Anda di halaman 1dari 2

Sejarah Desa Petulu

Ada berbagai cerita rakyat yang menyatakan bahwa petulu gunung merupakan gunung dari wilayah
kekuasaan Raja Sukawati. Nama ini diberikan oleh Cokorda Gunung, anak raja sukawat,i kira-kira
abad ke-15. Raja Sukawati menempatkan soroh (warga) bendesa untuk bermukim dan membangun
Desa petulu gunung. Karena wilayah sangat lebar atau bet, maka wilayah itu dibesebut bet dulu,
kemudian menjadi petulu. Wilayah yang paling utara diberi nama Petulu Gunung. Disebut Gunung
karena letaknya di ujung dan datarannya paling tinggi.

Wilayah petulu gunung sangat terisolir, jalannya buntu dan sulit dijangkau. Kehidupan
masyarakatnya sangat miskin karena kurangnya pekerjaan serta sempitnya lahan sawah yang
digarap masyarakat. Sehingga dalam usaha untuk melangsukan kehidupan, masyarakat petulu
gunung banyak merantau keluar wilayah untuk mendapat pekerjaan maupun sumber pangan
seperti, beras, kopi, dan ketela. Mereka banyak pergi kewilayah Singaraja untuk ngorek kopi dan ke
wilayah Tabanan untuk munuh padi serta wilayah Bangli untuk munuh ketela. Tiga wilayah ini selalu
mereka datangi setelah musim panen tiba. Mereka akan kembali setelah mendapatkan hasil atau
pada waktu piodalan maupun hari raya Galungan dan kuningan.

Melihat fenomena ini masyarakat petulu gunung berfikir bahwa apa yang dialami merupakan
suatu kejadian yang disebabkan oleh kurangnya yadnya yang dihaturkan pada Hyang Maha Kuasa.
Untuk menanggulangi keadaan tersebut, masyarakat berencana untuk melaksanakan upacara besar
di Pura Desa yaitu : mependem, mepedagingan, mebalik sumpah, dan ngenteg linggih. Mereka
sangat percaya dengan melaksanakan upacara besar ini masyarakat petulu gunung akan hidup
damai dan sejahtera.

Dengan dukungan yang sangat besar dari Puri Ubud, maka ditetapkannya upacara tersebut
pada hari sabtu kliwon landep. Masyarakat mulai ngayah untuk mempersiapkan segala sesuatu yang
berkaitan dengan keperluan upacara seperti : rerampe (janur, bambu), pedagingan (beras, telur),
dan wewalungan (binatang kurban). Ketika masyarakat ngayah, beberapa orang diantara mereka
melihat empat ekor burung kokokan di atas pohon di depan rumah mangku desa. Mereka tidak
mempunyai firasat apa-apa bahwa burung itu akan menjadi penghuni desanya.

Tanggal 25 Oktober 1965 merupakan puncak acara ngenteg linggih di pura desa yang
tentunya diawali terlebih dahulu dengan upacara besar seperti : melasti, mepedanan,
mepedagingan, mepada. Upacara dapat terlaksana dengan khusuk, khidmat, damai, dan lancar
walaupun pada masa persiapan diliputi dengan suasana yang sangat tegang karena suhu politik yang
sedang memanas yaitu G30S/PKI yang sering disebut dengan GESTAPU/GESTOK. Tapi berkat kuasa
Hyang Widhi mereka dapat melaksanakan yadnya yang besar itu dengan lancar.

Tepat tanggal 7 November 1965, upacara berakhir dan Ida Bhatara mesineb. Bersamaan
dengan itu datanglah segerombolan burung kokokan bertengger dan bersarang di atas pepohonan
yang tumbuh di ambal-ambal rumah penduduk. Melihat banyaknya burung kokokan yang datang,
masyarakat mempercayai bahwa burung tersebut merupakan pica Ida Bhatara Desa. Burung
kokokan ini merupakan salah satu peliharaan dari Pura Desa yang patut dipelihara dan disucikan.
Akhirnya burung kokokan tersebut dijemput (dipendak) oleh seluruh masyarakat dengan upacara
khusus di Pura Desa. Dari keyakinan tersebut masyarakat petulu gunung memelihara burung
kokokan tersebut dengan taat dan tidak ada yang berani mengganggunya. Mereka percaya apabila
mereka mengganggu burung kokokan akan berakibat fatal bagi kehidupan dirinya maupun
kehidupan tanamannya yang ada di sawah. Kejadian ini sudah sering dibuktikan dengan adanya
tanaman padi yang dirusak burung kokokan, orang jatuh pingsan karena menembak burung
kokokan, orang yang minta maaf (neduh) karena mengambil anak kokokan tanpa permisi. Maka
untuk menjaga keamanan dan kelestarian burung kokokan masyarakat petulu gunung membuat
hukum (awig-awig) khusus yang berkaitan dengan keberadaan burung kokokan yang harus ditaati
oleh seluruh masyarakat.

Anda mungkin juga menyukai