Anda di halaman 1dari 9

BAB II PEMBAHASAN 2.1.

Pengertian Tumpek Wayang Tumpek Wayang berasal dari dua kata yaitu Tumpek dan Wayang. Istilah Tumpek lahir saat bertemunya hitungan terakhir dari dua wewaran yaitu Saniscara (Akhir Sapta Wara) dan Kliwon (akhir dari Panca Wara). Setiap pertemuan Saniscara dan Kliwon disebutlah Tumpek (Tu berarti metu atau lahir dan Pek berarti putus/berakhir). Sedangkan kata wayang selain merupakan bagian dari wuku juga mengandung arti sebagai bayang atau bayang-bayang

Sementara itu kalau dikaji secara filosofis dan ritual pelaksanaan upacara Tumpek Wayang itu ditujukan kehadapan Hyang Widhi dalam manifestasinya sebagai Dewa Iswara dengan permohonan berupa keselamatan dan atau kerahayuan umat. Dalam praktiknya, upacara Tumpek Wayang ini

diperuntukkan bagi semua jenis reringgitan seperti wayang, termasuk juga arca, tetabuhan (gong, gender,gambang, genta gendongan). Hakekat lahir-batin yang ingin dicapai dari rerainan Tumpek Wayang ini adalah ; secara lahir merupakan bentuk pewayangan permohonan bagi dapat menjadi mereka Dalang yang menjalani Metaksu yang profesi mampu

sehingga

menjembatani alam wayang yang abstrak kedalam alam nyata melalui pementasan tokoh-tokoh pewayangan yang dipertontonkan untuk diambil nilainilai tuntunannya.

Sedangkan secara batin, melalui perayaan Tumpek Wayang kita akan selalu disadarkan bahwa hidup ini sebenarnya merupakan panggung wayang dimana keberadaan kita, peranan yang didapat dan dilakukan dan kemana akhirnya tujuan kita sudah diatur dan ditentukan oleh Sang Dalang Agung yaitu Hyang Widhi. Karena itu kita diingatkan untuk senantiasa mendekatkan diri pada Hyang Widhi agar memperoleh jagadhita dan moksa, kesejahtraan lahir dan kebahagian batin.

2.2.

Sumber Sastra yang Memuat Tentang Tumpek Wayang

Dalam lontar Sapuh Leger dan Dewa Kala, Batara Siwa memberi izin kepada Dewa Kala untuk memangsa anak/orang yang dilahirkan pada wuku Wayang (cf. Gedong Kirtya, Va. 645). Atas dasar isi lontar tersebut, maka anak yang lahir bertepatan dengan hari ini harus melaksanakan kegiatan upacara pementasan Wayang Sapuh Leger dengan peralatan yang lengkap berikut sesajennya. Umat Hindu Bali percaya dan meyakini bahwa anak yang lahir pada Tumpek Wayang memiliki sifat-sifat negatif karena hari itu dianggap memiliki nilai cemer (kotor) yang membawa sial. Anak tersebut dikhawatirkan dirundung malapetaka, akibat dikejar-kejar Dewa Kala. Dengan upacara mementaskan Wayang Sapuh Leger ini si anak yang baru lahir tersebut di yakini dapat terhindar dari kejaran Dewa Kala dan juga dapat memusnahkan sifat-sifat negatif pada anak tersebut. Menurut cerita dalam Lontar Tatwa Kala, Wayang Sapu Leger menjadi sarana upacara permohonan ke dewa Kala agar anak yang lahir pada Sabtu/Saniscara Kajeng Kliwon (sama dengan hari kelahiran dewa

Kala) tidak dimakan dan digantikan dengan banten/sesajen yang sudah disediakan.

Sementara dalam salah satu naskah Lontar Kala bila di artikan dalam bahasa Indonesia kira kira berbunyi, setelah dikejar sang Pancakumara oleh Dewa Kala, sampai menjelang tengah malam ada seorang pria/dalang bernama Mpu Leger mempertunjukkan wayang pada waktu Tumpek Wayang. Setelah menghadap di depan kelir segera juru gender membunyikan gamelannya, suaranya merdu dan nyaring.

2.3.

Wayang Sapuh Leger

Wayang Sapuh Leger adalah jenis wayang kulit Bali yang berfungsi sebagai upacara ritual. Wayang tersebut termasuk sakral karena merupakan bagian dari upacara yang berada dalam lingkungan siklus kehidupan manusia (Manusa Yadnya) dan hanya dipertunjukan pada anak yang lahir pada wuku Wayang, utamanya yang lahir persis pada Saniscara Kliwon wuku Wayang. Namun kenyataan di lapangan bahwa penyelenggaraannya tidak hanya pada hari Sabtu saja, tetapi dimulai dari hari Senin sampai Sabtu dalam wuku Wayang, bahkan ada juga orang Bali yang mengupacarai anaknya sampai tiga kali. Dengan demikian wayang Sapuh Leger bersifat religius, magis dan memiliki nilai spiritual. Dalam konteks ritual, Wayang Sapuh Leger berfungsi sebagai pemurnian bagi anak atau orang yang lahir pada hari yang oleh orang Bali dianggap berbahaya yaitu pada Wuku Wayang, sehingga ia berfungsi untuk pengukuhan dan pengesahan dari bentuk ritual.

Peristiwa penyelenggaraan Wayang Sapuh Leger, secara periodik berulang setiap 210 hari (6 bulan pawukon kalender Bali). Wayang Sapuh Leger yang sering dipentaskan di Bali bersumber pada lontar Kala Purana, Japa/Cepa Kala, Kidung Sang Empu Leger, Kala Tatwa, Kekawin Sang Hyang Kala, Tutur Wiswa Karma dan Kidung Sapuh Leger. Lakon Sapuh Leger mengisahkan asalusul kelahiran dan perjalanan Batara Kala, dimana ayahnya Dewa Siwa memberi izin kepadanya untuk memangsa anak/orang yang lahir pada Tumpek Wayang, kemudian jenis-jenis korbannya, lolosnya korban, tipuan Dewa Siwa tehadap Kala dengan memberikan teka-teki, peranan dalang sebagai pemenang, meredam kerakusan Kala. Aspek angkara digambarkan amat kuasa dan kuat, dalam mitos ini diwujudkan sebagai raksasa besar dan kuat berwujud Batara Kala yang tak tertandingi oleh para Dewa. Hal ini memberi petunjuk bahwa kuasa keteraturan, kebaikan, kebijakan, atau aspek positif dari Dewa sebenarnya selalu terancam oleh kuasa ketidak teraturan, kekacauan, atau aspek negatif dalam diri manusia. Batara Guru dalam mitos digambarkan hanya dapat melemahkan Kala, tetapi tidak dapat melenyapkannya sama sekali, karena Kala adalah aspek angkara atau negatif yang bersumber daripada dirinya juga. Secara simbolis cara melemahkan potensi angkara atau aspek negatif dalam diri manusia diperagakan melalui pentas dengan membatasi waktu-waktu makannya (siang dan malam hari serta kelahiran pada Tumpek Wayang), ritual, dan mantram dilakukan oleh Batara Guru yang menjelma menjadi dalang. Dengan peragaan itu berarti bahwa kuasa keangkara murkaan dilemahkan atau hanya dibuat lemah oleh aspek kesucian.

Lakon Sapuh Leger mengungkapkan ajaran mistikisme yang masih dipraktikan dalam kehidupan masyarakat Bali.

2.4.

Tata Cara dan Upakara

Beberapa hal yang harus dimiliki oleh seorang Amengku Dalang atau Dalang Mpu Leger yang berkewenangan sebagai pemuput dan dibantu oleh yang lainnya, adalah sebagai berikut :

1.

Dalang seharusnya seorang Dalang Brahmana yaitu seorang Pandita sebagai Dalang dan atau yang berlatar belakang dalang yang disebut Ida Mpu Leger.

2.

Beliau adalah seorang Mpu Leger yang mampu dan paham serta menguasai Ketattwaning / Dharma Pewayangan.

3.

Beliau juga tahu dan paham serta menguasai mantram pengelukatan seperti : Agni Nglayang, Asta Pungku, Dangascharya, Sapuh Leger serta mantram pengelukatan lainnya.

4.

Beliau memang benar-benar mampu dan menguasai Gagelaran sebagai seorang Pandita (Mpu Leger) dan dalam segala tindak tanduk dan tingkah laku tiada terlepas dari Sesana Kawikon (siwa sesana) antaranya sebagai Sang Satya Wadi, Sang Apta, Sang Patirthan Dan Sang Penadahan Upadesa (siwa-sadha siwa-parama siwa).

Sesuai dengan apa yang disebutkan dalam beberapa lontar penunjang, khususnya Lelampahan Wayang Sapuh Leger disamping juga atas petunjuk dan hasil wawancara (baca:Nunasang) kehadapan Ida Pandita Mpu Leger tentang

pelaksanaan Upacara Bebayuhan Weton Sapuh Leger, maka dapat disebutkan bahwa untuk upacaranya sebagi berikut : 1. Ngadegang Sanggar Tuttuan / Tawang (sanggar tawang ). 2. Ring Sor Surya : Caru mancasata. 3. Banten Panebasan san Maweton. 4. Banten Arepan Kelir. 5. Ring Lalujuh Kelir. 6. Banten Sang Dalang Mpu Leger : Bebangkit Asoroh. 7. Genah tirtha Mpu Leger, Sangku Suddhamala. 8. Tebasan Sungsang Sumbel. 9. Tebasan Sapuh Leger. 10. Tebasan Tadah Kala. 11. Tebasan Penolak Bhaya. 12. Tebasan Pangenteg Bayu. 13. Tebasan Pengalang Hati. 14. Sesayut Dirghayusa ring Kamanusan. 15. Daksina Panebusan Bhaya. 16. Medudus Luwun setra lan luwun pempatan, luwun pasar, gumpang injin, gumpang ketan, gumpang padi, rambut Ida Pandita lan menyan.

Sedangkan untuk tirtha pemuputnya adalah sebagai berikut :

1. 2.

Tirtha Kelebutan. Tirtha Campuan.

3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11.

Tirtha Segara. Tirtha Melanting. Tirtha Pancuran. Tirtha Tukad Teben Sema/Setra. Tirtha Padmasari. Tirtha Merajan soang-soang. Tirtha Pengelukatan Wayang. Tirtha Jagat Nata. Tirtha Pemuput/Sulinggih. Disamping upakara secara umum di atas, untuk masing-masing dari

mereka yang dibayuh dibuatkan upakara khusus sesuai hari kelahiran, antaranya berupa Suci pejati, Peras Pengambean tumpeng 7 asoroh, daksina gede sesuai urip kelahiran, sesayut pengenteg bayu, merta utama, pageh urip dan di Surya munggah Suci pejati, Bungkak Nyuh Gading lan pengeresik jangkep dan dilengkapi sesayut-sesayut sesuai dengan kelahiran :

1. 2. 3. 4. 5.

Wetu Redite : Sesayut Sweka Kusuma. Wetu Soma : Sesayut Nila Kusuma Jati/Citarengga. Wetu Anggara : Sesayut Jinggawati Kusuma/Caru Kusuma. Wetu Budha : Sesayut Pita Kusuma Jati/Purna Suka. Wetu Wraspati : Sesayut Pawal Kusuma Jati/Gandha Kusuma Jati.

2.5.

Makna Tumpek Wayang

Tumpek wayang merupakan cerminan dimana dunia yang diliputi dengan kegelapan, manusia oleh kebodohan, keangkuhan dan

keangkaramurkaan. Oleh sebab itu Siwa pun mengutus Sang Hyang Samirana turun ke dunia untuk memberikan kekuatan kepada manusia yang nantinya sebagai mediator di dalam menjalankan aktifitasnya.

Orang yang menjadi mediator inilah disebut seorang Dalang atau Samirana, Hyang Iswara juga memberikan kekuatan seorang Dalang sehingga mampu membangkitkan cita rasa seni dan daya tarik yang mampu memberikan sugesti kepada orang lain yaitu para penontonnya. Kekuatan inilah yang disebut dengan taksu maupun raganya, karena didalam pementasan wayang kulit, seorang Dalang mampu menyampaikan cerita yang penuh dengan filsafat humor, kritik, saran, serta realita kehidupan sehari-hari sehingga para penonton membius alam pikirannya sehingga muncullah kekuatan sugesti dari diri masingmasing. Oleh karena itu kehidupan umat manusia di dunia sesungguhnya tidak hanya memelihara pisik semata, namun perlu ke seimbangan antara pisik dan mental spiritual yang mana banyak tercermin di dalam pelaksanaan atau perayaan Tumpek Wayang bagi umat Hindu yang dirayakan setiap enam bulan (dua ratus sepuluh hari).

Makna dari pada Tumpek Wayang, sebagaimana kita ketahui kehidupan di dunia selalu diliputi oleh dua kekuatan yang disebut Rwa Bhineda, yang sudah barang tentu ada pada sisi kehidupan manusia. Dengan bercermin dari

tattwa, filsafat agama mampu membawa kehidupan manusia menjadi lebih bermartabat.

Karena dari ajaran atau filsafat agama mampu akan memberikan pencerahan kepada pikiran yang nantinya mampu pula menciptakan moralitas seseorang menjadi lebih baik dari segi aktifitas agama sehari-hari kita mendapatkan air cuci ke hidupan melalui tirta pengelukatan yang berfungsi untuk meruak atau melebur dosa di dalam tubuh manusia, maka dari itu seorang Dalanglah yang mendapat anugerah untuk melukat diri manusia baik alam pikirannya maupun raganya.

____________________________

Anda mungkin juga menyukai