Anda di halaman 1dari 8

Pernikahan / Pawiwahan Nyentana di Bali

Bab I
1.1 Pendahuluan
Bali merupakan pulau yang memiliki budaya atau adat istiadat yang kaitannya
dengan masyarakat yang sebagian besar beragama Hindu. Dalam masyarakat Hindu ada
empat jenjang/tahapan kehidupan yang disebut dengan istilah “Catur Asrama”. Catur
Asrama bagianya yaitu brahmacari, grhasta, sanyasin, bhiksuka. Grahasta merupakan
jenjang yang kedua yaitu kehidupan pada waktu membina rumah tangga (dari mulai
menikah). Berumah tangga harus mampu seiring dan sejalan untuk membina hubungan
atas dasar saling cinta mencintai dan ketulusan.
Perkawinan merupakan salah satu fase dalam hidup manusia. karena perkawinan
dapat mengubah status hukum seseorang. Semula dianggap “belum dewasa” dengan
dilangsungkannya perkawinan, dapat menjadi “dewasa” atau yang semula dianggap anak
muda dengan perkawinan akan menjadi suami istri, dengan konsekuensi yuridis dan
sosiologis yang menyertainya. Demikian pentingnya perkawinan itu sehingga dapat
dilangsungkan setelah berbagai persyaratan yang ditentukan dalam hukum negara (dalam
hal ini UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan) maupun hukum adat (dalam hal ini
hukum adat Bali), dipenuhi oleh calon pengantin, baik dalam hubungan dengan bentuk
perkawinan maupun tata cara melangsungkannya (Windia, 2014:1).
Kehidupan berumah tangga yang ada di Bali diawali dengan prosesi upacara
pernikahan atau yang sering disebut “pawiwahan”. Dalam Masyarakat Bali ada berbagai
jenis upacara pawiwahan yang disesuaikan dengan desa, kala, patra. Masyarakat
Indonesia termasuk di Bali umumnya menganut sistem pewarisan yang bersifat
patrilineal (garis kebapakan) berarti istri ikut di lingkungan kerabat suami. Sistem
patrilineal merupakan tahapan dan proses perkawinan yang semuanya dilakukan di rumah
mempelai pria. Patrilineal adalah keluarga yang mengutamakan garis keturunan pihak
bapak. Pada keluarga Patrilineal, bapak memiliki status yang lebih tinggi dengan peran
dan kewajiban yang lebih besar dalam budaya keluarga. Begitu pula dengan sistem
kekerabatan di Bali juga menganut sistem patrilineal (Windia, 2009:14).
Tetapi pada upacara perkawinan dengan adat nyetana tidak demikian dan
merupakan kebalikan dari upacara pernikahan/pawiwahan yang umumnya dilakukan.
Perkawinan nyentana adalah suatu istilah yang diberikan kepada sepasang suami istri,
suami dipinang (diminta) oleh keluarga istri dan masuk kedalam garis leluhur keluarga
istri serta melepaskan ikatan keturunan dari keluarga asalnya. Terjadinya perkawinan ini
dikarenakan keluarga dari pihak perempuan tidak mempunyai keturunan laki-laki
sehingga untuk melanjutkan warisan keluarga harus ada penerusnya karena di Bali anak
laki-laki itu dianggap penting atau harus mempunyai anak laki-laki karena sebagai
penerus warisan keluarga.
Dalam upacara perkawinan secara sentana pihak wanita yaitu anak perempuan 
berubah statusnya melalui perkawinan nyentana sehingga menjadi sama statusnya 
dengan status anak laki-laki.

1.2 Rumusan Masalah


2. Bagaimana pengertian perkawinan/pawiwahan menurut perspektif Hindu?
3. Bagaimana pengertian perkawinan/pawiwahan nyentana di Bali menurut
perspektif Hindu?
4. Bagaimana syarat-syarat melakukan perkawinan/pawiwahan nyentana menurut
perspektif Hindu ?
5. Bagaimana proses melakukan perkawinan/pawiwahan nyentana menurut
perspektif Hindu?
6. Bagaimana implementasi proses melakukan perkawinan/pawiwahan nyentana
menurut perspektif Hindu, Pensucian Diri dengan cara melaksanakan Tri Kaya
Parisudha ?
Bab II
Pembahasan

2.1 Pengertian perkawinan/pawiwahan menurut perspektif Hindu


Mengenai definisi perkawinan menurut Undang – undang no 1 tahun 1974 pasal 1
disebutkan “perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seseorang pria dengan wanita sebagai
suami istri dengan tujuan membentuk keluarga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan
Yang Maha Esa”. Berdasarkan definisi tersebut, dapat dikatakan bahwa perkawinan mempunyai
hubungan yang sangat erat dengan agama. Perkawinan bukan hanya mempunyai unsur jasmani
tetapi juga unsur batin atau rohani. Perkawinan bukan hanya sekedar hubungan biologis yang
mendapatkan legalitas melalui hukum sehingga mereka dapat secara leluasa memenuhi
hubungan badan, akan tetapi lebih daripada itu.
Berdasarkan kitab Manusmrti, perkawinan bersifat religius dan obligator karena dikaitkan
dengan kewajiban seorang untuk mempunyai keturuan dan menebus dosa-dosa orang tua dengan
jalan melahirkan seorang anak suputra. Putra dalam bahasa sanskerta diartikan sebagai ia yang
menyebrangan atau menyelamatkan arwah orang tuanya dari neraka.
Perkawinan atau sering disebut di Bali wiwaha selalu identik dengan upacara yadnya,
yang menyebabkan lembaga perkawinan tidak dapat terpisahkan dengan lembaga agama.
Sehingga menjadikannya sebagai hukum Hindu dan sebuah persyaratan. Legalnya perkawinan
adalah ditandai dengan pelaksanaan ritual yakni upacara wiwaha minimal upacara byakala.
Suatu perkawinan dianggap sah apabila ada saksi. Dalam upacara perkawinan (byakala)
disebut sebagai tri upasaksi (tiga saksi) yaitu dewa saksi, manusia saksi dan bhuta saksi. Dewa
saksi adalah saksi dewa yang dimohonkan untuk meyaksikan upacara pawiwahan. Manusa saksi
adalah saksi manusia, dalam hal ini semua orang yang hadir pada saat pelaksanaan upacara
utamanya, seperti pemangku, dan perangkat Desa (bendesa adat, kelihan dinas, dsb). Bhuta saksi
adalah saksi para bhuta kala. Pada saat dilaksanakannya upacara byakala kita membakar
tetimpug (berupa potongan bambu yang kedua ruasnya masih ada) sehingga timbu Bhuta kala
untuk hadir di areal upacara, kemudian diberikan suguhandengan harapan tidak mengganggu
jalannya upacara bahkan ikut mengaja keamanan secara niskala serta ikut sebagai saksi.
Pada umumnya Undang – undang secara prinsip mengandung asas –asas yang dapat
membawakan kepada keharmonisan dan kebahagiaan keluarga yakni :
1. Suatu perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum agama yang dianut dan
setiap perkawinan harus dicatat menurut peraturan perundang – udangan yang berlaku.
2. Undang – undang mengandung asas monogami.
3. Pasangan suam istri harus masak jiwa raganya untuk dapat melangsungkan pernikahan.
4. Undang – undang ini menganut prinsip untuk mempersukar perceraian.
5. Hak dan kedudukan suami – istri dalam kehidupan berumah tangga dan masyarakat
diatur dalam undang – undang no 1 tahun 1974.

2.2 Pengertian perkawinan/pawiwahan nyentana menurut perspektif Hindu


Nyentana adalah Hukum Adat, bukan kaidah Agama Hindu. Mungkin ada sedikit kaitan
dengan tradisi beragama Hindu di Bali, dimana dikenal dengan adanya istilah “pradana” dan
“purusa”. Seseorang yang nyentana hendaknya mendapat persetujuan dulu dari segenap warga
dadia (soroh) dari lelaki dan perempuan, karena lelaki akan melepas hak/kewajibannya di
sanggah lama (purusa) dan menjadi warga baru di sanggah baru (pradana). Lelaki yang nyentana
biasanya akan menyembah dua kawitan yaitu kawitannya yang lama dan kawitan istrinya.
Dalam sejarah banyak sekali leluhur orang bali yang sejak zaman dahulu mengambil
langkah nyantana seperti itu. Contohnya adalah Arya Tutuan, yang distanakan di Bukit Buluh,
Desa Gunakasa, Klungkung. Toh sekarang preti sentana beliau hidup bahagia sebagaimana
layaknya umat Hindu. Jadi tidak ada yang salah dalam hal nyentana. Yang penting dalah
bagaimana membina kehidupan ini agar harmonis, sesuai ajaran Veda.

2.3 Syarat-syarat melakukan perkawinan/pawiwahan nyentana


1. Persetujuan kedua mempelai
Undang-undang Perkawinan menegaskan beberapa syarat agar perkawinan dapat
dilangsungkan. Syarat pertama adalah perkawinan harus didasarkan atas persetujuan
kedua calon mempelai. Demikian bunyi Pasal 6 ayat (1) Undang-undang Perkawinan.
Menurut penjelasan resminya, disamping syarat ini sesuai dengan hak asasi manusia,
ketentuan ini diadakan untuk mendukung agar tujuan pekawinan, yaitu untuk membentuk
keluarga yang kekal dan bahagia dapat dicapai. Dengan ditegaskannya syarat bahwa
perkawinan harus di dasarkan kepada persetujuan kedua calon mempelai, maka cara-cara
pemaksaan dalam pelaksanaan perkawinan tidak dibenarkan lagi, seperti cara perkawinan
melegandang (raksasa wiwaha) yang di masa lalu sering terjadi.
2. Izin orang tua
Syarat kedua adalah seperti disebutkan dalam Pasal 6 ayat (2). Disebutkan bahwa
untuk melangsungkan perkawinan seorang yang belum mencapai umur 21 (duapuluh
satu) tahun harus mendapat izin kedua orang tua. Selanjutnya disebutkan  dalam ayat (3)
bahwa dalam hal salah seorang dari kedua orang tua telah meninggal dunia atau dalam
keadaan tidak mampu menyatakan kehendaknya maka izin dimaksud cukup diperoleh
dari orang tua yang masih hidup atau dari orang tua yang mampu menyatakan
kehendaknya. Dalam hal kedua orang tua telah meninggal dunia atau dalam keadaan
tidak mampu menyatakan kehendaknya maka izin diperoleh dari wali, orang yang
memelihara atau keluarga yang mempunyai hubungan darah dalam garis keturunan lurus
ke atas selama mereka masih hidup dan dalam keadaan dapat menyatakan kehendaknya.
Jika ada perbedaan pendapat antara orang-orang yang disebutkan di atas, atau salah
seorang diantara mereka tidak menyatakan pendapatnya, maka berdasarkan ayat (4) pasal
ini, Pengadilan dalam daerah hukum tempat tinggal orang yang akan melangsungkan
perkawinan atas permintaan orang tersebut dapat memberikan izin, setelah terlebih
dahulu mendengar orang-orang tersebut di atas.

2.4  Proses melakukan perkawinan/pawiwahan nyentana menurut perspektif Hindu


1. Memilih Hari Baik
Memilih hari baik dan bulan baik, juga menjadi kepercayaan bagi kalangan adat
Bali dalam melangsungkan pernikahan. Itulah sebabnya, pada hari yang telah disepakati
bersama, keluarga dari kedua belah pihak saling melakukan pertemuan untuk membahas
mengenai perkawinan/pawiwahan yang akan berlangsung. Penikahan adat Bali
melibatkan hampir seluruh keluarga, warga banjar (RT) bahkan desa dan kehidupan
sosial yang bersifat magis-religius sangat kuat. Sudah menjadi tradisi, pagi-pagi
menjelang prosesi warga banjar telah sibuk menyiapkan berbagai perlengkapan upacara
pernikahan, mulai aneka sesajen, altar suci, serta sanggah (pura keluarga/tempat untuk
sembahyang) dipergunakan sebagai tempat berlangsungnya rangkaian upacara.
Pelaksanaan prosesi pernikahan/pawiwahan nyentana diawali dengan penjemputan calon
pengantin mempelai pria oleh pihak keluarga pengantin wanita untuk dibawa ke
kediaman pihak pengantin wanita. Setibanya kedua mempelai (dari penjemput mempelai pria) di
depan pintu pekarangan kediaman keluarga pengantin perempuan, dilakukan upacara Byekawon
dipimpin oleh Jero Balian atau Jero Mangku.
2.      Suci Hati dan Suci Diri
Mengawali kehidupan sebagai pasangan dengan kesucian. Itulah sebabnya, upacara
Madengen-dengen atau Mekala-kalaan yang memiliki makna dan tujuan ‘membersihkan dan
mensucikan’ kedua mempelai merupakan bagian terpenting dalam rangkaian upacara pernikahan
adat Bali. Upacara ini juga merupakan wujud pesaksian di hadapan Tuhan disaksikan para
kerabat dan masyarakat setempat. Dipandu oleh Pemangku, maka kedua mempelai dipimpin ke
tempat upacara, melakukan upacara sesuai dengan tata cara menurut Hindu Bali. Makala-kalaan
secara simbolis bertujuan untuk membersihkan mempelai dari pengaruh energi negatif.
Sejatinya, makna upacara Mekala-kalaan adalah suatu pengesahan perkawinan kedua
mempelai melalui proses penyucian jasmani maupun rohani, untuk memasuki kehidupan
berumah tangga menuju keluarga bahagia dan sejahtera. Bunyi genta dari tangan sang Pendeta
menandakan dimulainya ritual upacara pernikahan yang dinyanyikan oleh warga Banjar,
menghadirkan nuansa amat sakral. Bau wangi dari asap dupa mengiringi khidmat pasangan
pengantin yang menerima percikan air suci dari sang pemimpin upacara. Komitmen pasangan
pria dan wanita untuk kehidupan berumah tangga di sinilah bermula.

2.5 Implementasi
2.5.1Implementasi Proses melakukan perkawinan/pawiwahan nyentana menurut perspektif
Hindu, Pensucian Diri dengan cara melaksanakan Tri Kaya Parisudha
Mekala-kalaan yang memiliki makna dan tujuan membersihkan dan mensucikan.
Makala-kalaan secara simbolis bertujuan untuk membersihkan mempelai dari pengaruh energi
negatif. Selain itu dapat juga dengan melakukan atau melaksanakan Tri Kaya Parisudha. Tri
artinya tiga, kaya artinya Karya atau perbuatan sedangkan parisudha artinya penyucian.  Jadi tri
kaya parisudha berarti tiga perbuatan atau prilaku yang harus di sucikan. Yang dimana Tri Kya
Parisudha ini ini sangat berpengaruh di dalam kita menjalani hidup sebagai umat manusia.
-          Manacika
Yang berarti berpikir suci atau berpikir yang benar. Karena pikiran yang mengundang sifat
dan seluruh organ tubuh untuk melakukan sesuatu. Maka ada baiknya jika pikiran kita selalu
bersih dan selalu berpikir positif
-          Wacika
Yang berarti berkata yang benar. maka baiknyalah kita di dalam kehidupan sehari – hari
sebaiknya berkata yang benar ,tidak menyingguang ataupun menghina dan mencaci orang lain.
-          Kayika
Yang berarti perbuatan atau prilaku suci atau berprilaku yang benar, dimana perbuatan kita
dalam kehidupan sehari-hari sangat berpengaruh di dalam diri manusia. Maka sebaiknyalah kita
berprilaku yang baik demi terciptanya hubungan yang harmonis antara sesama manusia.
Dari ketiga unsur tri kaya parisudha ini saling memiliki keterikatan yaitu dmana jika kita
sebagai umat manusia sudah berfikir yang benar/suci maka terciptalah perkataan yang suci pula
dan bila perkataan sudah benar maka perbuatan kitapun pasti akan benar pula. Jika Tri Kaya
Parisudha ini dilaksanakan ketika saat melakukan perkawinan/pawiwahan nyentana maka akan
bisa membuat kedua mempelai dipengaruhi oleh energi positif dan terhidar dari hal-hal yang
bersifat negatif.

BAB III
Penutup
3.1 Kesimpulan
Berdasarkan uraian pada bab sebelumnya, maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut :
1. Pelaksanaan perkawinan nyentana berbeda dengan perkawinan lain pada umumnya. Jika
perkawinan pada umumnya pihak perempuan yang ikut, tinggal dan masuk garis
keturunan suami, maka pada perkawinan nyentana pihak laki lakilah yang ikut, tinggal
dan masuk garis keturunan istri. Terdapat dua jenis perkawinan nyentana yang dilakuan
di desa Rama Nirwana yaitu sentana kepala dara dan sentana seledihi. Sentana kepala
dara merupakan jenis sentana yang diperas yang dimasukan ke dalam keluarga dan
diperlakukan sebagai anak kandung dan sentana seledihi merupakan jenis sentana yang
diberi hak mewaris tetapi tidak diperas.
2. Hak dan kewajiban suami dan istri yang melakukan perkawinan nyentana adalah suami
mendapatkan hak mewaris dari orang tua angkatnya, namun berkewajiban mengurus
orang tua pihak istri di masa tua, wajib melaksanakan upacara ngaben/penguburan
kepada orang tua yang telah meninggal, wajib melaksanakan kewajiban kepada
banjar/desa. Sedangkan hak istri adalah mendapatkan status sebagai sentana rajeg/purusa
(dianggap sebagai laki-laki) keturunan yang lahir dari perwakinan nyentana yang
dilakukan akan ikut garis keturunan ibu, berkewajiban mengurus duami dan rumah
tangganya.
3. Akibat hukum yang ditimbulkan bagi para pihak yang melakukan perkawinan nyentana
terjadi pada pihak laki-laki. Karena pihak laki-laki akan meninggalkan soroh dan kawitan
asalnya dan ikut masuk ke dalam soroh dankawitan pihak perempuan. Sahnya
perkaawinan nyentana adalah dengan dilakukannya upacara mabyakala (penyucian diri)
dan tentunya mendapat izin dari orang tua

Anda mungkin juga menyukai