BATAK PARDEMBANAN
Kabupaten Asahan
A. Wilayah
B. Marga
Asahan dan Labuhan Batu daerah sebenarnya adalah tanah orang Batak. Ada tiga
Kingdoms Batak di Asahan, sebelum pengambilalihan Sultan Aceh daerah dan
dibangun Asahan Raya, yang Simargolang Raya berpusat di Pulau Raja,
Nahombang Raya berpusat di Bandar Pulau dan Buntu Pane Raya berpusat di
Buntu Pane. Setelah Sultan Aceh (Syah Johan) mengejutkan mengunjungi daerah
untuk menangkap Puteri Hijau, ia menikah dengan seorang putri Batak
Kotapinang Raja dan menunjuk putranya (Sultan Abdul Jalil) untuk menjadi raja
pertama dari Asahan Sulatnete. Asahan Sultanete ini dikonversi secara paksa tiga
Batak Raya untuk menjadi Melayu dan Islam. Raja-raja dan kebanyakan orang
Asahan kemudian mempraktekkan budaya Melayu dan meninggalkan budaya
Batak Pardembanan.
Daerah Asahan dan Daerah Labuhan Batu sebenarnya adalah sebagai daerah
hilang bagi suku bangsa Batak Toba Tua serupa dengan daerah-daerah Langkat.
Deli dan Serdang, karena pola kebudayaan adat Dalihan Natolu sampai sebelum
pengakuan kedaulatan sudah hilang lenyap disana, akibat dari salah mengerti atau
akibat penerangan-penerangan yang keliru pada permulaan perkembangan agama
Islam yang dibawa oleh penganjur-penganjur agama itu dari negeri lain. Karena
dahulu apakala seorang sukubangsa Batak telah memeluk agama Islam dianggap
telah menjadi “Malai” atau “Melayu” Pengertian yang keliru ini baru mulai
berangsur diperbaiki setelah meletus revolusi social di Sumatera timur pada
Tahun 1946.
Salah satu marga tertua dan terkenal di Asahan ialah marga “Simargolang” berasal
dari Raja Simargolang salah seorang putera dari Ompu Sahang Mataniari.
Tarombo marga Simargolang karena sudah sejak lama seluruhnya meninggalkan
pusat negeri Toba, tidak begitu jelas lagi dalam buku-buku tarombo marga-marga
sukubangsa Batak Toba tua. Menurut hikayat lama adapun Ompu Sahang
Mataniari alias Ompu Sahang Matanibulan, adalah paman dari Si Nagaisori yang
tercatat dalam buku tarombo sebagai putera dari Sipongki Nangolngolan (Tuanku
Rao), yakni masuk ke dalam tarombo marga Rajagukguk (salah satu cabang dari
marga Aritonang) Akan tetapi berdasarkan penelitian sejarah akhir-akhir ini
sebenarnya adalah masuk marga sinambela cucu dari Tuan Singa Mangaraja ke
VIII.
Pada saat itu lalulintas komunikasi keluar kerajaan dilakukan melalui pelabuhan
di Tanjung Balai. Sebagai petugas penghubung kerajaan menetapkan seorang
yang dapat dipercaya untuk itu. Pada suatu ketika Penghubung tadi menghadap
Raja dan memberitahukan bahwa pada saat ini banyak kesibukan yang
memerlukan legalisasi kerajaan, sementara transportasi antara Pulau Raja dan
Tanjung Balai cukup jauh ukuran saat itu. Untuk memudahkan administrasi beliau
meminta agar Raja memberikan kepercayaan kepadanya untuk membawa Cap
Kerajaan, sehingga dia tidak perlu pulang pergi ke Pulau Raja bila hanya
menyangkut administrasi. Dengan alasan kemudahan administrasi maka Raja
memberikan Cap tersebut kepada Penghubung tadi. Ternyata kepercayaan itu
dimanfaatkan oleh Belanda untuk melegalisasi izin membangun kebun di Pulau
Raja. Maka penghubung tadi di manfaatkan Belanda untuk menggunakan Cap
Kerajaan dan melakukan perjanjian dengan Belanda atas nama Raja untuk
membangun kebun Kelapa Sawit.
Maka dengan berbekal surat tersebut Belanda membangun kebun Kelapa Sawit.
Raja tidak dapat melarang karena Belanda telah memiliki surat resmi dari kerajaan
yang lengkap dengan Cap Kerajaan. Alkisah Raja tidak lagi memiliki legitimasi
untuk mengatur kerajaannya.
Kesimpulan:
Sumber :
http://batak-people.blogspot.sg/2013/01/batak-pardembanan-asahan-bukan-
melayu.html