Anda di halaman 1dari 153

Sriwijaya

negara kota yang berpusat di Pulau


Sumatra

Artikel ini membutuhkan rujukan tambahan


agar kualitasnya dapat dipastikan.
Pelajari selengkapnya

Sriwijaya (atau juga disebut


ꦷ ꦮ
Śrīivijaya; Jawa: ꦯꦿ ꦶ ꦗꦪ (bahasa
Jawa: Sriwijaya); Thai: ศรีวช ั ;
ิ ย
Siwichai) adalah salah satu
kemaharajaan bahari yang pernah
berdiri di pulau Sumatra dan
banyak memberi pengaruh di
Nusantara dengan daerah
kekuasaan berdasarkan peta
membentang dari Kamboja,
Thailand Selatan, Semenanjung
Malaya, Sumatra, Jawa Barat dan
kemungkinan Jawa Tengah.[1][2]
Dalam bahasa Sanskerta, sri
berarti "bercahaya" atau
"gemilang", dan wijaya berarti
"kemenangan" atau "kejayaan",[2]
maka nama Sriwijaya bermakna
"kemenangan yang gilang-
gemilang".
Śrīwijaya
Kadatuan Sriwijaya
670–1025

Jangkauan terluas Kemaharajaan Sriwijaya


sekitar abad ke-8 Masehi.

Ibu kota Musi, Mataram,


Kadaram

Bahasa yang umum Melayu Kuno, Jawa


digunakan Kuno, Sanskerta

Agama Buddha Vajrayana,


Buddha Mahayana,
Buddha Hinayana,
Pemerintahan Monarki
Hindu
Maharaja  

• 683 Sri Jayanasa

• 702 Sri Indrawarman

• 775 Dharanindra

• 792 Samaratungga

• 835 Balaputradewa

• 988 Sri Cudamani


Warmadewa

• 1008 Sri Mara-


Vijayottunggawarman

• 1025 Sangrama-
Vijayottunggawarman

Sejarah  

• Didirikan 670
• Invasi Chola 1025
Mata uang Koin emas dan perak

Didahului oleh Digantikan oleh


Kerajaan Melayu Malayapura
Kerajaan Tulang Kerajaan
Bawang Singapura

Bukti awal mengenai keberadaan


kerajaan ini berasal dari abad ke-7;
seorang pendeta Tiongkok dari
Dinasti Tang, I Tsing, menulis
bahwa ia mengunjungi Sriwijaya
tahun 671 dan tinggal selama 6
bulan.[3][4] Selanjutnya prasasti
yang paling tua mengenai Sriwijaya
juga berada pada abad ke-7, yaitu
prasasti Kedukan Bukit di
Palembang, bertarikh 682.[5]

Kemunduran pengaruh Sriwijaya


terhadap daerah bawahannya
mulai menyusut dikarenakan
beberapa peperangan[2] di
antaranya tahun 1025 serangan
Rajendra Chola I dari Koromandel,
selanjutnya tahun 1183 kekuasaan
Sriwijaya di bawah kendali kerajaan
Dharmasraya.[6] Setelah
keruntuhannya, kerajaan ini
terlupakan dan keberadaannya
baru diketahui kembali lewat
publikasi tahun 1918 dari
sejarawan Prancis George Cœdès
dari École française d'Extrême-
Orient.[7]

Catatan sejarah
Belum banyak bukti fisik mengenai
Sriwijaya yang dapat ditemukan.[8]
Tidak terdapat catatan lebih lanjut
mengenai Sriwijaya dalam sejarah
Indonesia; masa lalunya yang
terlupakan dibentuk kembali oleh
sarjana asing. Tidak ada orang
Indonesia modern yang mendengar
mengenai Sriwijaya sampai tahun
1920-an, ketika sarjana Prancis
George Cœdès mempublikasikan
penemuannya dalam surat kabar
berbahasa Belanda dan
Indonesia.[8] Coedès menyatakan
bahwa referensi Tiongkok terhadap
"San-fo-ts'i", sebelumnya dibaca
"Sribhoja", dan beberapa prasasti
dalam Melayu Kuno merujuk pada
kekaisaran yang sama.[9]

Prasasti Talang Tuwo, ditemukan di Bukit


Seguntang bercerita tentang dibangunnya
taman Śrīksetra.

Historiografi Sriwijaya diperoleh


dan disusun dari dua macam
sumber utama; catatan sejarah
Tiongkok dan sejumlah prasasti
batu Asia Tenggara yang telah
ditemukan dan diterjemahkan.
Catatan perjalanan biksu peziarah I
Ching sangat penting, terutama
dalam menjelaskan kondisi
Sriwijaya ketika ia mengunjungi
kerajaan itu selama 6 bulan pada
tahun 671. Sekumpulan prasasti
siddhayatra abad ke-7 yang
ditemukan di Palembang dan
Pulau Bangka juga merupakan
sumber sejarah primer yang
penting. Di samping itu, kabar-
kabar regional yang beberapa
mungkin mendekati kisah legenda,
seperti Kisah mengenai Maharaja
Javaka dan Raja Khmer juga
memberikan sekilas keterangan.
Selain itu, beberapa catatan
musafir India dan Arab juga
menjelaskan secara samar-samar
mengenai kekayaan raja Zabag
yang menakjubkan.

Selain berita-berita diatas tersebut,


telah ditemukan oleh Balai
Arkeologi Palembang sebuah
perahu kuno yang diperkirakan ada
sejak masa awal atau proto
Kerajaan Sriwijaya di Desa Sungai
Pasir, Kecamatan Cengal,
Kabupaten Ogan Komering Ilir,
Sumatra Selatan.[10] Sayang,
kepala perahu kuno itu sudah
hilang dan sebagian papan perahu
itu digunakan justru buat jembatan.
Tercatat ada 17 keping perahu
yang terdiri dari bagian lunas, 14
papan perahu yang terdiri dari
bagian badan dan bagian buritan
untuk menempatkan kemudi.[10]
Perahu ini dibuat dengan teknik
pasak kayu dan papan ikat yang
menggunakan tali ijuk. Cara ini
sendiri dikenal dengan sebutan
teknik tradisi Asia Tenggara. Selain
bangkai perahu, ditemukan juga
sejumlah artefak-artefak lain yang
berhubungan dengan temuan
perahu, seperti tembikar, keramik,
dan alat kayu.[10]

Sriwijaya menjadi simbol


kebesaran Sumatra awal, dan
kerajaan terbesar Nusantara. Pada
abad ke-20, kedua kerajaan
tersebut menjadi referensi oleh
kaum nasionalis untuk
menunjukkan bahwa Indonesia
merupakan satu kesatuan negara
sebelum kolonialisme Belanda.[8]

Sriwijaya disebut dengan berbagai


macam nama. Orang Tionghoa
menyebutnya Shih-li-fo-shih atau
San-fo-ts'i atau San Fo Qi. Dalam
bahasa Sanskerta dan bahasa Pali,
kerajaan Sriwijaya disebut
Yavadesh dan Javadeh. Bangsa
Arab menyebutnya Zabaj[11] dan
Khmer menyebutnya Malayu.
Banyaknya nama merupakan
alasan lain mengapa Sriwijaya
sangat sulit ditemukan.[2]
Sementara dari peta Ptolemaeus
ditemukan keterangan tentang
adanya 3 pulau Sabadeibei yang
kemungkinan berkaitan dengan
Sriwijaya.[6]

Pusat Sriwijaya
Menurut Prasasti Kedukan Bukit,
yang bertarikh 605 Saka (683 M),
Kadatuan Sriwijaya pertama kali
didirikan di sekitar Palembang, di
tepian Sungai Musi. Prasasti ini
menyebutkan bahwa Dapunta
Hyang berasal dari Minanga
Tamwan. Lokasi yang tepat dari
Minanga Tamwan masih
diperdebatkan. Teori Palembang
sebagai tempat di mana Sriwijaya
pertama kali bermula diajukan oleh
Coedes dan didukung oleh Pierre-
Yves Manguin. Selain Palembang,
tempat lain seperti Muaro Jambi
(Sungai Batanghari, Jambi) dan
Muara Takus (pertemuan Sungai
Kampar Kanan dan Kiri, Riau) juga
diduga sebagai ibu kota Sriwijaya.
Taman Purbakala Kerajaan Sriwijaya (warna
hijau) terletak di sebelah barat daya pusat
kota Palembang. Situs ini membentuk poros
yang menghubungkan Bukit Seguntang dan
tepian Sungai Musi.

Berdasarkan observasi sekitar


tahun 1993, Pierre-Yves Manguin
menyimpulkan bahwa pusat
Sriwijaya berada di Sungai Musi
antara Bukit Seguntang dan
Sabokingking (terletak di provinsi
Sumatra Selatan sekarang),
tepatnya di sekitar situs
Karanganyar yang kini dijadikan
Taman Purbakala Kerajaan
Sriwijaya.[2] Pendapat ini
didasarkan dari foto udara tahun
1984 yang menunjukkan bahwa
situs Karanganyar menampilkan
bentuk bangunan air, yaitu jaringan
kanal, parit, kolam serta pulau
buatan yang disusun rapi yang
dipastikan situs ini adalah buatan
manusia. Bangunan air ini terdiri
atas kolam dan dua pulau
berbentuk bujur sangkar dan
empat persegi panjang, serta
jaringan kanal dengan luas areal
meliputi 20 hektare. Di kawasan ini
ditemukan banyak peninggalan
purbakala yang menunjukkan
bahwa kawasan ini pernah menjadi
pusat permukiman dan pusat
aktivitas manusia.[12]

Namun sebelumnya Soekmono


berpendapat bahwa pusat
Sriwijaya terletak pada kawasan
sehiliran Batang Hari, antara Muara
Sabak sampai ke Muara Tembesi
(di provinsi Jambi sekarang),[6]
dengan catatan Malayu tidak
berada di kawasan tersebut. Jika
Malayu berada pada kawasan
tersebut, ia cendrung kepada
pendapat Moens,[13] yang
sebelumnya juga telah
berpendapat bahwa letak dari
pusat kerajaan Sriwijaya berada
pada kawasan Candi Muara Takus
(provinsi Riau sekarang), dengan
asumsi petunjuk arah perjalanan
dalam catatan I Tsing,[14] serta hal
ini dapat juga dikaitkan dengan
berita tentang pembangunan candi
yang dipersembahkan oleh raja
Sriwijaya (Se li chu la wu ni fu ma
tian hwa atau Sri
Cudamaniwarmadewa) tahun 1003
kepada kaisar Tiongkok yang
dinamakan cheng tien wan shou
(Candi Bungsu, salah satu bagian
dari candi yang terletak di Muara
Takus).[15] Poerbatjaraka
mendukung pendapat Moens. Ia
berpendapat bahwa Minanga
Tamwan disamakan dengan daerah
pertemuan Sungai Kampar Kanan
dan Kampar Kiri, Riau, tempat di
mana Candi Muara Takus kini
berdiri. Menurutnya, kata tamwan
berasal dari kata "temu", lalu
ditafsirkannya "daerah tempat
sungai bertemu".[16] Namun yang
pasti pada masa penaklukan oleh
Rajendra Chola I, berdasarkan
prasasti Tanjore, Sriwijaya telah
beribu kota di Kadaram (Kedah
sekarang).[6]
Akan tetapi, pada tahun 2013,
penelitian arkeologi yang digelar
oleh Universitas Indonesia
menemukan beberapa situs
keagamaan dan tempat tinggal di
Muaro Jambi. Hal ini menunjukkan
bahwa pusat awal Sriwijaya
mungkin terletak di Kabupaten
Muaro Jambi, Jambi pada tepian
sungai Batang Hari, dan bukanlah
di Sungai Musi seperti anggapan
sebelumnya.[17] Situs arkeologi
mencakup delapan candi yang
sudah digali, di kawasan seluas
sekitar 12 kilometer persegi,
membentang 7,5 kilometer di
sepanjang Sungai Batang Hari,
serta 80 menapo atau gundukan
reruntuhan candi yang belum
dipugar.[18][19] Situs Muaro Jambi
bercorak Buddha Mahayana-
Wajrayana. Hal ini menunjukkan
bahwa situs tersebut adalah pusat
pembelajaran Buddhis, yang
dikaitkan dengan tokoh
cendekiawan Buddhis terkenal
Suvarṇadvipi Dharmakirti dari abad
ke-10. Catatan sejarah dari
Tiongkok juga menyebutkan
bahwa Sriwijaya menampung
ribuan biksu.

Teori lain mengajukan pendapat


bahwa Dapunta Hyang berasal dari
pantai timur Semenanjung Malaya,
bahwa Chaiya di Surat Thani,
Thailand Selatan adalah pusat
kerajaan Sriwijaya.[20] Ada pula
pendapat yang menyatakan bahwa
nama kota Chaiya berasal dari kata
"Cahaya" dalam bahasa Melayu.
Ada pula yang percaya bahwa
nama Chaiya berasal dari Sri
Wijaya, dan kota ini adalah pusat
Sriwijaya. Teori ini kebanyakan
didukung oleh sejarahwan
Thailand,[21] meskipun secara
umum teori ini dianggap kurang
kuat.

Sejarah
Pembentukan dan
pertumbuhan

Kerajaan ini menjadi pusat


perdagangan dan merupakan
negara bahari, namun kerajaan ini
tidak memperluas kekuasaannya di
luar wilayah kepulauan Asia
Tenggara, dengan pengecualian
berkontribusi untuk populasi
Madagaskar sejauh 3.300 mil di
barat. Beberapa ahli masih
memperdebatkan kawasan yang
menjadi pusat pemerintahan
Sriwijaya,[22] selain itu
kemungkinan kerajaan ini biasa
memindahkan pusat
pemerintahannya, namun kawasan
yang menjadi ibu kota tetap
diperintah secara langsung oleh
penguasa, sedangkan daerah
pendukungnya diperintah oleh datu
setempat.[23][24]

Perjalanan Siddhayatra …

Candi Gumpung, candi Buddha di Muaro


Jambi, Kerajaan Melayu yang ditaklukkan
Sriwijaya.
Kemaharajaan Sriwijaya telah ada
sejak 671 sesuai dengan catatan I
Tsing. Dari prasasti Kedukan Bukit
pada tahun 682 di diketahui
imperium ini di bawah
kepemimpinan Dapunta Hyang.
Bahwa beliau berangkat dalam
perjalanan suci siddhayatra untuk
"mengalap berkah",[a] dan
memimpin 20.000 tentara dan 312
orang di kapal dengan 1.312
prajurit berjalan kaki dari Minanga
Tamwan menuju Jambi dan
Palembang. Diketahui, Prasasti
Kedukan Bukit adalah prasasti
tertua yang ditulis dalam bahasa
Melayu. Para ahli berpendapat
bahwa prasasti ini mengadaptasi
ortografi India untuk menulis
prasasti ini.[25]

Pada abad ke-7 ini, orang Tionghoa


mencatat bahwa terdapat dua
kerajaan yaitu Malayu dan Kedah
menjadi bagian kemaharajaan
Sriwijaya.[2]

Berdasarkan prasasti Kota Kapur


yang berangka tahun 686
ditemukan di pulau Bangka,
kemaharajaan ini telah menguasai
bagian selatan Sumatra, pulau
Bangka dan Belitung, hingga
Lampung. Prasasti ini juga
menyebutkan bahwa Sri Jayanasa
telah melancarkan ekspedisi
militer untuk menghukum Bhumi
Jawa yang tidak berbakti kepada
Sriwijaya, peristiwa ini bersamaan
dengan runtuhnya Tarumanagara
di Jawa Barat dan Holing
(Kalingga) di Jawa Tengah yang
kemungkinan besar akibat
serangan Sriwijaya. Kemungkinan
yang dimaksud dengan Bhumi
Jawa adalah Tarumanegara.[26]
Sriwijaya tumbuh dan berhasil
mengendalikan jalur perdagangan
maritim di Selat Malaka, Selat
Sunda, Laut Tiongkok Selatan, Laut
Jawa, dan Selat Karimata.
Perkembangan Kemaharajaan Sriwijaya,
bermula di Palembang pada abad VII,
menyebar ke sebagian besar Sumatra,
Semenanjung Malaya, Jawa, Kamboja,
hingga surut sebagai Kerajaan Malayu
Dharmasraya pada abad XIII.

Penaklukan kawasan …

Ekspansi kerajaan ini ke Jawa dan


Semenanjung Malaya, menjadikan
Sriwijaya mengendalikan simpul
jalur perdagangan utama di Asia
Tenggara. Berdasarkan observasi,
ditemukan reruntuhan candi-candi
Sriwijaya di Thailand dan Kamboja.
Pada abad ke-7, pelabuhan
Champa di sebelah timur
Indochina mulai mengalihkan
banyak pedagang dari Sriwijaya.
Untuk mencegah hal tersebut,
Maharaja Dharmasetu
melancarkan beberapa serangan
ke kota-kota pantai di Indochina.
Kota Indrapura di tepi sungai
Mekong, di awal abad ke-8 berada
di bawah kendali Sriwijaya.
Sriwijaya meneruskan dominasinya
atas Kamboja, sampai raja Khmer
Jayawarman II, pendiri
kemaharajaan Khmer, memutuskan
hubungan dengan Sriwijaya pada
abad yang sama.[2] Di akhir abad
ke-8 beberapa kerajaan di Jawa,
antara lain Tarumanegara dan
Holing berada di bawah kekuasaan
Sriwijaya. Menurut catatan, pada
masa ini pula wangsa Sailendra
bermigrasi ke Jawa Tengah dan
berkuasa di sana. Pada abad ini
pula, Langkasuka di semenanjung
Melayu menjadi bagian kerajaan.[2]
Pada masa berikutnya, Pan Pan
dan Trambralinga, yang terletak di
sebelah utara Langkasuka, juga
berada di bawah pengaruh
Sriwijaya.
Setelah Dharmasetu,
Samaratungga menjadi penerus
kerajaan. Ia berkuasa pada periode
792 sampai 835. Tidak seperti
Dharmasetu yang ekspansionis,
Samaratungga tidak melakukan
ekspansi militer, tetapi lebih
memilih untuk memperkuat
penguasaan Sriwijaya di Jawa.
Selama masa kepemimpinannya, ia
membangun candi Borobudur di
Jawa Tengah yang selesai pada
tahun 825.[2]

Masa keemasan …
Arca emas Avalokiteçvara bergaya Malayu-
Sriwijaya, ditemukan di Rantaukapastuo,
Muarabulian, Jambi, Indonesia.

Berdasarkan sumber catatan


sejarah dari Arab, Sriwijaya disebut
dengan nama Sribuza. Pada tahun
955 M, Al Masudi, seorang musafir
(pengelana) sekaligus sejarawan
Arab klasik menulis catatan
tentang Sriwijaya. Dalam catatan
itu, digambarkan Sriwijaya adalah
sebuah kerajaan besar yang kaya
raya, dengan tentara yang sangat
banyak. Disebutkan kapal yang
tercepat dalam waktu dua tahun
pun tidak cukup untuk mengelilingi
seluruh pulau wilayahnya. Hasil
bumi Sriwijaya adalah kapur barus,
kayu gaharu, cengkih, kayu
cendana, pala, kapulaga, gambir
dan beberapa hasil bumi lainya.[27]

Catatan lain menuliskan bahwa


Sriwijaya maju dalam bidang
agraris. Ini disimpulkan dari
seorang ahli dari Bangsa Persia
yang bernama Abu Zaid Hasan
yang mendapat keterangan dari
Sujaimana, seorang pedagang
Arab. Abu Zaid menulis
bahwasanya Kerajaan Zabaj
(Sriwijaya -sebutan Sriwijaya oleh
bangsa Arab pada masa itu-)
memiliki tanah yang subur dan
kekuasaaan yang luas hingga ke
seberang lautan.[11]

Hubungan dengan wangsa


Sailendra …

Munculnya keterkaitan antara


Sriwijaya dengan dinasti Sailendra
dimulai karena adanya nama
Śailendravamśa pada beberapa
prasasti di antaranya pada prasasti
Kalasan di pulau Jawa, prasasti
Ligor di selatan Thailand, dan
prasasti Nalanda di India.
Sementara pada prasasti
Sojomerto dijumpai nama Dapunta
Selendra. Karena prasasti
Sojomerto ditulis dalam bahasa
Melayu Kuno, dan bahasa Melayu
umumnya digunakan pada
prasasti-prasasti di Sumatra, maka
diduga wangsa Sailendra berasal
dari Sumatra, Walaupun asal usul
bahasa Melayu ini masih
menunggu penelitian sampai
sekarang.[14]
Majumdar berpendapat dinasti
Sailendra ini terdapat di Sriwijaya
(Suwarnadwipa) dan Medang
(Jawa), keduanya berasal dari
Kalinga di selatan India.[28]
Kemudian Moens menambahkan
kedatangan Dapunta Hyang ke
Palembang, menyebabkan salah
satu keluarga dalam dinasti ini
pindah ke Jawa.[29] Sementara
Poerbatjaraka berpendapat bahwa
dinasti ini berasal dari Nusantara,
didasarkan atas Carita
Parahiyangan[30] kemudian
dikaitkan dengan beberapa
prasasti lain di Jawa yang
berbahasa Melayu Kuno di
antaranya prasasti
Sojomerto.[31][32]

Kemaharajaan Sriwijaya bercirikan


kerajaan maritim. Mengandalkan
hegemoni pada kekuatan armada
lautnya dalam menguasai alur
pelayaran, jalur perdagangan,
menguasai dan membangun
beberapa kawasan strategis
sebagai pangkalan armadanya
dalam mengawasi, melindungi
kapal-kapal dagang, memungut
cukai, serta untuk menjaga wilayah
kedaulatan dan kekuasaanya.[33]

Dari catatan sejarah dan bukti


arkeologi, pada abad ke-9 Sriwijaya
telah melakukan kolonisasi di
hampir seluruh kerajaan-kerajaan
Asia Tenggara, antara lain:
Sumatra, Jawa, Semenanjung
Malaya, Thailand, Kamboja,
Vietnam,[2] dan Filipina.[34]
Dominasi atas Selat Malaka dan
Selat Sunda, menjadikan Sriwijaya
sebagai pengendali rute
perdagangan rempah dan
perdagangan lokal yang
mengenakan bea dan cukai atas
setiap kapal yang lewat. Sriwijaya
mengumpulkan kekayaannya dari
jasa pelabuhan dan gudang
perdagangan yang melayani pasar
Tiongkok, dan India.
Pada 851 seorang pedagang Arab
bernama Sulaimaan merekam
sebuah peristiwa tentang wangsa
Sailendra Jawa melakukan
serangan mendadak terhadap
kekaisaran Khmer dengan
mendekati ibukota dari sungai,
setelah menyeberang laut dari
Jawa. Raja muda Khmer kemudian
dihukum oleh Maharaja, dan
kemudian kerajaan menjadi
pengikut dinasti Sailendra.[35]:35
Pada 916 M, sebuah kerajaan Jawa
menyerbu Kekaisaran Khmer,
menggunakan 1000 kapal
berukuran sedang, yang berakhir
dengan kemenangan Jawa. Kepala
raja Khmer kemudian dibawa ke
Jawa.[36]:187-189

Sriwijaya berkuasa di Jawa …

Wangsa Sailendra di Jawa


membina dan memelihara
persekutuan dengan trah Sriwijaya
di Sumatra, dan kemudian
selanjutnya mendirikan
pemerintahan mereka di Kerajaan
Medang Mataram di Jawa Tengah.

Di Jawa, pewaris Dharanindra


adalah Samaragrawira
(memerintah 800—819), yang
disebutkan dalam Prasasti
Nalanda (bertarikh 860) sebagai
ayah dari Balaputradewa, dan putra
dari Śailendravamsatilaka
(perhiasan keluarga Śailendra)
dengan nama gelaran
Śrīviravairimathana (pembunuh
perwira musuh), yang merujuk
kepada Dharanindra.[37]:92 Tidak
seperti pendahulunya, Raja
Dharanindra yang germar
berperang, Rakai Warak tampaknya
cenderung cinta damai, ia
menikmati kemakmuran dan
kedamaian Dataran Kedu di
pedalaman Jawa, dan lebih tertarik
untuk menyelesaikan proyek
pembangunan candi Borobudur.
Dia menunjuk seorang pangeran
Khmer bernama Jayawarman
sebagai gubernur Indrapura di
delta Sungai Mekong di bawah
kekuasaan Sailendra. Keputusan
ini terbukti sebagai kesalahan,
karena Jayawarman kemudian
memberontak, memindahkan ibu
kota lebih jauh ke pedalaman utara
dari Tonle Sap ke
Mahendraparwata, memutuskan
ikatan dan memproklamasikan
kemerdekaan Kamboja dari Jawa
pada tahun 802. Rakai Warak
disebut-sebut sebagai raja Jawa
yang menikahi Tara, putri
Dharmasetu dari Sriwijaya.[37]:108 Ia
disebut dalam nama yang lainnya;
Rakai Warak dalam Prasasti
Mantyasih.

Sejarawan sebelumnya, seperti N.


J. Krom, dan Coedes, cenderung
menyamakan Rakai Warak dengan
Samaratungga.[37]:92 Namun,
sejarawan kemudian seperti
Slamet Muljana menyamakan
Samaratungga dengan Rakai
Garung, yang disebutkan dalam
Prasasti Mantyasih sebagai raja
kelima kerajaan Mataram. Yang
berarti Samaratungga adalah
penerus dari Rakai Warak.
Borobudur dirampungkan pada masa

pemerintahan Samaratunga dari wangsa


Sailendra.

Dewi Tara, putri Dharmasetu,


menikahi Samaratungga, seorang
anggota keluarga Sailendra yang
kemudian naik takhta Sriwijaya
sekitar tahun 792.[38] Pada abad
ke-8 Masehi, istana Sriwijaya
bertempat di Jawa, karena para
raja dari wangsa Sailendra
diangkat sebagai Maharaja
Sriwijaya.
Setelah Dharmasetu,
Samaratungga menjadi Maharaja
Sriwijaya berikutnya. Dia
memerintah sebagai penguasa
pada kurun 792-835. Berbeda dari
Dharmasetu yang ekpansionis,
Samaratungga tidak terjun dalam
kancah ekspansi militer, melainkan
lebih suka untuk memperkuat
pemerintahan dan pengaruh
Sriwijaya atas Jawa. Dia secara
pribadi mengawasi pembangunan
candi agung Borobudur; sebuah
mandala besar dari batu yang
selesai pada 825, pada masa
pemerintahannya.[39] Menurut
George Coedes, "pada paruh kedua
abad kesembilan, Jawa dan
Sumatra bersatu di bawah
kekuasaan wangsa Sailendra yang
memerintah di Jawa... dengan
pusat perdagangan di
Palembang."[40]:92 Samaratungga
seperti Rakai Warak, tampaknya
sangat dipengaruhi oleh
kepercayaan Buddha Mahayana
yang cinta damai. Beliau berusaha
untuk menjadi seorang penguasa
yang welas asih. Penggantinya
adalah Putri Pramodhawardhani
yang bertunangan dengan Rakai
Pikatan yang menganut aliran
Siwa. Dia adalah putra Rakai
Patapan, seorang rakai (penguasa
daerah) yang cukup berpengaruh di
Jawa Tengah. Langkah politik ini
tampaknya sebagai upaya untuk
mengamankan perdamaian dan
kekuasaan Sailendra di Jawa,
dengan cara mendamaikan
hubungan antara golongan Buddha
aliran Mahayana dengan penganut
Hindu aliran Siwa.

Kembali ke Palembang …

Akan tetapi, Pangeran


Balaputradewa menentang
pemerintahan Pikatan dan
Pramodhawardhani di Jawa
Tengah. Hubungan antara
Balaputra dan Pramodhawardhani
ditafsirkan secara berbeda oleh
beberapa sejarawan. Teori yang
lebih tua menurut Bosch dan De
Casparis menyatakan bahwa
Balaputra adalah anak dari
Samaratungga, yang berarti ia
adalah adik dari
Pramodhawardhani. Sejarawan
dari angkatan kemudian, seperti
Muljana, di sisi lain, berpendapat
bahwa Balaputra adalah anak dari
Rakai Warak dan adik dari
Samaratungga, yang berarti dia
adalah paman dari
Pramodhawardhani.[41]
Tidak diketahui secara jelas,
apakah Balaputradewa tersingkir
dari Jawa Tengah karena kalah
dalam sengketa suksesi melawan
Pikatan, atau dia memang sudah
memerintah di Suwarnadwipa
(Sumatra) sebelum pecahnya
perselisihan mengenai suksesi
kekuasaan ini. Bagaimanapun,
tampaknya wangsa Sailendra
akhirnya terpecah menjadi dua;
antara Jawa Tengah yang dikuasai
Pikatan-Pramodhawardhani dan
Palembang yang dikuasai
Balaputradewa. Bahwa
Balaputradewa akhirnya
menguasai cabang Sumatra dari
wangsa Sailendra dan bertahta di
ibu kota Sriwijaya dari Palembang.
Sebagian sejarawan berpendapat
bahwa, hal ini karena ibunda
Balaputra - Dewi Tara, permaisuri
Raja Rakai Warak adalah putri dari
Sriwijaya, hal ini menjadikan
Balaputra sekaligus sebagai
pewaris takhta Sriwijaya di
Sumatra. Balaputradewa kemudian
dinobatkan sebagai Maharaja
Sriwijaya, kemudian dia
menyatakan klaimnya sebagai
pewaris sah wangsa Sailendra dari
Jawa, seperti yang disebutkan
dalam Prasasti Nalanda yang
bertarikh 860.[37]:108
Berperang melawan Jawa …

Kapal Borobudur bercadik yang ditampilkan


di Borobudur. Pada 990 Raja Dharmawangsa
dari Jawa mengirim armada kapal perang
untuk menyerbu Sriwijaya di Sumatra.

Sriwijaya menguasai jalur


perdagangan maritim di Asia
Tenggara sepanjang abad ke-10,
akan tetapi pada akhir abad ini
Kerajaan Medang di Jawa Timur
tumbuh menjadi kekuatan bahari
baru dan mulai menantang
dominasi Sriwijaya. Berita
Tiongkok dari Dinasti Song
menyebut Kerajaan Sriwijaya di
Sumatra dengan nama San-fo-tsi,
sedangkan Kerajaan Medang di
Jawa dengan nama She-po.
Dikisahkan bahwa, San-fo-tsi dan
She-po terlibat persaingan untuk
menguasai Asia Tenggara. Kedua
negeri itu saling mengirim duta
besar ke Tiongkok. Utusan San-fo-
tsi yang berangkat tahun 988
tertahan di pelabuhan Kanton
ketika hendak pulang, karena
negerinya diserang oleh
balatentara Jawa. Serangan dari
Jawa ini diduga berlangsung
sekitar tahun 990-an, yaitu antara
tahun 988 dan 992 pada masa
pemerintahan Sri Cudamani
Warmadewa.[42]

Pada musim semi tahun 992 duta


Sriwijaya tersebut mencoba pulang
namun kembali tertahan di
Champa karena negerinya belum
aman. Ia meminta kaisar Song
agar Tiongkok memberi
perlindungan kepada San-fo-tsi.
Utusan Jawa juga tiba di Tiongkok
tahun 992. Ia dikirim oleh rajanya
yang naik takhta tahun 991. Raja
baru Jawa tersebut adalah
Dharmawangsa Teguh.[42]
Kerajaan Medang berhasil merebut
Palembang pada tahun 992 untuk
sementara waktu, namun
kemudian pasukan Medang
berhasil dipukul mundur oleh
pasukan Sriwijaya. Prasasti Hujung
Langit tahun 997 kembali
menyebutkan adanya serangan
Jawa terhadap Sumatra.
Rangkaian serangan dari Jawa ini
pada akhirnya gagal karena Jawa
tidak berhasil membangun pijakan
di Sumatra. Menguasai ibu kota di
Palembang tidak cukup karena
pada hakikatnya kekuasaan dan
kekuatan mandala Sriwijaya
tersebar di beberapa bandar
pelabuhan di kawasan Selat
Malaka. Maharaja Sriwijaya, Sri
Cudamani Warmadewa, berhasil
lolos keluar dari ibu kota dan
berkeliling menghimpun kekuatan
dan bala bantuan dari sekutu dan
raja-raja bawahannya untuk
memukul mundur tentara Jawa.
Sriwijaya memperlihatkan
kegigihan persekutuan
mandalanya, bertahan dan berjaya
memukul mundur angkatan laut
Jawa.[42]

Sri Cudamani Warmadewa kembali


memperlihatkan kecakapan
diplomasinya, memenangi
dukungan Tiongkok dengan cara
merebut hati Kaisarnya. Pada
tahun 1003, ia mengirimkan utusan
ke Tiongkok dan mengabarkan
bahwa di negerinya telah selesai
dibangun sebuah candi Buddha
yang didedikasikan untuk
mendoakan agar Kaisar Tiongkok
panjang usia. Kaisar Tiongkok
yang berbesar hati dengan
persembahan itu menamai candi
itu cheng tien wan shou dan
menganugerahkan genta yang
akan dipasang di candi itu.[43]
(Candi Bungsu, salah satu bagian
dari candi yang terletak di Muara
Takus).[15]
Serangan dari Medang ini
membuka mata Sriwijaya betapa
berbahayanya ancaman Jawa,
maka Maharaja Sriwijaya pun
menyusun siasat balasan dan
berusaha menghancurkan
Kerajaan Medang. Sriwijaya
disebut-sebut berperan dalam
menghancurkan Kerajaan Medang
di Jawa. Dalam prasasti Pucangan
disebutkan sebuah peristiwa
Mahapralaya, yaitu peristiwa
hancurnya istana Medang di Jawa
Timur, di mana Haji Wurawari dari
Lwaram yang merupakan raja
bawahan Sriwijaya, pada tahun
1006 atau 1016 menyerang dan
menyebabkan terbunuhnya raja
Medang terakhir Dharmawangsa
Teguh.[6][44]

Penjelajahan Sriwijaya …

Inti dari alam Srivijayan


terkonsentrasi di dalam dan di
sekitar selat Malaka dan Sunda
dan di Sumatra, Semenanjung
Melayu dan Jawa Barat. Namun,
antara abad ke-9 dan ke-12,
pengaruh Sriwijaya tampaknya
telah jauh melampaui inti. Para
navigator, pelaut, dan pedagang
Srivijayan tampaknya telah terlibat
dalam perdagangan dan eksplorasi
yang luas, yang mencapai pesisir
Kalimantan,[45] kepulauan Filipina,
Indonesia Timur, pesisir Indocina,
Teluk Benggala dan Samudra
Hindia sejauh Madagaskar.[46]

Migrasi ke Madagaskar melaju


pada abad ke-9 ketika Sriwijaya
mengendalikan sebagian besar
perdagangan maritim di Samudera
Hindia.[47] Migrasi ke Madagaskar
diperkirakan telah terjadi 1.200
tahun yang lalu sekitar 830 M.
Menurut sebuah studi DNA
mitokondria baru yang luas,
penduduk asli Malagasy saat ini
kemungkinan dapat melacak
warisan mereka kembali ke 30 ibu
pendiri yang berlayar dari
Indonesia 1.200 tahun yang lalu.
Malagasi berisi kata-kata pinjaman
dari bahasa Sanskerta, dengan
semua modifikasi bahasa lokal
melalui bahasa Jawa atau Melayu,
mengisyaratkan bahwa
Madagaskar mungkin telah dijajah
oleh pemukim dari Sriwijaya.[48]

Pengaruh kekaisaran mencapai


Manila pada abad ke-10. Sebuah
kerajaan di bawah pengaruhnya
telah didirikan di sana.[49][50]
Penemuan patung Tara emas di
Agusan del Sur dan Kinnara emas
dari Butuan, Timur laut Mindanao,
di Filipina menunjukkan adanya
hubungan kuno antara Filipina
kuno dan kekaisaran Sriwijaya,[51]
karena Tara dan Kinnara adalah
tokoh atau dewa penting dalam
kepercayaan Buddha Mahayana.
Kesamaan agama Buddha
Mahayana-Vajrayana menunjukkan
bahwa Filipina kuno memperoleh
kepercayaan Mahayana-Vajrayana
dari pengaruh Srivijayan di
Sumatra.[52]

Catatan Arab abad ke-10 Ajayeb al-


Hind (Keajaiban India) memberikan
laporan invasi di Afrika oleh
bangsa yang disebut Wakwak atau
Waqwaq,[53]:110 mungkin adalah
orang-orang Melayu Sriwijaya atau
orang Jawa dari kerajaan
Medang,[54]:39 pada 945-946 M.
Mereka tiba di pantai Tanganyika
dan Mozambik dengan 1000 kapal
dan berusaha merebut benteng
Qanbaloh, meskipun akhirnya
gagal. Alasan serangan itu adalah
karena tempat itu memiliki barang-
barang yang cocok untuk negara
mereka dan China, seperti gading,
kulit kura-kura, kulit macan
kumbang, dan ambergris, dan juga
karena mereka menginginkan
budak hitam dari orang Bantu
(disebut Zeng atau Zenj oleh orang
Arab, Jenggi oleh orang Jawa)
yang kuat dan menjadi budak yang
baik.[55] Menurut Prasasti Waharu
IV (931 M) dan Prasasti Garaman
(1053 M),[56][57] Kerajaan Medang
dan Kerajaan Kahuripan zaman
Airlangga (1000-1049 M) di Jawa
mengalami masa kemakmuran
panjang sehingga membutuhkan
banyak tenaga terutama untuk
membawa hasil panen, mengemas,
dan mengirimkannya ke
pelabuhan. Tenaga kerja berupa
orang kulit hitam diimpor dari
Jenggi (Zanzibar), Pujut (Australia),
dan Bondan (Papua).[54]:73 Menurut
Naerssen, mereka tiba di Jawa
dengan jalan perdagangan (dibeli
oleh pedagang) atau ditawan saat
perang dan kemudian dijadikan
budak.[58]

Pada abad ke-12, kerajaan ini


mencakup bagian dari Sumatra,
Semenanjung Melayu, Jawa Barat,
Kalimantan dan Filipina, terutama
Kepulauan Sulu dan pulau-pulau
Visayas. Dipercayai oleh beberapa
sejarawan bahwa nama 'Visayas'
berasal dari kekaisaran.[59][60]

Masa kemunduran …

Serbuan kerajaan Chola …


Sebuah lukisan dari Siam menunjukkan
penyerangan Chola di Kedah.

Tahun 1017 dan 1025, Rajendra


Chola I, raja dari dinasti Chola di
Koromandel, India selatan,
mengirim ekspedisi laut untuk
menyerang Sriwijaya. Berdasarkan
prasasti Tanjore bertarikh 1030,
Kerajaan Chola telah menaklukan
daerah-daerah koloni Sriwijaya,
seperti wilayah Nikobar dan
sekaligus berhasil menawan raja
Sriwijaya yang berkuasa waktu itu
Sangrama-Vijayottunggawarman.
Selama beberapa dekade
berikutnya, seluruh imperium
Sriwijaya telah berada dalam
pengaruh dinasti Chola. Meskipun
demikian Rajendra Chola I tetap
memberikan peluang kepada raja-
raja yang ditaklukannya untuk tetap
berkuasa selama tetap tunduk
kepadanya.[61] Hal ini dapat
dikaitkan dengan adanya berita
utusan San-fo-ts'i ke Tiongkok
tahun 1028.[62]
Faktor lain kemunduran Sriwijaya
adalah faktor alam. Karena adanya
pengendapan lumpur di Sungai
Musi dan beberapa anak sungai
lainnya, sehingga kapal-kapal
dagang yang tiba di Palembang
semakin berkurang.[63] Akibatnya,
Kota Palembang semakin menjauh
dari laut dan menjadi tidak
strategis. Akibat kapal dagang
yang datang semakin berkurang,
pajak berkurang dan
memperlemah ekonomi dan posisi
Sriwijaya.[11]

Kerajaan Tanjungpura dan Nan


Sarunai di Kalimantan adalah
kerajaan yang sezaman dengan
Sriwijaya, namun Kerajaan
Tanjungpura disebutkan dikelola
oleh pelarian orang Melayu
Sriwijaya, yang ketika pada saat itu
Sriwijaya diserang Kerajaan Chola
mereka bermigrasi ke Kalimantan
Selatan.[64]
Kawasan Sriwijaya dalam prasasti
Tanjore

Nama kawasan Keterangan

Pannai Pannai

Malaiyur Malayu

Mayirudingam

Ilangasogam Langkasuka

Mappappalam

Mevilimbangam

Valaippanduru

Takkolam

Madamalingam Tambralingga

Ilamuri-Desam Lamuri

Nakkavaram Nikobar

Kadaram Kedah
Namun pada masa ini Sriwijaya
dianggap telah menjadi bagian dari
dinasti Chola. Kronik Tiongkok
menyebutkan bahwa pada tahun
1079, Kulothunga Chola I (Ti-hua-
ka-lo) raja dinasti Chola disebut
juga sebagai raja San-fo-ts'i, yang
kemudian mengirimkan utusan
untuk membantu perbaikan candi
dekat Kanton. Selanjutnya dalam
berita Tiongkok yang berjudul Sung
Hui Yao disebutkan bahwa
kerajaan San-fo-tsi pada tahun
1082 masih mengirimkan utusan
pada masa Tiongkok di bawah
pemerintahan Kaisar Yuan Fong.
Duta besar tersebut
menyampaikan surat dari raja Kien-
pi bawahan San-fo-tsi, yang
merupakan surat dari putri raja
yang diserahi urusan negara San-
fo-tsi, serta menyerahkan pula 227
tahil perhiasan, rumbia, dan 13
potong pakaian. Kemudian juga
mengirimkan utusan berikutnya
pada tahun 1088.[2] Pengaruh
invasi Rajendra Chola I, terhadap
hegemoni Sriwijaya atas raja-raja
bawahannya melemah. Beberapa
daerah taklukan melepaskan diri,
sampai muncul Dharmasraya dan
Pagaruyung sebagai kekuatan baru
yang kemudian menguasai kembali
wilayah jajahan Sriwijaya mulai dari
kawasan Semenanjung Malaya,
Sumatra, sampai Jawa bagian
barat.

Munculnya Malayu Dharmasraya …

Reruntuhan Wat (Candi) Kaew yang berasal


dari zaman Sriwijaya di Chaiya, Thailand
Selatan.

Pada tahun 1079 dan 1088,


catatan Tiongkok menunjukkan
bahwa Sriwijaya mengirimkan duta
besar pada Tiongkok.[65]
Khususnya pada tahun 1079,
masing-masing duta besar
tersebut mengunjungi Tiongkok.[65]
Ini menunjukkan bahwa ibu kota
Sriwijaya selalu bergeser dari satu
kota maupun kota lainnya selama
periode tersebut.[65] Ekspedisi
Chola mengubah jalur
perdagangan dan melemahkan
Palembang, yang memungkinkan
Jambi untuk mengambil
kepemimpinan Sriwijaya pada
abad ke-11.[66]

Berdasarkan sumber Tiongkok


pada buku Chu-fan-chi[67] yang
ditulis pada tahun 1178, Chou-Ju-
Kua menerangkan bahwa di
kepulauan Asia Tenggara terdapat
dua kerajaan yang sangat kuat dan
kaya, yakni San-fo-ts'i dan Cho-po
(Jawa). Di Jawa dia menemukan
bahwa rakyatnya memeluk agama
Budha dan Hindu, sedangkan
rakyat San-fo-ts'i memeluk Budha,
dan memiliki 15 daerah bawahan
yang meliputi; Si-lan (Kamboja),
Tan-ma-ling (Tambralingga, Ligor,
selatan Thailand), Kia-lo-hi (Grahi,
Chaiya sekarang, selatan Thailand),
Ling-ya-si-kia (Langkasuka),
Kilantan (Kelantan), Pong-fong
(Pahang), Tong-ya-nong
(Terengganu), Fo-lo-an (muara
sungai Dungun daerah Terengganu
sekarang), Ji-lo-t'ing (Cherating,
pantai timur semenanjung malaya),
Ts'ien-mai (Semawe, pantai timur
semenanjung malaya), Pa-t'a
(Sungai Paka, pantai timur
Semenanjung Malaya), Lan-wu-li
(Lamuri di Aceh), Pa-lin-fong
(Palembang), Kien-pi (Jambi), dan
Sin-t'o (Sunda).[6][13]

Namun, istilah San-fo-tsi terutama


pada tahun 1178 tidak lagi identik
dengan Sriwijaya, melainkan telah
identik dengan Dharmasraya. Dari
daftar 15 negeri bawahan San-fo-
tsi tersebut, ternyata adalah
wilayah jajahan Kerajaan
Dharmasraya. Walaupun sumber
Tiongkok tetap menyebut San-fo-
tsi sebagai kerajaan yang berada di
kawasan Laut Tiongkok Selatan.
Hal ini karena dalam Pararaton
telah disebutkan Malayu. Kitab ini
mengisahkan bahwa Kertanagara
raja Singhasari, mengirim sebuah
ekspedisi Pamalayu atau
Pamalayu, dan kemudian
menghadiahkan Arca Amoghapasa
kepada raja Melayu, Srimat
Tribhuwanaraja Mauli Warmadewa
di Dharmasraya sebagaimana yang
tertulis pada prasasti Padang
Roco. Peristiwa ini kemudian
dikaitkan dengan manuskrip yang
terdapat pada prasasti Grahi.

Pemerintahan dan
ekonomi

Struktur pemerintahan …

Prasasti Telaga Batu

Masyarakat Sriwjaya sangat


majemuk, dan mengenal
stratatifikasi sosial.[11]
Pembentukan satu negara
kesatuan dalam dimensi struktur
otoritas politik Sriwijaya, dapat
dilacak dari beberapa prasasti
yang mengandung informasi
penting tentang kadātuan, vanua,
samaryyāda, mandala dan
bhūmi.[68]

Kadātuan dapat bermakna


kawasan dātu, (tnah rumah) tempat
tinggal bini hāji, tempat disimpan
mas dan hasil cukai (drawy)
sebagai kawasan yang mesti
dijaga. Kadātuan ini dikelilingi oleh
vanua, yang dapat dianggap
sebagai kawasan kota dari
Sriwijaya yang di dalamnya
terdapat vihara untuk tempat
beribadah bagi masyarakatnya.
Kadātuan dan vanua ini merupakan
satu kawasan inti bagi Sriwijaya itu
sendiri. Menurut Casparis,
samaryyāda merupakan kawasan
yang berbatasan dengan vanua,
yang terhubung dengan jalan
khusus (samaryyāda-patha) yang
dapat bermaksud kawasan
pedalaman. Sedangkan mandala
merupakan suatu kawasan otonom
dari bhūmi yang berada dalam
pengaruh kekuasaan kadātuan
Sriwijaya.
Penguasa Sriwijaya disebut
dengan Dapunta Hyang atau
Maharaja, dan dalam lingkaran raja
terdapat secara berurutan yuvarāja
(putra mahkota), pratiyuvarāja
(putra mahkota kedua) dan
rājakumāra (pewaris berikutnya).[69]
Prasasti Telaga Batu banyak
menyebutkan berbagai jabatan
dalam struktur pemerintahan
kerajaan pada masa Sriwijaya.
Menurut Prasasti Telaga Batu,
selain diceritakan kutukan raja
Sriwijaya kepada siapa saja yang
menentang raja, diceritakan pula
bermacam-macam jabatan dan
pekerjaan yang ada pada zaman
Sriwijaya.[26] Adapun, jabatan dan
pekerjaan yang diceritakan
tersebut adalah raja putra (putra
raja yang keempat), bhupati
(bupati), senopati (komandan
pasukan), dan dandanayaka
(hakim). Kemudian terdapat juga
Tuha an watak wuruh (pengawas
kelompok pekerja),[b] Adyaksi
nijawarna/wasikarana (pandai besi/
pembuat senjata pisau), kayastha
(juru tulis), sthapaka (pemahat),
puwaham (nakhoda kapal),
waniyaga (peniaga), pratisra
(pemimpin kelompok kerja), marsi
haji (tukang cuci), dan hulun haji
(budak raja).[26]
Menurut kronik Tiongkok Hsin
Tang-shu, Sriwijaya yang begitu
luas dibagi menjadi dua. Seperti
yang diterangkan diatas, Dapunta
Hyang punya dua orang anak yang
diberi gelar putra mahkota, yakni
yuvarāja (putra mahkota),
pratiyuvarāja (putra mahkota
kedua).[26][69] Ahmad Jelani Halimi
(profesor di Universiti Sains
Malaysia) mengatakan bahwa
pembagian ini dilakukan untuk
mencegah perpecahan di antara
anak-anaknya.[32]

Perdagangan …
Model kapal Sriwijaya tahun 800-an Masehi
yang terdapat pada candi Borobudur.

Di dunia perdagangan, Sriwijaya


menjadi pengendali jalur
perdagangan antara India dan
Tiongkok, yakni dengan
penguasaan atas Selat Malaka dan
Selat Sunda. Orang Arab mencatat
bahwa Sriwijaya memiliki aneka
komoditas seperti kapur barus,
kayu gaharu, cengkih, pala,
kepulaga, gading, emas, dan timah,
yang membuat raja Sriwijaya
sekaya raja-raja di India.[14]
Kekayaan yang melimpah ini telah
memungkinkan Sriwijaya membeli
kesetiaan dari vassal-vassal-nya di
seluruh Asia Tenggara. Dengan
berperan sebagai entreport atau
pelabuhan utama di Asia Tenggara,
dengan mendapatkan restu,
persetujuan, dan perlindungan dari
Kaisar Tiongkok untuk dapat
berdagang dengan Tiongkok,
Sriwijaya senantiasa mengelola
jejaring perdagangan bahari dan
menguasi urat nadi pelayaran
antara Tiongkok dan India.[71]
Karena alasan itulah Sriwijaya
harus terus menjaga dominasi
perdagangannya dengan selalu
mengawasi — dan jika perlu —
memerangi pelabuhan pesaing di
negara jirannya. Keperluan untuk
menjaga monopoli perdagangan
inilah yang mendorong Sriwijaya
menggelar ekspedisi militer untuk
menaklukkan bandar pelabuhan
pesaing di kawasan sekitarnya dan
menyerap mereka ke dalam
mandala Sriwijaya. Bandar Malayu
di Jambi, Kota Kapur di pulau
Bangka, Tarumanagara dan
pelabuhan Sunda di Jawa Barat,
Kalingga di Jawa Tengah, dan
bandar Kedah dan Chaiya di
semenanjung Melaya adalah
beberapa bandar pelabuhan yang
ditaklukan dan diserap kedalam
lingkup pengaruh Sriwijaya.
Disebutkan dalam catatan sejarah
Champa adanya serangkaian
serbuan angkatan laut yang
berasal dari Jawa terhadap
beberapa pelabuhan di Champa
dan Kamboja. Mungkin angkatan
laut penyerbu yang dimaksud
adalah armada Sriwijaya, karena
saat itu wangsa Sailendra di Jawa
adalah bagian dari mandala
Sriwijaya. Hal ini merupakan upaya
Sriwijaya untuk menjamin
monopoli perdagangan laut di Asia
Tenggara dengan menggempur
bandar pelabuhan pesaingnya.
Sriwijaya juga pernah berjaya
dalam hal perdagangan sedari
tahun 670 hingga 1025 M.[72]

Kejayaan bahari Sriwijaya terekam


di relief Borobudur yaitu
menggambarkan Kapal Borobudur,
kapal kayu bercadik ganda dan
bertiang layar yang melayari lautan
Nusantara sekitar abad ke-8
Masehi. Fungsi cadik ini adalah
untuk menyeimbangkan dan
menstabilkan perahu. Cadik
tunggal atau cadik ganda adalah
ciri khas perahu bangsa
Austronesia dan perahu bercadik
inilah yang membawa bangsa
Austronesia berlayar di seantero
Asia Tenggara, Oseania, dan
Samudra Hindia. Kapal layar
bercadik yang diabadikan dalam
relief Borobudur mungkin adalah
jenis kapal yang digunakan armada
Sailendra dan Sriwijaya dalam
pelayaran antarpulaunya,
kemaharajaan bahari yang
menguasai kawasan pada kurun
abad ke-7 hingga ke-13 masehi.

Selain menjalin hubungan dagang


dengan India dan Tiongkok,
Sriwijaya juga menjalin
perdagangan dengan tanah Arab.
Kemungkinan utusan Maharaja Sri
Indrawarman yang mengantarkan
surat kepada khalifah Umar bin
Abdul-Aziz dari Bani Umayyah
tahun 718, kembali ke Sriwijaya
dengan membawa hadiah Zanji
(budak wanita berkulit hitam), dan
kemudian dari kronik Tiongkok
disebutkan Shih-li-fo-shih dengan
rajanya Shih-li-t-'o-pa-mo (Sri
Indrawarman) pada tahun 724
mengirimkan hadiah untuk kaisar
Tiongkok, berupa ts'engchi
(bermaksud sama dengan Zanji
dalam bahasa Arab).[73]
Pada paruh pertama abad ke-10, di
antara kejatuhan dinasti Tang dan
naiknya dinasti Song, perdagangan
dengan luar negeri cukup marak,
terutama Fujian, kerajaan Min dan
kerajaan Nan Han dengan negeri
kayanya Guangdong. Tak
diragukan lagi Sriwijaya
mendapatkan keuntungan dari
perdagangan ini.

Pada masa inilah diperkirakan


rakyat Sriwijaya mulai mengenal
buah semangka (Citrullus lanatus
(Thunb.) Matsum. & Nakai), yang
masuk melalui perdagangan
mereka.[74][75]
Budaya dan masyarakat
Sebuah masyarakat yang
kompleks, berlapis, kosmopolitan,
dan makmur; dengan cita rasa nan
halus dalam seni, sastra, dan
budaya, dengan serangkaian ritual
yang dipengaruhi ajaran Buddha
Mahayana; berkembang di
masyarakat Sriwijaya. Tatanan
sosial mereka yang rumit dapat
dilihat melalui studi prasasti,
catatan sejarah asing, serta
peninggalan candi-candi yang
berasal dari periode ini. Kerajaan
telah mengembangkan masyarakat
yang maju; yang ditandai oleh
kemajemukan masyarakat mereka,
stratifikasi sosial, dan
pembentukan lembaga
administratif nasional kerajaan
mereka.

Agama …

Penyebaran ajaran Buddha dari India utara


ke bagian lain di Asia, Sriwijaya pernah
berperan sebagai pusat pembelajaran dan
penyebaran ajaran Buddha.
Sebagai pusat pengajaran Buddha
Vajrayana, Sriwijaya menarik
banyak peziarah dan sarjana dari
negara-negara di Asia. Antara lain
pendeta dari Tiongkok I Tsing, yang
melakukan kunjungan ke Sumatra
dalam perjalanan studinya di
Universitas Nalanda, India, pada
tahun 671 dan 695, I Tsing
melaporkan bahwa Sriwijaya
menjadi rumah bagi sarjana
Buddha sehingga menjadi pusat
pembelajaran agama Buddha.
Selain berita diatas, terdapat berita
yang dibawakan oleh I Tsing,
dinyatakan bahwa terdapat 1000
orang pendeta yang belajar agama
Budha pada Sakyakirti, seorang
pendeta terkenal di Sriwijaya.[76]
“ Terdapat lebih dari 1000 pandita ”
Buddhis di Sriwijaya yang belajar
serta mempraktikkan Dharma
dengan baik. Mereka menganalisis
dan mempelajari semua topik
ajaran sebagaimana yang ada di
India; vinaya dan ritual-ritual
mereka tidaklah berbeda sama
sekali [dengan yang ada di India].
Apabila seseorang pandita
Tiongkok akan pergi ke Universitas
Nalanda di India untuk mendengar
dan mempelajari naskah-naskah
Dharma auutentik, ia sebaiknya
tinggal di Sriwijaya dalam kurun
waktu 1 atau 2 tahun untuk
mempraktikkan vinaya dan bahasa
sansekerta dengan tepat.

Pengunjung yang datang ke pulau


ini menyebutkan bahwa koin emas
telah digunakan di pesisir kerajaan.
Selain itu ajaran Buddha aliran
Buddha Hinayana dan Buddha
Mahayana juga turut berkembang
di Sriwijaya. Menjelang akhir abad
ke-10, Atiśa, seorang sarjana
Buddha asal Benggala yang
berperan dalam mengembangkan
Buddha Vajrayana di Tibet dalam
kertas kerjanya Durbodhāloka
menyebutkan ditulis pada masa
pemerintahan Sri Cudamani
Warmadewa penguasa
Sriwijayanagara di Malayagiri di
Suvarnadvipa.[77]

Kerajaan Sriwijaya banyak


dipengaruhi budaya India, pertama
oleh budaya Hindu kemudian
diikuti pula oleh agama Buddha.
Peranannya dalam agama Budha
dibuktikannya dengan membangun
tempat pemujaan agama Budha di
Ligor, Thailand.[78] Raja-raja
Sriwijaya menguasai kepulauan
Melayu melalui perdagangan dan
penaklukkan dari kurun abad ke-7
hingga abad ke-9, sehingga secara
langsung turut serta
mengembangkan bahasa Melayu
beserta kebudayaannya di
Nusantara.

Sangat ".... banyak raja


dimungkinkan
dan pemimpin
bahwa Sriwijaya
yang berada di
yang termahsyur
pulau-pulau pada
sebagai bandar
Lautan Selatan
pusat
perdagangan di percaya dan
Asia Tenggara, mengagumi
tentunya menarik Buddha, dihati
minat para mereka telah
pedagang dan tertanam
ulama Muslim dari perbuatan baik.
Timur Tengah,
Di dalam benteng
sehingga kota Sriwijaya
beberapa kerajaan dipenuhi lebih
yang semula dari 1000 biksu
merupakan bagian
Budha, yang
dari Sriwijaya,
belajar dengan
kemudian tumbuh
tekun dan
menjadi cikal-
bakal kerajaan- mengamalkannya
kerajaan Islam di dengan baik....
Sumatra kelak, di Jika seorang
saat melemahnya biarawan
pengaruh Tiongkok ingin
Sriwijaya. pergi ke India
untuk belajar
Seni dan Sabda, lebih baik
Budaya

ia tinggal dulu di
sini selama satu
atau dua tahun
untuk mendalami
ilmunya sebelum
dilanjutkan di
India".

— Gambaran
Sriwijaya
menurut I
Tsing.[4]

Langgam Sriwijaya
Arca Awalokite Arca Arca torso
Buddha shwara Maitreya perunggu
langgam dari dari bodhisattwa
Amarawa Bingin Komering, Padmapani,
ti Jungut, Sumatra langgam
setinggi Musi Selatan, Sriwijaya
2,77 Rawas, seni abad ke-8,
meter, Sumatra Sriwijaya Chaiya,
ditemuka Selatan. sekitar Surat Thani,
n di situs Langgam abad ke-9 Thailand
Bukit Sriwijaya, M. Selatan.
Seguntan abad ke-8 Arca ini
g, sampai menggamba
Palemba ke-9 M, rkan
ng, abad mirip pengaruh
ke-7 langam langgam
sampai seni Sailendra
ke-8 M. Sailendra dari Jawa
Jawa Tengah.
Tengah.
Berdasarkan berbagai sumber
sejarah, sebuah masyarakat yang
kompleks dan kosmopolitan yang
sangat dipengaruhi alam pikiran
Budha Wajrayana digambarkan
bersemi di ibu kota Sriwijaya.
Beberapa prasasti Siddhayatra
abad ke-7 seperti Prasasti Talang
Tuo menggambarkan ritual Budha
untuk memberkati peristiwa penuh
berkah yaitu peresmian taman
Sriksetra, anugerah Maharaja
Sriwijaya untuk rakyatnya. Prasasti
Telaga Batu menggambarkan
kerumitan dan tingkatan jabatan
pejabat kerajaan, sementara
Prasasti Kota Kapur menyebutkan
keperkasaan balatentara Sriwijaya
atas Jawa. Semua prasasti ini
menggunakan bahasa Melayu
Kuno, leluhur bahasa Melayu dan
bahasa Indonesia modern. Sejak
abad ke-7, bahasa Melayu kuno
telah digunakan di Nusantara.
Ditandai dengan ditemukannya
berbagai prasasti Sriwijaya dan
beberapa prasasti berbahasa
Melayu Kuno di tempat lain, seperti
yang ditemukan di pulau Jawa.
Hubungan dagang yang dilakukan
berbagai suku bangsa Nusantara
menjadi wahana penyebaran
bahasa Melayu, karena bahasa ini
menjadi alat komunikasi bagi
kaum pedagang. Sejak saat itu,
bahasa Melayu menjadi lingua
franca dan digunakan secara
meluas oleh banyak penutur di
Kepulauan Nusantara.[79]

Meskipun disebut memiliki


kekuatan ekonomi dan
keperkasaan militer, Sriwijaya
hanya meninggalkan sedikit
tinggalan purbakala di jantung
negerinya di Sumatra. Sangat
berbeda dengan episode Sriwijaya
di Jawa Tengah saat
kepemimpinan wangsa Syailendra
yang banyak membangun
monumen besar; seperti Candi
Kalasan, Candi Sewu, dan
Borobudur. Candi-candi Budha
yang berasal dari masa Sriwijaya di
Sumatra antara lain Candi Muaro
Jambi, Candi Muara Takus, dan
Biaro Bahal. Akan tetapi tidak
seperti candi periode Jawa Tengah
yang terbuat dari batu andesit,
candi di Sumatra terbuat dari bata
merah.

Beberapa arca-arca bersifat


Budhisme, seperti berbagai arca
Budha yang ditemukan di Bukit
Seguntang, Palembang[80], dan
arca-arca Bodhisatwa
Awalokiteswara dari Jambi[81],
Bidor, Perak[82] dan Chaiya,[83] dan
arca Maitreya dari Komering,
Sumatra Selatan. Semua arca-arca
ini menampilkan keanggunan dan
langgam yang sama yang disebut
"Seni Sriwijaya" atau
"Langgam/Gaya Sriwijaya" yang
memperlihatkan kemiripan —
mungkin diilhami — oleh langgam
Amarawati India dan langgam
Syailendra Jawa (sekitar abad ke-8
sampai ke-9).[84]

Hubungan dengan
kekuatan regional
Untuk memperkuat posisinya atas
penguasaan kawasan Asia
Tenggara, Sriwijaya menjalin
hubungan diplomasi dengan
kekaisaran Tiongkok, dan secara
teratur mengantarkan utusan
beserta upeti.[85]

Sejarawan S.Q. Fatimi


menyebutkan bahwa pada tahun
100 Hijriyah (718 M), seorang
maharaja Sriwijaya (diperkirakan
adalah Sri Indrawarman)
mengirimkan sepucuk surat
kepada Khalifah Umar bin Abdul
Aziz dari Kekhalifahan Umayyah,
yang berisi permintaan kepada
khalifah untuk mengirimkan ulama
yang dapat menjelaskan ajaran dan
hukum Islam kepadanya.[86] Surat
itu dikutip dalam Al-'Iqd Al-Farid
karya Ibnu Abdu Rabbih
(sastrawan Kordoba, Spanyol), dan
dengan redaksi sedikit berbeda
dalam Al-Nujum Az-Zahirah fi Muluk
Misr wa Al-Qahirah karya Ibnu
Tagribirdi (sastrawan Kairo,
Mesir).[86]

Peristiwa ini " Dari Raja


membuktikan
sekalian para
bahwa Sriwijaya
raja yang juga
telah menjalin
adalah
hubungan
keturunan
diplomatik dengan ribuan raja,
dunia Islam atau yang isterinya
dunia Arab. pun adalah
Meskipun demikian
cucu dari
surat ini bukanlah
ribuan raja,
berarti bahwa raja
yang kebun
Sriwijaya telah
memeluk agama binatangnya
Islam, melainkan dipenuhi ribuan
hanya menunjukkan gajah, yang
hasrat sang raja wilayah
untuk mengenal dan kekuasaannya
mempelajari terdiri dari dua
berbagai hukum, sungai yang
budaya, dan adat-
mengairi
istiadat dari
tanaman lidah
berbagai rekan
perniagaan dan buaya, rempah
peradaban yang wangi, pala,
dikenal Sriwijaya dan jeruk nipis,
saat itu; yakni
yang aroma
Tiongkok, India, dan
harumnya
Timur Tengah.
menyebar
hingga 12 mil.
Kepada Raja
Arab yang tidak
menyembah
tuhan-tuhan
lain selain
Pagoda Borom That
bergaya Sriwijaya di Allah. Aku telah
Chaiya, Thailand. mengirimkan
kepadamu
Pada masa awal, bingkisan yang
Kerajaan Khmer tak seberapa
merupakan daerah sebagai tanda
jajahan Sriwijaya.
persahabatan.
Banyak sejarawan
Kuharap
mengklaim bahwa
engkau sudi
Chaiya, di provinsi
Surat Thani,
mengutus
Thailand Selatan, seseorang
sebagai ibu kota untuk
kerajaan tersebut. menjelaskan
Pengaruh Sriwijaya ajaran Islam
tampak pada dan segala
bangunan pagoda hukum-
Borom That yang
hukumnya
bergaya Sriwijaya.
kepadaku."
Setelah kejatuhan
Sriwijaya, Chaiya — Surat
terbagi menjadi tiga Maharaja
kota yakni (Mueang) Sriwijaya
Chaiya, Thatong
kepada
(Kanchanadit), dan
Khalifah Umar
Khirirat Nikhom.
bin Abdul
Sriwijaya di Sumatra Aziz.[73]
meluaskan wilayah
dengan perpindahan Wangsa
Sailendra ke Jawa. Pada kurun
waktu tertentu wangsa Sailendra
sebagai anggota mandala
Sriwijaya berkuasa atas Sriwijaya
dan Jawa. Maka Wangsa Sailendra
berkuasa sekaligus atas Sriwijaya
dan Kerajaan Medang, yaitu
Sumatra dan Jawa. Akan tetapi
akibat pertikaian suksesi
singgasana Sailendra di Jawa
antara Balaputradewa melawan
Rakai Pikatan dan
Pramodawardhani, hubungan
antara Sriwijaya dan Medang
memburuk.[87] Balaputradewa
kembali ke Sriwijaya dan akhirnya
berkuasa di Sriwijaya, dan
permusuhan ini diwariskan hingga
beberapa generasi berikutnya.
Dalam prasasti Nalanda yang
bertarikh 860 Balaputra
menegaskan asal usulnya sebagai
keturunan raja Sailendra di Jawa
sekaligus cucu Sri Dharmasetu raja
Sriwijaya. Dengan kata lain ia
mengadukan kepada raja
Dewapaladewa, raja Pala di India,
bahwa haknya menjadi raja Jawa
dirampas Rakai Pikatan.[88]
Persaingan antara Sriwijaya di
Sumatra dan Medang di Jawa ini
kian memanas ketika raja
Dharmawangsa Teguh menyerang
Palembang pada tahun 990,
tindakan yang kemudian dibalas
dengan penghancuran Medang
pada tahun 1006 oleh Raja
Wurawari (sebagai sekutu
Sriwijaya di Jawa) atas dorongan
Sriwijaya.[44]
Sriwijaya juga berhubungan dekat
dengan kerajaan Pala di Benggala,
pada prasasti Nalanda berangka
860 mencatat bahwa raja
Balaputradewa mendedikasikan
sebuah biara kepada Universitas
Nalanda. Relasi dengan Dinasti
Chola di selatan India juga cukup
baik. Dari prasasti Leiden
disebutkan raja Sriwijaya di Kataha
Sri Mara-Vijayottunggawarman
telah membangun sebuah vihara
yang dinamakan dengan Vihara
Culamanivarmma, namun menjadi
buruk setelah Rajendra Chola I naik
tahta yang melakukan
penyerangan pada abad ke-11.
Kemudian hubungan ini kembali
membaik pada masa Kulothunga
Chola I, di mana raja Sriwijaya di
Kadaram mengirimkan utusan
yang meminta dikeluarkannya
pengumuman pembebasan cukai
pada kawasan sekitar Vihara
Culamanivarmma tersebut. Namun
pada masa ini Sriwijaya dianggap
telah menjadi bagian dari dinasti
Chola. Kronik Tiongkok
menyebutkan bahwa Kulothunga
Chola I (Ti-hua-ka-lo) sebagai raja
San-fo-ts'i, membantu perbaikan
candi dekat Kanton pada tahun
1079. Pada masa dinasti Song
candi ini disebut dengan nama Tien
Ching Kuan, dan pada masa dinasti
Yuan disebut dengan nama Yuan
Miau Kwan.[6]

Raja yang memerintah


Para Maharaja Sriwijaya[2][6]
Prasasti, catatan pengiriman utusan ke
Nama Raja Tahun Ibu kota
Tiongkok serta peristiwa

Catatan perjalanan I Tsing pada tahun


671-685, Penaklukan Malayu,
Srivijaya penaklukan Jawa
Dapunta Hyang atau
671
Sri Jayanasa Shih-li-fo-shih Prasasti Kedukan Bukit (683), Talang
Tuo (684), Kota Kapur (686), Karang
Brahi dan Palas Pasemah

Rudra Wikrama Sriwijaya


728-742 Utusan ke Tiongkok 728-742
Liu-t'eng-wei-kung Shih-li-fo-shih

743-774 Belum ada berita pada periode ini

Sri Indrawarman Sriwijaya


702 Utusan ke Tiongkok 702-716, 724
Shih-li-t-'o-pa-mo Shih-li-fo-shih

Prasasti Ligor B tahun 775 di Nakhon Si


Sri Maharaja 775 Sriwijaya Thammarat, selatan Thailand dan
menaklukkan Kamboja

Pindah ke Jawa
Wangsa Sailendra mengantikan
(Jawa Tengah
Wangsa Sanjaya
atau Yogyakarta)

Prasasti Kelurak 782 di sebelah utara


kompleks Candi Prambanan
Dharanindra atau
778 Jawa
Rakai Panangkaran Prasasti Kalasan tahun 778 di Candi
Kalasan

Samaragrawira atau Prasasti Nalanda dan prasasti


782 Jawa
Rakai Warak Mantyasih tahun 907

Prasasti Karang Tengah tahun 824,


Samaratungga atau
792 Jawa 825 menyelesaikan pembangunan
Rakai Garung
candi Borobudur

Kebangkitan Wangsa Sanjaya, Rakai


840
Pikatan

Balaputradewa 856 Suwarnadwipa Kehilangan kekuasaan di Jawa, dan


kembali ke Suwarnadwipa

Prasasti Nalanda tahun 860, India

861-959 Belum ada berita pada periode ini

Sri Udayaditya
Sriwijaya
Warmadewa
960 Utusan ke Tiongkok 960, & 962
San-fo-ts'i
Se-li-hou-ta-hia-li-tan

Utusan ke Tiongkok 980 & 983: dengan


980
raja, Hie-tche (Haji)

990 Jawa menyerang Sriwijaya, Catatan


Sri Cudamani Sriwijaya Atiśa,
Warmadewa
Malayagiri Utusan ke Tiongkok 988-992-1003,
988
Se-li-chu-la-wu-ni-fu- (Suwarnadwipa) pembangunan candi untuk kaisar
ma-tian-hwa San-fo-ts'i Tiongkok yang diberi nama
cheng tien wan shou

Sri Mara-
San-fo-ts'i
Vijayottunggawarman Prasasti Leiden & utusan ke Tiongkok
1008
Kataha 1008
Se-li-ma-la-pi

Utusan San-fo-ts'i ke Tiongkok 1017:


Haji Sumatrabhumi
dengan raja, Ha-ch'i-su-wa-ch'a-p'u (Haji
1017
Ha-ch'i-su-wa-ch'a-p'u Sumatrabhumi (?)); gelar haji biasanya
untuk raja bawahan

Diserang oleh Rajendra Chola I dan


Sriwijaya menjadi tawanan
Sangrama-
1025
Vijayottunggawarman Kadaram Prasasti Tanjore bertarikh 1030 pada
candi Rajaraja, Tanjore, India

1030 Dibawah Dinasti Chola dari Koromandel

Utusan San-fo-ts'i dengan raja


Kulothunga Chola I (Ti-hua-ka-lo) ke
1079 Tiongkok 1079 membantu memperbaiki
candi Tien Ching di Kuang Cho (dekat
Kanton)

1082 Utusan San-fo-ts'i dari Kien-pi (Jambi)


ke Tiongkok 1082 dan 1088

1089-
Belum ada berita
1177

Laporan Chou-Ju-Kua dalam buku Chu-


1178
fan-chi berisi daftar koloni San-fo-ts'i

Srimat Trailokyaraja Dibawah Dinasti Mauli, Kerajaan


Maulibhusana 1183 Dharmasraya Melayu, Prasasti Grahi tahun 1183 di
Warmadewa selatan Thailand

Warisan sejarah

Busana gadis penari Gending Sriwijaya yang


raya dan keemasan menggambarkan
kegemilangan dan kekayaan Sriwijaya.

Meskipun Sriwijaya hanya


menyisakan sedikit peninggalan
arkeologi dan keberadaanya
sempat terlupakan dari ingatan
masyarakat pendukungnya,
penemuan kembali kemaharajaan
bahari ini oleh Coedès pada tahun
1920-an telah membangkitkan
kesadaran bahwa suatu bentuk
persatuan politik raya, berupa
kemaharajaan yang terdiri atas
persekutuan kerajaan-kerajaan
bahari, pernah bangkit, tumbuh,
dan berjaya pada masa lalu.

Pada abad ke-14 meskipun


pengaruhnya telah memudar,
wibawa dan gengsi Sriwijaya
masih digunakan sebagai sumber
legitimasi politik. Sang Nila Utama
yang mengaku sebagai keturunan
bangsawan Sriwijaya dari Bintan,
bersama para pengikut dan
tentaranya yang terdiri dari Orang
Laut, telah mendirikan Kerajaan
Singapura di Tumasik. Menurut
Sejarah Melayu dan catatan
sejarah Tiongkok yang ditulis Wang
Ta Yuan, disebutkan bahwa
Kerajaan Siam sempat menyerang
kerajaan Singapura pada kurun
tahun 1330 hingga 1340. Serangan
Siam ini berhasil dipukul mundur.

Warisan terpenting Sriwijaya


mungkin adalah bahasanya.
Selama berabad-abad, kekuatan
ekononomi dan keperkasaan
militernya telah berperan besar
atas tersebarluasnya penggunaan
Bahasa Melayu Kuno di Nusantara,
setidaknya di kawasan pesisir.
Bahasa ini menjadi bahasa kerja
atau bahasa yang berfungsi
sebagai penghubung (lingua
franca) yang digunakan di berbagai
bandar dan pasar di kawasan
Nusantara.[89] Tersebar luasnya
Bahasa Melayu Kuno ini mungkin
yang telah membuka dan
memuluskan jalan bagi Bahasa
Melayu sebagai bahasa nasional
Malaysia, dan Bahasa Indonesia
sebagai bahasa pemersatu
Indonesia modern. Adapun Bahasa
Melayu Kuno masih tetap
digunakan sampai pada abad ke-
14 M.[90]

Kaum nasionalis Indonesia juga


mengagungkan Sriwijaya sebagai
sumber kebanggaan dan bukti
kejayaan masa lampau
Indonesia.[91] Kegemilangan
Sriwijaya telah menjadi sumber
kebanggaan nasional dan identitas
daerah, khususnya bagi penduduk
kota Palembang, Sumatra Selatan.
Keluhuran Sriwijaya telah menjadi
inspirasi seni budaya, seperti lagu
dan tarian tradisional Gending
Sriwijaya. Hal yang sama juga
berlaku bagi masyarakat selatan
Thailand yang menciptakan
kembali tarian Sevichai yang
berdasarkan pada keanggunan
seni budaya Sriwijaya.

Di Indonesia, nama Sriwijaya telah


digunakan dan diabadikan sebagai
nama jalan di berbagai kota, dan
nama ini juga digunakan oleh
Universitas Sriwijaya yang didirikan
tahun 1960 di Palembang.
Demikian pula Kodam II/Sriwijaya
(unit komando militer), PT Pupuk
Sriwijaya (Perusahaan Pupuk di
Sumatra Selatan), Sriwijaya Post
(Surat kabar harian di Palembang),
Sriwijaya TV, Sriwijaya Air
(maskapai penerbangan), Stadion
Gelora Sriwijaya, dan Sriwijaya
Football Club (Klab sepak bola
Palembang). Semuanya
dinamakan demikian untuk
menghormati, memuliakan, dan
merayakan kemaharajaan Sriwijaya
yang gemilang. Pada tanggal 11
November 2011 digelar upacara
pembukaan SEA Games 2011 di
Stadion Gelora Sriwijaya,
Palembang. Upacara pembukaan
ini menampilkan tarian kolosal
yang bertajuk "Srivijaya the Golden
Peninsula" menampilkan tarian
tradisional Palembang dan juga
replika ukuran sebenarnya perahu
Sriwijaya untuk menggambarkan
kejayaan kemaharajaan bahari
ini.[92][93]

Catatan
a. ^ Menurut Coedès, siddhayatra
merujuk kepada "ramuan ajaib".
Sebuah terjemahan alternatif:
Zoetmulder's Kamus Jawa Kuno
(1995) menerjemahkan istilah ini
sebagai "perjalanan yang makmur".
b. ^ Tuha an watak wuruh juga bersifat
pengurus perdagangan dan
pertukangan. Tugas mereka selain
itu adalah menjalankan
perdagangan di pasar-pasar dan
merekalah yang bertindak sebagai
pengurusnya.[70]

Referensi
1. ^ Cœdès, George (1930). "Les
inscriptions malaises de Çrivijaya".
Bulletin de l'Ecole français
d'Extrême-Orient (BEFEO). 30: 29–
80.
2. ^ a b c d e f g h i j k l Munoz, Paul
Michel (2006). Early Kingdoms of
the Indonesian Archipelago and the
Malay Peninsula. Singapore:
Editions Didier Millet. ISBN 981-
4155-67-5.
3. ^ Gabriel Ferrand, (1922), L’Empire
Sumatranais de Crivijaya,
Imprimerie Nationale, Paris, “Textes
Chinois”
4. ^ a b Junjiro Takakusu, (1896), A
record of the Buddhist Religion as
Practised in India and the Malay
Archipelago AD 671-695, by I-tsing,
Oxford, London.
5. ^ Casparis, J.G. (1975). Indonesian
palaeography: a history of writing in
Indonesia from the beginnings to C.
A, Part 1500. E. J. Brill. ISBN 90-04-
04172-9.
. ^ a b c d e f g h Muljana, Slamet
(2006). F.W. Stapel, ed. Sriwijaya.
PT. LKiS Pelangi Aksara. ISBN 978-
979-8451-62-1.
7. ^ Cœdès, George (1918). "Le
Royaume de Çriwijaya". Bulletin de
l'Ecole français d'Extrême-Orient. 18
(6): 1–36.
. ^ a b c Taylor, Jean Gelman (2003).
Indonesia: Peoples and Histories.
New Haven and London: Yale
University Press. ISBN 0-300-10518-
5.
9. ^ Krom, N.J. (1938). "Het Hindoe-
tijdperk". Dalam F.W. Stapel.
Geschiedenis van Nederlandsch
Indië. Amsterdam: N.V. U.M. Joost
van den Vondel. hlm. vol. I p. 149.
10. ^ a b c Wijaya, Taufik (24 March
2012). "Perahu Kuno Kerajaan
Sriwijaya Ditemukan di Sumatra
Selatan" . Detik. Diakses tanggal
20 April 2012.
11. ^ a b c d Sucipto 2009, hlm. 30.
12. ^ Ahmad Rapanie, Cahyo
Sulistianingsih, Ribuan Nata,
"Kerajaan Sriwijaya, Beberapa Situs
dan Temuannya", Museum Negeri
Sumatra Selatan, Dinas Pendidikan
Provinsi Sumatra Selatan.
13. ^ a b Soekmono, R. (2002).
Pengantar sejarah kebudayaan
Indonesia 2. Kanisius. ISBN 979-
413-290-X.
14. ^ a b c Marwati Djoened
Poesponegoro, Nugroho
Notosusanto, (1992), Sejarah
nasional Indonesia: Jaman kuno, PT
Balai Pustaka, ISBN 979-407-408-X
15. ^ a b Forgotten Kingdoms in
Sumatra, Brill Archive
1 . ^ Sejarah nasional Indonesia:
Jaman kuno . Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan. 1975.
17. ^ "Peneliti UI Temukan Bukti
Kerajaan Sriwijaya di Jambi"
(dalam bahasa Indonesian). 15 July
2013.
1 . ^ "Muaro Jambi Temple: The Legacy
of Ancient Jambi" . 25 September
2011.
19. ^ Syofiardi Bachyul Jb (November
25, 2014). "Muarajambi Temple:
Jambi's monumental mystery" .
20. ^ Takashi Suzuki (25 December
2012). "Śrīvijaya―towards Chaiya ー
The History of Srivijaya" . Diakses
tanggal 6 March 2013.
21. ^ Chand Chirayu Rajani (1974).
"Background To The Sri Vijaya Story-
Part" (PDF). Journal of the Siam
Society. 62: 174–211.
22. ^ George Coedès, Louis-Charles
Damais, (1992), Sriwijaya: history,
religion & language of an early
Malay polity: collected studies,
MBRAS, ISBN 983-99614-1-1.
23. ^ P. J. Suwarno, (1993), Pancasila
budaya bangsa Indonesia:Penelitian
Pancasila dengan pendekatan
historis, filosofis & sosio-yuridis
kenegaraan, Kanisius, ISBN 979-
413-967-X.
24. ^ Marwati Djoened Poesponegoro,
Nugroho Notosusanto, (1993),
Sejarah Nasional Indonesia II (6
Seri), Edisi Pemuktahiran, PT Balai
Pustaka, ISBN 979-407-408-X
25. ^ Collins 2005, hlm. 8.
2 . ^ a b c d Susanti, Dini; Rohman, Yusuf
Ali (August 2011). PELAJARAN IPS-
SEJARAH BILINGUAL:Untuk
SMP/MTs. Kelas VII. Bandung: CV.
YRAMA WIDYA. hlm. 86. ISBN 978-
979-543-708-6.
27. ^ Wade, Geoffrey (2009). "An Early
Age of Commerce in Southeast
Asia, 900–1300 CE" (PDF).
www.eastwestcenter.org. hlm. 252.
Diakses tanggal 16 January 2013.
2 . ^ Majumdar, R.C., (1933). "Le rois
Çriwijaya de Suvarnadvipa". Bulletin
de l'Ecole français d'Extrême-Orient.
XXXIII: 121–144.
29. ^ Moensr, J.L., (1937). "Çriwijaya,
Yāva en Katāha". TBG. LXXVII: 317–
487.
30. ^ Poerbatjaraka, R.N., (1956).
"Çriwijaya, de Çailendra-en de
Sanjāyavança". BKI. 114: 254–264.
31. ^ Boechari (1966). "Preliminary
report on the discovery of an Old
malay inscription at Sojomerto".
MISI. III: 241–251.
32. ^ a b Halimi 2008, hlm. 120.
33. ^ Pramono, Djoko (2005). Budaya
bahari. Gramedia Pustaka Utama.
ISBN 979-22-1351-1.
34. ^ Rasul, Jainal D. (2003). Agonies
and Dreams: The Filipino Muslims
and Other Minorities". Quezon City:
CARE Minorities. hlm. pages 77.
35. ^ Rooney, Dawn (16 April 2011).
Angkor, Cambodia's Wondrous
Khmer Temples .
www.bookdepository.com. Hong
Kong: Odyssey Publications.
ISBN 978-9622178021. Diakses
tanggal 2019-01-21.
3 . ^ Munoz, Paul Michel (2006). Early
Kingdoms of the Indonesian
Archipelago and Malay Peninsula.
Singapore: Editions Didier Miller.
37. ^ a b c d Cœdès, George (1968). The
Indianized states of Southeast
Asia . University of Hawaii Press.
ISBN 9780824803681.
3 . ^ Munoz, Paul Michel (2006). Early
Kingdoms of the Indonesian
Archipelago and the Malay
Peninsula. Singapore: Editions
Didier Millet. hlm. 175. ISBN 981-
4155-67-5.
39. ^ Munoz. Early Kingdoms. hlm. 143.
40. ^ Kesalahan pengutipan: Tag
<ref> tidak sah; tidak
ditemukan teks untuk ref bernama
Coedes
41. ^ Muljana, Slamet (2006). Sriwijaya
(dalam bahasa Indonesian).
Yogyakarta: LKiS. hlm. 21.
ISBN 979-8451-62-7.
42. ^ a b c Munoz 2006, hlm. 150.
43. ^ Muljana, Slamet (2006). F.W.
Stapel, ed. Sriwijaya. PT. LKiS
Pelangi Aksara. ISBN 978-979-8451-
62-1.
44. ^ a b Munoz 2006, hlm. 151.
45. ^ Aung-Thwin, Michael Arthur; Hall,
Kenneth R. (2011-05-13). New
Perspectives on the History and
Historiography of Southeast Asia:
Continuing Explorations (dalam
bahasa Inggris). Routledge.
ISBN 978-1-136-81964-3.
4 . ^ Philippine History . Rex Bookstore,
Inc. 2004. hlm. 46.
ISBN 9789712339349.
47. ^ "History of Madagascar" . Lonely
Planet.com. Diakses tanggal 7 July
2010.
4 . ^ Murray P. Cox; Michael G. Nelson;
Meryanne K. Tumonggor; François-
X. Ricaut; Herawati Sudoyo (2012).
"A small cohort of Island Southeast
Asian women founded
Madagascar" . Proceedings of the
Royal Society B. 279: 2761–8.
doi:10.1098/rspb.2012.0012 .
PMC 3367776  . PMID 22438500 .
Diakses tanggal 30 May 2020.
49. ^ "Laguna Copperplate Inscription -
Article in English" . Diarsipkan dari
versi asli tanggal 5 February 2008.
Diakses tanggal 25 August 2015.
50. ^ The Laguna Copperplate
Inscription Diarsipkan 21
November 2014 di Wayback
Machine.. Accessed 4 September
2008.
51. ^ "Golden Tara" . Agusan del Sur.
52. ^ "Philippine Gold, Treasure of
Forgotten Kingdoms" . Asian
Society.
53. ^ Kumar, Ann. (1993). 'Dominion
Over Palm and Pine: Early
Indonesia’s Maritime Reach', in
Anthony Reid (ed.), Anthony Reid
and the Study of the Southeast
Asian Past (Sigapore: Institute of
Southeast Asian Studies), 101-122.
54. ^ a b Nugroho, Irawan Djoko (2011).
Majapahit Peradaban Maritim. Suluh
Nuswantara Bakti.
ISBN 9786029346008.
55. ^ Reid, Anthony (2012). Anthony
Reid and the Study of the Southeast
Asian Past. Institute of Southeast
Asian Studies. ISBN 978-
9814311960.
5 . ^ Nastiti (2003), in Ani Triastanti,
2007, p. 39.
57. ^ Nastiti (2003), in Ani Triastanti,
2007, p. 34.
5 . ^ Kartikaningsih (1992). p. 42, in Ani
Triastanti (2007), p. 34.
59. ^ Rasul, Jainal D. (2003). Agonies
and Dreams: The Filipino Muslims
and Other Minorities. Quezon City:
CARE Minorities. hlm. 77.
0. ^ Philippine History . Rex Bookstore,
Inc. 2004. hlm. 46.
ISBN 9789712339349.
1. ^ Sastri K. A. N., (1935). The Cholas.
University of Madras.
2. ^ Kulke, H. (2009). Nagapattinam to
Suvarnadwipa: reflections on Chola
naval expeditions to Southeast Asia.
Institute of Southeast Asian. ISBN
981-230-936-5.
3. ^ Sucipto 2009, hlm. 29.
4. ^ Suriansyah Ideham. (2007:17).
"Kerajaan Nan Sarunai" . Melayu
online. Diarsipkan dari versi asli
tanggal 25 August 2012. Diakses
tanggal 25 August 2012.
5. ^ a b c Munoz. Early Kingdoms.
hlm. 165.
. ^ Munoz 2006, hlm. 167.
7. ^ Hirth, F. (1911). Chao Ju-kua, His
Work on the Chinese and Arab Trade
in the Twelfth and Thirteen
centuries, entitled Chu-fan-chi. St
Petersburg. .
. ^ Kulke, H. (1993). "Kadātuan
Śrīvijaya'—Empire or Kraton of
Śrīvijaya? A Reassessment of the
Epigraphic Data". Bulletin de l’École
Française d’Extreme Orient. 80 (1):
159–180. line feed character di
|title= pada posisi 73 (bantuan)
9. ^ a b Casparis, J.C., (1956), Prasasti
Indonesia II: Selected Inscriptions
from the 7th to the 9th century A.D.,
Vol. II. Bandung: Masa Baru.
70. ^ Halimi 2008, hlm. 122.
71. ^ Sucipto 2009, hlm. 28.
72. ^ Halimi 2008, hlm. 121.
73. ^ a b Azra, Azyumardi (2006). Islam
in the Indonesian world: an account
of institutional formation. Mizan
Pustaka. ISBN 979-433-430-8.
74. ^ Natawidjaja 1985, hlm. 28.
75. ^ Sobir, PhD, Firmansyah D. Siregar
(2010), Budi Daya Semangka Panen
60 Hari , Penebar Swadaya: Jakarta.
Hlm 5-6. Diakses 8 Juli 2013
7 . ^ Supratna, Nana (2008). Sejarah
untuk Kelas XI Sekolah Menengah
Atas: Program Bahasa . Bandung:
Grasindo. ISBN 979-758-597-2.
Diakses tanggal 20 April 2012.
77. ^ Cœdès, George (1996). The
Indianized States of Southeast Asia.
University of Hawaii Press. ISBN 0-
8248-0368-X.
7 . ^ Collins 2005, hlm. 9.
79. ^ Melayu Online: Bambang Budi
Utomo
0. ^ Bukit Siguntang
1. ^ Titik Temu, Jejak Peradaban di
Tepi Batanghari, Photograph and
artifact exhibition of Muara Jambi
Archaeological site, Bentara Budaya
Jakarta, 9-11 November 2006
2. ^ KaalaChaKra, Early Indian
Influences in Southeast Asia
3. ^ Bridgeman: Avalokitesvara figure
from the Srivijaya Period, found in
Chaiya, Thailand, 9th-10th century
(bronze)
4. ^ Srivijaya Art In Thailand
5. ^ O. W. Wolters, (1967), Early
Indonesian Commerce: a study of
the origins of Śrīvijaya, Cornell
University Press, Ithaca.
. ^ a b Fatimi, S.Q. (1963). "Two
Letters from the Maharaja to the
Khalifah ". Islamic Studies
(Islamabad), 2:1, hlm. 121-40.
7. ^ De Casparis. Prasasti Indonesia I.
hlm. 110-111.
. ^ Muljana, Slamet (2006). F.W.
Stapel, ed. Sriwijaya. Yogyakarta:
PT. LKiS Pelangi Aksara. ISBN 978-
979-8451-62-1.
9. ^ Southeast Asia Digital Library:
About Malay
90. ^ Collins 2005, hlm. 12.
91. ^ Smith, A.L. (2000). Centrality:
Indonesia's changing role in ASEAN
Strategic Centrality: Indonesia's
changing role in ASEAN Periksa
nilai |url= (bantuan). Singapore:
Institute of Southeast Asian
Studies. hlm. 9. ISBN 981-230-103-
8.
92. ^ The new Golden Peninsula
Games
93. ^ Spectacular Opening of the 26th
SEA GAMES in Palembang

Bacaan lanjutan …

Collins, James T. (2005). Bahasa


Melayu, Bahasa Dunia - Sejarah Singkat
(dalam bahasa Indonesia). Jakarta:
KITLV bekerjasama dengan Pusat
Bahasa dan Yayasan Obor Indonesia.
ISBN 9789794615379.
Halimi, Ahmad Jelani (2008). Sejarah
dan Tamadun Bangsa Melayu (dalam
bahasa Melayu). Kuala Lumpur: Utusan
Publication & Distributors Sdn Bhd.
ISBN 978967612155X Periksa nilai:
invalid character |isbn= (bantuan).

Hall, D. G. E. (1955). A History of South-


east Asia. London: Macmillan.
Muljana, Slamet (2006). Sriwijaya.
Yogyakarta: LKiS. ISBN 9798451627.
Munoz, Paul Michel (2006). Early
Kingdoms of the Indonesian
Archipelago and the Malay Peninsula.
Singapura:Editions Didier Millet.
ISBN 9814155675.
Natawidjaja, P. Suparman (1985).
Mengenal Buah-Buahan yang Bergizi
(dalam bahasa Indonesia). Jakarta:
Pustaka Dian.
SarDesai, D. R. (1997). Southeast Asia:
Past and Present. Boulder: Westview
Press.
Shaffer, Lynda Norene (1996). Maritime
Southeast Asia to 1500. London: ME
Sharpe Armonk.
Stuart-Fox, Martin (2003). A Short
History of China and Southeast Asia:
Tribute, Trade, and Influence. London:
Allen and Unwin.
Sucipto (2009). Suminto, ed.
Perkembangan Masyarakat pada Masa
Kerajaan Hindu Budha serta
Peninggalannya (dalam bahasa
Indonesia). Solo: Tiga Serangkai.
ISBN 9789790456860.
Triastanti, Ani. Perdagangan
Internasional pada Masa Jawa Kuno;
Tinjauan Terhadap Data Tertulis Abad X-
XII. Skripsi Fakultas Ilmu Budaya.
Universitas Gadjah Mada Yogyakarta,
2007.

Pranala luar
(Indonesia) Kerajaan Sriwijaya di
MelayuOnline.com
(Indonesia) Balai Arkeologi
Palembang dan Sriwijaya Society
(Inggris) Sejarah Melayu, Buddhist
Empires
(Inggris) Śrīwijaya: A Centre of
Learning?

Diperoleh dari
"https://id.wikipedia.org/w/index.php?
title=Sriwijaya&oldid=17697053"

Terakhir disunting 2 bulan yang lalu oleh Chainwit.

Konten tersedia di bawah CC BY-SA 3.0


kecuali dinyatakan lain.

Anda mungkin juga menyukai