DI INDONESIA
Indonesia merupakan negara kepulauan, antara pulau yang satu dengan pulau yang lainnya
dipisahkan oleh laut, tapi dalam hal ini laut bukan menjadi penghalang bagi tiap suku bangsa di
Indonesia untuk saling berhubungan dengan suku-suku di pulau lainnya. Aktivitas pelayaran
bangsa Indonesia sudah berlangsung sejak zaman nenek moyang kita, berjalan bersamaan
dengan perjalanan sejarah bangsa Indonesia. Wilayah kepulauan Nusantara yang terletak
pada titik silang jaringan lalu lintas laut dunia, secara tidak langsung merupakan
penghubung Timur dan Barat. Berbagai hasil bumi dari Indonesia merupakan barang-
barang yang dibutuhkan oleh pasaran dunia. Hal itu telah mengakibatkan munculnya
aktivitas perdagangan dan pelayaran yang cukup ramai dari dan ke Indonesia.
Sejak zaman bahari, pelayaran dan perdagangan antar pulau telah berkembang dengan
menggunakan berbagai macam tipe perahu tradisional, nenek moyang kita menjadi pelaut-pelaut
handal yang menjelajahi untuk mengadakan kontak dan interaksi dengan pihak luar. Bahkan,
yang lebih mengejutkan lagi, pelayaran yang dilakukan oleh orang-orang Indonesia (Nusantara)
pada zaman bahari telah sampai ke Mandagaskar. Bukti dari berita itu sendiri adalah berdasarkan
penelitian yang dilakukan yaitu tipe jukung yang sama yang digunakan oleh orang-orang
Kalimantan untuk berlayar “Fantastis”. Apa yang terjadi dalam dunia maritim Indonesia pada
zaman bahari telah menjadi Trade Mark bahwa Indonesia merupakan negara maritim. Tetapi
apakah benar sekarang ini Indonesia merupakan negara maritim? Negara yang mempunyai
banyak pulau, luasnya laut, belum menjadi modal utama bahwa negara tersebut adalah negara
maritim. Namun, seberapa besar penduduk suatu negara itu berorientasi ke laut, itulah yang
menjadi acuan bahwa negara itu adalah negara maritim. Bagaimana dengan Indonesia? Mengutip
pernyataan salah seorang sejarawan kal-sel yaitu bapak Bambang subiyakto dalam tulisannya
yang berjudul”Pelayaran, pelabuhan dan perdagangan Banjarmasin 1857-1957” bahwa Indonesia
adalah “Negara kepulauan”, Indonesia adalah “Nusantara”, Indonesia adalah “Negara Maritim”
dan Indonesia adalah “Bangsa Bahari”,”Berjiwa Bahari” serta “Nenek Moyangku Orang Pelaut”
hanya merupakan slogan kata, sloganistis. Suatu hal yang hanya diucapkan belaka oleh manusia
Indonesia sejak “Balita” sampai “Manula”. Sebuah pernyataan yang relevan dan sesuai untuk
menggambarkan citra dunia maritim Indonesia saat ini. Indoneisa menyandang predikat “Negara
Maritim” dan juga “Negara Agraris”. Predikat itu telah ada sejak zaman kerajaan, dimana
kerajaan-kerajaan tersebut masing-masing berorientasi ke laut dan juga berorientasi ke
pedalaman, dalam hal ini pertanian. Kita bisa bangga, bagaimana kerajan Sriwijaya menjadi
kekuatan yang begitu besar dan mempunyai pengaruh yang sangat kuat di Asia Tenggara, itu
semua dikarenakan mereka membangun kekuatan dengan mengembangkan kemaritiman untuk
kejayaan Negara. Berikut ini penjelasan tentang Kerajaan Sriwijaya:
Pengetahuan mengenai sejarah Sriwijaya baru lahir pada permulaan abad ke-20 M, ketika
George Coedes menulis karangannya berjudul Le Royaume de Crivijaya pada tahun 1918 M.
Coedes kemudian menetapkan bahwa, Sriwijaya adalah nama sebuah kerajaan di Sumatera
Selatan. Lebih lanjut, Coedes juga menetapkan bahwa, letak ibukota Sriwijaya adalah
Palembang, dengan bersandar pada anggapan Groeneveldt dalam karangannya, Notes on the
Malay Archipelago and Malacca, Compiled from Chinese Source, yang menyatakan bahwa, San-
fo-ts‘I adalah Palembang yang terletak di Sumatera Selatan, yaitu tepatnya di tepi Sungai Musi
atau sekitar kota Palembang sekarang
2. Sumber Sejarah
Sumber-sumber sejarah yang mendukung tentang keberadaan Kerajaan Sriwijaya berasal dari
berita asing dan prasasti-prasasti.
a. Sumber Asing
1. Sumber Cina
Kunjungan I-sting, seorang peziarah Budha dari China pertama adalah tahun 671 M. Dalam
catatannya disebutkan bahwa, saat itu terdapat lebih dari seribu orang pendeta Budha di
Sriwijaya. Aturan dan upacara para pendeta Budha tersebut sama dengan aturan dan upacara
yang dilakukan oleh para pendeta Budha di India. I-tsing tinggal selama 6 bulan di Sriwijaya
untuk belajar bahasa Sansekerta, setelah itu, baru ia berangkat ke Nalanda, India. Setelah lama
belajar di Nalanda, tahun 685 I-tsing kembali ke Sriwijaya dan tinggal selama beberapa tahun
untuk menerjemahkan teks-teks Budha dari bahasa Sansekerta ke bahasa Cina.
Catatan Cina yang lain menyebutkan tentang utusan Sriwijaya yang datang secara rutin ke Cina,
yang terakhir adalah tahun 988 M
Sumber Arab
Arab, Sriwijaya disebut Sribuza. Mas‘udi, seorang sejarawan Arab klasik menulis catatan
tentang Sriwijaya pada tahun 955 M. Dalam catatan itu, digambarkan Sriwijaya merupakan
sebuah kerajaan besar, dengan tentara yang sangat banyak. Hasil bumi Sriwijaya adalah kapur
barus, kayu gaharu, cengkeh, kayu cendana, pala, kardamunggu, gambir dan beberapa hasil bumi
lainya.
Sumber India
Kerajaan Sriwijaya pernah menjalin hubungan dengan raja-raja dari kerajaan yang ada di India
seperti dengan Kerajaan Nalanda, dan Kerajaan Chola. Dengan Kerajaan Nalanda disebutkan
bahwa Raja Sriwijaya mendirikan sebuah prasasti yang dikenal dengan nama Prasasti Nalanda
Sumber lain
Pada tahun 1886 Beal mengemukakan pendapatnya bahwa, Shih-li-fo-shih merupakan suatu
daerah yang terletak di tepi Sungai Musi, Sumber lain, yaitu Beal mengemukakan pendapatnya
pada tahun 1886 bahwa, Shih-li-fo-shih merupakan suatu daerah yang terletak di tepi Sungai
Musi.
Pada tahun 1913 M, Kern telah menerbitkan Prasasti Kota Kapur, prasasti peninggalan Sriwijaya
yang ditemukan di Pulau Bangka. Namun, saat itu, Kern menganggap Sriwijaya yang tercantum
pada prasasti itu adalah nama seorang raja, karena Cri biasanya digunakan sebagai sebutan atau
gelar raja.
Sumber dalam negeri berasal dari prasasti-prasasti yang dibuat oleh raja-raja dari Kerajaan
Sriwijaya. Prasasti itu antara lain sebagai berikut.
Prasasti ini merupakan yang paling tua, bertarikh 682 M, menceritakan tentang kisah perjalanan
suci Dapunta Hyang dari Minana dengan perahu, bersama dua laksa (20.000) tentara dan 200
peti perbekalan, serta 1.213 tentara yang berjalan kaki.
Prasasti berangka tahun 683 M itu menyebutkan bahwa raja Sriwijaya bernama Dapunta Hyang
yang membawa tentara sebanyak 20.000 orang berhasil menundukan Minangatamwan. Dengan
kemenangan itu, Kerajaan Sriwijaya menjadi makmur. Daerah yang dimaksud Minangatamwan
itu kemungkinan adalah daerah Binaga yang terletak di Jambi. Daerah itu sangat strategis untuk
perdagangan
Prasasti Talangtuo
Prasasti berangka tahun 684 M itu menyebutkan tentang pembuatan Taman Srikesetra atas
perintah Raja Dapunta Hyang.
Prasasti berangka tahun 686 M itu ditemukan di daerah pedalaman Jambi, yang menunjukan
penguasaan Sriwijaya atas daerah itu.
Prasasti Ligor(penting)
Prasasti berangka tahun 775 M itu menyebutkan tentang ibu kota Ligor dengan tujuan untuk
mengawasi pelayaran perdagangan di Selat Malaka.
Prasasti Nalanda
Prasasti itu menyebutkan Raja Balaputra Dewa sebagai Raja terakhir dari Dinasti Syailendra
yang terusir dari Jawa Tengah akibat kekalahannya melawan Kerajaan Mataram dari Dinasti
Sanjaya. Dalam prasasti itu, Balaputra Dewa meminta kepada Raja Nalanda agar mengakui
haknya atas Kerajaan Syailendra. Di samping itu, prasasti ini juga menyebutkan bahwa Raja
Dewa Paladewa berkenan membebaskan 5 buah desa dari pajak untuk membiayai para
mahasiswa Sriwijaya yang belajar di Nalanda.
Prasasti ini Karena ditemukan di sekitar Palembang pada tahun 1918 M. Berbentuk batu lempeng
mendekati segi lima, di atasnya ada tujuh kepala ular kobra, dengan sebentuk mangkuk kecil
dengan cerat (mulut kecil tempat keluar air) di bawahnya. Menurut para arkeolog, prasasti ini
digunakan untuk pelaksanaan upacara sumpah kesetiaan dan kepatuhan para calon pejabat.
Dalam prosesi itu, pejabat yang disumpah meminum air yang dialirkan ke batu dan keluar
melalui cerat tersebut. Sebagai sarana untuk upacara persumpahan, prasasti seperti itu biasanya
ditempatkan di pusat kerajaan., maka diduga kuat Palembang merupakan pusat Kerajaan
Sriwijaya. Prasasti-prasasti dari Kerajaan Sriwijaya itu sebagian besar menggunakan huruf
Pallawa dan bahasa Melayu Kuno.
Ekonomi (penting)
Menurut catatan asing, Bumi Sriwijaya menghasilkan bumi beberapa diantaranya, yaitu cengkeh,
kapulaga, pala, lada, pinang, kayu gaharu, kayu cendana, kapur barus, gading, timah, emas,
perak, kayu hitam, kayu sapan, rempah-rempah dan penyu. Barang-barang tersebut dijual atau
dibarter dengan kain katu, sutera dan porselen melalui relasi dagangnya dengan Cina, India, Arab
dan Madagaskar. Di dunia perdagangan, Sriwijaya menjadi pengendali jalur perdagangan antara
India dan Tiongkok, yakni dengan penguasaan atas selat Malaka dan selat Sunda. Orang Arab
mencatat bahwa Sriwijaya memiliki aneka komoditi seperti kamper, kayu gaharu, cengkeh, pala,
kepulaga, gading, emas, dan timah yang membuat raja Sriwijaya sekaya raja-raja di India.
Kekayaan yang melimpah ini telah memungkinkan Sriwijaya membeli kesetiaan dari vassal-
vassalnya di seluruh Asia Tenggara.
Politik (penting)
Untuk memperluas pengaruh kerajaan, cara yang dilakukan adalah melakukan perkawinan
dengan kerajaan lain. Hal ini dilakukan oleh penguasa Sriwijaya Dapunta Hyang pada tahun 664
M, dengan menikahkan Sobakancana, putri kedua raja Kerajaan Tarumanegara.Saat kerajaan
Funan di Indo-China runtuh, Sriwijaya memperluas daerah kekuasaannya hingga bagian barat
Nusantara. Di wilayah utara, melalui kekuatan armada lautnya, Sriwijaya mampu mengusai lalu
lintas perdagangan antara India dan Cina, serta menduduki semenanjung malaya. Kekuatan
armada terbesar Sriwijaya juga melakukan ekspansi wilayah hingga ke pulau jawa termasuk
sampai ke Brunei atau Borneo. Hingga pada abad ke-8, Kerajaan Sriwijaya telah mampu
menguasai seluruh jalur perdagangan di Asia Tenggara.
Raja merupakan pemegang kekuasaan tertinggi dalam sistem pemerintahan Kerajaan Sriwijaya.
Ada tiga syarat utama untuk menjadi raja Sriwijaya, yaitu :
2. Indratvam, artinya memerintah seperti Dewa Indra yang selalu memberikan kesejahteraan
bagi rakyatnya
1. Dapunta Hyang Sri Yayanaga (Prasasti Kedukan Bukit 683 M, Prasasti Talangtuo 684
M)
2. Cri Indrawarman (berita Cina, 724 M)
3. Rudrawikrama (berita Cina, 728 M)
4. Wishnu (Prasasti Ligor, 775 M)
5. Maharaja (berita Arab, 851 M)
6. Balaputradewa (Prasasti Nalanda, 860 M)
7. Cri Udayadityawarman (berita Cina, 960 M)
8. Cri Udayaditya (Berita Cina, 962 M)
9. Cri Cudamaniwarmadewa (Berita Cina, 1003. Prasasti Leiden, 1044 M)
10. Maraviyatunggawarman (Prasasti Leiden, 1044 M)
11. Cri Sanggrama Wijayatunggawarman (Prasasti Chola, 1004 M)
Kerajaan Sriwijaya banyak dipengaruhi budaya India, pertama oleh budaya Hindu dan kemudian
diikuti pula oleh agama Buddha. Agama Buddha diperkenalkan di Sriwijaya pada
tahun 425Masehi. Sriwijaya merupakan pusat terpenting agama Buddha Mahayana. Raja-raja
Sriwijaya menguasai kepulauan Melayu melalui perdagangan dan penaklukkan dari kurun abad
ke-7 hinggaabad ke-9. Sehingga secara langsung turut serta
mengembangkan kebudayaan Melayu di Nusantara. Sriwijaya yang merupakan kerajaan besar
penganut agama Budha telah berkembang iklim yang kondusif untuk mengembangkan agama
Budha. Itsing, seorang pendeta Cina pernah menetap selama 6 tahun untuk memperdalam agama
Budha. Salah satu karya yang dihasilkan, yaitu Ta Tiang si-yu-ku-fa-kao-seng-chuan yang
selesai ditulis pada tahun 692 M.
Dan perlu kita ketahui, sangat dimungkinkan bahwa Sriwijaya yang dikenal sebagai pusat agama
Budha sangat dipengaruhi oleh pengunjung-pengunjung muslim, sehingga kerajaan ini menjadi
cikal-bakal kerajaan-kerajaan Islam di Sumatra kelak, disaat melemahnya Sriwijaya.Ditenggarai
karena pengaruh orang muslim Arab yang banyak berkunjung di Sriwijaya maka, raja
Sriwijaya yang bernama Sri Indrawarman masuk Islam pada tahun 718. Sehingga sangat
dimungkinkan kehidupan sosial Sriwijaya adalah masyarakat sosial yang di dalamnya
terdapat masyarakat Budha dan Muslim pesat dikarenakan kerajaan ini menguasai
pelabuhan-pelabuhan strategis yang terletak di sepanjang Selat Malaka disertai kekuatan
armada laut yang kuat. Sriwijaya menjalankan politik bersahabat dengan negara-negara
tetangganya, walaupun seringkali pula terjadi perperangan yang tidak terelakkan.
Misalnya hubungan persahabatan antara Sriwijaya dengan penguasa Jawa telah terjalin
sejak zaman raja Rakai Pikatan dari Dinasti Sanjaya. Tetapi ada kalanya terjadi
pertentangan di antara kedua negara tersebut.
Peristiwa pertikaian tersebut diberitakan oleh utusan dari Jawa yang sedang berada di negeri
Cina yang mengatakan bahwa negerinya sedang berperang dengan kerajaan Sriwijaya,
sedangkan pada saat yang sama (988 M), utusan dari Sriwijaya yang tengah berada di Kanton
(Cina) tetap bertahan di kota ini, karena mendengar berita bahwa penguasa Jawa (raja
Dharmawangsa) dengan Sriwijaya tengah berperang. Penyebab peperangan tersebut karena
memperebutkan kawasan lalu-lintas perdagangan di sekitar Selat Malaka yang memang strategis.
Pada waktu wilayah kekuasan Sriwijaya mendapat serangan dari penguasa Jawa, Sriwijaya
pernah meminta bantuan pasukan dari kerajaan Chola (Colomandala) di India. Sriwijaya dapat
memulihkan kewibawaannya setelah mendapat serangan dari Jawa tersebut serta dapat
mengembalikan wilayah kekuasaannya di kawasan SemenanjungMelayu. Serangan Kerajaan
Chola
Pada saat pertikaian antara Sriwijaya dengan Jawa, hubungan antara Sriwijaya dengan kerajaan
Chola masih baik. Buktinya, sekitar tahun 1005 M, raja Sriwijaya membangun candi Budha di
Nagipattana atau Nagapatam di wilayah kekuasaan kerajaan Chola. Hubungan baik yang dibina
raja Sriwijaya, Sri Chulamaniwarmadewa, dengan penguasa Chola tidak berlangsung lama.
Karena politik Chola terhadap perluasan kekuatan di lautan seperti yang dilakukan kerajaan-
kerajaan kuno sebelumnya yang mengulangi cara-cara yang dipakai untuk mempertahankan
monopoli perdagangan mereka.
Tahun 1007 M, kerajaan Chola mulai menyerang ke arah timur. Raja Chola mengklaim bahwa
mereka telah menaklukan 12.000 pulau. Ketika raja Chola mangkat pada tahun 1014, sang putra
kerajaan Rajendra untuk beberapa tahun tetap bersahabat dengan Sriwijaya dan bahkan
memperkuat hadiah yang diberikan ayahnya pada Vihara Negapatam yang dibangun oleh
Sriwijaya.
Pada awal abad ke-11 Masehi, peta politik di sekitar Selat Malaka mulai berubah, persahabatan
antara Sriwijaya dan Chola berubah menjadi permusuhan. Tahun 1023 M, raja Rajendra
menyerang kedudukan Sriwijaya di Kadaram dan Kataha. Pada abad ke-11 Masehi itu, tercatat
tiga kali serangan Chola kepada Sriwijaya. Dalam serangan Chola tahun 1024, lebih ditujukan
kepada daerah Semenanjung Malaka. Tetapi serangan Chola itu tidak sampai menghancurkan
sama sekali kejayaan Sriwijaya, karena pasukan Sriwijaya mempunyai daerah pertahanan yang
terdiri dari banyaknya anak-anak sungai, kawasan berawa-rawa, dan pulau-pulau di wilayahnya.
Tahun 1025 M, pasukan Chola kembali mengadakan serangan besar yang melemahkan
kedudukan Sriwijaya. Sebagian besar tempat-tempat ini terletak di Sumatra atau Semenanjung
Melayu, teSriwijaya mulai melemah, negeri Melayu yang selama ini dikuasai Sriwijaya
memanfaatkan kesempatan untuk bangkit kembali. Sebuah prasasti yang ditemukan di Srilangka
menyebutkan, bahwa pada zaman pemerintahan Vijayabahu di Srilangka tahun 1055 M-1100 M,
Pangeran Suryanayana di Malayapura (Melayu) berhasil memegang tampuk pemerintahan di
Suwarnadwipa (Sumatra). Hal ini menunjukkan bahwa pada pertengahan abad ke-11 Masehi,
negeri Melayu telah berhasil memerdekakan dirinya dari kekuasaan Sriwijaya.
Dengan bangkitnya kembali kerajaan Melayu, maka hilanglah kekuasaan kerajaan Sriwijaya atas
Selat Malaka, Sriwijaya semakin mundur. Hubungannya dengan negeri Cina pun makin
berkurang. Selama abad ke-12 Masehi, Sriwijaya hanya dua kali mengirim utusan ke negeri
Cina, yaitu tahun 1156 dan 1178, setelah itu tidak tercatat lagi ada utusan dari Sriwijaya ke
negeri tirai bambu ini.
Setelah kerajaan Sriwijaya sudah mulai melemah sejak serangan kerajaan Chola, selain
bangkitnya kerajaan Melayu, memberi kesempatan kepada tokoh lain untuk muncul, yakni
Candrabhanu.
Wilayah kekuasaan Sriwijaya terlalu luas, sehingga pengawasannya tidak mudah. Sebagian
ditempatkan di Kedah sebagai pusat perdagangan di Semenanjung Malaka, sebagian lagi di pusat
pemerintahan Sriwijaya di Sumatra. Kekuasaan dan kebesaran Sriwijaya setelah berkuasa selama
beberapa ratus tahun mulai melemah, tidak mampu menghadapi semangat Candrabhanu yang
tengah berkobar. Candrabhanu berasal dari wilayah Tambralingga yang termasuk daerah
makmur. Kemakmuran Tambralingga ini merupakan modal Candrabhanu untuk mengejar
kebebasan dan kejayaannya. Kemenangan pemberontakan Candrabhanu terhadap Sriwijaya
menobatkan dirinya sebagai raja Tambralingga. Kemenangan terhadap Sriwijaya tersebut,
mendorongnya lagi untuk merebut Grahi, suatu tempat di ujung barat Semenanjung yang paling
dekat dengan Kedah.
Semangat Candrabhanu untuk mengejar kejayaan dan kebesaran, setelah 17 tahun menguasai
Grahi, tetap berlanjut. Tahun 1247 M, ia melakukan ekspedisi militer ke Srilangka. Hasilnya,
Candrabhanu berhasil menguasai sebagian negeri Srilangka. Tahun 1258 dan 1263, terjadi
serbuan dari pihak bangsa Pandya, Candrabhanu kalah dan mengakui kekuasaan bangsa ini.
Sebelum adanya pemberontakan Candrabhanu terhadap Sriwijaya itu, pada tahun 1183 dikenal
nama Mahasenapati Galanai sebagai raja bawahan Sriwijaya, maka 50 tahun kemudian, yakni
pada tahun Kaliyuga 4332 (1230 M), di tempat yang sama muncul nama Candrabhanu Sri
Dharmmaraja (Sandrabanu Sri Dharmaraja). Nama ini tercatat pada Prasasti Ch’ai-ya yang
ditulis dalam bahasa Sansekerta.
Pada tahun 1230 M, Candrabhanu mengeluarkan piagam di Grahi dan menyebut dirinya
Tambralinggesywara, maka boleh dipastikan bahwa Candrabhanu memberontak terhadap
kekuasaan Sriwijaya. Setelah membebaskan Tambralingga dari kekuasaan Sriwijaya,
Candrabhanu mengangkat dirinya sebagai raja Tambralingga dan bergelar Candrabhanu Sri
Dharmaraja, kemudian memperluas daerahnya sampai di Grahi. Candrabhanu mengumumkan
bahwa ia menjalankan politik-politik Dharmasoka, yakni politik raja Asoka di India. Ia akan
berusaha mengembangkan agama Budha. Dengan tegas dinyatakan namanya adalah lambang
jasanya kepada segenap manusia. Piagam itu boleh ditafsirkan sebagai proklamasi kemerdekaan
negara-negara di pantai-pantai timur Melayu dari kekuasaan Sriwijaya. Timbulnya Candrabhanu
berarti patahnya kekuasaan Sriwijaya di Melayu dan juga berakhirnya pemerintahan Dinasti
Syailendra di daerah tersebut. Pemberontakan Candrabhanu terhadap kekuasaan Sriwijaya terjadi
antara tahun 1225 M dan 1230 M. Untuk menghindari balas dendam Sriwijaya, politik
Candrabhanu adalah memperluas wilayah pemberontakan ke seluruh Semenanjung, dan
menikam pusat kekuasaan Sriwijaya di Semenanjung yang terletak di Kedah.
Kedudukan Sriwijaya makin terdesak, karena munculnya kerajaan-kerajaan besar yang juga
berkepentingan terhadap jalur-jalur perdagangan maritim, seperti kerajaan Siam (Burma) yang
terletak di sebelah utara. Kerajaan Siam memperluas wilayah kekuasaannya ke arah selatan
dengan menguasai daerah-daerah di Semenanjung Malaya, termasuk Tanah Genting Kra.
Jatuhnya daerah ini mengakibatkan aktivitas pelayaran dan perdagangan di kerajaan Sriwijaya
makin berkurang.
Sedangkan dari arah timur juga muncul kekuatan baru, yaitu kerajaan Singasari dari pulau Jawa
yang diperintah oleh Raja Kertanegara. Kerajaan Singasari yang bercita-cita menguasai seluruh
wilayah Nusantara mengirim ekspedisi militernya tahun 1275 M ke arah barat yang dikenal
dengan nama Ekspedisi Pamalayu. Dalam ekspedisi ini, mereka dapat menguasai kerajaan
Melayu, Pahang, dan Kalimantan, sehingga kedudukan kerajaan Sriwijaya semakin melemah.
Para pedagang yang melakukan aktivitas perdagangan di kerajaan Sriwijaya kian berkurang,
karena daerah-daerah strategis yang pernah dikuasainya jatuh ke dalam wilayah kerajaan-
kerajaan di sekitarnya. Akibatnya, para pedagang yang melakukan penyeberangan ke Tanah
Genting Kra atau melakukan kegiatan perdagangan sampai ke daerah Melayu yang sudah
dikuasai Singasari, tidak dapat lagi melewati daerah perdagangan di wilayah kekuasaan
Sriwijaya yang makin sempit. Keadaan ini mengakibatkan berkurangnya sumber penghasilan
kerajaan Sriwijaya.
Munculnya kerajaan Singasari dan kerajaan Majapahit di bumi Jawa sebagai kekuatan besar baru
di Nusantara, telah menggantikan kebesaran dan kedigjayaan Sriwijaya yang sebelumnya
berkuasa di wilayah Nusantara selama berabad-abad.
Menurut babad Mon, serangan dari kerajaan T’ai, di Sukot’ai-Kamboja, mepada zaman dahulu
mencapai kejayan baik dalam bidang politik maupun ekonomi, sekarang ini tidak tampak sedikit
pun kemajuan yang dapat dilihat. Ironis memang, Indonesia yang mempunyai potensi laut sangat
besar di dunia kurang begitu memperhatikan sektor ini. Padahal, laut menjadi salah satu faktor
dalam mempertahankan eksestensi wilayah suatu negara “Bahkan barang siapa yang menguasai
laut, ia akan menguasai dunia”, demikian dalil yang dikemukakan oleh Mahan, wajar saja kalau
Mahan mengeluarkan pernyataan tersebut, dalam karyanya yang berjudul “The Influence of Sea
Power Upon History” (1660-1783), yang terbit untuk pertama kalinya pada tahun 1890 dan telah
mengalami cetakan ulang beberapa kali, Alfred Thayer Mahan menggambarkan proses
pertumbuhan Inggris yang pada abad ke-19 telah menjadi adidaya laut yang menguasai dunia
pada waktu itu. Angkatan lautnya disegani dunia, sedangkan armada niaganya menjelajahi
seluruh samudera, bangsa yang menguasai daratan betapa pun besar dan kuatnya angkatan
daratnya, tidak akan mampu menguasai dunia. Di daratan banyak rintangan berupa gunung,
jurang dan sebagainya, sedangkan laut merupakan lapangan yang luas, bebas dan terbuka. Buku
Mahan in ternyata berpengaruh sekali terhadap kekuatan-kekuatan dunia pada waktu itu, Inggris
semakin meningkatkan kemampuan maritim. Pada akhir abad XIX, Amerika serikat di bawah
Theodore Rosevolt, Jerman di bawah kaisar Wilhem II dan Jepang dibawah pemerintahan Meiji
mulai membangun kekuatan laut yang besar. Studi Mahan telah membuktikan bahwa bukan
jumlah penduduk semata-mata yang membuat suatu bangsa berjaya, melainkan jumlah
pendududk yang berorientasikan ke laut dan yang ditopang oleh pemerintah yang
memperhatikan dunia Baharinya.
Harus di akui bahwa orientasi ke dunia bahari sudah dimulai sejak kita menerima wawasan
Nusantara sebagai dasar pemikiran negara, namun dikalangan banyak pengambil keputusan,
wawasan ini masih berupa slogan. Wawasan nusantara setiap jengkal wilayah sama penting,
akan tetapi masih banyak pulau belum disentuh, malahan belum ada namanya. Hanya jika
sebuah pulau disengketakan oleh negara lain, baru ada upaya untuk memperhatikannya. Sepeti
kasus pulau Sipadan dan Ligitan juga kepulauan Ambalat yang berbuntut pada sengketa panas
antara Indonesia dengan Malaysia. Agar peristiwa tersebut tidak terulang kembali, hendaknya
pemerintah Indonesisa mengambil langkah-langkah untuk segera mengamankan pualu-pulau
terluar di Indonesia agar tidak di caplok oleh negara tetangga. Mungkin negara-negara tetangga
seperti Malaysia menganggap remeh kekuatan laut kita hingga ia begitu berani keluar masuk
perairan Indonesia. Untuk itu sudah saatnya lah kita bangkit, mari bersama-sama membangun
kembali dunia maritim Indonesia,menhargai laut dan menjaga eksistensi. Sekarang laut bukan
hanya sebagai sumber protein dan tempat pelaut mengadakan hubungan antar pulau.
Pertambangan laut dan pemanfaatanya sebagai sumber energi makin banyak dikembangkan,
begitu pula usaha wisata bahari. Dengan kata lain, kompleksitas dunia bahari makin
berekembang sehingga perlu antisipasi untuk merencanakan masa depan bangsa negara.
2. MEMBACA PRASASTI MEMBACA SEJARAH MEDANG
Dalam bahasa Sansekreta, prasasti yang bermakna harfiah ‘pujian’ tersebut lazim dipadankan
oleh kaum arkeolog sebagai inskripsi (inscription). Bagi masyarakat awam, prasasti sering
disebut sebagai batu bertulis atau batu bersurat. Sekalipun diketahui, prasasti tidak selamanya
terbuat dari batu. Berdasarkan kesimpulan dari berbagai pendapat para sejarawan, arkeolog, atau
ahli epigraf; prasasti merupakan salah satu jenis artefak dimana fungsinya bukan sekadar sebagai
pujian; akan tetapi sebagai piagam, maklumat, surat keputusan, undang-undang, atau dokumen
yang dituliskan pada bahan keras dan berdaya tahan lama, misal: batu (andesit, pualam, kapur,
atau basalt); lempengan logam (tembaga, perunggu, perak, atau emas); daun (lontar atau tal);
tanah liat (tablet); atau kertas. Dalam arkeologi, prasasti batu lazim diistilahkan sebagai upala
prasasti, prasasti logam diistilahkan sebagai tamra prasasti, dan prasasti lontar disebut tripta
prasasti.
Prasasti adalah sebagai tanda berakhirnya masa pra sejarah dan bermulanya masa sejarah. Masa
dimana sebagian masyarakat saat itu mulai dapat menulis dan membaca. Sekalipun kebanyakan
prasasti tidak dikeluarkan oleh masyarakat, melainkan para raja yang tengah berkuasa di
kerajaan tertentu. Karenanya sebagian dari prasasti yang ada cenderung memuat pujian-pujian
pada seorang raja. Sekalipun demikian, banyak prasasti yang tidak memuat pujian-pujian
terhadap raja. Pengertian lain, terdapat pula prasasti-prasasti yang berisikan tentang penetapan
terhadap desa sebagai sima swatantra (daerah perdikan atau daerah bebas pajak), keputusan
pengadilan tentang perkara perdata (jayapatra atau jayasong), tanda atas kemenangan
(jayacikna), persoalan utang-piutang (suddhapatra), dsb.
Diketahui bahwa prasasti tidak selamanya ditulis dengan huruf Pallawa atau Sansekreta,
melainkan dengan huruf Prenagari, Jawa Kuna, Melayu Kuna, Sunda Kuna, dan Bali Kuna.
Sementara itu, penulisan prasasti pula menggunakan bahasa yang sangat variatif. Disamping
bahasa Sansekreta, prasasti ditulis dengan bahasa Jawa Kuna, Bali Kuna, Sunda Kuna, dsb.
Hasil penelitian dari para sejarawan, arkeolog, dan ahli epigraf menunjukkan bahwa prasasti
tertua di bumi Nusantara adalah Prasasti Yupa dari kerajaan Kutai (Kalimantan Timur) yang
dikeluarkan pada abad 5 M. Prasasti yang ditulis di atas batu dengan huruf Pallawa dan bahasa
Sansekreta tersebut memuat tentang hubungan geneologis semasa pemerintahan Mulawarwan.
Seiring dengan perkembangan zaman, prasasti demi prasasti kemudian banyak dikeluarkan pada
abad 8 - 14 M.
Di dalam Prasasti Kalurak menyebutkan tentang nama Dharanindra. Raja Medang periode Jawa
Tengah ke 3 yang memerintah pada 782-812 dengan gelar Sri Sanggrama Dananjaya. Sementara
Slamet Muljana mengidentikkan Dharanindra yang mampu meluaskan wilayah kekuasaan
Medang hingga Semenanjung Malaya dan daratan Indo China tersebut dengan Sri Maharaja
Rakai Panunggalan.
Hubungan antara Pramodawardhani dengan candi Borobudur pula disebutkan pada Prasasti Tri
Tepusan yang berangka tahun 842. Pada prasasti tersebut dijelaskan bahwa Pramodawardhani
yang menurut Dr Casparis bergelar Sri Kahulunan tersebut telah membebaskan pajak pada
beberapa desa yang seluruh penduduknya merawat bangunan Jinalaya.
Lain Prasasti Kayumwungan dan Tri Tepusan, lain pula dengan Prasasti Munduan (807). Prasasti
tersebut menerangkan tentang jarak usia Pramodawardhani dengan Rakai Pikatan suaminya yang
sangat jauh. Hasil dari penikahan keduanya, Pramodawardhani melahirkan dua putra yakni Rakai
Gurungwangi Dyah Saladu (Prasasti Plasosan) dan Rakai Kayuwangi (Prasasti Wantil).
Selama menjabat sebagai raja, Dyah Balitung mengangkat Mpu Daksa sebagai Rakryan Mapatih
(Prasasti Watukura, 27 Juli 902). Selain itu, Dyah Balitung pula memerintahkan pada Rakai
Welar Mpu Sudarsana untuk membangun komplek penyeberangan ‘Paparahuan’ di tepian
Sungai Bengawan Solo (Prasasti Telang, 11 Januari 904), membebaskan pajak pada warga desa
Poh yang telah merawat bangunan suci Sang Hyang Caitya dan Silungkung (Prasasti Poh, 17 Juli
905), serta memberikan anugerah berupa desa Kubu-Kubu pada Rakryan Hujung Dyah
Mangarak dan Rakryan Matuha Dyah Majawuntan yang berhasil menaklukkan daerah Bantan
(Prasasti Kubu-Kubu 17 Oktober 905).
Semasa menjabat sebagai raja, Dyah Tulodong membebaskan desa Culangi sebagai daerah bebas
pajak. Anugerah ini diberikan pada 12 putra Bhagawanta Bhari yang telah berjasa membangun
bendungan pencegah banjir. Berita ini telah dituliskan dalam Prasasti Harinjing yang dikeluarkan
pada 19 September 921.
Catatan Akhir
Pasca peristiwa Mahapralaya (kematian/kehancuran maha dahsyat) yang terjadi pada tahun 1007
atau sebagian sejarawan menafsirkan pada tahun 1016 (sasalancana abdi vadane) tersebut,
riwayat kerajaan Medang telah berakhir. Namun melalui prasasti-prasasti yang ditinggalkan,
nama kerajaan Medang baik pada periode Jawa Tengah maupun Jawa Timur tetap eksis hingga
kini. Disitulah letak kedahsyatan fungsi (makna) prasasti dalam sejarah peradaban manusia.
______________
Daftar Referensi:
- Muljana, Slamet, 2005, Runtuhnya Kerajaan Hindu-Jawa dan Timbulnya Negara-Negara Islam di Nusantara,
terbitan ulang1968, Yogyakarta: LKIS
- R. Ng. Poerbotjaraka, 1952, Riwajat Indonesia, djilid 1, Criwijaya de Sanjaya en de Cailandrawamca, BKI
- Purwadi, 2007, Sejarah Raja-Raja Jawa, Yogyakarta, Media Ilmu
- Adji, Krisna Bayu dkk, 2011, Ensklopedi Raja-Raja Jawa Dari Kalingga Hingga Kasultanan Yogyakarta,
Yogyakarta, Araska
- http://id.wikipedia.org
- http://www.artikata
2.1
Prasasti Canggal (juga disebut Prasasti Gunung Wukir atau Prasasti Sanjaya) adalah prasasti dalam
bentuk candra sengkala berangka tahun654 Saka atau 732 Masehi[1] yang ditemukan di halaman Candi
Gunung Wukir di desa Kadiluwih, kecamatan Salam, Magelang, Jawa Tengah.
Prasasti yang ditulis pada stela batu ini menggunakan aksara Pallawa dan bahasa Sanskerta.[1] Prasasti
dipandang sebagai pernyataan diri RajaSanjaya pada tahun 732 sebagai seorang penguasa universal
dari Kerajaan Mataram Kuno.
Daftar isi
[sembunyikan]
1 Isi
2 Referensi
3 Bacaan lanjutan
4 Pranala luar
Isi[sunting | sunting sumber]
Prasasti ini menceritakan tentang pendirian lingga (lambang Siwa) di desa Kunjarakunja oleh Sanjaya.
Diceritakan pula bahwa yang menjadi raja mula-mula adalah Sanna, kemudian digantikan oleh Sanjaya
anak Sannaha, saudara perempuan Sanna.
Referensi
Ratu Sanjaya alias Rakai Mataram menempati urutan pertama dalam daftar para raja Kerajaan
Medang versi prasasti Mantyasih, yaitu prasasti yang dikeluarkan oleh Maharaja Dyah Balitungtahun 907.
Sanjaya sendiri mengeluarkan prasasti Canggal tanggal 6 Oktober 732 tentang pendirian
sebuah lingga serta bangunan candi untuk memuja Siwa di atas sebuah bukit. Candi tersebut kini hanya
tinggal puing-puing reruntuhannya saja, yang ditemukan di atas Gunung Wukir, dekat Kedu.
Prasasti Canggal juga mengisahkan bahwa, sebelum Sanjaya bertakhta sudah ada raja lain
bernama Sanna yang memerintah Pulau Jawa dengan adil dan bijaksana. Sepeninggal Sanna keadaan
menjadi kacau. Sanjaya putra Sannaha (saudara perempuan Sanna) kemudian tampil sebagai raja.
Pulau Jawa pun tentram kembali.
Prasasti Canggal ternyata tidak menyebutkan nama kerajaan yang dipimpin Sanna dan Sanjaya.
Sementara itu prasasti Mantyasih menyebut Sanjaya sebagai raja pertama Kerajaan Medang, sedangkan
nama Sanna sama sekali tidak disebut. Mungkin Sanna memang bukan raja Medang. Dengan kata lain,
Sanjaya mewarisi takhta Sanna namun mendirikan sebuah kerajaan baru yang berbeda. Kisah yang
agak mirip terjadi pada akhir abad ke-13, yaitu Raden Wijaya mewarisi takhta Kertanagara raja
terakhir Singhasari, namun ia mendirikan kerajaan baru bernama Majapahit.
Pada zaman Kerajaan Medang terdapat suatu tradisi mencantumkan jabatan lama di samping gelar
sebagai maharaja. Misalnya, raja yang mengeluarkan prasasti Mantyasih (907) adalah Sri Maharaja
Rakai Watukura Dyah Balitung Dharmodaya Mahasambu. Itu artinya, jabatan lama Dyah Balitung
sebelum menjadi raja Medang adalah sebagai kepala daerah Watukura.
Sementara itu gelar Sanjaya sebagai raja adalah Rakai Mataram Sang Ratu Sanjaya. Dapat diperkirakan
ketika Sanna masih berkuasa, Sanjaya bertindak sebagai kepala
daerah Mataram(daerah Yogyakarta sekarang). Daerah Mataram inilah yang kemungkinan besar dipakai
sebagai lokasi ibu kota ketika Sanjaya mendirikan Kerajaan Medang. Itulah sebabnya, Kerajaan Medang
juga terkenal dengan sebutan Kerajaan Mataram. Sementara itu, pada masa pemerintahan Dyah
Balitung, ibu kota Kerajaan Medang sudah tidak lagi berada di Mataram, melainkan pindah ke Poh Pitu.
Kapan tepatnya Kerajaan Medang berdiri tidak diketahui dengan pasti. Seorang keturunan Sanjaya
bernama Mpu Daksa memperkenalkan pemakaian Sanjayawarsa atau “kalender Sanjaya”. Menurut
analisis para sejarawan, tahun 1 Sanjaya bertepatan dengan tahun 717 Masehi. Angka tahun tersebut
menimbulkan dua penafsiran, yaitu tahun penobatan Sanjaya sebagai raja, atau bisa juga merupakan
tahun kelahiran Sanjaya.
Apabila Sanjaya naik takhta pada tahun 717, berarti saat prasasti Canggal (732) dikeluarkan, Kerajaan
Medang sudah berusia 15 tahun. Sementara itu apabila 717 adalah tahun kelahiran Sanjaya, berarti saat
mengeluarkan prasasti Canggal ia masih berusia 15 tahun dan sudah menjadi raja. Dengan kata lain,
Sanna mengangkat Sanjaya sebagai kepala daerah Mataram sejak keponakannya itu masih anak-anak
(sama seperti Jayanagara pada zaman Majapahit).