Anda di halaman 1dari 15

KATA PENGANTAR

Om, Swastyastu

Atas asung kerta wara nugraha Ida Sang Hyang Widhi Wasa / Tuhan Yang
Maha Esa karena atas rahmat-Nya makalah ini dapat diselesaikan dalam rangka
memenuhi tugas Seni Budaya.
Pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada
pihak – pihak yang telah membantu dalam penyelesaian makalah ini, tidak lupa
pula bapak /Ibu Guru yang mendidik dan mengajar. Dan juga kepada teman –
teman yang telah membantu lancarnya dalam pembuatan makalah ini.
Namun demikian penulis menyadari keterbatasan yang penulis miliki
sehingga kemungkinan adanya kekurangan – kekurangan dalam makalah ini. Oleh
karena itu, penulis mengharapkan saran dan kritik dari para pembaca guna
menyempurnakan makalah ini untuk sebagai pedoman dalam penulisan dan
penyusunan makalah selanjutnya. Sebagai akhir kata dengan harapan semoga
makalah ini bermanfaat bagi kita semua.

Om, Santhi, Santhi, Santhi, Om


Singaraja , 26 September 2018

Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ............................................................................................. i


DAFTAR ISI ........................................................................................................... ii
BAB I ...................................................................................................................... 1
PENDAHULUAN .................................................................................................. 1
1.1 Latar Belakang .............................................................................................. 1
1.2 Rumusan Masalah ......................................................................................... 1
1.3 Tujuan Penulisan ........................................................................................... 1
BAB II ..................................................................................................................... 2
PEMBAHASAN ..................................................................................................... 2
2.1 Sejarah Desa Kubutambahan ......................................................................... 2
2.2 Kebudayaan Yang Ada Di Desa Kubutambahan .......................................... 5
2.2.1 Tradisi Nampah Batu.................................................................................. 5
2.2.2 Tradisi Melasti Mepeningan ....................................................................... 6
2.2.3 Pertunjukan Tari Baris Dadap .................................................................... 7
2.2.4 Tradisi Truna Pingitan Dalam Upacara Dewa Yajna ................................ 8
BAB III ................................................................................................................. 12
PENUTUP ............................................................................................................. 12
3.1 Kesimpulan .................................................................................................. 12
3.2 Saran ............................................................................................................ 12
DAFTAR PUSTAKA

ii
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Masyarakat Bali merupakan masyarakat kolektif yang dalam tata
kehidupannya berlandaskan pada harmoni hubungan antara individu dengan
masyarakat, alam, serta dengan Tuhan, yang dikenal di Bali sebagai filsafat hidup
Tri Hita Karana. Seperti budaya kolektif pada umumnya, penekanan
Diberikan pada pentingnya Individu untuk menyesuaikan diri dengan
kelompok dengan ketentuan dalam kelompok sebagai acuan utamanya.
Kepentingan-kepentingan kelompok diutamakan dan individu diharapkan untuk
dapat bersikap dan berperilaku dalam cara-cara yang diterima oleh anggota
kelompok. Pada masyarakat Bali, hal ini dapat disaksikan dalam hukum yang
mengatur kehidupan masyarakat Bali di tempat tinggalnya, yang dikenal sebagai
hukum adat atau dalam istilah bahasa Balinya, awig-awig adat.
Berbicara soal kebudayaan tentunya akan sangat banyak yang harus di
bicarakan. Terutama kebudayaan Desa Kubutambahan yang memiliki banyak
sekali kebudayaan, suku, ras yang sangat beragam.

1.2 Rumusan Masalah

1. Bagaimana sejarah Desa Kubutambahan?


2. Apa saja kebudayaan yang ada di Desa Kubtambahan?
3. Bagaimana Hubungan Agama dengan Kebudayaan di Desa
Kubutambahan?

1.3 Tujuan Penulisan


1. Untuk mengetahui sejarah Desa Kubutambahan.
2. Untuk mengetahui kebudayaan Desa Banyuing.
3. Siswa dan masyarakat agar mengetahui hubungan Agama dengan
kebudayaan Desa Banyuning.

1
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Sejarah Desa Kubutambahan


Pada umumnya nama suatu Desa,Banjar,Subak dan tempat-tempat lainnya
mempunyai latar belakang sejarah tersendiri.Ada beberapa alternative yang
dipakai dalam pemberian nama tersebut antara lain :

1. Keadaan alam
2. Mata Pencahaian
3. Daerah,Desa,Banjar,atau Dusun asal mereka
4. Nama-nama orang yang dianggap berjasa dalam mennentukan daerah
tersebut
Desa,banjar yang tergolong kuno sebagian besar lagi diantaranya hanya di
ketahui melalui cerita-cerita rakyat yang turun menurun (legenda) dari leluhur
mereka,dan sebagian lagi memang terbukti secara tertulis dalam babad
pemancangan,prasasti dan lain-lain. Untuk yang bersifat legenda sering kali
menimbulkan banyak versi dalam pengungkapan masalah dalam pengungkapan
sejarah dari daerah tersebut.Sama halnya dengan Desa Kubutambahan,sumber
sejarah belum dapat diungkapkan karena suatu hal sangat pinsip warga Desa
Kubutambahan tidak berani untuk membaca maupun membacamenyalin prasasti
tesebut .Dan juga karena prasasti tersebut hanya dapat diambil jika telah mendapat
ijin ( wahyu ) dari tempat penyimpanan (wahyu) dari tempat penyimpannannya
tidak menentu oleh Ida Sanghyang Widhi Wasa.Untuk itu pada kesempatan ini
kami memaparkan hasil cerita dan piteket para leluhur warga Desa Kubutambahan
yang antara lain sebagai berikut :
Bahwa dahulu kala letak Desa Kubutambahan berada di sebelah timur dari
letaknya yang sekarang dan berada di pinggir pantai dan bernama desa (Kerajaan)
Besi MAjajar,yang pusat pemerintahannya disekitar Pura Pulo Kerta Negara Loka
sekarang, di daerah pantai yang bernama Kutabanding yang kini di huni oleh para
karma pura tersebut ada yang bernama Ratu Gede Subandar (mungkin berasal
dari Syah Bandar ) dan Ida Batara Solo.

2
Adapun penguasaannya pada waktu itu bergelar Ida Ratu Hyang Ing Hyang (
yang berate Raja) dan kuno mempunyai wilayah sebanyak18 bale agungdari
sebelah timur yaitu Desa Tianyar dan sebelah baat Desa Desa Pemuteran,ini
terbukti pada waktu jaman sebelum kemerdekaan,Ida Batara Hyang Ing Hyang
jika mepeningan sampai pelabuhan aji dan Desa Kubutambahan bernama sama
dengan salahsatu Pura di Desa Patemon yaitu Pura Ratu Gede Patih dimana pada
wktu itu pura tersebut menyelengarakan Upacara besar masih mengadakan
Upacara tata karma adat yaitu Kuntab (hadir) Nama Besi Mejajar untuk Desa
Kubutambahan konon beberapa Pura yang ada di Desa Kubutambahan dan
beberapa Pura yang ada di Kubutambahan (terbukti samai saat ini) terletak
berjejer sepanjang pantai Desa Kubutambahan dan beberapa purayang mengitari
Desa kubutambahan searah delapan penjuru mata angin,dari deretan Pura-pura
tersebut merupakan suatu jajaran yang persis benteng yang juga merupakan
penjagaan dari musuh-musuh pada waktu dari sebrang lautan.Pada suatu ketika
Pemerintahan Desa Besi Mejajar diserang oleh perusuh dengan jumblah yang
cukup banyak dari sebrang lautan .,yang juga bertepatan dengan banjir (air bah)
pada pada sebelah timur pusat pemerintahan yaitu di daerah Yeh Buah yang
sekarang yang sekarang berasal dari kata Yeh Wah (banjir).Untuk menyelamatkan
pucuk pimpinan (raja) maka atas kesepakatan pusat pemerintahan di pindahkan
keselatan,karena tempat pusat kerajaan amat mudah di serang oleh para musuh-
musuh dari sebrang dan juga tempat tersebut merupakan tempat muara pangkung
pembuangan air yang sangat besar dari atas Desa Bila ,Bengkala,dan Tamblang.
Dan semua pemerintahan itu bernama bernama Desa Bulian yang berarti abulih
(satu).Kejadian-Kejadian pada saat pemindahan pusat kerajaan dalam keadaan
darurat dan masih sampai sekarang tetap ada.Apabila warga Desa Bulian yang
tembus ke Yeh Buah sebelah barat Pura Penyusuhan yang berasal dari kata banyu
suan (pembersihan,petirtaan dan sampai sekarang warga dea Kubutambahan
mepeningan ngiring Ida Bhatara ke pura penyusuhan tersebut ) Pada suatu ketika
keadaan sudah mulai pulih kembali dari segala ancaman,maka datanglah lagi
ancaman lain yaitu ancaman dari seorang yang bewujud Raksasa yang sangat
besar mengangu penduduk Dsa Majajar semua kekuatan dan cara lain telah
dikerahkan untuk melawan raksasa tersebut .Pada suatu ketika pada saat keadan

3
semakin genting datanglah utusan dari kerajaan Gelgel Kelungkung yang hendak
mencari daerah pertanian baru di daerah Den Bukit.Adapun nama utusan tersebut
benama Ki Gusti TAmbahan bersedia membantu yang sangat gawat tersebut Ki
Gusti Tambahan bersedia membantu melenyapkan raksasa tersebut dengan syarat
jika berhasil diberikan tanah untuk dibuka untuk tanah pertanian.Setelah
persyratantersebut disepakati maka pemuka-pemuka pemerintahan yaitu Ki Pasek
Menyali,Ki Pasek Bebetin dan KiPasek Bayan,maka Ki Gusti Ngurah Tambahan
memohon doa restu dan petunjuk dari Ki Dukuh Bulian dan di beri keris yang
bernama KI Baan Kawu oleh Ki Gusti Ngurah Tambahan berhasil membinasakan
raksasa tersebut tetapi dengan diiringi pesan oleh raksasa tersebut,yang juga
disangupi oleh Ki Gusti Ngurah Tambahan yang berhail hal-hal sebagai berikut :
1. Bahwa ia dapat binasa jika di bunuh dengan keris Ki Baan KAwu oleh Ki
Gusti Tambahan
2. Agar setelah raksasa tersebut mati agar sanggup Ki Gusti Ngurah
Tambahan menjaga dua buah keris yang bernama Ki Baru Sembah dan Ki
Baru Ular yang bermanfaat sebagai penolak bala
3. Agar I Gusti Ngurah Tambahan sanggup menjadi penguasa di sebelah
utara Desa Bulian ,dan tidak kembali ke gelgel,karena karena hal ini sudah
menjadi hak dari Ki Gusti Ngurah Tambahan menetap di sini.
Setelah semua pesan itu di sanggupi oleh Ki Gusti Ngurah Tambahan maka
matilah raksasa tersebut. Dan pucak pimpinan di Bulian beserta para kerabatnya
yaitu kKi Pasek Menyali,Ki Pasek Bebetin,KI Pasek Bayan sepakat untuk
memberikan tanah untuk di buka oleh Ki Gusti Ngurah Tambahan yaitu :
1. Daerah Tukad aya (daya) sampai pinggir timur Desa SAngsit
2. Daerah alas Agung (alas arum) Bungkulan dan sekitarnya
Maka Ki Gusti Ngurah Tambahan beserta pengikutnya membuat pondok (kubu)
untuk tempat istiraat dan menyimpan alat-alat yang dipakai oleh oleh para
pengikutnya untuk membuka lahan tersebut,dantempat tersebut dinamakan Kubu
Ki Gusti Ngurah Tambahan,yang lama-kelamaan dengan adanya kemajuan jaman
maka di ubah menjadi Kubutambahan sampai saat ini.

4
Demikian secara singkat kami jelaskan tentang sejarah DEsa Kubutambahan
berdasarkan piteket para leluhur yang masih sangat jauh kebenarannya
berdasarkan prasasti yang sampai sekarang belum dapat kami salin.

2.2 Kebudayaan Yang Ada Di Desa Kubutambahan

2.2.1 Tradisi Nampah Batu

Tradisi merupakan suatu kebiasaan atau adat istiadat yang dimiliki oleh
suatu daerah yang sudah diwariskan secara turun-temurun dari generasi ke
generasi berikutnya, dan wajib untuk dilaksanakan seperti ritus-ritus, ajaran-ajaran
sosial, pandangan-pandangan, nilai-nilai, aturan-aturan prilaku dan lain
sebagainya, dalam kurun waktu yang panjang. Kata nampah berasal dari bahasa
Bali yang kata dasarnya adalah tampah yang berati memotong/menyemblih (Tim
Penyusun, 706 : 2008). Sedangkan kata batu sama artinya dalam bahasa Indonesia
yaitu sebuah benda. Jadi secara gramatikal, adapun kesimpulan mengenai
pengertian Tradisi Nampah Batu adalah suatu adat atau kebiasaan “menyembelih
batu” yang dilaksanakan oleh warga desa depeha yang diwariskan secara turun-
temurun kepada generasi berikutnya yang merupakan rangakaian dari upacara
piodalan di Pura Puseh Desa Depeha.
Upacara Nampah Batu merupakan suatu tradisi yang sangat unik yang
dilakukan oleh masyarakat Desa Depeha yang dilaksanakan pada hari Purwani
(sehari sebelum) Purnama Sasih Karo sebagai bentuk saradha bakti masyarakat

5
yang dipersembahkan kehadapan Ratu Ayu Manik Galih. Upacara Nampah Batu
(Nampah Bawi Duwe) dilaksanakan di Pura Puseh Desa Depeha. Pemilihan
tempat ini didasarkan atas keyakinan masyarakat Desa Pakraman Depeha bahwa
lokasi pura Pura Puseh dan daerah sekitarnya mempunyai kekuatan gaib dan
disakralkan oleh warga masyarakat setempat.

2.2.2 Tradisi Melasti Mepeningan

Ritual ini diawali dengan prosesi ngemedalang Ida Ratu Hyang Sakti
Pingit dari Payogan Ida di Desa Bulian pada dini hari. Setelah mengikuti prosesi
Makalahyas di Pura Bale Agung Kubutambahan ritual dilanjutkan dengan
mapeningan ke Pura Penyusuhan Penegil Dharma yang berjarak sekitar lima
kilometer ke arah timur Pura Bale Agung. Selain pralingga Ida Ratu Hyang Sakti
Pingit, 12 pralingga yang dipercaya sebagai pegiring mengikuti prosesi ini
Sebelum memasuki puncak upacara, krama sudah mempersiapkan
keperluan upacara sejak 11 hari yang lalu. Persiapan itu meliputi Ngusaba
Penyajan dan Metata Linggih. Tahapan awal ini menunjukkan bahwa krama desa
sepakat dan berjanji ngemedalang Ida Ratu Hyang Sakti Pingit. Selanjutnya
memasuki tilem ketiga krama mulai menjalani brata desa adat dengan pantangan
tidak diperbolehkan memakan daging berkaki empat. Tidak dibolehkan
melaksanakan upacara ngaben selama 15 hari.
Dari payogan Ida di Bulian, kemudian disambut dengan pemendak Ida
Bhatara. Pada prosesi tidak diperkenankan menyalakan lampu atau sumber cahaya
lain. Meski demikian, pralinggian Ida Bhatara bersama pengiringnya tiba di Pura

6
Bale Agung kemudian dipersembahkan Katuran Tulung Sangkul dan hingga
tengah malam digelar Ngwangsuh Pralinggian Ida Ratu Hayng Sakti Pingit.
Pagi hari sekitar puku 09.00 wita bertepatan pada purnama, pemangku, penghulu
desa dan krama kemudian menggelar Upacara Mapeningan ke Pura Penyusuhan
Penegil Dharma yang berbatasan dengan pantai. Proses penting itu ketika nunas
ke payogan ida bhatara kemudian mendak hingga dilinggihkan di pura desa.
“Ritual ini sudah ada sejak turun temurun, dimana ida bhatara mapeningan
bersama 12 pralinggian ida bhatara yang ada di lingkungan Desa Pakaraman
Kubutambahan.
Bahkan, banyak mempercayai jika kalangan pemangku kebijakan di
pemerintahan kerap kali memohon restu dengan melakukan persembahyangan dan
mempersembahkan sesajen kehadapan Ida Bhatara. “Sesuai apa yang kami terima
setelah Ida Bhatara mantuk upacara masih berlangsung tiga hari dan ini banyak
dimanfaatkan oleh umat kami dan umat dari daerah lain untuk ngaturang bhakti ke
sini dan sekaligus untuk memohon kerahayuan dan keselamatan

2.2.3 Pertunjukan Tari Baris Dadap

Tari Baris Dadap di Pura Gede Dalem Intaran,Tumbak Bayuh adalah salah
satu tari Sakral di Desa Kubutambahan. Keberadaannya tidak bisa dipisahkan dari
Pura Gede Dalem Intaran karena tarian ini adalah "duwe" atau milik dari Pura itu
sendiri. Tari dabdab ini biasanya ditarikan bila ada upacara besar (ageng) karena

7
tarian ini termasuk tarian sakral dan pada saat menarikan tarian baris dabdab ini
harus diiringi dengan tabuh celoneng, tarian ini ditarikan oleh 8 (delapan) orang
penari.

2.2.4 Tradisi Truna Pingitan Dalam Upacara Dewa Yajna

Yajna adalah korban suci yang dilaksanakan secara tulus ikhlas terhadap
Tuhan dalam berbagai manifestasinya , terhadap leluhur, para orang bijak,
sesame manusia, dan terhadap mahluk lain baik yang tampak maupun tidak
tampak. Dasar pelaksanaan yajna adalah konsep adanya hutang pada setiap
manusia sebagaimana terdapat dalam ajaran Tri Rnam yaitu tiga macam hutang
manusia, yaitu hutang kepada Tuhan ( Dewa Rnam ), hutang kepada para leluhur
(pitra Rnam), dan Hutang kepada para Rsi ( Rsi Rnam ). Dasar pelaksanaa yajna.
Selain konsep Tri Rna, juga terdapat rujukan dalam kitab suci Manawa
Dharmasastra dan BhagawadGita, yang kemudian di Bali ditulis kembali dalam
lontar.
Upacara dewa yajna yang ada di bali juga di warnai dengan suatu tradisi
yang ada di masing-masing desa sehingga upacara itu terlihat unik dan memberi
kesan yang baik dan memberikan suatu nilai-nilai yang terdapat dalam upacara
itu.Salah satunya di Desa Kubutambahan dalam melaksanakan upacara dewa
yajna yang dilaksanakan lima tahun sekali pada purnama kapat, dalam

8
serangkaian upacara dewa yajna itu menggunakan truna pingitan dalam
melaksanakan upacara itu.
Truna pingitan di ambil sebelum upacara itu mulai dilaksanakan dan juga
yang boleh menjadi truna pingitan ialah yang baru menèk bajang sebelum
menjadi pingitan para truna- truna (laki-laki) di upacarai agar bersih baik sekala
maupun niskala,setelah melakukan upacara itu baru truna menjadi seorang
pingitan yang dari awal mulainya piodalan sampai penyineban truna pingitan
tidak boleh keluar dari area pura sampai piodalan itu berakhir.
Agama dan Budaya dalam Hindu
Agama Hindu merupakan agama yang diyakini oleh masyarakat Hindu,
yang bersumber dari Ida Sang Hyang Widi Wasa. Weda merupakan kitab suci
agama Hindu yang diwahyukan melalui pendengaran rohani para Maha Rsi. Oleh
karena itu Weda juga disebut dengan kitab suci SRUTI. Umat Hindu yakin dan
percaya bahwa dunia dan segala isinya diciptakan oleh Ida Sang Hyang Widhi
Wasa, karena Cinta Kasih Beliau. Cinta Kasih Tuhan untuk menciptakan sekalian
makhluk sering juga disebut dengan YADNYA.Dalam kitab Yajur Weda
XXIII,62 disebutkan: “Ayam yajno Bhuvanasya” yang artinya Yadnya adalah
pusat terciptanya alam semesta. Penciptaan adalah karya spiritual dari Yang Maha
Esa dan sebagai kridanya memperlihatkan kemulianNya.
Weda sebagai kitab suci agama Hindu diyakini kebenarannya dan menjadi
pedoman hidup Umat Hindu, sebagai sumber bimbingan dan informasi yang
diperlukan dalam kehidupan sehari-hari ataupun untuk waktu-waktui tertentu.
Diyakini sebagai kitab suci karena sifat isinya dan yang menurunkannya adalah
Ida Sang Hyang Widhi Wasa itu sendiri. Weda mengalir dan memberikan vitalitas
terhadap kitab-kitab Hindu pada masa berikutnya. Dari kitab suci Weda lah
mengalir nilai-nilai keyakinan itu pada kitab-kitab seperti; Smerti, Itihasa, Puruna,
kitab Agama, Tantra, Darsana, dan Tattwa-tattwa yang diwarisi oleh umat Hindu
sampai saat ini.
Weda mengandung ajaran yang memberikan keselamatan di dunia dan
setelah itu. Weda menuntun tindakan umat manusia sejak ada dalam kandungan
sampai selanjutnya. Weda tidak terbatas pada tuntunan hidup individu,

9
masyarakat, kelompok manusia, tetapi ia menuntun seluruh hidup dan kehidupan
seluruh makhluk hidup.
Dalam kenyataan hidup bermasyarakat maka antara adat/budaya dan
agama sering kelihatan kabur dan bahkan sering tidak dimengerti dengan baik.
Tidak jarang suatu adat-budaya yang dipraktekkan dalam kehidupan masyarakat
dianggap merupakan suatu kegiatan keagamaan, ataupun sebaliknya, suatu
kegiatan keagamaan dianggap adalah kigiatan budaya.
Sesungguhnya antara budaya dan agama terdapat segi-segi persamaannya
tetapi lebih banyak segi-segi perbedaannya. Segi persamaannya dapat dilihat
dalam hal bahwa kedua norma tersebut sama-sama mengatur kehidupan manusia
dalam masyarakat agar tercipta suasana ketentraman dan kedamaian. Tetapi
disamping adanya segi persamaan, terdapat juga segi-segi perbedaan. Segi
perbedaan itu akan tampak jika dilihat dari segi berlakunya, dimana perwujudan
adat-budaya tergantung pada tempat, waktu, serta keadaan (desa, kala, dan patra),
sedangkan agama bersifat universal.
Kalau diperhatikan, maka agama dengan ajarannya itu mengatur rohani
manusia agar tercapai kesempurnaan hidup. Sedangkan adat budaya lebih tampak
pengaturannya dalam bentuk perbuatan lahiriah yaitu mengatur bagaiman
sebaiknya manusia itu bersikap, bertindak atau bertingkah laku dalam
hubungannya dengan manusia lainnya serta lingkungannya, agar tercipta suatu
suasana yang rukun damai dan sejahtera.
Dalam agama Hindu, antara agama dan adat-budaya terjalin hubungan
yang selaras/erat antara satu dengan yang lainnya dan saling mempengaruhi.
Karenanya tidak jarang dalam pelaksanaan agama disesuaikan dengan keadaan
setempat. Penyesuaian ini dapat dibenarkan dan dapat memperkuat budaya
setempat, sehingga menjadikan kesesuaian “adat-agama” ataupun’budaya-agama’,
artinya penyelenggaraan agama yang disesuaikan dengan budaya setempat.
Demikianlah terdapat didalam agama Hindu, perbedaan pelaksanaan agama Hindu
pada suatu daerah tertentu terlihat berbeda dengan daerah yang lainnya. Perbedaan
itu bukanlah berarti agamanya yang berbeda. Agama Hindu di India adalah sama
dengan agama Hindu yang ada di Indonesia, namun kuliynya yang akan tampak
berbeda.

10
Sedangkan budaya agama adalah suatu penghayatan terhadap keberadaan
Ida Sang Hyang Widhi Wasa dalam bentuk kegiatan budaya. Sejak munculnya
agama Hindu, usaha memvisualisasikan ajaran agama Hindu kepada umat
manusia telah berlangsung dengan baik. Para rohaniawan Hindu, para pandita,
orang-orang suci mengapresiasikan ajaran yang terdapat dalam kitab suci Weda
kedalam berbagai bentuk simbol budaya. Usaha ini telah terlaksana dari zaman ke
zaman. Ajaran yang sangat luhur ini diwujudkan dan disesuaikan dengan desa,
kala, dan patra pada waktu itu.
Kalau dilihat dari fakta sejarah, wujud budaya agama itu dari zaman ke
zaman mengalami perubahan bentuk, namun tetap memiliki konsep yang
konsisten. Artinya, prinsip-prinsip ajaran agama itu tidak pernah berubah yakni
bertujuan menghayati Ida Sang Hyang Widi Wasa. Kepercayaan terhadap Ida
Sang Hyang Widi Wasa, menjadi sumber utama untuk tumbuh dan
berkembangnya budaya agama dan ini pula yang melahirkan variasi bentuk
budaya agama. Variasi bentuk itu disesuaikan dengan kemampuan daya nalar dan
daya penghayatan umat pada waktu itu. Budaya agama yang dilahirkan dapat
muncul seperti “upacara agama”.
Upacara agama pada hakikatnya tidak semata-mata berdimensi agama
saja, tetapi juga berdimensi sosial, seni budaya, ekonomi, manajemen dan yang
lainnya. Melalui upacara agama, dapat dibina kerukunan antar sesama manusia,
keluarga, banjar yang satu dengan banjar yang lain. Upacara agama juga melatih
umat untuk bisa berorganisasi dan merupakan latihan-latihan manajemen dalam
mengatur jalannya upacara. Lewat upacara agama ditumbuhkan juga pembinaan
etika dan astetika. Upacara agama merupakan motivator yang sangat potensial
untuk melestarikan atau menumbuhkembangkan seni budaya, baik yang sakral
maupun yang profan. Bahkan upacara agama merupakan salah satu daya tarik
pariwisata dan dapat menunjang kehidupan manusia. Keseluruhan budaya agama
dalam bentuk upacara agama tersebut merupakan usaha manusia mendekatkan diri
kepada Ida Sang Hyang Widi wasa untuk mewujudkan kedamaian dan
kebahagiaan yang abadi
Seperti halnya manusia, tubuh merupakan hasil budaya agama itu sendiri,
sedangkan agama Hindu merupakan jiwa atau rohnya agama tersebut. Satu contoh

11
misalnya, budaya agama Hindu pada masyarakat Hindu di Bali dan budaya-
budaya Hindu di daerah yang lainnya yang ada di Indonesia.

BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Budaya merupakan suatu cara hidup yang berkembang dan dimiliki
bersama oleh sebuah kelompok orang dan diwariskan dari generasi ke generasi.
Budaya terbentuk dari banyak unsur yang rumit, termasuk sistem agama dan
politik, adat istiadat, bahasa, perkakas, pakaian, bangunan, dan karya seni.
Bahasa, sebagaimana juga budaya, merupakan bagian tak terpisahkan dari diri
manusia sehingga banyak orang cenderung menganggapnya diwariskan secara
genetis. Ketika seseorang berusaha berkomunikasi dengan orang-orang yang
berada budaya dan menyesuaikan perbedaan-perbedaannya, membuktikan bahwa
budaya itu dipelajari. Budaya adalah suatu pola hidup menyeluruh. budaya
bersifat kompleks, abstrak, dan luas. Banyak aspek budaya turut menentukan
perilaku komunikatif.

3.2 Saran
Dari laporan yang kami buat ini, kami dapat memberikan saran kepada
para pembaca agar senantiasa melestarikan tradisi di daerah anda. Karena Tradisi
sangat penting untuk diadakan dan dilestarikan. Oleh karena itu juga Bali
desenangi oleh para wisatawan baik local maupun mancanegara.

12
DAFTAR PUSTAKA

http://desa-kubutambahan.blogspot.com/p/sejarah-desa.html
http://www.balipost.com/news/2017/10/05/24013/Lima-Tahun-Sekali,Desa-
Pakraman...html
http://padmayowana.blogspot.com/2014/01/tradisi-nampah-batu-di-desa-
depeha_23.html

13

Anda mungkin juga menyukai