Anda di halaman 1dari 6

BAB II

PEMBAHAAN

A. KERAJAAN PERLAK
1. KONDISI GEOGRAFIS KERAJAAN PERLAK

Selat Malaka sejak zaman dahulu terkenal sebagai jalur perdagangan utama
Nusantara. Pedagang dari berbagai penjuru dunia berlayar melalui selat tersebut untuk
melakukan perdagangan, dari selat tersebut masuk lah ajaran agama-agama baru ke
Nusantara.

Sebelum berdirinya Kesultanan Malaka, pelayaran selat Malaka tidak melalui pantai
Semenanjung Malaka, melainkan melalui sisi barat Selat Malaka menyisiri pantai-pantai
Sumatera. Kota pelabuhan terpenting pada waktu itu adalah Melayu yang terletak di muara
Sungai Batanghari, Jambi.

Pada bulan Desember-Maret di sebelah utara katulistiwa bertiup lah angin musim
timur laut, yang memungkinkan kapal-kapal dagang India dan negeri Cina berlayar ke
perairan Selat Malaka. Kapal-kapal tersebut bertahan di perairan Selat Malaka hingga bulan
Mei, sebelum mereka berlayar untuk kembali ke negeri masing-masing dengan
memanfaatkan angin musim barat daya.

Hasil bumi Sumatera turut meramaikan perdagangan internasional di Selat Malaka.


Daerah penghasil lada yang utama pada waktu itu adalah Aceh. Menurut para pedagang Arab
dan Cina penanaman lada di Aceh telah dimulai sejak abad ke-9, yakni di daerah-daerah
Perlak, Lamuri, dan Samudra.

Meskipun demikian lada bukan lah tanaman asli Aceh, melainkan tanaman dari
Malagasi (Madagaskar). Para pedagang dari Arab dan Persia membawa lada ke Aceh dan
mencoba menanamnya di daerah tersebut. Dari percobaan tersebut ternyata tanah dan iklim
Aceh sangat cocok untuk membudidayakan tanaman lada.

Dalam waktu singkat Aceh pun tumbuh menjadi daerah penghasil dan pengekspor
terbesar lada pada masa itu. Bandar Perlak dijadikan bandar utama di pantai timur Sumatera
bagian utara. Wilayah tersebut terus tumbuh dan berkembang hingga menjadi kota
perdagangan internasional, yang banyak disinggahi pedagang dari penjuru dunia, termasuk
pedagang muslim.

2. LATAR BELAKANG BERDIRINYA KERAJAAN PERLAK

Nama Perlak diambil dari nama Kayu Perlak. Kayu jenis ini merupakan kayu khas
daerah Perlak. Atas dasar ini lah kemudian daerah penghasil kayu Perlak disebut dengan
Negeri Perlak. Setelah perdagangan semakin ramai di Selat Malaka, maka pedagang-
pedagang pun menyebut Negeri Perlak sebagai Bandar Perlak.
Kitab Negarakertagama menyebut negeri itu dengan nama Parlak. Sementara Marcopolo
yang berkunjung ke negeri itu pada tahun 1292 mencatatnya dengan nama Negeri Ferlec.

Sebelum berdirinya Kesultanan Perlak, di wilayah Perlak telah berdiri sebuah


kerajaan bercorak Hindu-Buddha yang sederhana bernama Kerajaan Perlak. Raja yang
berkuasa di kerajaan ini bergelar Meurah yang berarti maharaja.

Perlak semakin berkembang ketika dipimpin oleh Pangeran Salman, seorang pangeran
yang memiliki darah Kisra Persia. Putri dari Pangeran Slaman kemudian menikah dengan
Muhammad Ja’far Shiddiq, seorang pendakwah dari negeri Arab, yang nantinya akan
menurunkan pendiri Kesultanan Islam pertama di Nusantara.

3. PERKEMBANGAN KERAJAAN PERLAK

Sultan Alaiddin Syed Maulana Abdul Aziz Syah memerintah sebagai sultan pertama
Perlak hingga tahun 864 M. Setelah ia wafat, kesultanan Perlak dipimpin oleh keturunannya
yang bernama Sultan Alaiddin Syed Maulana Abdul Rahim Syah. Ia memerintah selama
periode 864-888 M. Selanjutnya Sultan Abdul Rahim Syah digantikan oleh Sultan Alaiddin
Syed Maulana Abbas Syah, yang berkuasa selama 25 tahun, yakni dari tahun 888 sampai 913
M.

Pascawafatnya sultan ketiga Perlak, tidak ada pelantikan sultan yang baru di
Kesultanan Perlak. Hal ini dipicu kondisi yang tidak kondusif di wilayah Kesultanan Perlak.
Kondisi tersebut muncul akibat perang saudara di kalangan rakyat Perlak, yakni perang
antara pengikut Syiah dengan Ahlus Sunnah wal Jama’ah (Sunni).

Dua tahun berselang, ketika konflik antara aliran sudah mulai mereda, Syed Maulana
Ali Mughayat Syah dilantik sebagai sultan baru Kesultanan Perlak. Ia hanya memerintah
dalam waktu yang relatif singkat, pemerintahannya hanya bertahan tiga tahun. Pada tahun
918, di akhir masa pemerintahan Sultan Ali Mughayat konflik antara Syiah dan Sunni
kembali muncul ke permukaan. Dalam konflik kedua itu kaum Sunni memperoleh
kemenangan, sehingga sultan yang akan berkuasa selanjutnya berasal dari kaum Sunni.

Sultan pertama Kesultanan Perlak yang berasal dari golongan Sunni bernama Sultan
Makhdum Alaiddin Malik Abdul Kadir Syah Johan Berdaulat. Ia memerintah pada tahun
928-932 M. Setelah Sultan pertama itu wafat, ia digantikan oleh Sultan Makhdum Alaiddin
Malik Muhammad Amin Syah Johan Berdaulat. Ia memerintah dalam waktu cukup lama,
yakni mulai tahun 932 sampai 956 M. Sultan selanjutnya adalah Sultan Makhdum Alaiddin
Abdul Malik Syah Johan Berdaulat, yang memerintah antara tahun 956-983 M.

Pada akhir masa pemerintahan Sultan Abdul Malik Syah terjadi konflik ketiga yang
melibatkan golongan Syiah dan Sunni. Konflik itu berlangsung selama empat tahun dan
diakhiri dengan persetujuan damai yang membagi wilayah kesultanan Perlak menjadi dua,
yaitu:

1. Perlak bagian pesisir, yang dikuasai oleh golongan Syiah. Perlak pesisir dipimpin oleh
Sultan Aalaiddin Syed Maulana Syah, yang berkuasa pada tahun 976-988 M.
2. Perlak bagian pedalaman, yang dikuasai oleh golongan Sunni. Kerajaan Perlak
pedalaman dipimpin oleh Sultan Makhdum Alaiddin Malik Ibrahim Syah Johan
Berdaulat, yang memimpin antara tahun 986 hingga 1023 M.

Pada tahun 986 M, Kerajaan Sriwijaya (Kerajaan bercorak Buddha di Nusantara)


menyerang Kesultanan Perlak Pesisir. Peperangan hebat pun pecah yang melibatkan pasukan
kedua kerajaan tersebut. Dalam perang ini, Sultan Perlak Pesisir, yaitu Sultan Alaiddin Syad
Maulana Mahmud Syah gugur dalam peperangan. Pascagugurnya Sultan Perlak Pesisir,
wilayah kesultanan Perlak secara keseluruhan akhirnya dikuasai oleh Sultan Perlak
Pedalaman yang beraliran Sunni. Kehadiran pasukan Sriwijaya di wilayah Perlak, segera
direspon oleh Sultan Malik Ibrahim Syah dengan mengobarkan semangat rakyat Perlak untuk
melawan Sriwijaya.

Pertempuran besar pun terjadi selama bertahun-tahun. Perang antara kedua kerajaan
itu baru berakhir pada tahun 1006 M, ketika Sriwijaya memutuskan mundur dari pertempuran
untuk bersiap menghadapi serangan raja Dharmawangsa dari Kerajaan Medang di Jawa.
Dengan berakhirnya perang antara Kesultanan Perlak dan Kerajaan Sriwijaya, wilayah Perlak
secara keseluruhan dipimpin oleh keturunan Sultan Malik Ibrahim Syah yang berasal dari
golongan Sunni. Pada masa ini kondisi Kesultanan Perlak relatif damai, tanpa adanya
peperangan melawan kerajaan luar.

http://wawasansejarah.com/kesultanan-perlak-840-1292-m/

B. KERAJAAN SAMUDRA PASAI

Samudera Pasai merupakan kerajaan Islam yang terletak di pesisir pantai utara
Sumatera, sekitar Kota Lhokseumawe , Aceh Utara Provinsi Aceh, Indonesia saat ini.
Kerajaan Samudera Pasai didirikan oleh Meurah Silu, yang bergelar Sultan Malik asSaleh,
sekitar tahun 1267.

Keberadaan Kerajaan Samudera Pasai tercantum dalam kitab Rihlah ila lMasyriq
(Pengembaraan ke Timur) karya Abu Abdullah ibn Batuthah (1304–1368), musafir Maroko
yang singgah ke negeri ini pada tahun 1345. Beberapa sejarahwan juga memulai menelusuri
keberadaan kerajaan ini bersumberkan dari Hikayat Raja-raja Pasai, dan ini dikaitkan dengan
beberapa makam raja serta penemuan koin berbahan emas dan perak dengan tertera nama
rajanya

Berdasarkan Hikayat Raja-raja Pasai, menceritakan tentang pendirian Pasai oleh


Meurah Silu, setelah sebelumnya ia menggantikan seorang raja yang bernama Sultan Malik
al-Nasser. Meurah Silu ini sebelumnya berada pada satu kawasan yang disebut dengan
Semerlanga kemudian setelah naik tahta bergelar Sultan Malik as-Saleh, ia wafat pada tahun
696 H atau 1297 M.

Pemerintahan Sultan Malik as-Saleh kemudian dilanjutkan oleh putranya Sultan


Muhammad Malik az-Zahir dari perkawinannya dengan putri Raja Perlak. Pada masa
pemerintahan Sultan Muhammad Malik az-Zahir, koin emas sebagai mata uang telah
diperkenalkan di Pasai, seiring dengan berkembangnya Kerajaan Samudera Pasai menjadi
salah satu kawasan perdagangan sekaligus tempat pengembangan dakwah agama Islam.
Sekitar tahun 1326 Sultan Muhammad Malik az-Zahir meninggal dunia dan digantikan oleh
anaknya Sultan Mahmud Malik az-Zahir dan memerintah sampai tahun 1345. Pada masa
pemerintahannya, ia dikunjungi oleh Ibn Batuthah, kemudian menceritakan bahwa sultan di
negeri Samatrah (Samudera) menyambutnya dengan penuh keramahan, dan penduduknya
menganut Mazhab Syafi'i.

Selanjutnya pada masa pemerintahan Sultan Ahmad Malik az-Zahir putra Sultan
Mahmud Malik az-Zahir, datang serangan dari Majapahit antara tahun 1345 dan 1350, dan
menyebabkan Sultan Pasai terpaksa melarikan diri dari ibukota kerajaan. Kerajaan Samudera
Pasai kembali bangkit dibawah pimpinan Sultan Zain al-Abidin Malik azZahir tahun 1383,
dan memerintah sampai tahun 1405. Dalam kronik Cina ia juga dikenal dengan nama Tsai-
nu-li-a-pi-ting-ki, dan disebutkan ia tewas oleh Raja Nakur. Selanjutnya pemerintahan
Kesultanan Pasai dilanjutkan oleh istrinya Sultanah Nahrasiyah.

Dalam struktur pemerintahan terdapat istilah menteri, syahbandar dan kadi.


Sementara anak-anak sultan baik lelaki maupun perempuan digelari dengan Tun, begitu juga
beberapa petinggi kerajaan. Kesultanan Pasai memiliki beberapa kerajaan bawahan, dan
penguasanya juga bergelar sultan.

Pada masa pemerintahan Sultan Muhammad Malik az-Zahir, Kerajaan Perlak telah
menjadi bagian dari kedaulatan Pasai, kemudian ia juga menempatkan salah seorang anaknya
yaitu Sultan Mansur di Samudera. Namun pada masa Sultan Ahmad Malik az-Zahir, kawasan
Samudera sudah menjadi satu kesatuan dengan nama Samudera Pasai yang tetap berpusat di
Pasai. Pada masa pemerintahan Sultan Zain al-Abidin Malik az-Zahir, Lide (Kerajaan Pedir)
disebutkan menjadi kerajaan bawahan dari Pasai. Sementara itu Pasai juga disebutkan
memiliki hubungan yang buruk dengan Nakur, puncaknya kerajaan ini menyerang Pasai dan
mengakibatkan Sultan Pasai terbunuh.

Pasai merupakan kota dagang, mengandalkan lada sebagai komoditi andalannya,


dalam catatan Ma Huan disebutkan 100 kati lada dijual dengan harga perak 1 tahil. Dalam
perdagangan Kesultanan Pasai mengeluarkan koin emas sebagai alat transaksi pada
masyarakatnya, mata uang ini disebut Deureuham (dirham) yang dibuat 70% emas murni
dengan berat 0.60 gram, diameter 10 mm, mutu 17 karat.

Islam merupakan agama yang dianut oleh masyarakat Pasai, walau pengaruh Hindu
dan Buddha juga turut mewarnai masyarakat ini. Dari catatan Ma Huan dan Tomé Pires,telah
membandingkan dan menyebutkan bahwa sosial budaya masyarakat Pasai mirip dengan
Malaka, seperti bahasa, maupun tradisi pada upacara kelahiran, perkawinan dan kematian.
Kemungkinan kesamaan ini memudahkan penerimaan Islam di Malaka dan hubungan yang
akrab ini dipererat oleh adanya pernikahan antara putri Pasai dengan raja Malaka
sebagaimana diceritakan dalam Sulalatus Salatin.
Menjelang masa-masa akhir pemerintahan Kesultanan Pasai, terjadi beberapa
pertikaian di Pasai yang mengakibatkan perang saudara. Sulalatus Salatin menceritakan
Sultan Pasai meminta bantuan kepada Sultan Melaka untuk meredam pemberontakan
tersebut. Namun Kesultanan Pasai sendiri akhirnya runtuh setelah ditaklukkan oleh Portugal
tahun 1521 yang sebelumnya telah menaklukan Melaka tahun 1511, dan kemudian tahun
1524 wilayah Pasai sudah menjadi bagian dari kedaulatan Kesultanan Aceh.

C. KEHIDUPAN POLITIK SAMUDRA PASAI

Setelah resmi menjadi kerajaan Islam (kerajaan bercorak Islam pertama di Indonesia),
Samudera Pasai berkembang pesat menjadi pusat perdagangan dan pusat studi Islam yang
ramai. Pedagang dari India, Benggala, Gujarat, Arab, Cina serta daerah di sekitarnya banyak
berdatangan di Samudera Pasai.

Samudera Pasai setelah pertahanannya kuat segera meluaskan kekuasaan ke daerah


pedalaman, meliputi Tamiang, Balek Bimba, Samerlangga, Beruana, Simpang, Buloh Telang,
Benua, Samudera, Perlak, Hambu Aer, Rama Candhi, Tukas, Pekan, dan Pasai. Dalam rangka
islamisasi, Sultan Malik al Saleh menikah dengan putri Raja Perlak.

Pada abad ke-16, bangsa Portugis memasuki perairan Selat Malaka dan berhasil
menguasai Samudera Pasai pada 1521 hingga tahun 1541. Selanjutnya wilayah Samudera
Pasai menjadi kekuasaan Kerajaan Aceh yang berpusat di Bandar Aceh Darussalam. Waktu
itu yang menjadi raja di Aceh adalah Sultan Ali Mughayat. Berikut ini adalah urutan para raja
yang memerintah di Samudera Pasai, yakni:

1. Sultan Malik as Saleh (Malikul Saleh).

2. Sultan Malikul Zahir, meninggal tahun 1326.

3. Sultan Muhammad, wafat tahun 1354

. 4. Sultan Ahmad Malikul Zahir atau Al Malik Jamaluddin, meninggal tahun 1383.

5. Sultan Zainal Abidin, meninggal tahun 1405.

6. Sultanah Bahiah (puteri Zainal Abidin), sultan ini meninggal pada tahun 1428.
http://widiyatmiko.staff.gunadarma.ac.id/Downloads/files/51867/Kerajaan+Samudera+Pasai.
pdf

Anda mungkin juga menyukai