Anda di halaman 1dari 26

Nama. : Ahnaf Waffi Alghifari dan M.

Dzikri
Kelas : X MIPA
Pelajaran : Sejarah Indonesia
Tugas membuat makalah dari materi kerajaan Sriwijaya (Kamis 7.10.2021)

Makalah
KERAJAAN SRIWIJAYA
Sriwijaya
Kemaharajaan kuno yang berpusat di Palembang di Sumatra Selatan

Sriwijaya (atau juga disebut Śrīvijaya; bahasa Jawa: ꦯꦿꦷꦮꦶꦗꦪ, translit. Sriwijåyå; bahasa


Sunda: ᮞᮢᮤᮝᮤᮏᮚ, translit. Sriwijaya; bahasa Thai: ศรีวช ั , Siwichai) adalah salah
ิ ย
satu kemaharajaan bahari yang pernah berdiri di pulau Sumatra dan banyak memberi
pengaruh di Asia Tenggara (khususnya cakupan Nusantara) dengan daerah kekuasaan
berdasarkan peta membentang dari Sumatra, Kepulauan Riau, Bangka Belitung, Singapura,
Semenanjung Malaka (juga bernama lain: Semenanjung Kra), Thailand, Kamboja, Vietnam
Selatan, Kalimantan, Jawa Barat dan Jawa Tengah.[4][5] Dalam bahasa Sanskerta, sri berarti
"bercahaya" atau "gemilang", dan wijaya berarti "kemenangan" atau "kejayaan",[5] maka
nama Sriwijaya bermakna "kemenangan yang gilang-gemilang". Lokasi ibukota Sriwijaya
dekat dengan Kota Palembang, tepatnya di pinggir Sungai Musi. Sriwijaya terdiri dari
sejumlah pelabuhan yang saling berhubungan di sekitar Selat Malaka.[6]

Śrīwijaya

Kadatuan Sriwijaya
670–1377

Peta perkembangan Kemaharajaan Sriwijaya, bermula


di Palembang pada abad ke-7, kemudian menyebar ke
sebagian besar wilayah Sumatra, kemudian melakukan
ekspansi hingga wilayah Jawa, Kepulauan Riau, Bangka
Belitung, Singapura, Semenanjung Malaka (juga bernama
lain Semenanjung Kra), Thailand, Kamboja, Vietnam
Selatan, Kalimantan, hingga berakhir sebagai Kerajaan
Malayu Dharmasraya di Jambi pada abad ke-14.

Ibu kota  Palembang[1]:25,[2][3]


 Dataran Kewu
 Chaiya
 Jambi

Bahasa yang Melayu Kuno, Sanskerta


umum digunakan

Agama Buddha Vajrayana, Buddha


Mahayana, Buddha
Hinayana, Hindu

Pemerintahan Monarki

Maharaja  

• 683 Sri Jayanasa

• 702 Sri Indrawarman

• 775 Dharanindra

• 792 Samaratungga

• 835 Balaputradewa

• 988 Sri Cudamani Warmadewa

• 1008 Sri Mara-Vijayottunggawarman

• 1025 Sangrama-
Vijayottunggawarman

Sejarah  

• Didirikan 670

• Invasi Chola 1377

Mata uang Koin emas dan perak

Didahului oleh Digantikan oleh

Kantoli Malayapura
Sailendra Kerajaan
Singapura
Kerajaan Melayu
Samudera Pasai
Kerajaan Tulang
Bawang

Bukti awal mengenai keberadaan kerajaan ini berasal dari abad ke-7; seorang pendeta
Tiongkok dari Dinasti Tang, I Tsing, menulis bahwa ia mengunjungi Sriwijaya tahun 671 dan
tinggal selama 6 bulan.[7][8] Selanjutnya prasasti yang paling tua mengenai Sriwijaya juga
berada pada abad ke-7, yaitu prasasti Kedukan Bukit di Palembang, bertarikh 682.[9]
Kemunduran pengaruh Sriwijaya terhadap daerah bawahannya mulai menyusut dikarenakan
beberapa peperangan[5] di antaranya tahun 1025 serangan Rajendra Chola I dari Koromandel,
selanjutnya tahun 1183 kekuasaan Sriwijaya di bawah kendali kerajaan Dharmasraya.
[10] Setelah keruntuhannya, kerajaan ini terlupakan dan keberadaannya baru diketahui
kembali lewat publikasi tahun 1918 dari sejarawan Prancis George Cœdès dari École
française d'Extrême-Orient.[1]
Catatan sejarahSunting
Belum banyak bukti fisik mengenai Sriwijaya yang dapat ditemukan.[11] Tidak terdapat
catatan lebih lanjut mengenai Sriwijaya dalam sejarah Indonesia; masa lalunya yang
terlupakan dibentuk kembali oleh sarjana asing. Tidak ada orang Indonesia modern yang
mendengar mengenai Sriwijaya sampai tahun 1920-an, ketika sarjana Prancis George
Cœdès mempublikasikan penemuannya dalam surat kabar berbahasa Belanda dan Indonesia.
[11] Coedès menyatakan bahwa referensi Tiongkok terhadap "San-fo-ts'i", sebelumnya dibaca
"Sribhoja", dan beberapa prasasti dalam Melayu Kuno merujuk pada kekaisaran yang sama.
[12]

Prasasti Talang Tuwo, ditemukan di Bukit Seguntang bercerita tentang dibangunnya taman Śrīksetra.

Historiografi Sriwijaya diperoleh dan disusun dari dua macam sumber utama; catatan sejarah
Tiongkok dan sejumlah prasasti batu Asia Tenggara yang telah ditemukan dan diterjemahkan.
Catatan perjalanan biksu peziarah I Ching sangat penting, terutama dalam menjelaskan
kondisi Sriwijaya ketika ia mengunjungi kerajaan itu selama 6 bulan pada tahun 671.
Sekumpulan prasasti siddhayatra abad ke-7 yang ditemukan di Palembang dan Pulau Bangka
juga merupakan sumber sejarah primer yang penting. Di samping itu, kabar-kabar regional
yang beberapa mungkin mendekati kisah legenda, seperti Kisah mengenai Maharaja Javaka
dan Raja Khmer juga memberikan sekilas keterangan. Selain itu, beberapa catatan musafir
India dan Arab juga menjelaskan secara samar-samar mengenai kekayaan raja Zabag yang
menakjubkan.
Selain berita-berita diatas tersebut, telah ditemukan oleh Balai Arkeologi Palembang sebuah
perahu kuno yang diperkirakan ada sejak masa awal atau proto Kerajaan Sriwijaya di Desa
Sungai Pasir, Kecamatan Cengal, Kabupaten Ogan Komering Ilir, Sumatra Selatan.
[13] Sayang, kepala perahu kuno itu sudah hilang dan sebagian papan perahu itu digunakan
justru buat jembatan. Tercatat ada 17 keping perahu yang terdiri dari bagian lunas,
14 papan perahu yang terdiri dari bagian badan dan bagian buritan untuk menempatkan
kemudi.[13] Perahu ini dibuat dengan teknik pasak kayu dan papan ikat yang menggunakan
tali ijuk. Cara ini sendiri dikenal dengan sebutan teknik tradisi Asia Tenggara. Selain bangkai
perahu, ditemukan juga sejumlah artefak-artefak lain yang berhubungan dengan temuan
perahu, seperti tembikar, keramik, dan alat kayu.[13]
Sriwijaya menjadi simbol kebesaran Sumatra awal, dan kerajaan terbesar Nusantara. Pada
abad ke-20, kedua kerajaan tersebut menjadi referensi oleh kaum nasionalis untuk
menunjukkan bahwa Indonesia merupakan satu kesatuan negara sebelum kolonialisme
Belanda.[11]
Sriwijaya disebut dengan berbagai macam nama. Orang Tionghoa menyebutnya Shih-li-fo-
shih atau San-fo-ts'i atau San Fo Qi. Dalam bahasa Sanskerta dan bahasa Pali, kerajaan
Sriwijaya disebut Yavadesh dan Javadeh. Bangsa Arab menyebutnya Zabaj[14] dan Khmer
menyebutnya Malayu. Banyaknya nama merupakan alasan lain mengapa Sriwijaya sangat
sulit ditemukan.[5] Sementara dari peta Ptolemaeus ditemukan keterangan tentang adanya 3
pulau Sabadeibei yang kemungkinan berkaitan dengan Sriwijaya.[10]
Pusat SriwijayaSunting
Menurut Prasasti Kedukan Bukit, yang bertarikh 605 Saka (683 M), Kadatuan Sriwijaya
pertama kali didirikan di sekitar Palembang, di tepian Sungai Musi. Prasasti ini menyebutkan
bahwa Dapunta Hyang berasal dari Minanga Tamwan. Lokasi yang tepat dari Minanga
Tamwan masih diperdebatkan. Teori Palembang sebagai tempat di mana Sriwijaya pertama
kali bermula diajukan oleh Coedes dan didukung oleh Pierre-Yves Manguin. Selain
Palembang, tempat lain seperti Muaro Jambi (Sungai Batanghari, Jambi) dan Muara
Takus (pertemuan Sungai Kampar Kanan dan Kiri, Riau) juga diduga sebagai ibu kota
Sriwijaya.

Taman Purbakala Kerajaan Sriwijaya (warna hijau) terletak di sebelah barat daya pusat kota Palembang.
Situs ini membentuk poros yang menghubungkan Bukit Seguntang dan tepian Sungai Musi.

Berdasarkan observasi sekitar tahun 1993, Pierre-Yves Manguin menyimpulkan bahwa pusat
Sriwijaya berada di Sungai Musi antara Bukit Seguntang dan Sabokingking (terletak di
provinsi Sumatra Selatan sekarang), tepatnya di sekitar situs Karanganyar yang kini
dijadikan Taman Purbakala Kerajaan Sriwijaya.[5] Pendapat ini didasarkan dari foto udara
tahun 1984 yang menunjukkan bahwa situs Karanganyar menampilkan bentuk bangunan air,
yaitu jaringan kanal, parit, kolam serta pulau buatan yang disusun rapi yang dipastikan situs
ini adalah buatan manusia. Bangunan air ini terdiri atas kolam dan dua pulau berbentuk bujur
sangkar dan empat persegi panjang, serta jaringan kanal dengan luas areal meliputi 20
hektare. Di kawasan ini ditemukan banyak peninggalan purbakala yang menunjukkan bahwa
kawasan ini pernah menjadi pusat permukiman dan pusat aktivitas manusia.[15]
Namun sebelumnya Soekmono berpendapat bahwa pusat Sriwijaya terletak pada kawasan
sehiliran Batang Hari, antara Muara Sabak sampai ke Muara Tembesi (di
provinsi Jambi sekarang),[10] dengan catatan Malayu tidak berada di kawasan tersebut. Jika
Malayu berada pada kawasan tersebut, ia cendrung kepada pendapat Moens,[16] yang
sebelumnya juga telah berpendapat bahwa letak dari pusat kerajaan Sriwijaya berada pada
kawasan Candi Muara Takus (provinsi Riau sekarang), dengan asumsi petunjuk arah
perjalanan dalam catatan I Tsing,[17] serta hal ini dapat juga dikaitkan dengan berita tentang
pembangunan candi yang dipersembahkan oleh raja Sriwijaya (Se li chu la wu ni fu ma tian
hwa atau Sri Cudamaniwarmadewa) tahun 1003 kepada kaisar Tiongkok yang
dinamakan cheng tien wan shou (Candi Bungsu, salah satu bagian dari candi yang terletak di
Muara Takus).[18] Poerbatjaraka mendukung pendapat Moens. Ia berpendapat
bahwa Minanga Tamwan disamakan dengan daerah pertemuan Sungai Kampar Kanan dan
Kampar Kiri, Riau, tempat di mana Candi Muara Takus kini berdiri. Menurutnya,
kata tamwan berasal dari kata "temu", lalu ditafsirkannya "daerah tempat sungai bertemu".
[19] Namun yang pasti pada masa penaklukan oleh Rajendra Chola I, berdasarkan prasasti
Tanjore, Sriwijaya telah beribu kota di Kadaram (Kedah sekarang).[10]
Akan tetapi, pada tahun 2013, penelitian arkeologi yang digelar oleh Universitas
Indonesia menemukan beberapa situs keagamaan dan tempat tinggal di Muaro Jambi. Hal ini
menunjukkan bahwa pusat awal Sriwijaya mungkin terletak di Kabupaten Muaro
Jambi, Jambi pada tepian sungai Batang Hari, dan bukanlah di Sungai Musi seperti anggapan
sebelumnya.[20] Situs arkeologi mencakup delapan candi yang sudah digali, di kawasan
seluas sekitar 12 kilometer persegi, membentang 7,5 kilometer di sepanjang Sungai Batang
Hari, serta 80 menapo atau gundukan reruntuhan candi yang belum dipugar.[21][22] Situs
Muaro Jambi bercorak Buddha Mahayana-Wajrayana. Hal ini menunjukkan bahwa situs
tersebut adalah pusat pembelajaran Buddhis, yang dikaitkan dengan tokoh cendekiawan
Buddhis terkenal Suvarṇadvipi Dharmakirti dari abad ke-10. Catatan sejarah dari Tiongkok
juga menyebutkan bahwa Sriwijaya menampung ribuan biksu.
Teori lain mengajukan pendapat bahwa Dapunta Hyang berasal dari pantai
timur Semenanjung Malaya, bahwa Chaiya di Surat Thani, Thailand Selatan adalah pusat
kerajaan Sriwijaya.[23] Ada pula pendapat yang menyatakan bahwa nama kota Chaiya berasal
dari kata "Cahaya" dalam bahasa Melayu. Ada pula yang percaya bahwa
nama Chaiya berasal dari Sri Wijaya, dan kota ini adalah pusat Sriwijaya. Teori ini
kebanyakan didukung oleh sejarahwan Thailand,[24] meskipun secara umum teori ini
dianggap kurang kuat.
SejarahSunting
Pembentukan dan pertumbuhanSunting
Kerajaan ini menjadi pusat perdagangan dan merupakan negara bahari, namun kerajaan ini
tidak memperluas kekuasaannya di luar wilayah kepulauan Asia Tenggara, dengan
pengecualian berkontribusi untuk populasi Madagaskar sejauh 3.300 mil di barat. Beberapa
ahli masih memperdebatkan kawasan yang menjadi pusat pemerintahan Sriwijaya,[25] selain
itu kemungkinan kerajaan ini biasa memindahkan pusat pemerintahannya, namun kawasan
yang menjadi ibu kota tetap diperintah secara langsung oleh penguasa, sedangkan daerah
pendukungnya diperintah oleh datu setempat.[26][27]
Perjalanan SiddhayatraSunting

Candi Gumpung, candi Buddha di Muaro Jambi, Kerajaan Melayu yang ditaklukkan Sriwijaya.

Kemaharajaan Sriwijaya telah ada sejak 671 sesuai dengan catatan I Tsing. Dari prasasti
Kedukan Bukit pada tahun 682 di diketahui imperium ini di bawah kepemimpinan Dapunta
Hyang. Bahwa beliau berangkat dalam perjalanan suci siddhayatra untuk "mengalap berkah",
[a] dan memimpin 20.000 tentara dan 312 orang di kapal dengan 1.312 prajurit berjalan kaki
dari Minanga Tamwan menuju Jambi dan Palembang. Diketahui, Prasasti Kedukan
Bukit adalah prasasti tertua yang ditulis dalam bahasa Melayu. Para ahli berpendapat bahwa
prasasti ini mengadaptasi ortografi India untuk menulis prasasti ini.[28]
Pada abad ke-7 ini, orang Tionghoa mencatat bahwa terdapat dua kerajaan
yaitu Malayu dan Kedah menjadi bagian maharajaan Sriwijaya.[5]
Berdasarkan prasasti Kota Kapur yang berangka tahun 686 ditemukan di pulau Bangka,
kemaharajaan ini telah menguasai bagian selatan Sumatra, pulau Bangka hingga Belitung.
Prasasti ini juga menyebutkan bahwa Sri Jayanasa telah melancarkan ekspedisi militer untuk
menghukum Bhumi Jawa yang tidak berbakti kepada Sriwijaya, peristiwa ini bersamaan
dengan runtuhnya Tarumanagara di Jawa Barat dan Holing (Kalingga) di Jawa Tengah yang
kemungkinan besar akibat serangan Sriwijaya. Kemungkinan yang dimaksud dengan Bhumi
Jawa adalah Tarumanegara.[29] Sriwijaya tumbuh dan berhasil mengendalikan jalur
perdagangan maritim di Selat Malaka, Selat Sunda, Laut Tiongkok Selatan, Laut Jawa,
dan Selat Karimata.
Penaklukan kawasanSunting
Ekspansi kerajaan ini ke Jawa dan Semenanjung Malaya, menjadikan Sriwijaya
mengendalikan simpul jalur perdagangan utama di Asia Tenggara. Berdasarkan observasi,
ditemukan reruntuhan candi-candi Sriwijaya di Thailand dan Kamboja. Pada abad ke-7,
pelabuhan Champa di sebelah timur Indochina mulai mengalihkan banyak pedagang dari
Sriwijaya. Untuk mencegah hal tersebut, Maharaja Dharmasetu melancarkan beberapa
serangan ke kota-kota pantai di Indochina. Kota Indrapura di tepi sungai Mekong, di awal
abad ke-8 berada di bawah kendali Sriwijaya. Sriwijaya meneruskan dominasinya atas
Kamboja, sampai raja Khmer Jayawarman II, pendiri kemaharajaan Khmer, memutuskan
hubungan dengan Sriwijaya pada abad yang sama.[5] Di akhir abad ke-8 beberapa kerajaan di
Jawa, antara lain Tarumanegara dan Holing berada di bawah kekuasaan Sriwijaya. Menurut
catatan, pada masa ini pula wangsa Sailendra bermigrasi ke Jawa Tengah dan berkuasa di
sana. Pada abad ini pula, Langkasuka di semenanjung Melayu menjadi bagian kerajaan.
[5] Pada masa berikutnya, Pan Pan dan Trambralinga, yang terletak di sebelah utara
Langkasuka, juga berada di bawah pengaruh Sriwijaya.
Setelah Dharmasetu, Samaratungga menjadi penerus kerajaan. Ia berkuasa pada periode 792
sampai 835. Tidak seperti Dharmasetu yang ekspansionis, Samaratungga tidak melakukan
ekspansi militer, tetapi lebih memilih untuk memperkuat penguasaan Sriwijaya di Jawa.
Selama masa kepemimpinannya, ia membangun candi Borobudur di Jawa Tengah yang
selesai pada tahun 825.[5]
Masa keemasanSunting

Arca emas Avalokiteçvara bergaya Malayu-Sriwijaya, ditemukan di Rantaukapastuo,


Muarabulian, Jambi, Indonesia.

Berdasarkan sumber catatan sejarah dari Arab, Sriwijaya disebut dengan nama Sribuza. Pada
tahun 955 M, Al Masudi, seorang musafir (pengelana) sekaligus sejarawan Arab klasik
menulis catatan tentang Sriwijaya. Dalam catatan itu, digambarkan Sriwijaya adalah sebuah
kerajaan besar yang kaya raya, dengan tentara yang sangat banyak. Disebutkan kapal yang
tercepat dalam waktu dua tahun pun tidak cukup untuk mengelilingi seluruh pulau
wilayahnya. Hasil bumi Sriwijaya adalah kapur barus, kayu gaharu, cengkih,
kayu cendana, pala, kapulaga, gambir dan beberapa hasil bumi lainya.[30]
Catatan lain menuliskan bahwa Sriwijaya maju dalam bidang agraris. Ini disimpulkan dari
seorang ahli dari Bangsa Persia yang bernama Abu Zaid Hasan yang mendapat keterangan
dari Sujaimana, seorang pedagang Arab. Abu Zaid menulis bahwasanya Kerajaan Zabaj
(Sriwijaya -sebutan Sriwijaya oleh bangsa Arab pada masa itu-) memiliki tanah yang subur
dan kekuasaaan yang luas hingga ke seberang lautan.[14]
Hubungan dengan wangsa SailendraSunting
Artikel utama:  Wangsa Sailendra

Munculnya keterkaitan antara Sriwijaya dengan dinasti Sailendra dimulai karena adanya


nama Śailendravamśa pada beberapa prasasti di antaranya pada prasasti Kalasan di pulau
Jawa, prasasti Ligor di selatan Thailand, dan prasasti Nalanda di India. Sementara
pada prasasti Sojomerto dijumpai nama Dapunta Selendra. Karena prasasti Sojomerto ditulis
dalam bahasa Melayu Kuno, dan bahasa Melayu umumnya digunakan pada prasasti-prasasti
di Sumatra, maka diduga wangsa Sailendra berasal dari Sumatra, Walaupun asal usul bahasa
Melayu ini masih menunggu penelitian sampai sekarang.[17]
Majumdar berpendapat dinasti Sailendra ini terdapat di Sriwijaya (Suwarnadwipa)
dan Medang (Jawa), keduanya berasal dari Kalinga di selatan India.[31] Kemudian Moens
menambahkan kedatangan Dapunta Hyang ke Palembang, menyebabkan salah satu keluarga
dalam dinasti ini pindah ke Jawa.[32] Sementara Poerbatjaraka berpendapat bahwa dinasti ini
berasal dari Nusantara, didasarkan atas Carita Parahiyangan[33] kemudian dikaitkan dengan
beberapa prasasti lain di Jawa yang berbahasa Melayu Kuno di antaranya prasasti Sojomerto.
[34][35]
Kemaharajaan Sriwijaya bercirikan kerajaan maritim. Mengandalkan hegemoni pada
kekuatan armada lautnya dalam menguasai alur pelayaran, jalur perdagangan, menguasai dan
membangun beberapa kawasan strategis sebagai pangkalan armadanya dalam mengawasi,
melindungi kapal-kapal dagang, memungut cukai, serta untuk menjaga wilayah kedaulatan
dan kekuasaanya.[36]
Dari catatan sejarah dan bukti arkeologi, pada abad ke-9 Sriwijaya telah melakukan
kolonisasi di hampir seluruh kerajaan-kerajaan Asia Tenggara, antara
lain: Sumatra, Jawa, Semenanjung Malaya, Thailand, Kamboja, Vietnam,[5] dan Filipina.
[37] Dominasi atas Selat Malaka dan Selat Sunda, menjadikan Sriwijaya sebagai pengendali
rute perdagangan rempah dan perdagangan lokal yang mengenakan bea dan cukai atas setiap
kapal yang lewat. Sriwijaya mengumpulkan kekayaannya dari jasa pelabuhan dan gudang
perdagangan yang melayani pasar Tiongkok, dan India.
Pada 851 seorang pedagang Arab bernama Sulaimaan merekam sebuah peristiwa tentang
wangsa Sailendra Jawa melakukan serangan mendadak terhadap kekaisaran Khmer dengan
mendekati ibukota dari sungai, setelah menyeberang laut dari Jawa. Raja muda Khmer
kemudian dihukum oleh Maharaja, dan kemudian kerajaan menjadi pengikut dinasti
Sailendra.[38]:35 Pada 916 M, sebuah kerajaan Jawa menyerbu Kekaisaran Khmer,
menggunakan 1000 kapal berukuran sedang, yang berakhir dengan kemenangan Jawa.
Kepala raja Khmer kemudian dibawa ke Jawa.[39]:187-189
Sriwijaya berkuasa di JawaSunting
Artikel utama:  Sailendra dan  Kerajaan Medang

Wangsa Sailendra di Jawa membina dan memelihara persekutuan dengan trah Sriwijaya di
Sumatra, dan kemudian selanjutnya mendirikan pemerintahan mereka di Kerajaan Medang
Mataram di Jawa Tengah.
Di Jawa, pewaris Dharanindra adalah Samaragrawira (memerintah 800—819), yang
disebutkan dalam Prasasti Nalanda (bertarikh 860) sebagai ayah dari Balaputradewa, dan
putra dari Śailendravamsatilaka (perhiasan keluarga Śailendra) dengan nama
gelaran Śrīviravairimathana (pembunuh perwira musuh), yang merujuk kepada Dharanindra.
[40]:92 Tidak seperti pendahulunya, Raja Dharanindra yang germar berperang, Rakai Warak
tampaknya cenderung cinta damai, ia menikmati kemakmuran dan kedamaian Dataran
Kedu di pedalaman Jawa, dan lebih tertarik untuk menyelesaikan proyek pembangunan candi
Borobudur. Dia menunjuk seorang pangeran Khmer bernama Jayawarman sebagai
gubernur Indrapura di delta Sungai Mekong di bawah kekuasaan Sailendra. Keputusan ini
terbukti sebagai kesalahan, karena Jayawarman kemudian memberontak, memindahkan ibu
kota lebih jauh ke pedalaman utara dari Tonle Sap ke Mahendraparwata, memutuskan ikatan
dan memproklamasikan kemerdekaan Kamboja dari Jawa pada tahun 802. Rakai Warak
disebut-sebut sebagai raja Jawa yang menikahi Tara, putri Dharmasetu dari Sriwijaya.[40]:108 Ia
disebut dalam nama yang lainnya; Rakai Warak dalam Prasasti Mantyasih.
Sejarawan sebelumnya, seperti N. J. Krom, dan Coedes, cenderung menyamakan Rakai
Warak dengan Samaratungga.[40]:92 Namun, sejarawan kemudian seperti Slamet Muljana
menyamakan Samaratungga dengan Rakai Garung, yang disebutkan dalam Prasasti
Mantyasih sebagai raja kelima kerajaan Mataram. Yang berarti Samaratungga adalah penerus
dari Rakai Warak.
Borobudur dirampungkan pada masa pemerintahan Samaratunga dari wangsa Sailendra.

Dewi Tara, putri Dharmasetu, menikahi Samaratungga, seorang anggota keluarga Sailendra


yang kemudian naik takhta Sriwijaya sekitar tahun 792.[41] Pada abad ke-8 Masehi, istana
Sriwijaya bertempat di Jawa, karena para raja dari wangsa Sailendra diangkat sebagai
Maharaja Sriwijaya.
Setelah Dharmasetu, Samaratungga menjadi Maharaja Sriwijaya berikutnya. Dia memerintah
sebagai penguasa pada kurun 792-835. Berbeda dari Dharmasetu yang ekpansionis,
Samaratungga tidak terjun dalam kancah ekspansi militer, melainkan lebih suka untuk
memperkuat pemerintahan dan pengaruh Sriwijaya atas Jawa. Dia secara pribadi mengawasi
pembangunan candi agung Borobudur; sebuah mandala besar dari batu yang selesai pada
825, pada masa pemerintahannya.[42] Menurut George Coedes, "pada paruh kedua abad
kesembilan, Jawa dan Sumatra bersatu di bawah kekuasaan wangsa Sailendra yang
memerintah di Jawa... dengan pusat perdagangan di Palembang."[40]:92 Samaratungga seperti
Rakai Warak, tampaknya sangat dipengaruhi oleh kepercayaan Buddha Mahayana yang cinta
damai. Beliau berusaha untuk menjadi seorang penguasa yang welas asih. Penggantinya
adalah Putri Pramodhawardhani yang bertunangan dengan Rakai Pikatan yang menganut
aliran Siwa. Dia adalah putra Rakai Patapan, seorang rakai (penguasa daerah) yang cukup
berpengaruh di Jawa Tengah. Langkah politik ini tampaknya sebagai upaya untuk
mengamankan perdamaian dan kekuasaan Sailendra di Jawa, dengan cara mendamaikan
hubungan antara golongan Buddha aliran Mahayana dengan penganut Hindu aliran Siwa.
Kembali ke PalembangSunting
Akan tetapi, Pangeran Balaputradewa menentang pemerintahan Pikatan dan
Pramodhawardhani di Jawa Tengah. Hubungan antara Balaputra dan Pramodhawardhani
ditafsirkan secara berbeda oleh beberapa sejarawan. Teori yang lebih tua menurut Bosch dan
De Casparis menyatakan bahwa Balaputra adalah anak dari Samaratungga, yang berarti ia
adalah adik dari Pramodhawardhani. Sejarawan dari angkatan kemudian, seperti Muljana, di
sisi lain, berpendapat bahwa Balaputra adalah anak dari Rakai Warak dan adik dari
Samaratungga, yang berarti dia adalah paman dari Pramodhawardhani.[43]
Tidak diketahui secara jelas, apakah Balaputradewa tersingkir dari Jawa Tengah karena kalah
dalam sengketa suksesi melawan Pikatan, atau dia memang sudah memerintah di
Suwarnadwipa (Sumatra) sebelum pecahnya perselisihan mengenai suksesi kekuasaan ini.
Bagaimanapun, tampaknya wangsa Sailendra akhirnya terpecah menjadi dua; antara Jawa
Tengah yang dikuasai Pikatan-Pramodhawardhani dan Palembang yang dikuasai
Balaputradewa. Bahwa Balaputradewa akhirnya menguasai cabang Sumatra dari wangsa
Sailendra dan bertahta di ibu kota Sriwijaya dari Palembang. Sebagian sejarawan berpendapat
bahwa, hal ini karena ibunda Balaputra - Dewi Tara, permaisuri Raja Rakai Warak adalah
putri dari Sriwijaya, hal ini menjadikan Balaputra sekaligus sebagai pewaris takhta Sriwijaya
di Sumatra. Balaputradewa kemudian dinobatkan sebagai Maharaja Sriwijaya, kemudian dia
menyatakan klaimnya sebagai pewaris sah wangsa Sailendra dari Jawa, seperti yang
disebutkan dalam Prasasti Nalanda yang bertarikh 860.[40]:108
Berperang melawan JawaSunting

Area wilayah Sumatra, Laut Jawa di sebelah timur, Selat Sunda di sebelah selatan, dan Samudera
Hindia di sebelah barat.

Kapal Borobudur bercadik yang ditampilkan di Borobudur. Pada 990 Raja Dharmawangsa dari Jawa


mengirim armada kapal perang untuk menyerbu Sriwijaya di Sumatra.

Sriwijaya menguasai jalur perdagangan maritim di Asia Tenggara sepanjang abad ke-10,
akan tetapi pada akhir abad ini Kerajaan Medang di Jawa Timur tumbuh menjadi kekuatan
bahari baru dan mulai menantang dominasi Sriwijaya. Berita Tiongkok dari Dinasti
Song menyebut Kerajaan Sriwijaya di Sumatra dengan nama San-fo-tsi, sedangkan Kerajaan
Medang di Jawa dengan nama She-po. Dikisahkan bahwa, San-fo-tsi dan She-po terlibat
persaingan untuk menguasai Asia Tenggara. Kedua negeri itu saling mengirim duta besar ke
Tiongkok. Utusan San-fo-tsi yang berangkat tahun 988 tertahan di pelabuhan Kanton ketika
hendak pulang, karena negerinya diserang oleh balatentara Jawa. Serangan dari Jawa ini
diduga berlangsung sekitar tahun 990-an, yaitu antara tahun 988 dan 992 pada masa
pemerintahan Sri Cudamani Warmadewa.[44]
Pada musim semi tahun 992 duta Sriwijaya tersebut mencoba pulang namun kembali tertahan
di Champa karena negerinya belum aman. Ia meminta kaisar Song agar Tiongkok memberi
perlindungan kepada San-fo-tsi. Utusan Jawa juga tiba di Tiongkok tahun 992. Ia dikirim
oleh rajanya yang naik takhta tahun 991. Raja baru Jawa tersebut adalah Dharmawangsa
Teguh.[44]
Kerajaan Medang berhasil merebut Palembang pada tahun 992 untuk sementara waktu,
namun kemudian pasukan Medang berhasil dipukul mundur oleh pasukan Sriwijaya. Prasasti
Pengaruh hindu-budha batu Prasasti Hujung Langit tahun 997 kembali menyebutkan adanya
serangan Jawa terhadap Sumatra. Rangkaian serangan dari Jawa ini pada akhirnya gagal
karena Jawa tidak berhasil membangun pijakan di Sumatra. Menguasai ibu kota di
Palembang tidak cukup karena pada hakikatnya kekuasaan dan kekuatan mandala Sriwijaya
tersebar di beberapa bandar pelabuhan di kawasan Selat Malaka. Maharaja Sriwijaya, Sri
Cudamani Warmadewa, berhasil lolos keluar dari ibu kota dan berkeliling menghimpun
kekuatan dan bala bantuan dari sekutu dan raja-raja bawahannya untuk memukul mundur
tentara Jawa. Sriwijaya memperlihatkan kegigihan persekutuan mandalanya, bertahan dan
berjaya memukul mundur angkatan laut Jawa.[44]
Sri Cudamani Warmadewa kembali memperlihatkan kecakapan diplomasinya, memenangi
dukungan Tiongkok dengan cara merebut hati Kaisarnya. Pada tahun 1003, ia mengirimkan
utusan ke Tiongkok dan mengabarkan bahwa di negerinya telah selesai dibangun sebuah
candi Buddha yang didedikasikan untuk mendoakan agar Kaisar Tiongkok panjang usia.
Kaisar Tiongkok yang berbesar hati dengan persembahan itu menamai candi itu cheng tien
wan shou dan menganugerahkan genta yang akan dipasang di candi itu.[45] (Candi Bungsu,
salah satu bagian dari candi yang terletak di Muara Takus).[18]
Serangan dari Medang ini membuka mata Sriwijaya betapa berbahayanya ancaman Jawa,
maka Maharaja Sriwijaya pun menyusun siasat balasan dan berusaha menghancurkan
Kerajaan Medang. Sriwijaya disebut-sebut berperan dalam menghancurkan Kerajaan
Medang di Jawa. Dalam prasasti Pucangan disebutkan sebuah peristiwa Mahapralaya, yaitu
peristiwa hancurnya istana Medang di Jawa Timur, di mana Haji
Wurawari dari Lwaram yang merupakan raja bawahan Sriwijaya, pada tahun 1006 atau 1016
menyerang dan menyebabkan terbunuhnya raja Medang terakhir Dharmawangsa Teguh.[10]
[46]
Penjelajahan SriwijayaSunting
Inti dari alam Srivijayan terkonsentrasi di dalam dan di sekitar selat Malaka dan Sunda dan di
Sumatra, Semenanjung Melayu dan Jawa Barat. Namun, antara abad ke-9 dan ke-12,
pengaruh Sriwijaya tampaknya telah jauh melampaui inti. Para navigator, pelaut, dan
pedagang Srivijayan tampaknya telah terlibat dalam perdagangan dan eksplorasi yang luas,
yang mencapai pesisir Kalimantan,[47] kepulauan Filipina, Indonesia Timur, pesisir Indocina,
Teluk Benggala dan Samudra Hindia sejauh Madagaskar.[48]
Migrasi ke Madagascar melaju pada abad ke-9 ketika Sriwijaya mengendalikan sebagian
besar perdagangan maritim di Samudera Hindia.[49] Migrasi ke Madagascar diperkirakan
telah terjadi 1.200 tahun yang lalu sekitar 830 M. Menurut sebuah studi DNA mitokondria
baru yang luas, penduduk asli Malagasy saat ini kemungkinan dapat melacak warisan mereka
kembali ke 30 ibu pendiri yang berlayar dari Indonesia 1.200 tahun yang lalu. Malagasi berisi
kata-kata pinjaman dari bahasa Sanskerta, dengan semua modifikasi bahasa lokal melalui
bahasa Jawa atau Melayu, mengisyaratkan bahwa Madagascar mungkin telah dijajah oleh
pemukim dari Sriwijaya.[50]
Pengaruh kekaisaran mencapai Manila pada abad ke-10. Sebuah kerajaan di bawah
pengaruhnya telah didirikan di sana.[51][52] Penemuan patung Tara emas di Agusan del Sur
dan Kinnara emas dari Butuan, Timur laut Mindanao, di Filipina menunjukkan adanya
hubungan kuno antara Filipina kuno dan kekaisaran Sriwijaya,[53] karena Tara dan Kinnara
adalah tokoh atau dewa penting dalam kepercayaan Buddha Mahayana. Kesamaan agama
Buddha Mahayana-Vajrayana menunjukkan bahwa Filipina kuno memperoleh kepercayaan
Mahayana-Vajrayana dari pengaruh Srivijayan di Sumatra.[54]
Catatan Arab abad ke-10 Ajayeb al-Hind (Keajaiban India) memberikan laporan invasi di
Afrika oleh bangsa yang disebut Wakwak atau Waqwaq,[55]:110 mungkin adalah orang-orang
Melayu Sriwijaya atau orang Jawa dari kerajaan Medang,[56]:39 pada 945-946 M. Mereka tiba
di pantai Tanganyika dan Mozambik dengan 1000 kapal dan berusaha merebut benteng
Qanbaloh, meskipun akhirnya gagal. Alasan serangan itu adalah karena tempat itu memiliki
barang-barang yang cocok untuk negara mereka dan China, seperti gading, kulit kura-kura,
kulit macan kumbang, dan ambergris, dan juga karena mereka menginginkan budak hitam
dari orang Bantu (disebut Zeng atau Zenj oleh orang Arab, Jenggi oleh orang Jawa) yang kuat
dan menjadi budak yang baik.[57] Menurut Prasasti Waharu IV (931 M) dan Prasasti Garaman
(1053 M),[58][59] Kerajaan Medang dan Kerajaan Kahuripan zaman Airlangga (1000-1049 M)
di Jawa mengalami masa kemakmuran panjang sehingga membutuhkan banyak tenaga
terutama untuk membawa hasil panen, mengemas, dan mengirimkannya ke pelabuhan.
Tenaga kerja berupa orang kulit hitam diimpor dari Jenggi (Zanzibar), Pujut (Australia), dan
Bondan (Papua).[56]:73 Menurut Naerssen, mereka tiba di Jawa dengan jalan perdagangan
(dibeli oleh pedagang) atau ditawan saat perang dan kemudian dijadikan budak.[60]
Pada abad ke-12, kerajaan ini mencakup bagian dari Sumatra, Semenanjung Melayu, Jawa
Barat, Kalimantan dan Filipina, terutama Kepulauan Sulu dan pulau-pulau Visayas.
Dipercayai oleh beberapa sejarawan bahwa nama 'Visayas' berasal dari kekaisaran.[61][62]
Masa kemunduranSunting
Serbuan kerajaan CholaSunting

Sebuah lukisan dari Siam menunjukkan penyerangan Chola di Kedah.

Tahun 1017 dan 1025, Rajendra Chola I, raja dari dinasti Chola di Koromandel, India selatan,


mengirim ekspedisi laut untuk menyerang Sriwijaya. Berdasarkan prasasti
Tanjore bertarikh 1030, Kerajaan Chola telah menaklukan daerah-daerah koloni Sriwijaya,
seperti wilayah Nikobar dan sekaligus berhasil menawan raja Sriwijaya yang berkuasa waktu
itu Sangrama-Vijayottunggawarman. Selama beberapa dekade berikutnya, seluruh imperium
Sriwijaya telah berada dalam pengaruh dinasti Chola. Meskipun demikian Rajendra Chola I
tetap memberikan peluang kepada raja-raja yang ditaklukannya untuk tetap berkuasa selama
tetap tunduk kepadanya.[63] Hal ini dapat dikaitkan dengan adanya berita utusan San-fo-ts'i ke
Tiongkok tahun 1028.[64]
Faktor lain kemunduran Sriwijaya adalah faktor alam. Karena adanya pengendapan lumpur
di Sungai Musi dan beberapa anak sungai lainnya, sehingga kapal-kapal dagang yang tiba
di Palembang semakin berkurang.[65] Akibatnya, Kota Palembang semakin menjauh
dari laut dan menjadi tidak strategis. Akibat kapal dagang yang datang semakin
berkurang, pajak berkurang dan memperlemah ekonomi dan posisi Sriwijaya.[14]
Kerajaan Tanjungpura dan Nan Sarunai di Kalimantan adalah kerajaan yang sezaman dengan
Sriwijaya, namun Kerajaan Tanjungpura disebutkan dikelola oleh pelarian
orang Melayu Sriwijaya, yang ketika pada saat itu Sriwijaya diserang Kerajaan Chola mereka
bermigrasi ke Kalimantan Selatan.[66]
Kawasan Sriwijaya dalam prasasti Tanjore

Nama kawasan Keterangan

Pannai Pannai

Malaiyur Malayu
Mayirudingam

Ilangasogam Langkasuka

Mappappalam

Mevilimbangam

Valaippanduru

Takkolam

Madamalingam Tambralingga

Ilamuri-Desam Lamuri

Nakkavaram Nikobar

Kadaram Kedah

Namun pada masa ini Sriwijaya dianggap telah menjadi bagian dari dinasti Chola. Kronik
Tiongkok menyebutkan bahwa pada tahun 1079, Kulothunga Chola I (Ti-hua-ka-lo)
raja dinasti Chola disebut juga sebagai raja San-fo-ts'i, yang kemudian mengirimkan utusan
untuk membantu perbaikan candi dekat Kanton. Selanjutnya dalam berita Tiongkok yang
berjudul Sung Hui Yao disebutkan bahwa kerajaan San-fo-tsi pada tahun 1082 masih
mengirimkan utusan pada masa Tiongkok di bawah pemerintahan Kaisar Yuan Fong. Duta
besar tersebut menyampaikan surat dari raja Kien-pi bawahan San-fo-tsi, yang merupakan
surat dari putri raja yang diserahi urusan negara San-fo-tsi, serta menyerahkan pula 227 tahil
perhiasan, rumbia, dan 13 potong pakaian. Kemudian juga mengirimkan utusan berikutnya
pada tahun 1088.[5] Pengaruh invasi Rajendra Chola I, terhadap hegemoni Sriwijaya atas raja-
raja bawahannya melemah. Beberapa daerah taklukan melepaskan diri, sampai
muncul Dharmasraya dan Pagaruyung sebagai kekuatan baru yang kemudian menguasai
kembali wilayah jajahan Sriwijaya mulai dari kawasan Semenanjung Malaya, Sumatra,
sampai Jawa bagian barat.
Munculnya Malayu DharmasrayaSunting

Reruntuhan Wat (Candi) Kaew yang berasal dari zaman Sriwijaya di Chaiya, Thailand Selatan.

Pada tahun 1079 dan 1088, catatan Tiongkok menunjukkan bahwa Sriwijaya mengirimkan


duta besar pada Tiongkok.[67] Khususnya pada tahun 1079, masing-masing duta besar
tersebut mengunjungi Tiongkok.[67] Ini menunjukkan bahwa ibu kota Sriwijaya selalu
bergeser dari satu kota maupun kota lainnya selama periode tersebut.[67] Ekspedisi Chola
mengubah jalur perdagangan dan melemahkan Palembang, yang memungkinkan Jambi untuk
mengambil kepemimpinan Sriwijaya pada abad ke-11.[68]
Berdasarkan sumber Tiongkok pada buku Chu-fan-chi[69] yang ditulis pada tahun
1178, Chou-Ju-Kua menerangkan bahwa di kepulauan Asia Tenggara terdapat dua kerajaan
yang sangat kuat dan kaya, yakni San-fo-ts'i dan Cho-po (Jawa). Di Jawa dia menemukan
bahwa rakyatnya memeluk agama Budha dan Hindu, sedangkan rakyat San-fo-ts'i memeluk
Budha, dan memiliki 15 daerah bawahan yang meliputi; Si-lan (Kamboja), Tan-ma-
ling (Tambralingga, Ligor, selatan Thailand), Kia-lo-hi (Grahi, Chaiya sekarang, selatan
Thailand), Ling-ya-si-kia (Langkasuka), Kilantan (Kelantan), Pong-fong (Pahang), Tong-ya-
nong (Terengganu), Fo-lo-an (muara sungai Dungun daerah Terengganu sekarang), Ji-lo-
t'ing (Cherating, pantai timur semenanjung malaya), Ts'ien-mai (Semawe, pantai timur
semenanjung malaya), Pa-t'a (Sungai Paka, pantai timur Semenanjung Malaya), Lan-wu-
li (Lamuri di Aceh), Pa-lin-fong (Palembang), Kien-pi (Jambi), dan Sin-t'o (Sunda).[10][16]
Namun, istilah San-fo-tsi terutama pada tahun 1178 tidak lagi identik dengan Sriwijaya,
melainkan telah identik dengan Dharmasraya. Dari daftar 15 negeri bawahan San-fo-tsi
tersebut, ternyata adalah wilayah jajahan Kerajaan Dharmasraya. Walaupun sumber
Tiongkok tetap menyebut San-fo-tsi sebagai kerajaan yang berada di kawasan Laut Tiongkok
Selatan. Hal ini karena dalam Pararaton telah disebutkan Malayu. Kitab ini mengisahkan
bahwa Kertanagara raja Singhasari, mengirim sebuah ekspedisi Pamalayu atau Pamalayu,
dan kemudian menghadiahkan Arca Amoghapasa kepada raja Melayu, Srimat
Tribhuwanaraja Mauli Warmadewa di Dharmasraya sebagaimana yang tertulis pada prasasti
Padang Roco. Peristiwa ini kemudian dikaitkan dengan manuskrip yang terdapat
pada prasasti Grahi.
Pemerintahan dan ekonomiSunting
Struktur pemerintahanSunting
Artikel utama:  Prasasti Telaga Batu

Prasasti Telaga Batu

Masyarakat Sriwjaya sangat majemuk, dan mengenal stratatifikasi sosial.[14] Pembentukan


satu negara kesatuan dalam dimensi struktur otoritas politik Sriwijaya, dapat dilacak dari
beberapa prasasti yang mengandung informasi penting
tentang kadātuan, vanua, samaryyāda, mandala dan bhūmi.[70]:162-3
Kadātuan dapat bermakna kawasan dātu,[70]:164 (tnah rumah) tempat tinggal bini hāji, tempat
disimpan mas dan hasil cukai (drawy) sebagai kawasan yang mesti dijaga.[70]:167, 170-1 Kadātuan
ini dikelilingi oleh vanua, yang dapat dianggap sebagai kawasan kota dari Sriwijaya yang di
dalamnya terdapat vihara untuk tempat beribadah bagi
masyarakatnya. Kadātuan dan vanua ini merupakan satu kawasan inti bagi Sriwijaya itu
sendiri.[70]:162-3, 171 Menurut Casparis, samaryyāda merupakan kawasan yang berbatasan
dengan vanua, yang terhubung dengan jalan khusus (samaryyāda-patha) yang dapat
bermaksud kawasan pedalaman.[70]:168, 171 Sedangkan mandala merupakan suatu kawasan
otonom dari bhūmi yang berada dalam pengaruh kekuasaan kadātuan Sriwijaya.[70]:165, 173-6
Penguasa Sriwijaya disebut dengan Dapunta Hyang atau Maharaja, dan dalam lingkaran raja
terdapat secara berurutan yuvarāja (putra mahkota), pratiyuvarāja (putra mahkota kedua)
dan rājakumāra (pewaris berikutnya).[71] Prasasti Telaga Batu banyak menyebutkan berbagai
jabatan dalam struktur pemerintahan kerajaan pada masa Sriwijaya. Menurut Prasasti Telaga
Batu, selain diceritakan kutukan raja Sriwijaya kepada siapa saja yang menentang raja,
diceritakan pula bermacam-macam jabatan dan pekerjaan yang ada pada zaman Sriwijaya.
[70]:160-2,[29] Adapun, jabatan dan pekerjaan yang diceritakan tersebut adalah raja putra (putra
raja yang keempat), bhupati (bupati), senopati (komandan pasukan),
dan dandanayaka (hakim). Kemudian terdapat juga Tuha an watak wuruh (pengawas
kelompok pekerja),[b] Addhyākṣī nījavarṇa (pengawas kaum berkasta
rendah), vāṣīkaraṇa (pandai besi/pembuat senjata pisau), kāyastha (juru
tulis), sthāpaka (pemahat), puhāvaṁ (nakhoda kapal), vaṇiyāga (peniaga), pratisāra (pemim
pin kelompok kerja), marsī hāji (tukang cuci), dan hulun hāji (budak raja).[70]:160-2,[29]
Menurut kronik Tiongkok Hsin Tang-shu, Sriwijaya yang begitu luas dibagi menjadi dua.
Seperti yang diterangkan diatas, Dapunta Hyang punya dua orang anak yang diberi gelar
putra mahkota, yakni yuvarāja (putra mahkota), pratiyuvarāja (putra mahkota kedua).[29]
[71] Ahmad Jelani Halimi (profesor di Universiti Sains Malaysia) mengatakan bahwa
pembagian ini dilakukan untuk mencegah perpecahan di antara anak-anaknya.[35]
PerdaganganSunting

Model kapal Sriwijaya tahun 800-an Masehi yang terdapat pada candi Borobudur.

Di dunia perdagangan, Sriwijaya menjadi pengendali jalur perdagangan antara India dan
Tiongkok, yakni dengan penguasaan atas Selat Malaka dan Selat Sunda. Orang Arab
mencatat bahwa Sriwijaya memiliki aneka komoditas seperti kapur barus, kayu gaharu,
cengkih, pala, kepulaga, gading, emas, dan timah, yang membuat raja Sriwijaya sekaya raja-
raja di India.[17] Kekayaan yang melimpah ini telah memungkinkan Sriwijaya membeli
kesetiaan dari vassal-vassal-nya di seluruh Asia Tenggara. Dengan berperan
sebagai entreport atau pelabuhan utama di Asia Tenggara, dengan mendapatkan restu,
persetujuan, dan perlindungan dari Kaisar Tiongkok untuk dapat berdagang dengan
Tiongkok, Sriwijaya senantiasa mengelola jejaring perdagangan bahari dan menguasi urat
nadi pelayaran antara Tiongkok dan India.[73]
Karena alasan itulah Sriwijaya harus terus menjaga dominasi perdagangannya dengan selalu
mengawasi — dan jika perlu — memerangi pelabuhan pesaing di negara jirannya. Keperluan
untuk menjaga monopoli perdagangan inilah yang mendorong Sriwijaya menggelar ekspedisi
militer untuk menaklukkan bandar pelabuhan pesaing di kawasan sekitarnya dan menyerap
mereka ke dalam mandala Sriwijaya. Bandar Malayu di Jambi, Kota Kapur di pulau Bangka,
Tarumanagara dan pelabuhan Sunda di Jawa Barat, Kalingga di Jawa Tengah, dan bandar
Kedah dan Chaiya di semenanjung Melaya adalah beberapa bandar pelabuhan yang
ditaklukan dan diserap kedalam lingkup pengaruh Sriwijaya. Disebutkan dalam catatan
sejarah Champa adanya serangkaian serbuan angkatan laut yang berasal dari Jawa terhadap
beberapa pelabuhan di Champa dan Kamboja. Mungkin angkatan laut penyerbu yang
dimaksud adalah armada Sriwijaya, karena saat itu wangsa Sailendra di Jawa adalah bagian
dari mandala Sriwijaya. Hal ini merupakan upaya Sriwijaya untuk menjamin monopoli
perdagangan laut di Asia Tenggara dengan menggempur bandar pelabuhan pesaingnya.
Sriwijaya juga pernah berjaya dalam hal perdagangan sedari tahun 670 hingga 1025 M.[74]
Kejayaan bahari Sriwijaya terekam di relief Borobudur yaitu menggambarkan Kapal
Borobudur, kapal kayu bercadik ganda dan bertiang layar yang melayari lautan Nusantara
sekitar abad ke-8 Masehi. Fungsi cadik ini adalah untuk menyeimbangkan dan menstabilkan
perahu. Cadik tunggal atau cadik ganda adalah ciri khas perahu bangsa Austronesia dan
perahu bercadik inilah yang membawa bangsa Austronesia berlayar di seantero Asia
Tenggara, Oseania, dan Samudra Hindia. Kapal layar bercadik yang diabadikan dalam relief
Borobudur mungkin adalah jenis kapal yang digunakan armada Sailendra dan Sriwijaya
dalam pelayaran antarpulaunya, kemaharajaan bahari yang menguasai kawasan pada kurun
abad ke-7 hingga ke-13 masehi.
Selain menjalin hubungan dagang dengan India dan Tiongkok, Sriwijaya juga menjalin
perdagangan dengan tanah Arab. Kemungkinan utusan Maharaja Sri Indrawarman yang
mengantarkan surat kepada khalifah Umar bin Abdul-Aziz dari Bani Umayyah tahun 718,
kembali ke Sriwijaya dengan membawa hadiah Zanji (budak wanita berkulit hitam), dan
kemudian dari kronik Tiongkok disebutkan Shih-li-fo-shih dengan rajanya Shih-li-t-'o-pa-
mo (Sri Indrawarman) pada tahun 724 mengirimkan hadiah untuk kaisar Tiongkok,
berupa ts'engchi (bermaksud sama dengan Zanji dalam bahasa Arab).[75]
Pada paruh pertama abad ke-10, di antara kejatuhan dinasti Tang dan naiknya dinasti Song,
perdagangan dengan luar negeri cukup marak, terutama Fujian, kerajaan Min dan kerajaan
Nan Han dengan negeri kayanya Guangdong. Tak diragukan lagi Sriwijaya mendapatkan
keuntungan dari perdagangan ini.
Pada masa inilah diperkirakan rakyat Sriwijaya mulai mengenal buah semangka (Citrullus
lanatus (Thunb.) Matsum. & Nakai), yang masuk melalui perdagangan mereka.[76][77]
Budaya dan masyarakatSunting

Sebuah masyarakat yang kompleks, berlapis, kosmopolitan, dan makmur; dengan cita rasa
nan halus dalam seni, sastra, dan budaya, dengan serangkaian ritual yang dipengaruhi ajaran
Buddha Mahayana; berkembang di masyarakat Sriwijaya. Tatanan sosial mereka yang rumit
dapat dilihat melalui studi prasasti, catatan sejarah asing, serta peninggalan candi-candi yang
berasal dari periode ini. Kerajaan telah mengembangkan masyarakat yang maju; yang
ditandai oleh kemajemukan masyarakat mereka, stratifikasi sosial, dan pembentukan lembaga
administratif nasional kerajaan mereka.
AgamaSunting

Penyebaran ajaran Buddha dari India utara ke bagian lain di Asia, Sriwijaya pernah berperan sebagai
pusat pembelajaran dan penyebaran ajaran Buddha.

Sebagai pusat pengajaran Buddha Vajrayana, Sriwijaya menarik banyak peziarah dan sarjana


dari negara-negara di Asia. Antara lain pendeta dari Tiongkok I Tsing, yang melakukan
kunjungan ke Sumatra dalam perjalanan studinya di Universitas Nalanda, India, pada
tahun 671 dan 695, I Tsing melaporkan bahwa Sriwijaya menjadi rumah bagi sarjana Buddha
sehingga menjadi pusat pembelajaran agama Buddha. Selain berita diatas, terdapat berita
yang dibawakan oleh I Tsing, dinyatakan bahwa terdapat 1000 orang pendeta yang belajar
agama Budha pada Sakyakirti, seorang pendeta terkenal di Sriwijaya.[78]
Terdapat lebih dari 1000 pandita Buddhis di Sriwijaya yang belajar serta
“ mempraktikkan Dharma dengan baik. Mereka menganalisis dan mempelajari semua
topik ajaran sebagaimana yang ada di India; vinaya dan ritual-ritual mereka tidaklah
berbeda sama sekali [dengan yang ada di India]. Apabila seseorang pandita Tiongkok
akan pergi ke Universitas Nalanda di India untuk mendengar dan mempelajari
naskah-naskah Dharma auutentik, ia sebaiknya tinggal di Sriwijaya dalam kurun
waktu 1 atau 2 tahun untuk mempraktikkan vinaya dan bahasa sansekerta dengan
tepat. ”
Pengunjung yang datang ke pulau ini menyebutkan bahwa koin emas telah digunakan di
pesisir kerajaan. Selain itu ajaran Buddha aliran Buddha Hinayana dan Buddha
Mahayana juga turut berkembang di Sriwijaya. Menjelang akhir abad ke-10, Atiśa, seorang
sarjana Buddha asal Benggala yang berperan dalam mengembangkan Buddha Vajrayana
di Tibet dalam kertas kerjanya Durbodhāloka menyebutkan ditulis pada masa
pemerintahan Sri Cudamani
Warmadewa penguasa Sriwijayanagara di Malayagiri di Suvarnadvipa.[79]
Kerajaan Sriwijaya banyak dipengaruhi budaya India, pertama oleh budaya Hindu kemudian
diikuti pula oleh agama Buddha. Peranannya dalam agama Budha dibuktikannya dengan
membangun tempat pemujaan agama Budha di Ligor, Thailand.[80] Raja-raja Sriwijaya
menguasai kepulauan Melayu melalui perdagangan dan penaklukkan dari kurun abad ke-
7 hingga abad ke-9, sehingga secara langsung turut serta mengembangkan bahasa
Melayu beserta kebudayaannya di Nusantara.
".... banyak raja dan pemimpin yang berada di pulau-pulau pada Lautan Selatan
percaya dan mengagumi Buddha, dihati mereka telah tertanam perbuatan baik. Di
dalam benteng kota Sriwijaya dipenuhi lebih dari 1000 biksu Budha, yang belajar
dengan tekun dan mengamalkannya dengan baik.... Jika seorang biarawan Tiongkok
ingin pergi ke India untuk belajar Sabda, lebih baik ia tinggal dulu di sini selama satu
atau dua tahun untuk mendalami ilmunya sebelum dilanjutkan di India".
— Gambaran Sriwijaya menurut I Tsing.[8]
Sangat dimungkinkan bahwa Sriwijaya yang termahsyur sebagai bandar pusat perdagangan di
Asia Tenggara, tentunya menarik minat para pedagang dan ulama Muslim dari Timur
Tengah, sehingga beberapa kerajaan yang semula merupakan bagian dari Sriwijaya,
kemudian tumbuh menjadi cikal-bakal kerajaan-kerajaan Islam di Sumatra kelak, di saat
melemahnya pengaruh Sriwijaya.

Seni dan BudayaSunting


Langgam Sriwijaya

Arca Buddha langgam Amarawati setinggi 2,77 meter, ditemukan di situs Bukit Seguntang, Palembang,
abad ke-7 sampai ke-8 M.

Awalokiteshwara dari Bingin Jungut, Musi Rawas, Sumatra Selatan. Langgam Sriwijaya, abad ke-8
sampai ke-9 M, mirip langam seni Sailendra Jawa Tengah.
Arca Maitreya dari Komering, Sumatra Selatan, seni Sriwijaya sekitar abad ke-9 M.
Arca torso perunggu bodhisattwa Padmapani, langgam Sriwijaya abad ke-8, Chaiya, Surat Thani,
Thailand Selatan. Arca ini menggambarkan pengaruh langgam Sailendra dari Jawa Tengah.

Berdasarkan berbagai sumber sejarah, sebuah masyarakat yang kompleks dan kosmopolitan
yang sangat dipengaruhi alam pikiran Budha Wajrayana digambarkan bersemi di ibu kota
Sriwijaya. Beberapa prasasti Siddhayatra abad ke-7 seperti Prasasti Talang
Tuo menggambarkan ritual Budha untuk memberkati peristiwa penuh berkah yaitu peresmian
taman Sriksetra, anugerah Maharaja Sriwijaya untuk rakyatnya. Prasasti Telaga
Batu menggambarkan kerumitan dan tingkatan jabatan pejabat kerajaan, sementara Prasasti
Kota Kapur menyebutkan keperkasaan balatentara Sriwijaya atas Jawa. Semua prasasti ini
menggunakan bahasa Melayu Kuno, leluhur bahasa Melayu dan bahasa Indonesia modern.
Sejak abad ke-7, bahasa Melayu kuno telah digunakan di Nusantara. Ditandai dengan
ditemukannya berbagai prasasti Sriwijaya dan beberapa prasasti berbahasa Melayu Kuno di
tempat lain, seperti yang ditemukan di pulau Jawa. Hubungan dagang yang dilakukan
berbagai suku bangsa Nusantara menjadi wahana penyebaran bahasa Melayu, karena bahasa
ini menjadi alat komunikasi bagi kaum pedagang. Sejak saat itu, bahasa Melayu
menjadi lingua franca dan digunakan secara meluas oleh banyak penutur di Kepulauan
Nusantara.[81]
Meskipun disebut memiliki kekuatan ekonomi dan keperkasaan militer, Sriwijaya hanya
meninggalkan sedikit tinggalan purbakala di jantung negerinya di Sumatra. Sangat berbeda
dengan episode Sriwijaya di Jawa Tengah saat kepemimpinan wangsa Syailendra yang
banyak membangun monumen besar; seperti Candi Kalasan, Candi Sewu, dan Borobudur.
Candi-candi Budha yang berasal dari masa Sriwijaya di Sumatra antara lain Candi Muaro
Jambi, Candi Muara Takus, dan Biaro Bahal. Akan tetapi tidak seperti candi periode Jawa
Tengah yang terbuat dari batu andesit, candi di Sumatra terbuat dari bata merah.
Beberapa arca-arca bersifat Budhisme, seperti berbagai arca Budha yang ditemukan di Bukit
Seguntang, Palembang,[82] dan arca-arca Bodhisatwa Awalokiteswara dari Jambi,
[83] Bidor, Perak[84] dan Chaiya,[85] dan arca Maitreya dari Komering, Sumatra Selatan.
Semua arca-arca ini menampilkan keanggunan dan langgam yang sama yang disebut "Seni
Sriwijaya" atau "Langgam/Gaya Sriwijaya" yang memperlihatkan kemiripan — mungkin
diilhami — oleh langgam Amarawati India dan langgam Syailendra Jawa (sekitar abad ke-8
sampai ke-9).[86]
Hubungan dengan kekuatan regionalSunting
Untuk memperkuat posisinya atas penguasaan kawasan Asia Tenggara, Sriwijaya menjalin
hubungan diplomasi dengan kekaisaran Tiongkok, dan secara teratur mengantarkan utusan
beserta upeti.[87]
Sejarawan S.Q. Fatimi menyebutkan bahwa pada tahun 100 Hijriyah (718 M), seorang
maharaja Sriwijaya (diperkirakan adalah Sri Indrawarman) mengirimkan sepucuk surat
kepada Khalifah Umar bin Abdul Aziz dari Kekhalifahan Umayyah, yang berisi permintaan
kepada khalifah untuk mengirimkan ulama yang dapat menjelaskan ajaran dan hukum Islam
kepadanya.[88] Surat itu dikutip dalam Al-'Iqd Al-Farid karya Ibnu Abdu Rabbih
(sastrawan Kordoba, Spanyol), dan dengan redaksi sedikit berbeda dalam Al-Nujum Az-
Zahirah fi Muluk Misr wa Al-Qahirah karya Ibnu Tagribirdi (sastrawan Kairo, Mesir).[88]
" Dari Raja sekalian para raja yang juga adalah keturunan ribuan raja, yang isterinya
pun adalah cucu dari ribuan raja, yang kebun binatangnya dipenuhi ribuan gajah, yang
wilayah kekuasaannya terdiri dari dua sungai yang mengairi tanaman lidah buaya,
rempah wangi, pala, dan jeruk nipis, yang aroma harumnya menyebar hingga 12 mil.
Kepada Raja Arab yang tidak menyembah tuhan-tuhan lain selain Allah. Aku telah
mengirimkan kepadamu bingkisan yang tak seberapa sebagai tanda persahabatan.
Kuharap engkau sudi mengutus seseorang untuk menjelaskan ajaran Islam dan segala
hukum-hukumnya kepadaku."

— Surat Maharaja Sriwijaya kepada Khalifah Umar bin Abdul Aziz.[75]


Peristiwa ini membuktikan bahwa Sriwijaya telah menjalin hubungan diplomatik dengan
dunia Islam atau dunia Arab. Meskipun demikian surat ini bukanlah berarti bahwa raja
Sriwijaya telah memeluk agama Islam, melainkan hanya menunjukkan hasrat sang raja untuk
mengenal dan mempelajari berbagai hukum, budaya, dan adat-istiadat dari berbagai rekan
perniagaan dan peradaban yang dikenal Sriwijaya saat itu; yakni Tiongkok, India, dan Timur
Tengah.

Pagoda Borom That bergaya Sriwijaya di Chaiya, Thailand.

Pada masa awal, Kerajaan Khmer merupakan daerah jajahan Sriwijaya. Banyak sejarawan


mengklaim bahwa Chaiya, di provinsi Surat Thani, Thailand Selatan, sebagai ibu kota
kerajaan tersebut. Pengaruh Sriwijaya tampak pada bangunan pagoda Borom That yang
bergaya Sriwijaya. Setelah kejatuhan Sriwijaya, Chaiya terbagi menjadi tiga kota yakni
(Mueang) Chaiya, Thatong (Kanchanadit), dan Khirirat Nikhom.
Sriwijaya di Sumatra meluaskan wilayah dengan perpindahan Wangsa Sailendra ke Jawa.
Pada kurun waktu tertentu wangsa Sailendra sebagai anggota mandala Sriwijaya berkuasa
atas Sriwijaya dan Jawa. Maka Wangsa Sailendra berkuasa sekaligus atas Sriwijaya
dan Kerajaan Medang, yaitu Sumatra dan Jawa. Akan tetapi akibat pertikaian suksesi
singgasana Sailendra di Jawa antara Balaputradewa melawan Rakai
Pikatan dan Pramodawardhani, hubungan antara Sriwijaya dan Medang memburuk.
[89] Balaputradewa kembali ke Sriwijaya dan akhirnya berkuasa di Sriwijaya, dan
permusuhan ini diwariskan hingga beberapa generasi berikutnya. Dalam prasasti
Nalanda yang bertarikh 860 Balaputra menegaskan asal usulnya sebagai keturunan raja
Sailendra di Jawa sekaligus cucu Sri Dharmasetu raja Sriwijaya. Dengan kata lain ia
mengadukan kepada raja Dewapaladewa, raja Pala di India, bahwa haknya menjadi raja Jawa
dirampas Rakai Pikatan.[90] Persaingan antara Sriwijaya di Sumatra dan Medang di Jawa ini
kian memanas ketika raja Dharmawangsa Teguh menyerang Palembang pada tahun 990,
tindakan yang kemudian dibalas dengan penghancuran Medang pada tahun 1006 oleh Raja
Wurawari (sebagai sekutu Sriwijaya di Jawa) atas dorongan Sriwijaya.[46]
Sriwijaya juga berhubungan dekat dengan kerajaan Pala di Benggala, pada prasasti
Nalanda berangka 860 mencatat bahwa raja Balaputradewa mendedikasikan sebuah biara
kepada Universitas Nalanda. Relasi dengan Dinasti Chola di selatan India juga cukup baik.
Dari prasasti Leiden disebutkan raja Sriwijaya di Kataha Sri Mara-
Vijayottunggawarman telah membangun sebuah vihara yang dinamakan dengan Vihara
Culamanivarmma, namun menjadi buruk setelah Rajendra Chola I naik tahta yang melakukan
penyerangan pada abad ke-11. Kemudian hubungan ini kembali membaik pada
masa Kulothunga Chola I, di mana raja Sriwijaya di Kadaram mengirimkan utusan yang
meminta dikeluarkannya pengumuman pembebasan cukai pada kawasan sekitar Vihara
Culamanivarmma tersebut. Namun pada masa ini Sriwijaya dianggap telah menjadi bagian
dari dinasti Chola. Kronik Tiongkok menyebutkan bahwa Kulothunga Chola I (Ti-hua-ka-lo)
sebagai raja San-fo-ts'i, membantu perbaikan candi dekat Kanton pada tahun 1079. Pada
masa dinasti Song candi ini disebut dengan nama Tien Ching Kuan, dan pada masa dinasti
Yuan disebut dengan nama Yuan Miau Kwan.[10]
Raja yang memerintahSunting
Para Maharaja Sriwijaya[5][10]

Prasasti, catatan pengiriman


Tahu
Nama Raja Ibu kota utusan ke Tiongkok serta
n
peristiwa

Catatan perjalanan I Tsing pada


tahun 671-685, Penaklukan
Malayu, penaklukan Jawa
Srivijaya
Dapunta Hyang atau 671 Prasasti Kedukan
Sri Jayanasa Shih-li-fo-shih
Bukit (683), Talang
Tuo (684), Kota
Kapur (686), Karang
Brahi dan Palas Pasemah
Rudra Wikrama 728- Sriwijaya Utusan ke Tiongkok 728-742
Liu-t'eng-wei-kung 742 Shih-li-fo-shih

743- Belum ada berita pada periode


774 ini

Sri Indrawarman Sriwijaya


Utusan ke Tiongkok 702-716,
702
Shih-li-t-'o-pa-mo Shih-li-fo-shih 724

Prasasti Ligor B tahun 775 di


Nakhon Si Thammarat,
Sri Maharaja 775 Sriwijaya
selatan Thailand dan
menaklukkan Kamboja

Wangsa
Pindah ke Jawa (Jawa
Sailendra mengantikan Wangsa
Tengah atau Yogyakarta)
Sanjaya

Prasasti Kelurak 782 di sebelah


utara kompleks Candi
Dharanindra atau
778 Jawa Prambanan
Rakai Panangkaran
Prasasti Kalasan tahun 778
di Candi Kalasan
Samaragrawira atau Prasasti Nalanda dan prasasti
782 Jawa
Rakai Warak Mantyasih tahun 907

Prasasti Karang Tengah tahun


824,
Samaratungga atau
792 Jawa
Rakai Garung 825 menyelesaikan
pembangunan
candi Borobudur
Kebangkitan Wangsa
840
Sanjaya, Rakai Pikatan

Kehilangan kekuasaan di Jawa,


dan kembali ke Suwarnadwipa
Balaputradewa 856 Suwarnadwipa
Prasasti Nalanda tahun
860, India
861- Belum ada berita pada periode
959 ini

Sriwijaya
Sri Udayaditya
960 Utusan ke Tiongkok 960, & 962
Warmadewa San-fo-ts'i
Se-li-hou-ta-hia-li-
tan

Utusan ke Tiongkok 980 & 983:


980
dengan raja, Hie-tche (Haji)

990 Jawa menyerang Sriwijaya,


Catatan Atiśa,
Sri Cudamani Sriwijaya
Warmadewa
988 Malayagiri Utusan ke Tiongkok 988-
Se-li-chu-la-wu-ni- (Suwarnadwipa) San- 992-1003,
fu-ma-tian-hwa fo-ts'i pembangunan candi
untuk kaisar Tiongkok yang
diberi nama
cheng tien wan shou
Sri Mara-
San-fo-ts'i
Vijayottunggawarman Prasasti Leiden & utusan ke
1008
Kataha Tiongkok 1008
Se-li-ma-la-pi

Utusan San-fo-ts'i ke Tiongkok


Haji Sumatrabhumi 1017: dengan raja, Ha-ch'i-su-
wa-ch'a-p'u (Haji
Ha-ch'i-su-wa-ch'a- 1017
Sumatrabhumi (?));
p'u gelar haji biasanya untuk raja
bawahan

Diserang oleh Rajendra Chola


Sriwijaya I dan menjadi tawanan
Sangrama-
1025
Vijayottunggawarman Kadaram Prasasti Tanjore bertarikh
1030 pada candi Rajaraja,
Tanjore, India
Dibawah Dinasti
1030
Chola dari Koromandel

Utusan San-fo-ts'i dengan


raja Kulothunga Chola I (Ti-
hua-ka-lo) ke Tiongkok 1079
1079
membantu memperbaiki candi
Tien Ching di Kuang Cho (dekat
Kanton)

Utusan San-fo-ts'i dari Kien-


1082 pi (Jambi) ke Tiongkok 1082
dan 1088
1089-
Belum ada berita
1177

Laporan Chou-Ju-Kua dalam
1178 buku Chu-fan-chi berisi daftar
koloni San-fo-ts'i

Dibawah Dinasti
Srimat Trailokyaraja
Mauli, Kerajaan
Maulibhusana 1183 Dharmasraya
Melayu, Prasasti Grahi tahun
Warmadewa
1183 di selatan Thailand

Warisan sejarahSunting

Busana gadis penari Gending Sriwijaya yang raya dan keemasan menggambarkan kegemilangan dan
kekayaan Sriwijaya.

Meskipun Sriwijaya hanya menyisakan sedikit peninggalan arkeologi dan keberadaanya


sempat terlupakan dari ingatan masyarakat pendukungnya, penemuan kembali kemaharajaan
bahari ini oleh Coedès pada tahun 1920-an telah membangkitkan kesadaran bahwa suatu
bentuk persatuan politik raya, berupa kemaharajaan yang terdiri atas persekutuan kerajaan-
kerajaan bahari, pernah bangkit, tumbuh, dan berjaya pada masa lalu.

Pada abad ke-14 meskipun pengaruhnya telah memudar, wibawa dan gengsi Sriwijaya masih
digunakan sebagai sumber legitimasi politik. Sang Nila Utama yang mengaku sebagai
keturunan bangsawan Sriwijaya dari Bintan, bersama para pengikut dan tentaranya yang
terdiri dari Orang Laut, telah mendirikan Kerajaan Singapura di Tumasik. Menurut Sejarah
Melayu dan catatan sejarah Tiongkok yang ditulis Wang Ta Yuan, disebutkan bahwa
Kerajaan Siam sempat menyerang kerajaan Singapura pada kurun tahun 1330 hingga 1340.
Serangan Siam ini berhasil dipukul mundur.
Warisan terpenting Sriwijaya mungkin adalah bahasanya. Selama berabad-abad, kekuatan
ekononomi dan keperkasaan militernya telah berperan besar atas tersebarluasnya
penggunaan Bahasa Melayu Kuno di Nusantara, setidaknya di kawasan pesisir. Bahasa ini
menjadi bahasa kerja atau bahasa yang berfungsi sebagai penghubung (lingua franca) yang
digunakan di berbagai bandar dan pasar di kawasan Nusantara.[91] Tersebar luasnya Bahasa
Melayu Kuno ini mungkin yang telah membuka dan memuluskan jalan bagi Bahasa
Melayu sebagai bahasa nasional Malaysia, dan Bahasa Indonesia sebagai bahasa pemersatu
Indonesia modern. Adapun Bahasa Melayu Kuno masih tetap digunakan sampai pada abad
ke-14 M.[92]
Kaum nasionalis Indonesia juga mengagungkan Sriwijaya sebagai sumber kebanggaan dan
bukti kejayaan masa lampau Indonesia.[93] Kegemilangan Sriwijaya telah menjadi sumber
kebanggaan nasional dan identitas daerah, khususnya bagi penduduk
kota Palembang, Sumatra Selatan. Keluhuran Sriwijaya telah menjadi inspirasi seni budaya,
seperti lagu dan tarian tradisional Gending Sriwijaya. Hal yang sama juga berlaku bagi
masyarakat selatan Thailand yang menciptakan kembali tarian Sevichai yang berdasarkan
pada keanggunan seni budaya Sriwijaya.
Di Indonesia, nama Sriwijaya telah digunakan dan diabadikan sebagai nama jalan di berbagai
kota, dan nama ini juga digunakan oleh Universitas Sriwijaya yang didirikan tahun 1960 di
Palembang. Demikian pula Kodam II/Sriwijaya (unit komando militer), PT Pupuk
Sriwijaya (perusahaan pupuk di Sumatera Selatan), Sriwijaya Post (surat kabar harian di
Palembang), Sriwijaya TV, Sriwijaya Air (maskapai penerbangan), Stadion Gelora Sriwijaya,
Kereta Api Tanjung Karang-Kertapati Sriwijaya Lampung dan Sriwijaya Football Club (klub
sepak bola Palembang). Semuanya dinamakan demikian untuk menghormati, memuliakan,
dan merayakan kemaharajaan Sriwijaya yang gemilang. Pada tanggal 11 November 2011
digelar upacara pembukaan SEA Games 2011 di Stadion Gelora Sriwijaya, Palembang.
Upacara pembukaan ini menampilkan tarian kolosal yang bertajuk "Srivijaya the Golden
Peninsula" menampilkan tarian tradisional Palembang dan juga replika ukuran sebenarnya
perahu Sriwijaya untuk menggambarkan kejayaan kemaharajaan bahari ini.[94][95]
Nama besar Sriwijaya juga telah menginspirasi dan dipinjam sebagai nama marga katak yang
baru dideskripsi di tahun 2021: Wijayarana.[96][97]
CatatanSunting
1. ^ Menurut Coedès, siddhayatra merujuk kepada "ramuan ajaib". Sebuah terjemahan
alternatif: Zoetmulder's Kamus Jawa Kuno (1995) menerjemahkan istilah ini sebagai
"perjalanan yang makmur".
2. ^ Tuha an watak wuruh juga bersifat pengurus perdagangan dan pertukangan. Tugas
mereka selain itu adalah menjalankan perdagangan di pasar-pasar dan merekalah yang
bertindak sebagai pengurusnya.[72]

Anda mungkin juga menyukai