Anda di halaman 1dari 2

Sabda Bahagia

Perikop Mat 5:3-10 lebih dikenal sebagai Delapan Sabda Bahagia dari Yesus dalam Khotbah
di Bukit (bdk juga Luk 6:20-26). Dari segi sastra, Sabda Bahagia ini mengandung konotasi
yang berkaitan dengan bentuk sastra dalam kesusastraan Mesir, Yunani dan Roma yang
mengungkapkan pujian dan ucapan selamat.

Nama Sabda Bahagia (Beatitudes) berasal dari kata Latin beati (bentuk jamak dari “beatus”,
atau “yang diberkati”), yaitu kata yang mengawali ucapan-ucapan dalam terjemahan Latin
dari Khotbah di Bukit [Beati pauperes spiritu, .... Beati, qui lugent, ... Beati mites,..... Beati,
qui esuriunt et sitiunt iustitiam,.... Beati misericordes,....Beati mundo corde, .....Beati pacifici,
..... Beati, qui persecutionem patiuntur propter iustitiam,..... Beati estis cum maledixerint
vobis et persecuti vos fuerint et dixerint omne malum adversum vos, mentientes, propter
me..]. Jadi sama dengan nama “Sabda Bahagia” yang diambil dari kata pertama dari ucapan-
ucapan Yesus yang sama yang diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, Berbahagialah....

Bentuk sastra “Berbahagialah” itu terdapat baik di dalam Perjanjian lama maupun Perjanjian
Baru. Bentuk sastra “Berbahagialah” dalam Perjanjian Lama terutama terdapat dalam sastra
kebijaksanaan. Dalam Mazmur, misalnya, kita temukan ucapan berbahagia itu bagi: orang
yang berjalan di jalan Tuhan (Mzm 1), yang percaya kepada Tuhan (Mzm 2:12), yang
dosanya diampuni (Mzm 32:1), dan yang takut pada Tuhan (Mzm 112:2).

Dalam Perjanjian Baru terdapat sekitar tigapuluh-tujuh bentuk sastra ucapan “Berbahagialah”
(Mat 5:3-11; 11:6; 13:16; 16:17, 24:46; Luk 1:45; 6:20-22; 7:23; 10:23; 11:27-28; 12:37.43;
14:15; 23:29; Yoh 20;29; Rm 4:7.8; 14;22; Yak 1:12; Why 1:3; 14:13; 16:15; 19:9; 20:6;
22:7). Dari semuanya itu tujuh belas ucapan bahagia di dalam Injil berasal dari Yesus.
Ucapan-ucapan itu mengungkapkan perubahan hidup yang dituntut oleh iman kepada Yesus
(Mat 11:6; 24:46; Luk 7:23; 12:37; Yoh 13:17; 20:29). Ada tujuh ucapan bahagia dalam
Kitab Wahyu (1:3; 14:13; 16:15; 19:9; 20:6; 22:7.14), yang menyatakan situasi bahagia dari
kaum beriman yang telah diselamatkan.

Sabda Bahagia dalam Khotbah di Bukit merupakan ikhtisar singkat Jalan Kristus
(Katekismus Gereja Katolik, selanjutnya disingkat KGK, 1697). Ucapan itu merupakan inti
sari dari ajaranNya dan merupakan pemenuhan dari “semua janji yang telah diberikan kepada
umat terpilih sejak Abraham. Sabda Bahagia menyempurnakan janji-janji itu, karena tidak
hanya diarahkan kepada pemilikan suatu negeri saja, melainkan kepada Kerajaan Surga”
(KGK 1716).. Memang ucapan-ucapan itu menyatakan “bahagia” berbagai keadaan yang
menurut ukuran duniawi direndahkan : miskin, berduka, dianiaya, dan sebagainya. Namun
itulah situasi dari hidup Kristus sendiri di dunia; dan ucapan-ucapan itu “mengungkapkan
panggilan umat beriman berkaitan dengan Sengsara dan KebangkitanNya yang mulia” (KGK
1717).

Sabda Bahagia dalam Injil Matius berbeda dari Sabda Bahagia dalam Injil Lukas dalam
beberapa hal. Di dalam Injil Matius Yesus mengarahkan ucapan bahagia itu menggunakan
kata ganti orang ketiga (“Berbahagialah orang yang...”) sedangkan dalam Injil Lukas
menggunakan kata ganti orang kedua (“Berbahagialah hai kamu...”). Selain itu lain dari
Matius, berkat dalam Lukas diikuti dengan kutuk, pernyataan-pernyataan yang dimulai
dengan “Celakalah kamu...” Perbedaan ini tidak harus dipertentangkan atau kontradiktif.
Sebagai pengkhotbah keliling, Yesus pastilah mengajarkan tema yang sama dalam beberapa
kesempatan, dan sering bervariasi penyampaianNya.
Walaupun Yesus dalam penyampaikan Sabda Bahagia itu menggunakan situasi indikatif
(gambaran petunjuk keadaaan), tradisi Kristen menafsirkan Sabda bahagia itu sebagai
imperatif, perintah moral, yaitu sebagai petunjuk ilahi bagi perilaku manusia. Sabda Bahagia
sering disajikan sebagai suplemen (tambahan) atau pelengkap (komplemen) bagi Sepuluh
Perintah Allah. Bagian “Moral” dari Katekismus Gereja Katolik diawali dengan pembahasan
mengenai Sabda Bahagia. “Sabda bahagia mengungkapkan maksud keberadaan manusia,
tujuan akhir perbuatan manusia: Allah memanggil kita ke dalam kebahagiaanNya sendiri.
Allah menyampaikan panggilan ini kepada setiap manusia secara pribadi, tetapi juga kepada
Gereja sebagai keseluruhan, kepada umat baru, yakni mereka yang telah menerima janji dan
hidup dari-Nya dalam iman” (KGK 1719).

Sabda Bahagia dari Kristus bersifat “eskatologis”. Mereka menyatakan berkat yang akan
diterima sepenuhnya pada akhir zaman, tetapi mereka menyatakannya sebagai “berkat dan
ganjaran, yang sudah murid-murid miliki secara tersamar” (KGK 1717). “Sabda Bahagia
mengarahkan harapan kita ke surga sebagai tanah terjanji yang baru; mereka menunjukkan
jalan yang melalui berbagai pencobaan yang menantikan murid-murid Yesus. Tetapi berkat
jasa Yesus Kristus dan berkat SengsaraNya, Allah memelihara kita di dalam ‘pengharapan
yang tidak pernah gagal’.” (KGK 1820).

Para ahli kadang-kadang membedakan dua macam sabda bahagia, eulogi dan makarios.
Eulogi (dari kata Yunani eulogia, artinya “berkat, bahagia”) biasanya terkait dengan berkat
dari perjanjian. Sedangkan makarios adalah situasi ”senang” atau “beruntung”, yang
menggambarkan kebahagiaan kodrati yang dinikmati seseorang yang mempunyai kualitas
atau kebiasaan yang baik. Pembedaan ini tidak membantu untuk menafsirkan Sabda Bahagia
dari Khotbah di Bukit, sebab dimulai dengan makarios dalam menggambarkan situasi seperti
berdukacita yang tidak selaras dengan kesenangan kodrati. Sebaliknya situasi-situasi yang
digambarkan itu mengarahkan kita kepada kebahagiaan adikodrati; “mereka membersihkan
hati kita dan mengajarkan kita mencintai Allah di atas segaIa sesuatu” (KGK 1728). Dalam
pandangan dunia alkitabiah, tidak ada tempat bagi “keberuntungan”, atau “nasib baik”; sebab
bahkan situasi yang tidak menguntungkan pun dapat dipandang sebagai berkat bahagia jika
dilihat dengan terang Penyelenggaraan Ilahi dan perjanjianNya. “Sabda bahagia sesuai
dengan kerinduan kodrati akan kebahagiaan. Kerinduan ini berasal dari Allah. Ia telah
meletakkannya di dalam hati manusia, supaya menarik mereka kepada diri-Nya, karena
hanya Allah dapat memenuhinya” (KGK 1718).

Anda mungkin juga menyukai