Kota
Kapur menyebutkan keperkasaan balatentara Sriwijaya atas Jawa. Semua prasasti ini menggunakan Bahasa
Melayu Kuno, bahasa yang digunakan oleh Sriwijaya ini adalah leluhur Bahasa Melayu dan Bahasa
Indonesia modern. Sejak abad ke-7, bahasa Melayu kuno telah digunakan di Nusantara, ditandai dengan
ditemukannya berbagai prasasti Sriwijaya dan beberapa prasasti berbahasa Melayu Kuno di tempat lain,
seperti yang ditemukan di pulau Jawa. Hubungan dagang yang dilakukan berbagai suku bangsa Nusantara
menjadi wahana penyebaran bahasa Melayu, karena bahasa ini menjadi alat komunikasi bagi kaum pedagang.

Sejak saat itu, bahasa Melayu menjadi lingua francadan digunakan secara meluas oleh banyak penutur di
kepulauan Nusantara.[17]
Meskipun disebut memiliki kekuatan ekonomi dan keperkasaan militer, Sriwijaya hanya meninggalkan sedikit
tinggalan purbakala di jantung negerinya di Sumatera, sangat berbeda dengan episode Sriwijaya di Jawa
Tengah saat kepemimpinan wangsa Syailendra yang banyak membangun monumen besar; seperti Candi
Kalasan, Candi Sewu, dan Borobudur. Candi-candi budha yang berasal dari masa Sriwijaya di Sumatera
antara lain Candi Muaro Jambi, Candi Muara Takus, dan Biaro Bahal, akan tetapi tidak seperti candi periode
Jawa Tengah yang terbuat dari batu andesit, candi di Sumatera terbuat dari bata merah.
Beberapa arca-arca bersifat budhisme, seperti berbagai arca budha dan
bodhisatwa Awalokiteswara ditemukan di Bukit Seguntang, Palembang[18], Jambi[19],
Bidor, Perak[20] dan Chaiya[21]. Semua arca-arca ini menampilkan keanggunan dan langgam yang sama yang
disebut "Seni Sriwijaya" atau "Langgam/Gaya Sriwijaya" yang memperlihatkan kemiripan mungkin diilhami
oleh langgam Amarawati India dan langgam Syailendra Jawa (sekitar abad ke-8 sampai ke-9). [22]

[sunting]Perdagangan

Model kapal tahun 800-an Masehi yang terdapat pada candi Borobudur.

Di dunia perdagangan, Sriwijaya menjadi pengendali jalur perdagangan antara India dan Tiongkok, yakni
dengan penguasaan atas selat Malaka dan selat Sunda. Orang Arab mencatat bahwa Sriwijaya memiliki aneka
komoditas seperti kapur barus, kayu gaharu, cengkeh, pala, kepulaga, gading, emas, dan timah yang membuat
raja Sriwijaya sekaya raja-raja di India.[12] Kekayaan yang melimpah ini telah memungkinkan Sriwijaya membeli
kesetiaan dari vassal-vassalnya di seluruh Asia Tenggara.
Selain menjalin hubungan dagang dengan India dan Tiongkok, Sriwijaya juga menjalin perdagangan dengan
tanah Arab, kemungkinan utusan Maharaja Sri Indrawarman yang mengantarkan surat kepada khalifah Umar
bin Abdul-Aziz dari Bani Umayyah tahun 718 kembali ke Sriwijaya dengan membawa hadiahZanji (budak
wanita berkulit hitam), dan kemudian dari kronik Tiongkok disebutkan Shih-li-fo-shih dengan rajanya Shih-lit-'o-pa-mo (Sri Indrawarman) pada tahun 724 mengirimkan hadiah buat kaisar Cina,
berupa ts'engchi (bermaksud sama dengan Zanji dalam bahasa Arab).[23]

Pada paruh pertama abad ke-10, di antara kejatuhan dinasti Tang dan naiknya dinasti Song, perdagangan
dengan luar negeri cukup marak, terutama Fujian,kerajaan Min dan kerajaan Nan Han dengan negeri
kayanya Guangdong. Tak diragukan lagi Sriwijaya mendapatkan keuntungan dari perdagangan ini.

[sunting]Hubungan

dengan wangsa Sailendra

Candi Borobudur, pembangunannya diselesaikan pada masa Samaratungga

Artikel utama untuk bagian ini adalah: Wangsa Sailendra


Munculnya keterkaitan antara Sriwijaya dengan dinasti Sailendra dimulai karena adanya
nama ailendravama pada beberapa prasasti di antaranya padaprasasti Kalasan di pulau Jawa, prasasti
Ligor di selatan Thailand, dan prasasti Nalanda di India. Sementara pada prasasti Sojomerto dijumpai
nama Dapunta Selendra. Walau asal-usul dinasti ini masih diperdebatkan sampai sekarang. [12]
Majumdar berpendapat dinasti Sailendra ini terdapat di Sriwijaya (Suwarnadwipa) dan Medang (Jawa),
keduanya berasal dari Kalinga di selatan India.[24]Kemudian Moens menambahkan kedatangan Dapunta
Hyang ke Palembang, menyebabkan salah satu keluarga dalam dinasti ini pindah ke Jawa.
[25]

Sementara Poerbatjaraka berpendapat bahwa dinasti ini berasal dari Nusantara, didasarkan atas Carita

Parahiyangan[26] kemudian dikaitkan dengan beberapa prasasti lain di Jawa yang berbahasa Melayu Kuna di
antaranya prasasti Sojomerto.[27]

[sunting]Hubungan

dengan kekuatan regional

Pagoda Borom That bergaya Sriwijaya di Chaiya, Thailand.

Untuk memperkuat posisinya atas penguasaan pada kawasan di Asia Tenggara, Sriwijaya menjalin hubungan
diplomasi dengan kekaisaran China, dan secara teratur mengantarkan utusan beserta upeti. [28]
Pada tahun 100 Hijriyah (718 Masehi) Maharaja Sriwijaya bernama Sri Indrawarman mengirimkan sepucuk
surat kepada Kalifah Umar bin Abdul Aziz dari Kekhalifahan Umayyah yang berisi permintaan kepada Khalifah
untuk mengirimkan ulama yang dapat menjelaskan ajaran dan hukum Islam kepadanya. Dalam surat itu
tertulis:
" Dari Raja sekalian para raja yang juga adalah keturunan ribuan raja, yang isterinya pun adalah cucu dari ribuan
raja, yang kebun binatangnya dipenuhi ribuan gajah, yang wilayah kekuasaannya terdiri dari dua sungai yang
mengairi tanaman lidah buaya, rempah wangi, pala, dan jeruk nipis, yang aroma harumnya menyebar hingga 12 mil.
Kepada Raja Arab yang tidak menyembah tuhan-tuhan lain selain Allah. Aku telah mengirimkan kepadamu bingkisan
yang tak seberapa sebagai tanda persahabatan. Kuharap engkau sudi mengutus seseorang untuk menjelaskan
ajaran Islam dan segala hukum-hukumnya kepadaku."
Surat Maharaja Sriwijaya, Sri Indrawarman kepada Khalifah Umar bin Abdul Aziz.[23]

Peristiwa ini membuktikan bahwa Sriwijaya telah menjalin hubungan diplomatik dengan dunia Islam atau dunia
Arab. Meskipun demikian surat ini bukanlah berarti bahwa raja Sriwijaya ini telah memeluk agama Islam,
melainkan hanya menunjukkan hasrat Sang Raja untuk mengenal dan mempelajari berbagai hukum, budaya,
dan adat-istiadat dari berbagai rekan perniagaan dan peradaban yang dikenal Sriwijaya saat itu; yakni
Tiongkok, India, dan Timur Tengah.

Pada masa awal kerajaan Khmer merupakan daerah jajahan Sriwijaya. Banyak sejarawan mengklaim
bahwa Chaiya, di propinsi Surat Thani,Thailand Selatan, sebagai ibu kota kerajaan tersebut, pengaruh
Sriwijaya nampak pada bangunan pagoda Borom That yang bergaya Sriwijaya. Setelah kejatuhan Sriwijaya,
Chaiya terbagi menjadi tiga kota yakni (Mueang) Chaiya, Thatong (Kanchanadit), dan Khirirat Nikhom.
Sriwijaya juga berhubungan dekat dengan kerajaan Pala di Benggala, pada prasasti Nalanda berangka 860
mencatat bahwa raja Balaputradewa mendedikasikan sebuah biara kepada Universitas Nalanda. Relasi
dengan dinasti Chola di selatan India juga cukup baik, dari prasasti Leiden disebutkan raja Sriwijaya
di Kataha Sri Mara-Vijayottunggawarman telah membangun sebuah vihara yang dinamakan dengan Vihara
Culamanivarmma, namun menjadi buruk setelah Rajendra Chola I naik tahta yang melakukan penyerangan
pada abad ke-11. Kemudian hubungan ini kembali membaik pada masa Kulothunga Chola I, di mana raja
Sriwijaya di Kadaram mengirimkan utusan yang meminta dikeluarkannya pengumuman pembebasan cukai
pada kawasan sekitar Vihara Culamanivarmma tersebut. Namun demikian pada masa ini Sriwijaya dianggap
telah menjadi bahagian dari dinasti Chola, dari kronik Tiongkok menyebutkan bahwa Kulothunga Chola I (Tihua-ka-lo) sebagai raja San-fo-ts'i membantu perbaikan candi dekat Kanton pada tahun 1079, pada
masa dinasti Song candi ini disebut dengan nama Tien Ching Kuan dan pada masa dinasti Yuan disebut
dengan nama Yuan Miau Kwan.[6]

[sunting]Masa

keemasan

Arca emas Avalokitevarabergaya Malayu-Sriwijaya, ditemukan di Rantaukapastuo, Muarabulian, Jambi, Indonesia.

Kemaharajaan Sriwijaya bercirikan kerajaan maritim, mengandalkan hegemoni pada kekuatan armada lautnya
dalam menguasai alur pelayaran, jalur perdagangan, menguasai dan membangun beberapa kawasan strategis

sebagai pangkalan armadanya dalam mengawasi, melindungi kapal-kapal dagang, memungut cukai serta
untuk menjaga wilayah kedaulatan dan kekuasaanya.[29]
Dari catatan sejarah dan bukti arkeologi, pada abad ke-9 Sriwijaya telah melakukan kolonisasi di hampir
seluruh kerajaan-kerajaan Asia Tenggara, antara lain:Sumatera, Jawa, Semenanjung
Malaya, Thailand, Kamboja, Vietnam,[2] dan Filipina.[30] Dominasi atas Selat Malaka dan Selat Sunda,
menjadikan Sriwijaya sebagai pengendali rute perdagangan rempah dan perdagangan lokal yang mengenakan
biaya atas setiap kapal yang lewat. Sriwijaya mengakumulasi kekayaannya sebagai pelabuhan dan gudang
perdagangan yang melayani pasar Tiongkok, dan India.
Sriwijaya juga disebut berperan dalam menghancurkan kerajaan Medang di Jawa, dalam prasasti
Pucangan disebutkan sebuah peristiwa Mahapralaya yaitu peristiwa hancurnya istana Medang di Jawa Timur,
di mana Haji Wurawari dari Lwaram yang kemungkinan merupakan raja bawahan Sriwijaya, pada tahun 1006
atau 1016 menyerang dan menyebabkan terbunuhnya raja Medang terakhir Dharmawangsa Teguh.[6]

[sunting]Masa

penurunan

Tahun 1017 dan 1025, Rajendra Chola I, raja dari dinasti Chola di Koromandel, India selatan, mengirim
ekspedisi laut untuk menyerang Sriwijaya, berdasarkanprasasti Tanjore bertarikh 1030, kerajaan Chola telah
menaklukan daerah-daerah koloni Sriwijaya, sekaligus berhasil menawan raja Sriwijaya yang berkuasa waktu
ituSangrama-Vijayottunggawarman. Selama beberapa dekade berikutnya seluruh imperium Sriwijaya telah
berada dalam pengaruh dinasti Chola. Meskipun demikian Rajendra Chola I tetap memberikan peluang kepada
raja-raja yang ditaklukannya untuk tetap berkuasa selama tetap tunduk kepadanya. [31] Hal ini dapat dikaitkan
dengan adanya berita utusan San-fo-ts'i ke Cina tahun 1028.[32]
Kawasan Sriwijaya dalam prasasti Tanjore
Nama kawasan

Keterangan

Pannai

Pannai

Malaiyur

Malayu

Mayirudingam
Ilangasogam

Langkasuka

Mappappalam
Mevilimbangam
Valaippanduru
Takkolam
Madamalingam

Tambralingga

Ilamuri-Desam

Lamuri

Nakkavaram

Nikobar

Kadaram

Kedah

Namun demikian pada masa ini Sriwijaya dianggap telah menjadi bagian dari dinasti Chola, dari kronik
Tiongkok menyebutkan bahwa pada tahun 1079 Kulothunga Chola I (Ti-hua-ka-lo) raja dinasti Chola disebut
juga sebagai raja San-fo-ts'i, yang kemudian mengirimkan utusan untuk membantu perbaikan candi dekat
Kanton. Selanjutnya dalam berita Cina yang berjudul Sung Hui Yao disebutkan bahwa kerajaan San-fo-tsi pada
tahun 1082 masih mengirimkan utusan pada masa Cina di bawah pemerintahan Kaisar Yuan Fong. Duta besar
tersebut menyampaikan surat dari raja Kien-pi bawahan San-fo-tsi, yang merupakan surat dari putri raja yang
diserahi urusan negara San-fo-tsi, serta menyerahkan pula 227 tahil perhiasan, rumbia, dan 13 potong
pakaian. Kemudian juga mengirimkan utusan berikutnya pada tahun 1088.[2] Pengaruh invasi Rajendra Chola I,
terhadap hegemoni Sriwijaya atas raja-raja bawahannya melemah, beberapa daerah taklukan melepaskan diri,
sampai muncul Dharmasraya sebagai kekuatan baru yang kemudian menguasai kembali wilayah jajahan
Sriwijaya mulai dari kawasan Semenanjung Malaya, Sumatera, sampai Jawa bagian barat.
Berdasarkan sumber Tiongkok pada buku Chu-fan-chi[33] yang ditulis pada tahun 1178, Chou-JuKua menerangkan bahwa di kepulauan Asia Tenggaraterdapat dua kerajaan yang sangat kuat dan kaya, yakni
San-fo-ts'i dan Cho-po (Jawa). Di Jawa dia menemukan bahwa rakyatnya memeluk agama Budha dan Hindu,
sedangkan rakyat San-fo-ts'i memeluk Budha, dan memiliki 15 daerah bawahan yang meliputi; Silan (Kamboja), Tan-ma-ling (Tambralingga, Ligor, selatan Thailand), Kia-lo-hi (Grahi, Chaiya sekarang, selatan
Thailand), Ling-ya-si-kia (Langkasuka), Kilantan (Kelantan), Pong-fong (Pahang), Tong-ya-nong (Terengganu),
Fo-lo-an (muara sungai Dungun daerah Terengganu sekarang), Ji-lo-t'ing (Cherating, pantai timur
semenanjung malaya), Ts'ien-mai(Semawe, pantai timur semenanjung malaya), Pa-t'a (Sungai Paka, pantai
timur Semenanjung Malaya), Lan-wu-li (Lamuri di Aceh), Pa-lin-fong(Palembang), Kien-pi (Jambi), dan Sint'o (Sunda).[6][11]
Namun demikian, istilah San-fo-tsi terutama pada tahun 1178 tidak lagi identik dengan Sriwijaya, melainkan
telah identik dengan Dharmasraya, dari daftar 15 negeri bawahan San-fo-tsi tersebut merupakan daftar jajahan
kerajaan Dharmasraya, walaupun sumber Tiongkok tetap menyebut San-fo-tsi sebagai kerajaan yang berada
di kawasan laut Cina Selatan. Hal ini karena dalam Pararaton telah menyebutkan Malayu,
disebutkan Kertanagara raja Singhasari mengirim sebuah ekspedisi Pamalayu atauPamalayu, dan kemudian
menghadiahkan Arca Amoghapasa kepada raja Melayu, Srimat Tribhuwanaraja Mauli
Warmadewa di Dharmasraya sebagaimana yang tertulis pada prasasti Padang Roco. Peristiwa ini kemudian
dikaitkan dengan manuskrip yang terdapat pada prasasti Grahi. Begitu juga dalam Nagarakretagama, yang
menguraikan tentang daerah jajahan Majapahit juga sudah tidak menyebutkan lagi nama Sriwijaya untuk
kawasan yang sebelumnya merupakan kawasan Sriwijaya.

[sunting]Struktur

pemerintahan

Pembentukan satu negara kesatuan dalam dimensi struktur otoritas politik Sriwijaya, dapat dilacak dari
beberapa prasasti yang mengandung informasi penting
tentang kadtuan, vanua, samaryyda,mandala dan bhmi.[34]
Kadtuan dapat bermakna kawasan dtu, (tnah rumah) tempat tinggal bini hji, tempat disimpan mas dan
hasil cukai (drawy) sebagai kawasan yang mesti dijaga. Kadtuan ini dikelilingi oleh vanua, yang dapat
dianggap sebagai kawasan kota dari Sriwijaya yang didalamnya terdapat vihara untuk tempat beribadah bagi
masyarakatnya. Kadtuan dan vanua ini merupakan satu kawasan inti bagi Sriwijaya itu sendiri.
Menurut Casparis, samaryyda merupakan kawasan yang berbatasan dengan vanua, yang terhubung dengan
jalan khusus (samaryyda-patha) yang dapat bermaksud kawasan pedalaman.
Sedangkan mandala merupakan suatu kawasan otonom dari bhmi yang berada dalam pengaruh
kekuasaan kadtuan Sriwijaya.
Penguasa Sriwijaya disebut dengan Dapunta Hyang atau Maharaja, dan dalam lingkaran raja terdapat secara
berurutan yuvarja (putra mahkota), pratiyuvarja (putra mahkota kedua) dan rjakumra(pewaris berikutnya).
[35]

Prasasti Telaga Batu banyak menyebutkan berbagai jabatan dalam struktur pemerintahan kerajaan pada

masa Sriwijaya.

[sunting]Raja

yang memerintah

Para Maharaja Sriwijaya[2][6]

Tahu
n

671

Nama Raja

Dapunta Hyang atau


Sri Jayanasa

Ibukota

Srivijaya

Prasasti, catatan pengiriman


utusan ke Tiongkok serta peristiwa
Catatan perjalanan I Tsing pada tahun
671-685, Penaklukan Malayu,
penaklukan Jawa
Prasasti Kedukan Bukit (683), Talang

Shih-li-fo-shih

Tuo (684), Kota Kapur (686), Karang


Brahi dan Palas Pasemah

702

728

Sri Indrawarman

Sriwijaya

Shih-li-t-'o-pa-mo

Shih-li-fo-shih

Rudra Vikraman

Sriwijaya

Lieou-t'eng-wei-kong

Shih-li-fo-shih

Utusan ke Tiongkok 702-716, 724


Utusan ke Khalifah Muawiyah I dan
Khalifah Umar bin Abdul Aziz

Utusan ke Tiongkok 728-742

Tahu
n

Nama Raja

Ibukota

743-774
775

Prasasti, catatan pengiriman


utusan ke Tiongkok serta peristiwa
Belum ada berita pada periode ini

Sri Maharaja

Sriwijaya

Prasasti Ligor B tahun 775 di Nakhon Si


Thammarat, selatan Thailand dan
menaklukkanKamboja

Pindah ke Jawa (Jawa


Tengahatau Yogyakarta)

Wangsa Sailendra mengantikan Wangsa


Sanjaya
Prasasti Kelurak 782 di sebelah utara
kompleks Candi Prambanan

778

Dharanindra atau
Rakai Panangkaran

Jawa

Prasasti Kalasan tahun 778 di Candi


Kalasan

782

Samaragrawira atau
Rakai Warak

Jawa

Prasasti Nalanda dan prasasti


Mantyasih tahun 907
Prasasti Karang Tengah tahun 824,

792

Samaratungga atau
Rakai Garung

Jawa

825 menyelesaikan pembangunan


candi Borobudur
Kebangkitan Wangsa Sanjaya, Rakai
Pikatan

840

856

Balaputradewa

Suwarnadwipa

Kehilangan kekuasaan di Jawa, dan


kembali ke Suwarnadwipa
Prasasti Nalanda tahun 860, India

861-959

960

Belum ada berita pada periode ini


Sri Udayaditya
Warmadewa
Se-li-hou-ta-hia-li-tan

Sriwijaya
San-fo-ts'i

Utusan ke Tiongkok 980 & 983: dengan


raja, Hie-tche (Haji)

980

988

Utusan ke Tiongkok 960, & 962

Sri Cudamani
Warmadewa

Sriwijaya

990 Jawa menyerang Sriwijaya,


Catatan Atia,

Malayagiri

Utusan ke Tiongkok 988-992-1003,

Se-li-chu-la-wu-ni-fu-

(Suwarnadwipa) San-fo- pembangunan candi untuk kaisar


Cina yang diberi nama
ts'i

ma-tian-hwa

cheng tien wan shou


1008

Sri MaraVijayottunggawarman

San-fo-ts'i

Prasasti Leiden & utusan ke Tiongkok


1008

Tahu
n

Nama Raja

Se-li-ma-la-pi

Ibukota

Kataha
Utusan San-fo-ts'i ke Tiongkok 1017:
dengan raja, Ha-ch'i-su-wa-ch'a-p'u
(Haji Sumatrabhumi (?));
gelar haji biasanya untuk raja bawahan

1017

1025

Prasasti, catatan pengiriman


utusan ke Tiongkok serta peristiwa

SangramaVijayottunggawarman

Sriwijaya

Diserang oleh Rajendra Chola I dan


menjadi tawanan

Kadaram

Prasasti Tanjore bertarikh 1030 pada


candi Rajaraja, Tanjore, India

1030

Dibawah Dinasti
Chola dari Koromandel

1079

Utusan San-fo-ts'i dengan


raja Kulothunga Chola I (Ti-hua-ka-lo)
ke Tiongkok 1079 membantu
memperbaiki candi Tien Ching di Kuang
Cho (dekat Kanton)

1082

Utusan San-fo-ts'i dari Kien-pi (Jambi)


ke Tiongkok 1082 dan 1088

10891177

Belum ada berita

1178

Laporan Chou-Ju-Kua dalam buku Chufan-chi berisi daftar koloni San-fo-ts'i

1183

Srimat Trailokyaraja
Maulibhusana
Warmadewa

[sunting]Warisan

Dharmasraya

Dibawah Dinasti Mauli, Kerajaan


Melayu, Prasasti Grahi tahun 1183 di
selatan Thailand

sejarah

Busana gadis penari Gending Sriwijayayang raya dan keemasan menggambarkan kegemilangan dan kekayaan Sriwijaya.

Meskipun Sriwijaya hanya menyisakan sedikit peninggalan arkeologi dan keberadaanya sempat terlupakan
dari ingatan masyarakat pendukungnya, penemuan kembali kemaharajaan bahari ini oleh Coeds pada tahun
1920-an telah membangkitkan kesadaran bahwa suatu bentuk persatuan politik raya, berupa kemaharajaan
yang terdiri atas persekutuan kerajaan-kerajaan bahari, pernah bangkit, tumbuh, dan berjaya pada masa lalu.
Warisan terpenting Sriwijaya mungkin adalah bahasanya. Selama berabad-abad perkembangan kekuatan
ekononomi dan keperkasaan militernya, Sriwijaya berperan besar atas tersebarluasnya penggunaan Bahasa
Melayu Kuno di Nusantara, setidaknya di kawasan pesisir. Bahasa ini menjadi bahasa kerja atau bahasa yang
berfungsi sebagai penghubung (lingua franca) digunakan di berbagai bandar dan pasar di kawasan Nusantara.
[36]

Tersebar luasnya bahasa Melayu Kuno ini mungkin yang telah membuka dan memuluskan jalan

bagi Bahasa Melayu sebagai bahasa nasional Malaysia, dan Bahasa Indonesiasebagai bahasa pemersatu
Indonesia modern.
Di samping Majapahit, kaum nasionalis Indonesia juga mengagungkan Sriwijaya sebagai sumber kebanggaan
dan bukti kejayaan masa lampau Indonesia.[37]Kegemilangan Sriwijaya telah menjadi sumber kebanggaan
nasional dan identitas daerah, khususnya bagi penduduk kota Palembang, provinsi Sumatera Selatan,
keluhuran Sriwijaya telah menjadi inspirasi seni budaya, seperti lagu dan tarian tradisional Gending Sriwijaya.
Hal yang sama juga berlaku bagi masyarakat selatan Thailand yang menciptakan kembali tarian Sevichai yang
berdasarkan pada keanggunan seni budaya Sriwijaya.
Di Indonesia, nama Sriwijaya telah digunakan dan diabadikan sebagai nama jalan di berbagai kota, dan nama
ini juga digunakan oleh Universitas Sriwijaya yang didirikan tahun 1960 di Palembang. Demikian pula Kodam II
Sriwijaya (unit komando militer), PT Pupuk Sriwijaya (Perusahaan Pupuk di Sumatera Selatan), Sriwijaya Post
(Surat kabar harian di Palembang), Sriwijaya TV, Sriwijaya Air(maskapai penerbangan), Stadion Gelora
Sriwijaya, dan Sriwijaya Football Club (Klab sepak bola Palembang), semua dinamakan demikian untuk
menghormati, memuliakan, dan merayakan kemaharajaan Sriwijaya yang gemilang.

Dharmasraya
Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
(Dialihkan dari Kerajaan Malayu Dharmasraya)

Untuk nama kabupaten, lihat Kabupaten Dharmasraya.

Malayu
Dharmasraya

Arca Bhairawa

Ibu kota

Dharmasraya
Hulu Batang Hari

Bahasa

Melayu
Kuna, Sanskerta

Agama

Buddha

Pemerintahan

Monarki

Sejarah
- Prasasti Grahi

1183

- Malayapura

1347

Mata uang

Koin emas dan


perak

Ekspedisi Pamalayu

Dharmasraya adalah nama ibukota dari sebuah Kerajaan Melayu di Sumatera[1], nama ini muncul seiring
dengan melemahnya kerajaanSriwijaya setelah serangan Rajendra Chola I raja Chola dari Koromandel pada
tahun 1025.

Daftar isi
[sembunyikan]

1 Awal mula
1.1 Munculnya Wangsa Mauli

2 Daerah kekuasaan Dharmasraya =


o

2.1 San-fo-tsi

2.2 Ekspedisi Pamalayu


3 Penaklukan Majapahit
4 Dari Dharmasraya ke Malayapura
5 Daftar Raja Dharmasraya
6 Rujukan
7 Pranala luar

[sunting]Awal

mula

[sunting]Munculnya

Wangsa Mauli

Kemunduran kerajaan Sriwijaya akibat serangan Rajendra Chola I, raja dinasti Chola telah mengakhiri
kekuasaan Wangsa Sailendra atas Pulau Sumatra dan Semenanjung Malaya. Beberapa waktu kemudian
muncul sebuah dinasti baru yang mengambil alih peran Wangsa Sailendra, yaitu yang disebut dengan nama
Wangsa Mauli.
Prasasti tertua yang pernah ditemukan atas nama raja Mauli adalah Prasasti Grahi tahun 1183 di
selatan Thailand. Prasasti itu berisi perintahMaharaja Srimat Trailokyaraja Maulibhusana Warmadewa kepada
bupati Grahi yang bernama Mahasenapati Galanai supaya membuat arca Buddha seberat 1 bhara 2 tula
dengan nilai emas 10 tamlin. Yang mengerjakan tugas membuat arca tersebut bernama Mraten Sri Nano.

Prasasti kedua berselang lebih dari satu abad kemudian, yaitu Prasasti Padang Roco tahun 1286. Prasasti ini
menyebut raja Swarnabhumi bernama Maharaja Srimat Tribhuwanaraja Mauli Warmadewa yang mendapat
kiriman hadiahArca Amoghapasa dari Raja Kertanagara rajaSinghasari di Pulau Jawa. Arca tersebut kemudian
diletakkan di Dharmasraya.
Dharmasraya dalam Pararaton merupakan ibukota dari negeri bhmi mlayu. Dengan demikian,
Tribhuwanaraja dapat pula disebut sebagai raja Malayu. Tribhuwanaraja sendiri kemungkinan besar adalah
keturunan dari Trailokyaraja. Oleh karena itu, Trailokyaraja pun bisa juga dianggap sebagai raja Malayu,
meskipun prasasti Grahi tidak menyebutnya dengan jelas.
Yang menarik di sini adalah daerah kekuasaan Trailokyaraja pada tahun 1183 telah mencapai Grahi, yang
terletak di selatan Thailand (Chaiya sekarang). Itu artinya, setelah Sriwijaya mengalami kekalahan, Malayu
bangkit kembali sebagai penguasa Selat Malaka. Namun, kapan kiranya kebangkitan tersebut dimulai tidak
dapat dipastikan, dari catatan Cina

[2]

disebutkan bahwa pada tahun 1082 masih ada utusan dari Chen-

pi (Jambi) sebagai bawahan San-fo-ts'i, dan disaat bersamaan muncul pula utusan dari Pa-linfong (Palembang) yang masih menjadi bawahan keluarga Rajendra.
Istilah Srimat yang ditemukan di depan nama Trailokyaraja dan Tribhuwanaraja berasal dari bahasa Tamil yang
bermakna tuan pendeta. Dengan demikian, kebangkitan kembali Kerajaan Malayu dipelopori oleh kaum
pendeta. Namun, tidak diketahui dengan jelas apakah pemimpin kebangkitan tersebut adalah Srimat
Trailokyaraja, ataukah raja sebelum dirinya, karena sampai saat ini belum ditemukan prasasti Wangsa Mauli
yang lebih tua daripada prasasti Grahi.

[sunting]Daerah

kekuasaan Dharmasraya =

Dalam naskah berjudul Zhufan Zhi () karya Zhao Rugua tahun 1225[3] disebutkan bahwa negeri San-fotsi memiliki 15 daerah bawahan, yaitu Che-lan (Kamboja), Kia-lo-hi (Grahi, Ch'ai-ya
atauChaiya selatan Thailand sekarang), Tan-ma-ling (Tambralingga, selatan Thailand), Ling-ya-sikia (Langkasuka, selatan Thailand), Ki-lan-tan (Kelantan), Ji-lo-t'ing (Cherating, pantai timur semenanjung
malaya), Tong-ya-nong (Terengganu), Fo-lo-an (muara sungai Dungun, daerah Terengganu sekarang), Tsienmai (Semawe, pantai timur semenanjung malaya), Pa-t'a (Sungai Paka, pantai timur semenanjung
malaya), Pong-fong (Pahang), Lan-mu-li (Lamuri, daerah Aceh sekarang), Kien-pi (Jambi), Pa-linfong (Palembang), Sin-to (Sunda), dan dengan demikian, wilayah kekuasaan San-fo-tsi membentang dari
Kamboja, Semenanjung Malaya, Sumatera sampai Sunda.

[sunting]San-fo-tsi
Istilah San-fo-tsi pada zaman Dinasti Song sekitar tahun 990an identik dengan Sriwijaya. Namun, ketika
Sriwijaya mengalami kehancuran pada tahun 1025, istilah San-fo-tsi masih tetap dipakai dalam naskahnaskah kronik Cina untuk menyebut pulau Sumatra secara umum. Apabila San-fo-tsi masih dianggap identik
dengan Sriwijaya, maka hal ini akan bertentangan dengan prasasti Tanjoretahun 1030, bahwa saat itu
Sriwijaya telah kehilangan kekuasaannya atas Sumatera dan Semenanjung Malaya. Walaupun kronik Cina
mencatat bahwa pada periode 1079 dan 1088, San-fo-tsi masih mengirimkan utusan. [4]
Dalam berita Cina yang berjudul Sung Hui Yao disebutkan bahwa Kerajaan San-fo-tsi tahun 1082 mengirim
duta besar ke Cina yang saat itu di bawah pemerintahan Kaisar Yuan Fong. Duta besar tersebut
menyampaikan surat dari raja Kien-pi (jambi) bawahan San-fo-tsi, dan surat dari putri raja yang diserahi urusan
negara San-fo-tsi, serta menyerahkan pula 227 tahil perhiasan, rumbia, dan 13 potong pakaian. Kemudian
dilanjutkan pengiriman utusan selanjutnya tahun 1088.
Sebaliknya, dari daftar daerah bawahan San-fo-tsi tersebut tidak ada menyebutkan Ma-la-yu ataupun nama
lain yang mirip dengan Dharmasraya.
Dengan demikian, istilah San-fo-tsi pada tahun 1225 tidak lagi identik dengan Sriwijaya, melainkan identik
dengan Dharmasraya. Jadi, daftar 15 negeri bawahan San-fo-tsi tersebut merupakan daftar jajahan Kerajaan
Dharmasraya, karena saat itu masa kejayaan Sriwijaya sudah berakhir.
Jadi, istilah San-fo-tsi yang semula bermakna Sriwijaya tetap digunakan dalam berita Cina untuk
menyebut Pulau Sumatera secara umum, meskipun kerajaan yang berkuasa saat itu adalah Dharmasraya. Hal
yang serupa terjadi pada abad ke-14, yaitu zaman Majapahit dan Dinasti Ming. Catatan sejarah Dinasti Ming
masih menggunakan istilah San-fo-tsi, seolah-olah saat itu Sriwijaya masih ada. Sementara itu, catatan sejarah
Majapahit berjudul Nagarakretagama tahun 1365 sama sekali tidak pernah menyebut adanya negeri bernama
Sriwijaya melainkan Palembang.

[sunting]Ekspedisi

Pamalayu

Dalam Kidung Panji Wijayakrama dan Pararaton menyebutkan pada tahun 1275, Kertanagara mengirimkan
utusan dari Jawa ke Sumatera yang dikenal dengan nama Ekspedisi Pamalayu yang dipimpin oleh Mahisa
Anabrang atau Kebo Anabrang, kemudian ditahun 1286 Kertanagara kembali mengirimkan utusan untuk
mengantarkan Arca Amoghapasa yang kemudian dipahatkan padaPrasasti Padang Roco di Dharmasraya
ibukota bhumi malayu sebagai hadiah dari kerajaan Singhasari dan tim ini kembali ke pulau Jawa pada tahun
1293 sekaligus membawa dua orang putri dariKerajaan Melayu yakni bernama Dara Petak dan Dara Jingga.

Kemudian Dara Petak dinikahkan oleh Raden Wijaya yang telah menjadi raja Majapahit penganti Singhasari,
dan pernikahan ini melahirkan Jayanagara, raja kedua Majapahit. Sedangkan Dara Jingga dinikahkan
dengan sira alaki dewa ( orang yang bergelar dewa) dan kemudian melahirkan Tuan Janaka atau Mantrolot
Warmadewa yang identik dengan Adityawarman[5] dan kelak menjadi Tuan Surawasa (Suruaso)
berdasarkan Prasasti Batusangkar di pedalaman Minangkabau.[6]

[sunting]Penaklukan

Majapahit

Kakawin Nagarakretagama yang ditulis tahun 1365 menyebut Negeri Melayu sebagai salah satu di antara
sekian banyak negeri jajahan Kerajaan Majapahit.[7] Namun interpretasi isi yang menguraikan daerah-daerah
"wilayah" kerajaan Majapahit yang harus menghaturkan upeti ini masih kontroversial, sehingga
dipertentangkan sampai hari ini. Pada tahun 1339 Adityawarman dikirim sebagai uparajaatau raja bawahan
Majapahit, sekaligus melakukan beberapa penaklukan yang dimulai dengan menguasai Palembang [2]. Kidung
Pamacangah dan Babad Arya Tabanan menyebut nama Arya Damarsebagai Bupati Palembang yang berjasa
membantu Gajah Mada menaklukkan Bali pada tahun 1343[8]. Menurut Prof. C.C. Berg, tokoh ini dianggapnya
identik dengan Adityawarman[5].

[sunting]Dari

Dharmasraya ke Malayapura

Setelah membantu Majapahit dalam melakukan beberapa penaklukan, pada tahun 1347 tahun masehi
atau 1267 tahun saka, Adityawarman memproklamirkan dirinya sebagai Maharajadiraja dengan gelar Srimat
Sri Udayadityawarman Pratapaparakrama Rajendra Mauli Warmadewa dan menamakan kerajaannya dengan
nama Malayapura[9] dan kerajaan ini merupakan kelanjutan dari Kerajaan Melayu sebelumnya dan
memindahkan ibukotanya dari Dharmasraya ke daerah pedalaman Minang (Pagaruyung atau Suruaso) [10].
Dengan melihat gelar yang disandang Adityawarman, terlihat dia menggabungan beberapa nama yang pernah
dikenal sebelumnya, Mauli merujuk garis keturunannya kepada Bangsa Mauli penguasa Dharmasraya dan
gelar Sri Udayadityavarman pernah disandang salah seorang raja Sriwijaya serta
menambahkah Rajendra nama penakluk penguasa Sriwijaya, raja Chola dari Koromandel. Hal ini tentu
sengaja dilakukan untuk mempersatukan seluruh keluarga penguasa di Swarnnabhumi.
Walaupun ibukota kerajaan Melayu telah dipindahkah ke daerah pedalaman, di Dharmasraya tetap dipimpin
oleh seorang Maharaja Dharmasraya tetapi statusnya berubah menjadi raja bawahan, sebagaimana tersebut
pada Kitab Undang-Undang Tanjung Tanah di Kerinci yang diperkirakan pada zaman Adityawarman[11].

[sunting]Daftar

Raja Dharmasraya

Berikut ini daftar nama raja Dharmasraya:

Tahun
(Mase
hi)

1183

Nama raja
atau gelar

Srimat
Trailokyaraja
Maulibhusana
Warmadewa

Ibu kota /
pusat
pemerintahan

Prasasti, catatan
pengiriman utusan ke
Tiongkok serta
peristiwa

Dharmasraya

Prasasti Grahi tahun 1183 di


selatan Thailand, perintah
kepada bupati Grahi yang
bernama Mahasenapati
Galanai supaya membuat
arca Buddha seberat 1 bhara
2 tula dengan nilai emas 10
tamlin.

Dharmasraya

Prasasti Padang
Roco tahun 1286 di Siguntur (
Kab. Dharmasraya sekarang
di Sumatera Barat),
pengiriman Arca
Amoghapasa sebagai hadiah
Raja Singhasari kepada Raja
Dharmasraya.

1286

Srimat
Tribhuwanaraja
Mauli
Warmadewa

1316

Prasasti Suruaso di (Kab.


Tanah Datar sekarang),
Dharmasraya
dimana Adityawarman
Akarendrawarm
atau Pagaruyungatau S menyelesaikan pembangunan
an
uruaso
selokan yang dibuat oleh raja
sebelumnya
yaitu Akarendrawarman.

1347

Srimat Sri
Udayadityawar
man
Pratapaparakra
ma Rajendra
Maulimali
Warmadewa

Memindahkan pemerintahan
ke Pagaruyung atau Suruaso,

Pagaruyung atau
Suruaso

Manuskrip pada Arca


Amoghapasa bertarikh 1347 di (Kab.
Dharmasraya sekarang),Prasasti
Suruaso dan Prasasti Kuburajo di
(Kab. Tanah Datar sekarang).

[sunting]Rujukan

Anda mungkin juga menyukai