Suku Simalungun adalah salah satu suku asli dari Sumatera Utara, Indonesia. Orang Batak Toba
menyebut suku ini sebagai suku Si Balungu dari legenda hantu yang menimbulkan wabah penyakit di
daerah tersebut, sedangkan orang Karo menyebutnya Batak Timur karena bertempat di sebelah timur
mereka.
Asal-usul
Terdapat berbagai sumber mengenai asal usul Suku Simalungun, tetapi sebagian besar menceritakan
bahwa nenek moyang Suku Simalungun berasal dari luar Indonesia. Kedatangan ini terbagi dalam 2
gelombang [1]:
1. Gelombang pertama (Proto Simalungun), diperkirakan datang dari Nagore (India Selatan) dan
pegunungan Assam (India Timur) di sekitar abad ke-5, menyusuri Myanmar, ke Siam dan Malaka
untuk selanjutnya menyeberang ke Sumatera Timur dan mendirikan kerajaan Nagur dari Raja
dinasti Damanik.
2. Gelombang kedua (Deutero Simalungun), datang dari suku-suku di sekitar Simalungun yang
bertetangga dengan suku asli Simalungun.
Pada gelombang Proto Simalungun di atas, Tuan Taralamsyah Saragih menceritakan bahwa rombongan
yang terdiri dari keturunan dari 4 Raja-raja besar dari Siam dan India ini bergerak dari Sumatera Timur ke
daerah Aceh, Langkat, daerah Bangun Purba, hingga ke Bandar Kalifah sampai Batubara.
Kemudian mereka didesak oleh suku setempat hingga bergerak ke daerah pinggiran danau Toba dan
Samosir.
Etimologi
Simalungun dalam bahasa Simalungun memiliki kata dasar lungun yang dapat memiliki makna sunyi
atau sedih. Karenanya terdapat beberapa versi mengenai asal-usul penamaan suku ini.
Sunyi
Pada zaman kerajaan Nagur, terdapat beberapa panglima (Raja Goraha) yaitu masing-masing bermarga [2]:
Saragih
Sinaga
Purba
Kemudian mereka dijadikan menantu oleh Raja Nagur dan selanjutnya mendirikan kerajaan-kerajaan:
Raya (Saragih)
Selama abad ke-13 hingga ke-15, kerajaan-kerajaan kecil ini mendapatkan serangan dari kerajaankerajaan lain seperti Singhasari, Majapahit, Rajendra Chola (India) dan dari Sultan Aceh, Sultan-sultan
Melayu hingga Belanda.
Selama periode ini, tersebutlah cerita Hattu ni Sapar yang melukiskan kengerian keadaan saat itu di
mana kekacauan diikuti oleh merajalelanya penyakit kolera hingga mereka menyeberangi Laut Tawar
(sebutan untuk Danau Toba) untuk mengungsi ke pulau yang dinamakan Samosir yang merupakan
kependekan dari Sahali Misir (bahasa Simalungun, artinya sekali pergi).
Saat pengungsi ini kembali ke tanah asalnya (huta hasusuran), mereka menemukan daerah Nagur yang
sepi, sehingga dinamakanlah daerah kekuasaan kerajaan Nagur itu sebagai Sima-sima ni Lungun,
bahasa Simalungun untuk daerah yang sepi, dan lama kelamaan menjadi Simalungun. (M.D Purba, 1997)
Beberapa sumber juga menyatakan bahwa nama Simalungun itu diberikan oleh orang luar karena
penduduknya sangat jarang dan tempatnya sangat berjauhan antara yang satu dengan yang lain.
Sedih
Pada masa kedatangan Belanda, raja-raja di daerah Simalungun mengadakan perlawanan. Raja yang
terkenal mengadakan perlawanan diantaranya adalah Raja Rondahaim dari Raya dan Raja Naualuh
(Nawaluh) dari Siantar. Karena keterbatasan di bidang persenjataan dan logistik, akhirnya perlawanan
raja-raja tersebut dapat diakhiri Belanda dengan penandatanganan Korte Verklaring (Perjanjian Pendek)
tahun 1907.
Akibat penandatanganan perjanjian ini, raja-raja tersebut merasakan perasaan sedih karena terpaksa
menandatangani dokumen tersebut padahal tidak bersedia tunduk pada pemerintah Belanda, dan
bersepakat mengangkat nama Simalungun sebagai nama yang mewakili perasaan sedih mereka.
Kehidupan masyarakat Simalungun
Sistem mata pencaharian orang Simalungun yaitu bercocok tanam dengan padi dan jagung, karena padi
adalah makanan pokok sehari-hari dan jagung adalah makanan tambahan jika hasil padi tidak mencukupi.
Jual-beli diadakan dengan barter, bahasa yang dipakai adalah bahasa dialek. Marga memegang peranan
penting dalam soal adat Simalungun. Jika dibandingkan dengan keadaan Simalungun dengan suku Batak
yang lainnya sudah jauh berbeda.
Kepercayaan
Patung Sang Budha menunggang Gajah koleksi Museum Simalungun, yang menunjukkan pengaruh
ajaran Budha pada Masyarakat Simalungun.
Sebelum masuknya Misionaris Agama Kristen dari RMG pada tahun 1903, penduduk Simalungun bagian
timur pada umumnya sudah banyak menganut agama Islam sedangkan Simalungun Barat menganut
animisme. Ajaran Hindu dan Budha juga pernah mempengaruhi kehidupan di Simalungun, hal ini terbukti
dengan peninggalan berbagai patung dan arca yang ditemukan di beberapa tempat di Simalungun yang
menggambarkan makna Trimurti (Hindu) dan Sang Budha yang menunggangi Gajah (Budha).
Bila diselidiki lebih dalam suku Simalungun memiliki berbagai kepercayaan yang berhubungan dengan
pemakaian mantera-mantera dari Datu (dukun) disertai persembahan kepada roh-roh nenek moyang
yang selalu didahului panggilan kepada Tiga Dewa, yaitu Dewa di atas (dilambangkan dengan warna
Putih), Dewa di tengah (dilambangkan dengan warna Merah), dan Dewa di bawah (dilambangkan dengan
warna Hitam). 3 warna yang mewakili Dewa-Dewa tersebut (Putih, Merah dan Hitam) mendominasi
berbagai ornamen suku Simalungun dari pakaian sampai hiasan rumahnya.
Sistem pemerintahan di Simalungun dipimpin oleh seorang Raja, sebelum pemberitaan Injil masuk Tuan
Rajalah yang sangat berpengaruh. Orang Simalungun menganggap bahwa anak Raja itulah Tuhan dan
Raja itu sendiri adalah Allah yang kelihatan.
Marga
Harungguan Bolon
Terdapat empat marga asli suku Simalungun yang populer dengan akronim SISADAPUR yaitu:
Sinaga
Saragih
Damanik
Purba
Keempat marga ini merupakan hasil dari Harungguan Bolon (permusyawaratan besar) antara 4 raja
besar untuk tidak saling menyerang dan tidak saling bermusuhan (marsiurupan bani hasunsahan na
legan, rup mangimbang munssuh).
Keempat raja itu adalah[4]:
Raja Nagur bermarga Damanik
Damanik berarti Simada Manik (pemilik manik), dalam bahasa Simalungun, Manik berarti Tonduy,
Sumangat, Tunggung, Halanigan (bersemangat, berkharisma, agung/terhormat, paling cerdas).
Raja Banua Sobou bermarga Saragih
Saragih dalam bahasa Simalungun berarti Simada Ragih, yang mana Ragih berarti atur, susun, tata,
sehingga simada ragih berarti Pemilik aturan atau pengatur, penyusun atau pemegang undang-undang.
Hal ini dipertegas oleh pepatah Simalungun Sin Raya, sini Purba, sin Dolog, sini Panei. Na ija pe lang na
mubah, asal ma marholong ni atei (dari Raya, Purba, Dolog, Panei. Yang manapun tak berarti, asal penuh
kasih). Sebagian sumber menuliskan bahwa hal tersebut disebabkan karena seluruh marga raja-raja
Simalungun itu diikat oleh persekutuan adat yang erat oleh karena konsep perkawinan antara raja dengan
puang bolon (permaisuri) yang adalah puteri raja tetangganya. Seperti raja Tanoh Djawa dengan puang
bolon dari Kerajaan Siantar (Damanik), raja Siantar yang puang bolonnya dari Partuanan Silappuyang,
Raja Panei dari Putri Raja Siantar, Raja Silau dari Putri Raja Raya, Raja Purba dari Putri Raja Siantar dan
Silimakuta dari Putri Raja Raya atau Tongging.
Adapun Perkerabatan dalam masyarakat Simalungun disebut sebagai partuturan. Partuturan ini
menetukan dekat atau jauhnya hubungan kekeluargaan (pardihadihaon), dan dibagi kedalam beberapa
kategori sebagai berikut:[5]
PAKAIAN ADAT
Kain Adat Simalungun disebut Hiou. Penutup kepala lelaki disebut Gotong, penutup kepala wanita disebut
Bulang, sedangkan yang kain yang disandang ataupun kain samping disebut Suri-suri.
Sama seperti suku-suku lain di sekitarnya, pakaian adat suku Simalungun tidak terlepas dari penggunaan
kain Ulos (disebut Uis di suku Karo). Kekhasan pada suku Simalungun adalah pada kain khas serupa Ulos
yang disebut Hiou dengan berbagai ornamennya. Ulos pada mulanya identik dengan ajimat, dipercaya
mengandung kekuatan yang bersifat religius magis dan dianggap keramat serta memiliki daya istimewa
untuk memberikan perlindungan. Menurut beberapa penelitian penggunaan ulos oleh suku bangsa Batak,
memperlihatkan kemiripan dengan bangsa Karen di perbatasan Myanmar, Muangthai dan Laos,
khususnya pada ikat kepala, kain dan ulosnya. [6]
Secara legenda ulos dianggap sebagai salah satu dari 3 sumber kehangatan bagi manusia (selain Api dan
Matahari), namun dipandang sebagai sumber kehangatan yang paling nyaman karena bisa digunakan
kapan saja (tidak seperti matahari, dan tidak dapat membakar (seperti api). Seperti suku lain di rumpun
Batak, Simalungun memiliki kebiasaan mambere hiou (memberikan ulos) yang salah satunya
melambangkan pemberian kehangatan dan kasih sayang kepada penerima Hiou. Hiou dapat dikenakan
dalam berbagai bentuk, sebagai kain penutup kepala, penutup badan bagian bawah, penutup badan
bagian atas, penutup punggung dan lain-lain. Hiou dalam berbagai bentuk dan corak/motif memiliki nama
dan jenis yang berbeda-beda, misalnya Hiou penutup kepala wanita disebut suri-suri, Hiou penutup badan
bagian bawah bagi wanita misalnya ragipanei, atau yang digunakan sebagai pakaian sehari-hari yang
disebut jabit. Hiou dalam pakaian penganti Simalungun juga melambangkan kekerabatan Simalungun
yang disebut tolu sahundulan, yang terdiri dari tutup kepala (ikat kepala), tutup dada (pakaian) dan tutup
bagian bawah (abit).
Menurut Muhar Omtatok, Budayawan Simalungun, awalnya Gotong (Penutup Kepala Pria Simalungun)
berbentuk destar dari bahan kain gelap ( Berwarna putih untuk upacara kemalangan, disebut Gotong
Porsa), namun kemudian Tuan Bandaralam Purba Tambak dari Dolog Silou juga menggemari trend
penutup kepala ala melayu berbentuk tengkuluk dari bahan batik, dari kegemaran pemegang Pustaha
Bandar Hanopan inilah, kemudian Orang Simalungun dewasa ini suka memakai Gotong berbentuk
Tengkuluk Batik.