INDONESIA
Selain itu ada mata uang Jawa jaman Hindu-Budha yang berbentuk bundar
seperti kancing baju, namanya uang M, singkatan dan msa. Disebut demikian karena pada
salah satu sisi (bagian yang cembung) ada tanda tera atau cap berupa huruf Nagari, huruf
yang berasal dan India, berbunyi m. Sedang pada sisi yang lain (bagian yang cekung)
terdapat cap bergambar bunga berkelopak empat. Ada juga uang Ma dengan cap huruf Jawa
Kuna. Uang ml tidak hanya ditemukan di Jawa melainkan juga di Bali dan Sumatra,
kebanyakan dibuat dan perak. Uang yang beratnya sekitar 2,4 gram ini sudah digunakan sejak
abad ke-9.
Selain uang M juga banyak ditemukan uang emas yang bentuknya seperti butiran jagung
dengan cap huruf Nagari berbunyi t, singkatan dari tahil. Beratnya sama dengan uang M,
Selain gambar, pada uang gobog juga tertera tulisan. Ada uang gobog
dengan tulisan Arab yang dikenal sebagai kalimat syahadat, bunyinya la ilaha ilallah,
muhammad rasul allah (tiada tuhan selain Allah, Muhammad utusan Allah). Sekitar lubang
bundar terdapat hiasan yang menggambarkan pancaran sinar yang dikenal sebagai sinar
(matahari) Majapahit.
Tulisan huruf Arab pada uang gobog mi adalah suatu bukti bahwa agama Islam telah dianut
oleh sebagian masyarakat kerajaan Majapahit yang mayoritas beragama Hindu dan Budha.
Bahwa masyarakat Majapahit bersikap penuh toleransi terhadap agama Islam ditunjukkan dan
banyaknya makam Islam di dekat ibukota kerajaan Majapahit sendiri, yaitu desa Sentonorejo,
Trowulan, Jawa Timur. Mungkin uang gobog seperti ini juga dimaksudkan sebagai media
penyebaran agama Islam di samping cara-cara lain seperti lewat dakwah atau pertunjukan
seni.
Kegunaan uang-uang tersebut di atas sebagai alat pembayaran dalam jual beli tanah, gadaitebus tanah, utang piutang, denda-denda sebagai akibat pelanggaran hukum, juga digunakan
sebagai benda sesaji, bekal kubur bahkan amulet/ajimat.
Masa Islam adalah masa perkembangan agama Islam di Indonesia dan munculnya kerajaankerajaan yang bercorak Islam di berbagai daerah dan abad ke-13 hingga abad ke-19. Umumnya
kerajaan-kerajaan Islam di Indonesia letaknya tidak jauh dan pelabuhan yang memungkinkan
masyarakatnya dapat berhubungan dengan pedagang-pedagang asing, khususnya dari Timur
Tengah.
Kerajaan Islam pertama di Indonesia adalah Samudra Pasai di daerah Aceh, berdiri pada akhir
abad ke-13. Kemudian bermunculan kerajaan-kerajaan Islam lain seperli Aceh Darusalam,
Palembang, Jambi, Banten, Cirebon, Demak, Surakarta, Sumenep, Banjarmasin, Pontianak,
Gowa, Buton dan Ternate-Tidore. Beberapa dari kerajaan-kerajaan Islam tersebut akhirnya berada
di bawah pemenintah kolonial Belanda dan Inggris.
Masih di sekitar wilayah Sumatra Selatan, yaitu di pulau Bangka, sejak dahulu
menjadi tempat imigran orang-orang Cina. Komunitas Cina ini mendirikan kongsi-kongsi yang
bergerak dalam usaha pertambangan timah. Masing-masing pimpinan perusahaan timah ini
mengedarkan mata uang yang berlaku di lingkungannya. Oleh karena itu pada mata uangnya
dicantumkan nama kongsi (dalam huruf Cina) dan pengusaha timah itu. Uang timah yang disebut
kasha ini beredar pada abad ke-18.
Sementara itu di Jawa berdiri kerajaan-kerajaan Islam seperti di Banten, Cirebon, Yogyakarta,
Surakarta dan Madura. Kerajaan Banten pernah mengedarkan mata uang kasha dari tembaga;
pada salah satu sisi ada tulisan huruf Arab atau Jawa berbunyi pangeran ratu ing banten, gelar
Sultan Maulana Muhammad yang memerintah di Banten pada tahun 1580 1596.
1999 pernah menjadi bagian dari wilayah Republik Indonesia sebagai propinsi Timor Timur
(propinsi ke-27). Sejak tahun 2000, Timor Timur memerdekakan diri di bawah pengawasan
PBB, dan merdeka penuh tahun 2004 dengan nama Republik Demokratik Timor Leste.
Selama Timor Timur menjadi koloni Portugal, pemerintah kolonial pernah memberlakukan
mata uang dengan satuan centavos dan escudos.
Pada masa pemerintahan Inggris di Indonesia, khususnya di Jawa (18111816), beredar berbagai macam mata uang yang dibuat dari emas, perak, tembaga dan
timah. Salah satu yang dikenal adalah Rupee Jawa yang pada kedua sisinya tertera tulisan
huruf Jawa dan Arab.
Jauh sebelum ini, mata uang Kompeni Inggris dengan monogram UEIC (United East India
Company) telah beredar di daerah-daerah di Sumatra, contohnya Bengkulu, sejak tahun
1783 dengan satuan nilai suku dan keping.
Masa pemerintahan Inggris di Jawa tidak berlangsung lama. Pada tahun 1816 pemerintahan diserahkan kembali kepada kerajaan Belanda, dengan demikian Indonesia kembali
menjadi jajahan Belanda yang pada waktu itu disebut Hindia-Belanda (Nederlandsch-Indi).
Pada masa itu pemerintah Hindia-Belanda menghadapi berbagai perlawanan dari
penguasa-penguasa lokal di Indonesia sehingga terjadilah perang, di antaranya adalah
Perang Diponegoro (1825-1830) di Jawa Tengah, Perang Paderi (1821- 1837) di Sumatra
Barat, dan Perang Aceh (1873-1903). Perang tersebut menelan biaya yang sangat besar,
yang mengakibatkan kas keuangan negeri Belanda menjadi kosong.
Namun Jepang juga menerbitkan dan mengeluarkan serta mengedarkan uang yang kertas
yang disebut uang invasi. Emisi pertama berbahasa Belanda, bereddar tahun 1942,
sedangkan emisi kedua adalah dengan tulisan Dai Nippon tak sempat beredar.
Emisi ketiga bertulis Dai nippon Teikoku Seihu diedarkan tahun 1943. Setelah pasukan
sekutu mendarat di Tanjung Priok tanggal 29 September 1945, komandan pasukan
melarang penggunaan uang Jepang dan mengedarkan uang Nica (Netherlands Indies Civil
Administration).
NICA menggunakan Rupiah Jepang untuk membiayai operasi militer mereka dan membayar
gaji pegawai pribumi dan mengedarkan uang tersebut ke seluruh Indonesia guna
mendapatkan simpati masyarakat. NICA juga mengedarkan uang hindia Belanda yang
dikenal dengan uang NICA. Itu semua memperparah kondisi keuangan Indonesia saat itu.
Setelah merdeka dengan berbagai keterbatasan, berdasarkan Maklumat 3 Oktober 1945,
mata uang yang beredar sampai masa pendudukan Jepang masih berlaku. Sebelumnya
tanggal 2 Oktober 1945 pemerintah mengeeluarkan maklumat bahwa mata uang NICA tak
berlaku lagi di RI.
V. Uang ORI
Desakan untuk mempunyai dan mencetak mata uang sendiri akhirnya muncul. Pemerintah
menerbitkan ORI atau Oeang Repoeblik Indonesia yang mulai diedarkan bulan Oktober
tahun 1946. Situasi perang membuat peredaran uang ORI tersendat. ORI tetap diedarkan
secara gerilya dan terbukti mampu meeningkatkan rasa solidaritas serta nasionalisme rakyat
Indonesia.
Selain menerbitkan ORI, pemerintah kala itu juga menerbitkan mata uang ORIDA Mata uang
lokal atau ORI- Daerah yang berlaku sementara di daerah masing-masing sejak 1947.
ORIDA terbit antara lain di Sumatra, Banten, Tapanuli dan Banda Aceh.
Setelah itu berdasarkan hasil Konferensi Meja Bundar bulan Desember 1949 menyepakati
pembentukan RIS. Tanggal 1 Mei 1950 pemerintah RIS menarik ORI dan ORIDA dari
peredaran mengganti dengan mata uang RIS yang berlaku 1 Januari 1950.
Pada tanggal 19 Maret 1950 Menkeu Sjafruddin Prawiranegara mengeluarkan kebijakan
dengan penyehatan keuangan yang dikenal gunting sjafruddin dengan menggunting mata
Kebijaksanaan lama dan datangnya babak baru sejarah moneter Indonesia, karena segera
disusul kebijakan Pemerintah Orde Baru di bawah kepemimpinan Presiden Suharto yang
menerapkan sistem anggaran berimbang dan lalu lintas devisa bebas.
Pada zaman Presiden Soeharto uang pertama yang dikeluarkan adalah uang kertas seri
"Sudirman" dengan pecahan 1, 2, 5, 10, 25, 50, 100, 500, 1.000, 5.000, dan 10.000 rupiah,
yang ditandatangi oleh Gubernur BI Radius Prawiro dan Direktur BI Soeksmono B
Martokoesoemo, beremisi tahun 1968 dan mulai diedarkan pada tanggal 8 Januari 1968.
Pada tanggal 23 Agustus 1971, Pemerintah/kabinet Pembangunan I mendevaluasi rupiah
sebesar 10%, hingga nilai tukar rupiah terhadap dolar AS yang semula 1 dolar sama dengan
378, kini menjadi 415 rupiah.
Setelah itu pada tahun 1975, BI mengeluarkan uang kertas pecahan 1.000 rupiah bergambar
Pangeran Diponegoro, 5.000 rupiah bergambar Nelayan, dan pecahan 10.000 rupiah bergambar
relief Candi Borobudur. Masing-masing ditandatangai oleh Gubernur BI Rachmat Saleh dan
Direktur BI Soeksmono B Martokoesoemo.
Sejalan dengan perkembangan pembangunan Indonesia yang semakin pesat di era tahun 1990,
membuat kita memerlukan pecahan uang yang lebih besar. Akhirnya, Bank Indonesia pada
tahun 1992 menerbitkan seri uang baru beremisi tahun 1992 dan terdiri dari pecahan 100 rupiah
bergambar perahu Phinisi, pecahan 500 rupiah bergambar Orang Utan, 1.000 rupiah bergambar
Danau Toba, pecahan 5.000 rupiah bergambar alat musik Sasando dan tenunan Rote, pecahan
10.000 rupiah bergambar Sri Sultan Hamengku Buwono IX, dan pecahan 20.000 rupiah
bergambar Cendrawasih merah.
Pada tahun 1993 dikeluarkan lagi pecahan 50.000 rupiah yang bergambar Presiden Suharto.
Dikeluarkan juga penerbitan khusus dengan pecahan dan gambar yang sama tetapi terbuat dari
bahan palstik polymer dengan pengaman berupa "holografis" Soeharto, bukan tanda
air/watermark, seperti yang biasa digunakan.
Pada akhirnya di pertengahan tahun 1997, bangsa kita mengalami krisis ekonomi dengan
melonjaknya nilai mata uang dolar terhadap rupiah. Perubahan nilai tersebut teramat drastis dan
menyebabkan kita berada dalam krisis yang berkepanjangan.
Salah satu akibat dari krisis ini adalah kejatuhan rezim Orde Baru ditandai dengan mundurnya
Presiden Suharto dari kursi kepresidenan dan dimulai Orde Reformasi. Pada saat itu pula
pecahan rupiah kita yang terbesar diedarkan, yaitu pecahan 100.000 rupiah beremisi tahun 1999
bergambar Soekarno, Muh. Hatta dan teks proklamasi. Pecahan ini merupakan uang plastik
(Polymer) dan dicetak di Australia dan Thailand.