Anda di halaman 1dari 24

MAKALAH STUDI KEBANTENAN

KEBUDAYAAN DAN TEMPAT-TEMPAT SEJARAH DI BANTEN

Disususn oleh :

1. Anindita Ayu Pramesti 3332170079


2. Dea Anjoya Waya 3332170021
3. Diah Fathonah 3332170044
4. Yohana Denia G 3332170064
5. Andhika Rizky E 3332170091
6. Rizky Maulana 3332170100
7. Zacky Bafaqih A 3332170058

JURUSAN TEKNIK ELEKTRO


FAKULTAS TEKNIK
UNIVERSITAS SULTAN AGENG TIRTAYASA
2019
KATA PENGANTAR

Puji dan Syukur kami panjatkan ke Hadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena berkat
limpahan Rahmat dan Karunia-nya sehingga kami dapat menyusun makalah ini dengan baik dan
tepat pada waktunya. Dalam makalah ini kami membahas mengenai “Kebudayaan dan Tempat-
Tempat Sejarah di Banten”.

Makalah ini dibuat dengan beberapa bantuan dari berbagai pihak untuk membantu
menyelesaikan tantangan dan hambatan selama mengerjakan makalah ini. Oleh karena itu, kami
mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada semua pihak yang telah membantu
dalam penyusunan makalah ini.

Kami menyadari bahwa masih banyak kekurangan yang mendasar pada makalah ini..
Oleh karena itu kami mengundang pembaca untuk memberikan saran serta kritik yang dapat
membangun kami. Kritik konstruktif dari pembaca sangat kami harapkan untuk penyempurnaan
makalah selanjutnya.

Akhir kata semoga makalah ini dapat memberikan manfaat bagi kita sekalian.

Cilegon, 28 Februari 2019

Penyusun

i
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL

KATA PENGANTAR……………………………………………………………………………i

DAFTAR ISI…………………………………………..…………………………………………ii

BAB I

PENDAHULUAN

1. Latar Belakang…………………………………………………………………………..1

2. Rumusan Masalah……………………………………………………………………….1

3. Manfaat dan Tujuan…………………………………………………………………….1

BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Kebudayaan Banten…………………………………………………………………2

o Kebudayaan Pencak Silat…………...…………………………..………………2

o Kebudayaan Debus………………………..…………………………………….3

o Kebudayaan Rudat Banten…………………..…………………………………4

o Kebudayaan Tari Dzikir Saman Banten………………………………………5

o Kebudayaan Ubrug Banten………..……………………………………………6

o Kebudayaan Tari Cokek Banten…...…………………………..………………7

o Kebudayaan Dog-dog Lor Banten………..…………………………………….9

o Kebudayaan Suku Baduy Banten…..………..………………………………10

o Kebudayaan Rumah Adat Baduy..………………..………………………….12

o Kebudayaan Golok Banten………..…………………………………….…….12

2.2 Tempat Bersejarah Banten……………………………………………………….13

o Masjid Banten Lama………………...………………………....……………..13

ii
o Museum Situs Purbakala..………………..….………………………………...15

o Keraton Surosowan……………………….…..………………………………..16

o Benteng Speelwijk……………………….……………………………………...17

o Keraton Kaibon…………...………..…………………………………………..18

BAB III

PENUTUP

1. Kesimpulan……………………………………………………………..………………19

2. Saran ……………………………………………………………………………………19

DAFTAR PUSTAKA

iii
BAB I
PENDAHULUAN

1. Latar Belakang

Banten merupakan salah satu provinsi muda di Indonesia. Awalnya Banten merupakan
bagian dari wilayah provinsi Jawa Barat. Pada tahun 2000, Banten kemudian resmi berpisah dan
menjadi provinsi mandiri dengan ibu kota Serang. Banyak hal yang menarik dari kebudayaan di
Banten, selain kebudayaannya yang beragam banten memiliki sejarah yang panjang sehingga
banyak peninggalan-peninggalan tempat bersejarah yang wajib kita ketahui sebagai warga
banten, untuk itu kami membuat makalah ini untuk membantu kita memahami dan mengenali
kebudayaan banten.

1. Rumusan masalah

1. Apa saja kebudayaan yang ada di Banten?

2. Dimana saja tempat bersejarah di Banten ?

2. Manfaat dan Tujuan

1. Untuk memberikan informasi data-data kepada masyarakat tentang kebudayaan


yang ada di Banten.

2. Untuk memberikan informasi tentang tempat bersejarah di Banten.


BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Kebudayaan Banten

Di Banten terdapat peninggalan warisan leluhur yang sangat dihormati, antara lain Mesjid
Agung Banten Lama, Makam keramat Panjang, Masjid Raya AL-A’zhom dan beberapa
peninggalan historis lainnya yang bernuansa religi. Latar belakang historis ini membuat
mayoritas penduduk Banten memiliki semangat religius keislaman yang sangat kuat dengan
tingkat toleransi yang tinggi. Sebagian besar masyarakat memang memeluk Islam, tetapi
pemeluk agama lain dapat hidup berdampingan dengan damai. Dalam ukuran tertentu, Banten
bisa menjadi salah satu contoh laboratorium raksasa pluralisme agama di Indonesia.
Kondisi sosial budaya masyarakat Banten diwarnai oleh potensi dan kekhasan budaya
masyarakatnya yang sangat variatif, mulai dari seni bela diri pencak silat, debus, rudat, umbruk,
tari saman, tari topeng, tari cokek, dog-dog, palingtung, dan lojor. Hampir semua seni
tradisionalnya sangat kental diwarnai dengan etika Islam. Ada juga seni tradisional yang datang
dari luar kota Banten, tapi semua itu telah mengalami proses akulturasi budaya sehingga terkesan
sebagai seni tradisional Banten, misalnya seni kuda lumping, tayuban, gambang kromong dan
tari cokek. Bahasa yang digunakan masyarakat Banten khususnya yang berada di wilayah utara
menggunakan bahasa Jawa Serang, sedangkan di wilayah selatan menggunakan Bahasa Sunda.
Namun demikian, masyarakat setempat umumnya lebih sering menggunakan Bahasa Indonesia.

Provinsi Banten juga terkenal dengan masyarakat tradisonalnya yang masih memegang teguh
adat tradisi, baik cara berpakaian maupun pola hidup lainnya. Mereka dikenal dengan suku
Baduy yang tinggal di desa Kanekes, kecamatan Leuwidamar, Kabupaten Lebak. Perkampungan
masyarakat Baduy umumnya terletak di daerah aliran sungai Ciujung di pegunungan Kendeng.

1. Kebudayaan Pencak Silat

Pencak silat merupakan seni beladiri yang berakar dari budaya asli bangsa Indonesia.
Disinyalir dari abad ke 7 Masehi silat sudah menyebar ke pelosok nusantara.
Perkembangan dan penyebaran silat secara historis mulai tercatat ketika penyebarannya
banyak dipengaruhi oleh kaum Ulama, seiring dengan penyebaran agama Islam pada abad
3

ke15 di Nusantara. Kala itu pencak silat telah diajarkan bersama-sama dengan pelajaran
agama di pesantren-pesatren dan juga surau-surau. Budaya sholat dan silat menjadi satu
keterikatan erat dalam penyebaran pencak silat. Silat lalu berkembang dari sekedar ilmu
beladiri dan seni tari rakyat, menjadi bagian
dari pendidikan bela negara untuk
menghadapi penjajah. Disamping itu juga
pencak silat menjadi bagian dari latihan
spiritual.Banten yang namanya sangat
dikenal untuk ilmu silatnya juga
penyebarannya tidak terlepas dari ajaran
agama Islam. Tidak heran banyak nama
dari jurus dan gerakan perguruan silat asli
Banten diambil dari aksara dan bahasa
arab. Pencak silat Banten mulai dikenal
seiring dengan berdirinya kerajaan Islam
Banten yang didirikan pada abad 15 masehi dengan raja pertamanya Sultan Hasanudin.
Perkembangan pencak silat pada saat itu tidak terlepas dari dijadikannya silat sebagai alat
untuk penggemblengan para prajurit kerajaan sebagai bekal ketangkasan bela negara yang
diajarkan oleh para guru silat yang mengusasai berbagai aliran. Silat juga sebagai dasar alat
pertahanan kerajaan dan masyarakat umum Banten dalam memerangi kolonialisme para
penjajah.Pada saat ini pun Banten masih dikenal dan diakui secara luas dengan pendekar
dan jawaranya, sebutan untuk orang-orang yang mahir dalam ilmu silat.

2. Kebudayaan Debus

Debus merupakan kesenian bela diri dari Banten. Kesenian ini diciptakan pada abad ke-
16, pada masa pemerintahan Sultan Maulana Hasanuddin (1532-1570). Debus, suatu
kesenian yang mempertunjukan kemampuan manusia yang luar biasa, kebal senjata tajam,
kebal api, minum air keras, memasukan benda kedalam kelapa utuh, menggoreng telur di
kepala dan lain-lain.

Debus dalam bahasa Arab yang berarti senjata tajam yang terbuat dari besi, mempunyai
ujung yang runcing dan berbentuk sedikit bundar. Dengan alat inilah para pemain debus
4

dilukai, dan biasanya tidak dapat ditembus walaupun debus itu dipukul berkali kali oleh
orang lain. Atraksi atraksi kekebalan badan ini merupakan variasi lain yang ada
dipertunjukan debus. Antara lain,
menusuk perut dengan benda tajam
atau tombak, mengiris tubuh dengan
golok sampai terluka maupun tanpa
luka, makan bara api, memasukkan
jarum yang panjang ke lidah, kulit,
pipi sampai tembus dan tidak terluka.
Mengiris anggota tubuh sampai terluka
dan mengeluarkan darah tetapi dapat
disembuhkan pada seketika itu juga, menyiram tubuh dengan air keras sampai pakaian
yang melekat dibadan hancur, mengunyah beling/serpihan kaca, membakar tubuh. Dan
masih banyak lagi atraksi yang mereka lakukan.

Dibanten sendiri kesenian debus atau keahlian melakukan debus menjadi sesuatu yang
lumrah dan banyak perguruan yang mengajarkannya.

3. Kebudayaan Rudat Banten

Rudat adalah kesenian tradisional khas Banten yang merupakan perpaduan unsur tari,
syair shalawat, dan olah kanuragan yang berpadu dengan tabuhan terbang dan tepuk
tangan. Rudat terdiri dari sejumlah musik perkusi yang dimainkan oleh setidaknya delapan
orang penerbang (pemain musik ) yang mengiringi tujuh hingga dua belas penari.Menurut
beberapa tokoh Rudat, nama Rudat diambil dari nama alat yang dimainkan dalam kesenian
ini. Alat musik tersebut berbentuk bundar yang dimainkan dengan cara dipukul. Seni Rudat
mulai ada dan berkembang pada masa pemerintahan Sinuhun Kesultanan Banten II,
Pangeran Surosowan Panembahan Pakalangan Gede Maulana Yusuf (1570-1580 M).

Tidak banyak yang mengetahui siapa yang menciptakan kesenian ini, karena sekarang
sesepuh yang mengetahui seluk-beluk Rudat sangat sedikit bahkan sebagian sudah
meninggal. Naskah yag berisi sejarah Rudat dan nilai-nilai filosofis tentang rudat pun
hanya dimiliki oleh satu sampai dua orang yang salah satunya merupakan anak dari
mendiang pemilik naskah yang menjadi sesepuh disana.
5

Meskipun tidak banyak yang mengetahui pencipta kesenian ini, warga Sukalila
meyakini bahwa Rudat sebetulnya jurus silat yang dikembangkan menjadi tarian. Langkah-
langkahnya merupakan langkah-langkah silat yang dikembangkan menjadi tarian dan
diiringi musik dan shalawat.Seni tradisional Banten ini menjadi rangkaiaan utama tatkala
Kesultanan Banten mengadakan hajat besar atau dalam acara penyambutan tamu
kehormatan yang berasal dari mancanegara.

Pasang surut Seni Rudat sangat erat kaitannya dengan sejarah Kesultanan Banten. Saat
kedatangan Belanda, Seni Rudat malah terkubur. Pada zaman Sinuhun Kasultanan Banten
IV Pangeran Panembahan Maulana Abdulmufakir Mahmudin Abdul Kadir (1596-1651 M)
seni tradisional khas Banten ini benar-benar dilarang Belanda karena dicurigai sebagai
ajang untuk mengumpulkan masa untuk berlatih bela diri dan menghimpun kekuatan untuk
menentang Belanda.

4. Kebudayaan Tari Dzikir Saman Banten

Dzikir Saman yang ada di Banten berbeda dengan Saman yang ada di Aceh, disini para
pemainnya terdari dari laki-laki dengan membentuk lingkaran. Sambil berputar, sambil
menyebutkan shalawat Nabi Muhammad SAW. Seni Dzikir Saman ini tidak diiringi
dengan perangkat alat musik, hanya nyanyian dengan menyebut asma Allah, alok dan
gerakan tubuh yang berputar-putar. Seni ini sudah ada sejak dahulu, biasanya dalam acara
tertentu seperti Khol Syeh Abdul Khodir Jailani, Rasullan, dan acara keagamaan lainya.
6

5. Kebudayaan Ubrug Banten

Istilah ubrug diambil dari bahasa Sunda


yaitu saubrug-ubrug yang artinya bercampur
baur. Dalam pelaksanannya, kesenian ubrug ini
kegiatannya memang bercampur yaitu antara
pemain/pelaku dengan nayaga yang berada
dalam satu tempat atau arena. Namun ada
pendapat bahwa ubrug diambil dari kata
sagebrug yang artinya apa yang ada atau
seadanya dicampurkan, maksudnya yaitu antara
nayaga dan pemain lainnya bercampur dalam
satu lokasi atau tempat pertunjukan.

Waditra yang digunakan dalam ubrug yaitu


kendang besar, kendang kecil, goong kecil, goong angkeb (dulu disebut katung angkub atau
betutut), bonang, rebab, kecrek dan ketuk. Alat-alat ini dibawa oleh satu orang yang disebut
tukang kanco karena alat pemikulnya bernama kanco yaitu tempat menggantungkan alat-
alat tersebut.
7

Busana yang dipakai yaitu: juru nandung mengenakan pakain tari lengkap dengan kipas
untuk digunakan pada waktu nandung. Pelawak atau bodor pakaiannya disesuaikan dengan
fungsinya sebagai pelawak yang harus membuat geli penonton. Bagi nayaga tidak ada
ketentuan, hanya harus memakai pakaian yang rapi dan sopan dan pakaian pemain
disesuaikan dengan peran yang dibawakannya.

Urutan pertunjukan ubrug yakni sebagai berikut : (1) Tatalu — gamelan ditabuh
sedemikian rupa sehingga kedengaran semarak selama 10-15 menit yang dimulai pada
pukul 21.00 WIB. (2) Lalaguan – Ini kemudian disambung tatalu singkat sekitar 2 menit
dilanjutkan dengan Nandung. (3) Lawakan — lakon atau cerita yang akan disuguhkan. (4)
Soder — yaitu beberapa ronggeng keluar dengan menampilkan goyang pinggulnya. Para
pemain memakaikan kain, baju, topi atau yang lainnya ke tubuh ronggeng. Sambil dipakai,
para ronggeng terus menari beberapa saat dan kemudian barang-barang tadi dikembalikan
kepada pemiliknya dan si pemilik menerima dengan bayaran seadanya. Soder berlangsung
+ 20-30 menit, untuk penerangan digunakan lampu blancong, yaitu lampu minyak tanah
yang bersumbu dua buah dan cukup besar yang diletakkan di tengah arena. Lampu
blancong ini sama dengan oncor dalam ketuk tilu, sama dengan lampu gembrong atau
lampu petromak.

Ubrug dipentaskan di halaman yang cukup luas dengan tenda seadanya cukup dengan
daun kelapa atau rumbia. Pada saat menyaksikan ubrug, penonton mengelilingi arena.
Sekitar tahun 1955, ubrug mulai memakai panggung atau ruangan, baik yang tertutup
ataupun terbuka di mana para penonton dapat menyaksikannya dari segala arah.

6. Kebudayaan Tari Cokek Banten

Cokek adalah sebuah tarian tradisional dari daerah Tangerang yang dimainkan kali
pertama sekitar abad ke-19. Ketika itu, tarian ini diperkenalkan oleh Tan Sio Kek, seorang
tuan tanah Tionghoa di Tangerang yang sedang merayakan pesta. Dalam perayaan pesta
itu, Tan Sio Kek mengundang beberapa orang ternama yang tinggal di Tangerang. Tan Sio
Kek mengundang juga tiga orang musisi yang berasal dari daratan Cina. Ketika itu, para
musisi Cina hadir sambil membawa beberapa buah alat musik dari negara asalnya. Salah
satu alat musik yang mereka bawa yakni Rebab Dua Dawai. Atas permintaan Tan Sio Kek,
musisi itu kemudian memainkan alat musik yang mereka bawa dari daratan Cina. Pada saat
8

yang bersamaan, grup musik milik Tan Sio Kek juga memainkan beberapa alat musik
tradisional dari daerah Tangerang, seperti seruling, gong serta kendang.

Lantunan nada dari perpaduan


alat musik daratan Cina dan Tangerang
itu kemudian dikenal dengan nama
musik Gambang Kromong. Untuk
meramaikan suasana pesta, Tan Sio
Kek menghadirkan tiga orang wanita.
Sesuai permintaan Tan Sio Kek,
mereka menari mengikuti alunan musik
yang dimainkan para musisi. Para tamu yang menghadiri pesta menyebut ketiga penari itu
Cokek. Konon, Cokek merupakan sebutan bagi anak buah Tan Sio Kek. Sejak saat itulah,
masyarakat Tangerang di provinsi Banten mulai mengenal nama tari Cokek. Jika awalnya,
tari Cokek hanya dimainkan oleh tiga orang penari wanita. Kini, pertunjukan Cokek
seringkali dimainkan oleh 5 hingga 7 orang penari wanita dan beberapa orang lelaki
sebagai pemain musik. Setiap kali pertunjukan, penampilan penari Cokek disesuaikan
dengan ciri khas wanita Banten yakni mengenakan kebaya dan kain panjang sebagai
bawahan. Biasanya, warna kebaya yang dikenakan para penari Cokek relatif berkilau ketika
terkena sinar lampu, seperti hijau, merah, kuning, serta ungu. Yang tak pernah ketinggalan
dari penari Cokek yakni sehelai selendang. Di daerah Tangerang, tari Cokek biasanya
dimainkan sebagai pertunjukan hiburan saat warga Cina Benteng menyelenggarakan pesta
pernikahan. Warga Cina Benteng merupakan warga Tionghoa keturunan yang tinggal di
daerah Tangerang. Seringkali, tarian ini juga dimainkan sebagai tari penyambutan bagi
tamu kehormatan yang berkunjung ke Tangerang. Lantunan musik Gambang Kromong dan
gerakan penari yang terlihat gemah gemulai menjadi ciri khas dari pertunjukan tari Cokek.
Di tengah pertunjukan, penari Cokek biasanya turun ke barisan penonton untuk memilih
siapa yang akan diajak untuk menari bersama. Setiap kali tari Cokek dimainkan, tidak
semua penari dapat menari bersama penari Cokek. Jika pertunjukan Cokek diselenggarakan
untuk acara pernikahan, penari Cokek biasanya mengajak pengantin lelaki atau beberapa
orang tamu undangan untuk menari bersama. Ketika diselenggarakan untuk menyambut
9

tamu kehormatan, pejabat setempat dan tamu kehormatan itulah yang mendapat
kesempatan pertama menari bersama penari Cokek.

Tanda ajakan dari penari yakni sehelai selendang yang dikalungkan ke leher para
tamu. Masyarakat Tangerang beranggapan, jika sehelai selendang dari penari Cokek telah
dikalungkan, pantang bagi tamu itu ataupun siapa saja untuk menolak. Penolakan itu
diyakini dapat mencemarkan nama baik mereka sendiri. Biasanya, para tamu itulah yang
nantinya menari bersama para penari Cokek hingga pertunjukan tari Cokek

7. Kebudayaan Dog-dog Lojor Banten

Kesenian dogdog lojor terdapat di masyarakat Kasepuhan Pancer Pangawinan atau


kesatuan adat Banten Kidul yang tersebar di sekitar Gunung Halimun (berbatasan dengan
Sukabumi, Bogor, dan Lebak). Meski kesenian ini dinamakan dogdog lojor, yaitu nama
salah satu instrumen di dalamnya, tetapi di sana juga digunakan angklung karena kaitannya
dengan acara ritual padi. Setahun sekali,
setelah panen seluruh masyarakat
mengadakan acara Serah Taun atau Seren
Taun di pusat kampung adat. Pusat
kampung adat sebagai tempat kediaman
kokolot (sesepuh) tempatnya selalu
berpindah-pindah sesuai petunjuk gaib.

Tradisi penghormatan padi pada


masyarakat ini masih dilaksanakan karena
mereka termasuk masyarakat yang masih memegang teguh adat lama. Secara tradisi
mereka mengaku sebagai keturunan para pejabat dan prajurit keraton Pajajaran dalam
baresan Pangawinan (prajurit bertombak). Masyarakat Kasepuhan ini telah menganut
agama Islam dan agak terbuka akan pengaruh modernisasi, serta hal-hal hiburan
kesenangan duniawi bisa dinikmatinya.

Sikap ini berpengaruh pula dalam dalam hal fungsi kesenian yang sejak sekitar tahun
1970-an, dogdog lojor telah mengalami perkembangan, yaitu digunakan untuk
10

memeriahkan khitanan anak, perkawinan, dan acara kemeriahan lainnya. Instrumen yang
digunakan dalam kesenian dogdog lojor adalah 2 buah dogdog lojor dan 4 buah angklung
besar. Keempat buah angklung ini mempunyai nama, yang terbesar dinamakan gonggong,
kemudian panembal, kingking, dan inclok. Tiap instrumen dimainkan oleh seorang,
sehingga semuanya berjumlah enam orang.

8. Kebudayaan Suku Baduy

Orang Kanekes atau orang Baduy adalah suatu kelompok masyarakat adat Sunda

di wilayah Kabupaten Lebak, Banten. Sebutan "Baduy" merupakan sebutan yang


diberikan oleh penduduk luar kepada kelompok masyarakat tersebut, berawal dari
sebutan para peneliti Belanda yang agaknya mempersamakan mereka dengan kelompok
Arab Badawi yang merupakan masyarakat yang berpindah-pindah (nomaden).
Kemungkinan lain adalah karena adanya Sungai Baduy dan Gunung Baduy yang ada di
bagian utara dari wilayah tersebut. Mereka sendiri lebih suka menyebut diri sebagai
urang Kanekes atau "orang Kanekes" sesuai dengan nama wilayah mereka, atau sebutan
yang mengacu kepada nama kampung mereka seperti Urang Cibeo. Wilayah kanekes
bermukim tepat di kaki pegunungan Kendeng di desa Kanekes, Kecamatan Leuwidamar,
Kabupaten Lebak-Rangkasbitung, Banten, berjarak sekitar 40 km dari kota
Rangkasbitung. Tidak heran bahasa yang mereka gunakan adalah bahasa sunda dialek
Sunda-Banten. Namun mereka juga lancar menggunakan Bahasa Indonesia ketika
berdialog dengan penduduk luar. Suku Baduy sendiri terbagi menjadi tiga kelompok
yaitu tangtu, panamping, dan dangka (Permana, 2001). Kelompok tangtu adalah
kelompok yang dikenal sebagai Baduy Dalam. Yaitu kelompok Baduy yang paling ketat
11

mengikuti adat mereka. Terdapat tiga kampung pada kelompok Baduy dalam yaitu:
Cibeo, Cikartawana, dan Cikeusik. Ciri khas orang Baduy Dalam adalah mereka
mengenakan pakaian yang berwarna putih alami dan biru tua serta mengenakan ikat
kepala putih. Kelompok yang kedua adalah Baduy Luar atau dikenal sebagai kelompok
masyarakat panamping. Yang berciri mengenakan pakaian dan ikat kepala berwarna
hitam. Dan tersebar mengelilingi wilayah Baduy Dalam seperti Cikadu, Kaduketuk,
Kadukolot, Gajeboh, Cisagu, dan lain sebagainya. Lain halnya kelompok ketiga disebut
dengan Baduy Dangka, mereka tinggal di luar wilayah Kanekes tidak seperti Baduy
Dalam dan Luar. dan saat ini hanya 2 kampung yang tersisa yaitu Padawaras
(Cibengkung) dan Sirahdayeuh (Cihandam). Kepercayaan Suku Baduy atau masyarakat
kanekes sendiri sering disebut dengan Sunda Wiwitan yang berdasarkan pada pemujaan
nenek moyang (animisme), namun semakin berkembang dan dipengaruhi oleh agama
lainnya seperti agama Islam, Budha dan Hindu. Namun inti dari kepercayaan itu sendiri
ditunjukkan dengan ketentuan adat yang mutlak dengan adanya “pikukuh” ( kepatuhan)
dengan konsep tidak ada perubahan sesedikit mungkin atau tanpa perubahan apapun.

Objek kepercayaan terpenting bagi masyarakat Kanekes adalah Arca Domas,


yang lokasinya dirahasiakan dan dianggap paling sakral. masyarakatnya mengunjungi
lokasi tersebut dan melakukan pemujaan setahun sekali pada bulan kalima. Hanya ketua
adat tertinggi puun dan rombongannya yang terpilih saja yang dapat mengikuti
rombongan tersebut. Di daerah arca tersebut terdapat batu lumping yang dipercaya apa
bila saat pemujaan batu tersebut terlihat penuh maka pertanda hujan akan banyak turun
dan panen akan berhasil, dan begitu juga sebaliknya, jika kering atau berair keruh
pertanda akan terjadi kegagalan pada panen. Mata pencaharian masyarakat Baduy adalah
bertani dan menjual buah-buahan yang mereka dapatkan dari hutan. Selain itu Sebagai
tanda kepatuhan/pengakuan kepada penguasa, masyarakat Kanekes secara rutin
melaksanakan seba yang masih rutin diadakan setahun sekali dengan mengantarkan hasil
bumi kepada penguasa setempat yaitu Gubernur Banten. Dari hal tersebut terciptanya
interaksi yang erat antara masyarakat Baduy dan penduduk luar. Ketika pekerjaan mereka
diladang tidak mencukupi, orang Baduy biasanya berkelana ke kota besar sekitar wilayah
mereka dengan berjalan kaki, umumnya mereka berangkat dengan jumlah yang kecil
antara 3 sampai 5 orang untuk mejual madu dan kerajinan tangan mereka untuk
12

mencukupi kebutuhan hidupnya. Perdagangan yang semula hanya dilakukan dengan


barter kini sudah menggunakan mata uang rupiah. Orang baduy menjual hasil
pertaniannya dan buah-buahan melalui para tengkulak. Mereka juga membeli kebutuhan
hidup yang tidak diproduksi sendiri di pasar. Pasar bagi orang Kanekes terletak di luar
wilayah Kanekes seperti pasar Kroya, Cibengkung, dan Ciboleger

9. Kebudayaan Rumah Adat Baduy

Rumah adatnya adalah rumah


panggung yang beratapkan daun atap
dan lantainya dibuat dari pelupuh yaitu
bambu yang dibelah-belah. Sedangkan
dindingnya terbuat dari bilik (gedek).
Untuk penyangga rumah panggung
adalah batu yang sudah dibuat
sedemikian rupa berbentuk balok yang
ujungnya makin mengecil seperti batu yang digunakan untuk alas menumbuk beras.
Rumah adat ini masih banyak ditemukan di daerah yang dihuni oleh orangKanekes atau
disebut juga orang Baduy.

10. Kebudayaan Golok Banten

Golok adalah pisau besar dan berat


yang digunakan sebagai alat berkebun
sekaligus senjata yang jamak ditemui di
Asia Tenggara. Hingga saat ini kita juga bisa
melihat golok digunakan sebagai senjata
dalam silat.

Ukuran, berat, dan bentuknya bervariasi


tergantung dari pandai besi yang
membuatnya. Golok memiliki bentuk yang hampir serupa dengan machete tetapi golok
13

cenderung lebih pendek dan lebih berat, dan sering digunakan untuk memotong semak dan
dahan pohon. Golok biasanya dibuat dari besi baja karbon yang lebih lunak daripada pisau
besar lainnya di dunia. Ini membuatnya mudah untuk diasah tetapi membutuhkan
pengasahan yang lebih sering.

2.2 Tempat Bersejarah di Banten


Banten tak hanya punya wisata pantai. Provinsi paling barat di Pulau Jawa ini juga punya
Kota Tua. Berbagai bangunan bersejarah masih berdiri megah. Sebagai provinsi paling barat di
Pulau Jawa, Banten dulu adalah tempat bersandarnya kapal-kapal dari berbagai negara.berikut
adalah tempat-tempat bersejarah yang terlentak di Banten.

1. Masjid Agung Banten Lama


Masjid Agung Banten
Lama terletak di kelurahan
Banten, kecamatan
Kasemen, Kota Serang,
Masjid Agung Banten Lama
didirikan pada masa
kepemimpinan Sultan
Maulana Hasanuddin (1552-
1570) pada tahun 1556.
Maulana Hasanuddin
merupakan raja pertama
yang memerintah Banten dengan corak pemerintahan Islam dan digelari sebagai
Panembahan Surosowan.
Sewaktu menjadi raja pertama kerajaan Banten pada 1552, Maulana Hasanuddin
kemudian membangun Masjid Agung. Kekuasannya yang bercorak Islam terbentang dari
Banten, Jayakarta, Karawang, Lampung, Indrapura sampai ke Solebar waktu itu. Maulana
Hasanuddin wafat pada tahun 1570 dan digantikan Maulana Yusuf.
Di komplek masjid, ada menara dengan ketinggian 24 meter dengan lingkaran 20
meter. Arsitek pembangunan masjid ini adalah Lucas Cardeel pada masa pemerintahan
Sultan Haji (1672-1687). Di masa sultan Haji ini juga dibangun Tiamah atau bangunan segi
14

empat yang berarsitektur Belanda di bagian selatan. Di bangunan Tiamah ini katanya sering
digunakan sebagai tempat musyawarah.
Sebagaimana bangunan masjid kuno, ada kulah atau kolam yang biasa digunakan
sebagai tempat berwudu di depan masjid. Berdasarkan catatan yang menempel di dinding,
renovasi terhadap masjid ini pernah dilakukan beberapa kali yaitu pada tahun 1969 oleh
Bhakti Siliwangi Korem 64 Maulana Yusuf, pemugaran juga dilakukan pada tahun 1975 atas
bantuan Pertamina yang waktu itu dipimpin Ibnu Sutowo, dan rehabilitasi atas bantuan
masyarakat pada tahun 1991.
Di komplek masjid ini juga ada makam Sultan Maulana Hasanuddin, Sultan Maulana
Muhamnad Nasaruddin, Pangeran Ratu (istri Maulana Hasanuddin), Sultan Abdul Abdul
Fadhal dan Sultan Abu Nasir Abdul Kohar atau yang dikenal sebagai Sultan Haji, dan Sultan
Abul Mufakhir Muhammad Aliyudin, dan Sultan Ageng Tirtayasa.
2. Museum Situs Kepurbakalaan Banten Lama
Museum Situs
Kepurbakalaan Banten Lama
mempunyai luas tanah
kurang lebih 10.000 m2 dan
bangunan kurang lebih 778
m2. Dibangun dengan gaya
arsitektur tradisional Jawa
Barat seperti yang terlihat
pada bentuk atapnya.
Pertama, tempat
menyimpan benda cagar budaya bergerak (moveable artifact) hasil penelitian yang berasal
dari situs Banten lama dan sekitarnya. Kedua, sebagai media atau sarana yang bersifat
rekreatif ilmu pengetahuan dan sebagai sumber inspirasi.
Dilihat dari jenisnya, koleksi benda-benda sejarah didalam Museum Situs Kepurbakalaan
Banten Lama bisa diklasifikasikan ke dalam lima kelompok.
Pertama, arke-ologika atau benda-benda yang mengandung nilai arkeologi, seperti arca
Nandi, in.dimin, gerabah, atap, lesung batu dan lain sebagainya.
15

Kedua, numismatika, berupa koleksi mata uang, baik mata uang asing maupun mata
uang yang dicetak oleh masyarakat Banten.-Mata uang yang pernah dipakai sebagai alat
tukar yang sah dalam transaksi jual beli ketika itu adalah caxa/cash, mata uang VOC, mata
uang Inggris, tael dan mata uang Banten sendiri. Bahkan, di salah satu ruangan, masih
tersimpan mesin pencetak uang Oridab (Oeang Republik Indonesia Daerah Banten), yang
digunakan selama masa pergerakan kemerdekaan.
Ketiga, etnografika, berupa koleksi miniatur rumah adat suku Baduy, berbagai macam
senjata tradisional, dan peninggalan kolonial seperti tombak, keris, golok, peluru meriam,
pedang, pistol, dan meriam. Ada juga koleksi pakaian adat dari masa kesultanan Banten,
kotak peti perhiasan dan alat-alat pertunjukkan kesenian debus.
Keempat, keramologika, berupa temuan-temuan keramik, baik itu keramik lokal
maupun keramik asing. Keramik asing berasal dari Birma, Vietnam, Cina, Jepang, Timur
Tengah, dan Eropa. Masing-masing keramik memiliki ciri-ciri khas sendiri. Keramik lokal
lebih dikenal sebagai gerabah yang diproduksi dan berkembang di Banten. Gerabah tersebut
biasa digunakan sebagai alat rumah tangga, bahan bangunan, serta wadah pelebur logam
yang biasa disebut dengan istilah qowi.
Kelima, seni rupa, berupa hasil reproduksi lukisan atau sketsa yang menggambarkan
aktivitas masyarakat di Banten masa itu. Di antaranya yang terkenal adalah lukisan peta yang
menggambarkan posisi Kesultanan Banten pada abad ke-17. Terdapat pula reproduksi
lukisan duta besar Kerajaan Banten untuk Kerajaan Inggris, yakni Kyai Ngabehi Naya
Wirapraya dan Kyai Ngabehi Jaya Sedana yang berkunjung ke Inggris pada tahun 1682.
Reproduksi kartografi Banten in European Perspective, lukisan-lukisan yang
menggambarkan suasana di Tasikardi dan diorama latihan perang prajurit Banten.
3. Keraton Surosowan
Keraton Surosowan merupakan sebuah
keraton kesultanan Banten. Sekitar tahun 1522-
1526 M pada masa pemerintahan Sultan
pertama Banten, yaitu Sultan Maulana
Hasanudin dan banyak yang menjelaskan
pemabangunannya melibatkan ahli bangunan
asal Belana, yaitu Hendrik Lucasz Cardeel,
16

seorang aresitek asal Belanda yang memeluk islam yang diberi gelar Pangeran Wirguna.
Keraton Surosowan memiliki dinding pembatas setinggi 2 meter yang mengelilingi area
keraton yang luasnya kurang lebih sekitar 3 hektar. Bangunan Keraton Surosowan ini
memiliki kesamaan dengan benten Belanda yang kokoh denga bastion (sudut benteng yang
berbentuk intan) di empat titik sudut bangunannya. Didalam dinding Keraton Surosowan
hanya menyisakan reruntuhan dinding dan pondasi kamar-kamar yang berbentuk persegi
empat yang jumlahnya puluhan.
Berdiri dan dibangun dengan kata “Gawe Kuta Baluwarti Bata Kalawan Kawis” yang
arti bebasnya adalah “Membangun kota dan perbentengan dari bata dan karang”. Takluknya
Prabu Pucuk Umun di Wahanten Girang (sekarang di kenal dengan daerah Banten Girang di
Kecamatan Cipocok Jaya Kota Serang – Wahanten Girang merupakan bagian wilayah dari
Kerajaan Padjadjaran yang berpusat di Pakuan – sekarang di kenal dengan wilayah Pakuan
Bogor) pada tahun 1525 selanjutnya menjadi tonggak dimulainya era Banten sebagai
Kesultanan Banten dengan dipindahkannya Pusat Pemerintahan Banten dari daerah
Pedalaman ke daerah Pesisir pada tanggal 1 Muharam 933 Hijriah yang bertepatan dengan
tanggal 8 Oktober 1526.
Keraton Surosowan memiliki tiga buah gerbang masuk, yang masing-masing terletak di
sisi timur, utara dan selatan. Akan tetapi, pintu yang ada disebelah selatan telah ditutup
dengan tembok yang belum diketahui apa sebabnya. Pada pertengahan Keraton Surosowan
terdapat sebuah kolam yang berisi air berwarna hijau, yang sudah dipenuhi ganggang dan
lumut. Didalam keraton ini juga terdapat banyak ruangan yang berhubungan dengan air atau
ritual mandi (petiratan). Slah satu bangunan yang terkenal adalah bekas kolah taman, yang
bernama Bale Kambang Rara Denok dan ada juga panvuran untuk mandi biasa yang
dinamakan “pancuran mas”. Kolam Rara Denok berbentuk persegi empat dengan lebar 13
meter, dengan panjang 30 meter serta kedalaman kolam 4,5 meter. Ada dua sumber air di
Surosowan yaitu sumur dan Danau Tasik kardi yang terletak sekitar dua kilometer dari
Surosowan.
Atas pemahaman geo-politik yang mendalam Sunan Gunung Jati menentukan posisi
Keraton, Benteng, Pasar, dan Alun-Alun yang harus dibangun di dekat kuala Sungai Banten
yang kemudian diberi nama Keraton Surosowan. Hanya dalam waktu 26 tahun, Banten
17

menjadi semakin besar dan maju, dan pada tahun 1552 Masehi, Banten yang tadinya hanya
sebuah kadipaten diubah menjadi negara bagian Kesultanan Demak dengan dinobatkannya
Hasanuddin sebagai Sultan di Kesultanan Banten dengan gelar Maulanan Hasanuddin
Panembahan Surosowan
4. Benteng Speelwijk

Benteng Speelwijk terletak di


kampung Pamarican sekitar 600 meter ke
arah Barat Laut Keraton Surosowan,
Situs Banten Lama. Benteng ini
berdenah persegi panjang tidak simetris
dan setiap sudutnya terdapat bastion.
Benteng Speelwijk didirikan pada tahun 1682, mengalami perluasan pada tahun 1685 dan
1731. Benteng ini dirancang oleh Hendrick Lucaszoon Cardeel, adapun namanya diambil
dari nama gubernur VOC, Cornelis Jansz Speelman. Benteng ini seakan menjadi simbol
kekuasaan kolonial Belanda yang dibangun pada masa kepemimpinan Sultan Abu Nasr
Abdul Kahhar, yang juga dikenal sebagai Sultan Haji. Sultan Haji adalah putra dari Sultan
Ageng Tirtayasa yang mudah dibujuk Belanda, sangat berbeda dengan sang ayah yang sangat
tegas dalam urusan politik.
Keadaan bangunan saat ini tidak utuh lagi, tapi beberapa sudut benteng ini meninggalkan
bentuk bangunan yang masih bisa dinikmati dan diketahui fungsinya. Benteng ini diduga
mempunyai dua fungsi, yakni sebagai pertahanan dan pemukiman. Benteng tersebut juga
menjadi tempat mengontrol segala kegiatan yang berkaitan dengan Kesultanan Banten dan
juga sebagai tempat berlindung/bermukim bagi orang Belanda. Benteng ini semakin
mengokohkan posisi Belanda dalam usahanya memonopoli perdagangan merica yang berasal
dari Lampung Selatan, untuk kemudian dijual lagi kepada pedagang-pedagang asing yang
berasal dari Cina, Malaysia, Arab, India dan Vietnam.
Benteng Speelwijk dilengkapi dengan empat bastion, jendela meriam, ruang jaga,
basement untuk gudang/logistik dan tambatan perahu. Benteng ini dilengkapi parit keliling
yang berfungsi sebagai pertahanan luar benteng dengan ketebalan antara 1,5 sampai 2 meter.
Di benteng ini terdapat bastion dan sebuah menara pengintai. Di bawah bastion terdapat
18

ruangan tempat mesiu disimpan. Pembagian ruangan utama di dalam benteng adalah kamar
penyimpanan senjata, rumah komandan, kantor administrasi dan gereja yang semuanya
tinggal reruntuhan dan pondasinya saja. Di areal benteng, tepatnya di sisi luar sebelah selatan
terdapat pemakaman orang asing yang disebut kerkhoff. Bentuk bangunan makam terlihat
tidak seragam. Salah satu bangunan makam yang paling besar adalah makam Komandan
Hugo Pieter Faure (1718 – 1763), sang panglima perang.

5. Keraton Kaibon

Keraton Kaibon merupakan salah satu bangunan utama pada masa Kesultanan Banten
(1526-1684), terpisah dari kompleks Keraton Surosowan sebagai pusat pemerintahan. Hal ini
merupakan tradisi masyarakat Jawa dimana Keraton Kaibon merupakan tempat tinggal para
istri (Ratu) dan Putri-putri Kesultanan. Dengan kata lain yang lebih populer bahwa Keraton
Kaibon adalah Keputrennya Kesultanan Banten. Terletak kurang lebih 2 km dari Pusat
Pemerintahan Keraton Surosowan yang dikelilingi persawahan dan jalur transportasi sungai
(atau lebih tepatnya kanal khusus yang dibuat pada waktu itu).

Keraton Kaibon menghadap ke Barat (ke Keraton Surosowan/Masjid Agung Banten)


yang didepannya terdapat kanal sebagai sarana transportasi menuju dan ke Keraton
Surosowan. Kini, reruntuhan Keraton menjadi pusat bermain bagi anak-anak masyarakat
lingkungan sekitar, seperti bermain bola atau sekedar tempat nongkrong. Sehingga tempat
bersejarah ini dikawatirkan akan mengalami kerusakan yang lebih cepat bila tidak diisolasi
layaknya peninggalan sejarah.

Berikut beberapa gambar yang diabadikan di awal Januari 2011.

.
BAB III
PENUTUP

1. Kesimpulan

Pengaruh besar yang diberikan oleh Islam melalui Kesultanan dan para ulama serta para
mubaligh Islam di Banten seperti yang telah disaksikan sekarang ini, menunjukkan betapa besar
arti Islam dan peranan penyebar-penyebarnya baik melalui jalur politik, pendidikan, kebudayaan
dan ekonomi dimasa lampau. Peninggalan sejarah yang amat berharga ini nampaknya akan
selalu menarik untuk di teliti dan di kaji terutama di kalangan ahli sejarah dan ilmuwan lainnya.
Di samping karena sejarah pertumbuhan dan perkembangan kesultanan Banten, belum banyak
diteliti secara tuntas, sehingga masih banyak hal-hal penting yang perlu di kaji dan di pelajari
secara mendalam dam menyeluruh.Banten sebagai komunitas kutural memang mempunyai
kebudayaannya sendiri yang ditampilkan lewat unsur-unsur kebudayaan. Dilihat dari unsur-unsur
kebudayaan itu, masing-masing unsur berbeda pada tingkat perkembangan dan perubahannya.
Karena itu terhadap unsur-unsur yang niscaya harus berkembang dan bertahan, harus didorong
pula bagi pendukungnya untuk terus menerus belajar (kulturisasi) dalam pemahaman dan
penularan kebudayaan.

2. Saran

Kalau boleh dikatakan, menangkap deskripsi budaya Banten adalah upaya yang harus serius,
kalau tidak ingin menjadi punah. Kepunahan suatu kebudayaan sama artinya dengan lenyapnya
identitas. Hidup tanpa identitas berarti berpindah pada identitas lain dengan menyengsarakan
identitas semula.
DAFTAR PUSTAKA

[1] Bermana, Nana, 1997, Kerajaan Islam, (Bandung: Irene). Djajadiningrat, 1983, Cristische
Beschowing van de Sadjarah Banten, trj, (Jakarta: Jambatan).

[2] Hamka, 1967, Sejarah Umat Islam, (Jakarta: Bulan Bintang). Michrob, Halwani, 1981,
Pemugaran dan penelitain Arkeologi Sebagai Sumber Bagan data Bagi Perkembangan
Sejar Kerajaan Islam Banten, (Jakarta: IPPM).

[3] Melalatoa, Junus. 1995. Ensiklopedi Sukubangsa di Indonesia. Jilid A—K. Jakarta.
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. www.kpsnusantara.com

[4] Nurhadi, 1969, Catatan Tentang Benteng Surosowann Banten, (Jakarta: DPS4P).

[5] Wiryosoeparto, Soetjipto, 1961, Sejarah Nasional Indonesia jilid !!, (Jakarta: P & K).

Anda mungkin juga menyukai