Anda di halaman 1dari 14

TUGAS ETNOZOOLOGI

YAYASAN LEMBU PUTIH TARO

OLEH

WAHYU SURYA CANDRA EKA PRAPTI (1603010315)

LUH ANI FEBRIANTI (1603010306)

AYU CITRADEWI (1603010300)

NI KOMANG TRI WIDIANINGSIH

PROGRAM STUDI BIOLOGI

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

UNIVERSITAS HINDU INDONESIA

DENPASAR

2018
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Pendahuluan

Desa Taro adalah sebuah desa yang terletak di Kecamatan Tegalalang,

Kabupaten Gianyar. Letaknya yang dekat dengan daerah Kintamani membuat

Desa Taro sangat sejuk dikala siang maupun malam hari, ini juga di dukung

dengan pepohonan yang masih terjaga kelestariannya dan adanya beberapa

lahan pertanian. Letak geografis yang mendukung, masyarakat Desa Taro

sangat antusias untuk menjadikan wilayah ini menjadi desa wisata.

Selain kondisi alam yang masih harmonis, Desa Taro memiliki satu

keunikan yang tak dimiliki desa lain di Bali yakni dengan adanya sapi

putih/Lembu Putih yang dianggap keramat. Masyarakat Desa Taro, terutama

warga Desa Pakraman Taro Kaja sangat meyakini kesucian hewan ini, bahkan

mereka tak berani memelihara secara pribadi apalagi membunuh hewan suci

tersebut. Seandainya ada sapi putih yang lahir dari sapi peliharaannya, ketika

mencapai umur enam (6) bulan pasti diserahkan pada Desa untuk dirawat.

Intinya sapi tersebut diperlakukan istimewa, demikian pula dengan keturunan

sapi putih tersebut, meskipun lahir berwarna lain.

Lembu putih merupakan elemen bernafaskan Hindu Shiwa, dengan etika

budaya sebagai salah satu bentuk penghormatan dan pensucian kepada dewa.

Lembu Putih Taro disebut dengan nama "Ida Bagus" untuk yang jantan dan "Si

Luh" untuk yang betina.


Sisi lain yang menarik bagi masyarakat Taro untuk lembu putih ini

adalah bahwa setiap hari ada sekitar 18 orang yang piket mencari rumput

makanan sang lembu. Piket ini bergantian tiap hari yang telah diatur dalam

rapat desa. Suasana gotong royong sangat lengket di sini. Selain disucikan

lembu putih ini juga dimanfaatkan sebagai sarana pelengkap (saksi) upacara di

Bali yaitu Ngasti (dan yang setingkat dengan upacara itu). Lembu (Sapi) Putih

ini dibawa ke tempat upacara dan oleh penyelenggara upacara dituntun

mengelilingi areal atau tempat upacara sebanyak tiga kali. Upacara ini disebut

dengan Purwa Daksina.

Keunikan dari Lembu Putih ini membuat masyarakat Taro Kaja ingin

menjadikan sebagai salah satu daya tarik wisata yang dimaksudkan untuk

menjaga kelestarian dari lembu ini dan memperkenalkannya ke masyarakat

luas. Kini kawasan wisata Lembu Putih sudah berbenah dengan lebih menata

kandang yang dipakai untuk merawat dan memelihara lembu putih serta taman-

taman disekitar sudah dipelihara sehingga tempat ini sangat cocok digunakan

sebagai tempat edukasi bagi anak-anak untuk mengenal lebih jauh hayati yang

ada.

Di dalam kawasan ini pula terdapat balai serba guna sebagai sarana

pelatihan, pelantikan, diskusi, rapat, konferensi atau event lainnya. Untuk para

petualang, kawasan ini juga mendukung untuk kegiatan trekking dan cycling.

Tempat ini juga baik dipergunakan untuk tempat berekreasi dengan lahan luas

disertai view yang bagus dan suasana yang sejuk.


1.2 Rumusan Masalah

1. Bagaimana sejarah tentang Lembu Putih di Desa Taro ?

2. Bagaimana perkembangan Lembu Putih di Desa Taro ?

3. Apa fungsi dari Lembu Putih dalam upakara ?

1.3 Tujuan

1. Untuk mengetahui sejarah tentang Lembu Putih di Desa Taro

2. Untuk mengetahui perkembangan Lembu Putih di Desa Taro

3. Untuk mengetahui fungsi dari Lembu Putih dalam upakara


BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Sejarah

Dalam kamus Bahasa bali lembu adalah sampi meparak dan mebulu

ngendih, sedangkan putih yaitu petak. Jadi lembu putih adalah sapi putih (sapi

Bali) yang warnanya putih. Lembu putih disakralkan oleh umat Hindu di Bali

dan diyakini sebagai pelinggihan Dewa Siwa yang disebut Lembu Nandini.

Lembu putih ada kawasan Pura agung Gunung Raung Desa Taro Kecamatan

Tegallalang, Kabupaten Gianyar.

Berdasarkan hasil wawancara dengan pengurus yayasan, sejarah Lembu

Putih yang berada di kawasan Pura Dalem Pingit yang berkaitan dengan Pura

Agung Gunung Raung desa pekraman Taro adalah di bawa oleh maha Rsi

Markadeya dengan pengikut beliau dari India menuju Pulau Swarna Dwipa

(jawa) sampai ke pulau Bangsul (Bali) untuk keperluan mengerjakan tanah

pertanian.

Ada mitos masyarakat yang menyebutkan bahwa, pada saat upacara besar

yang dilaksanakan di Pura Gung Raung Taro, semua sarana dan prasarana telah

lengkap, kecuali lembu putih yang belum ada, dari kekurangan itu prajuru

bersama masyarakat mengadakan pesamuan atau peparuman (rapat) membahas

tentang kekurangan tersebut. Ada masyarakat yang bertanya, bentuk jenis, serta

rupa dari lembu tersebut. Dari usul tersebut prajuru dan masyarakat yang

lainnya membisu semua karena belum pernah melihat bahkan baru kali ini.
Dan pada saat itu, ada salah seorang dari keluarga Jro Mangku Sidakarya

yaitu keluarga dari I Murya berkata : bahwa sapinya melahirkan sapi yang

warnanya putih serentak prajuru dan masyarakat riang gembira mendengar

pernyataan tersebut sambil berkata “ Peswecan Ida Betara Sang Hyang Widhi”

wiyakti Taro wantah Desa Sarwa Ade dari itu terus saja Duwe Lembu putih

sampai sekrang.

Diawali dengan keberadaan Duwe Lembu yang sangat memprihatinkan

yang dulunya dilepas pada tahun 1970, dengan jumlah lembu berjumlah 3 ekor.

Lalu dikandangkan dengan ukuran 4 m x 5 m dengan pagar pohon-pohinan

diikat dengan tali bambu, tempatnya berteduh sama seperti sapi biasa yang

dipelihara warga kebanyakan. Untuk pemeliharaannya dilaksanakan oleh

Banjar adat Desa Pekraman Taro Kaja secara bergiilir. Kemudian pada tahun

1978 berjumlah 5 ekor pemeliharaan masih dengan sistem bergilir dan ada

penambahan jumlah sampai 7 ekor dan terus bertambah hingga tahun 1991

berjumlah 12 ekor. Pada tahun 1991 mulai mendapatkan perhatian dari Dinas

Peternakan dan dibuatkan kandang di sisi barat Pura Dalem Pingit dengan

bentuk parallel menghadap ke utara dan ke timur, namun sudah ada tenaga

khusus untuk memberi pakan, sedangkan pakan masih disiapkan oleh Banjar

Adat secara bergilir.

Pada tahun 1996 sudah mencapai jumlah hingga 24 ekor, pada masa ini

keadaan duwe sangat memprihatinkan terutama kekurangan pakan sehingga

kondisinya sangat kurus dan ada yang sampai tidak bisa berjalan. Dengan

kondisi seperti ini masyarakat berinisiatif untuk melepaskan Duwe dengan cara

membuat pagar disekeliling kawasan pura Dalem Pingit bagian barat sampai di
pinggir sisi timur sema genit di sebelah utara uma, dengan cara ini juga kurang

efektif sehingga kondisi Duwe Lembu memprihatinkan.

Di tahun 2001 areal diperluas sampai perbatasan Talung Tambi dan di

selatan sampai perbatasan Banjar Delodsema, perkembangan jumlah Duwe

Lembu sangat signifikan mencapai 164, sehingga Duwe sampai ke lading-

ladang masyarakat.

Di tahun 2006 jumlah Duwe di kandangkan namun masih dilepas dengan

areal kandang berada di sisi selatan dari Pura Dalem pingit, dengan makin

sempitnya areal kandang maka Duwe makin berkurang, namun pengurangn

terjadi tidak jelas, yang dikubur saat itu hanya 12 ekor, selain itu tidak

diketahui keberadaannya. Jumlah duwe lembu saat itu hanya 29 ekor, dengan

kondisi yang sangat memprihatinka walaupun sudah dibelikan pakan berupa

padang gajah yang pembeliannya menggunakan dana kontribusi dari Wisata

gajah.

Tahun 2010 ada dari anak-anak muda berinisiatif untuk membangun

monument Duwe Lembu dengan perkumpulan yang disebut Go Green, hingga

tekumpul dana, pada saat itu terbentuk Panitia Pembangunan Monumen yang

diketuai oleh I wayan Margi, Sekretaris I Made Madriana, benahara I Wayan

Rapa, serta dengan beberapa anggota. Dan monumen dibangun oleh tukang

dari Taro Kelod I Wayan Selem, biaya pembangunan menghabiskan biaya

32.231.000,- .

Seiring dengan perkembangan dengan adanya rencana pendirian Yayasan

setelah karya agung Panca Wali Krama Agung di Kahyangan jagat Pura Agung
Raung dan dalam proses selama 2 tahun sehingga pada tahun 2013 terentuklah

Yayasan Duwe Lembu berjunlah 24 ekor baik jantan dan betina.

Sekarang lembu dipelihara dan dikandangkan oleh Desa Pekraman Taro

Kaja jumlahnya 32 ekor itu pun biasanya mengalami peningkatan atau

penurunan. Lembu putih tersebut sangat dipentingkan terutama air susunya, air

liurnya, air kencing, dan juga kotoranya dalam rangkaian upacara tersebut.

Masyarakat Desa Pekraman Taro Kaja sangat meyakini kesucian Lembu Putih

ini bahkan mereka tidak ada yang berani memelihara lembu putih ini secara

prbadi.

2.2 Kepemilikan

1. Lahan/Tanah

Tanah milik Desa Pekraman Taro Kaja dengan luas 3,5 ha yang

berlokasi di banjar Taro Kaja, Desa Taro, Kecamatan Tegallang, Kabupaten

Gianyar. Dengan batas-batas :

- Utara : Pura Dalem Pingit


- Timur : Jurang
- Selatan : Jurang delod sema
- Barat : Jalan ke elod sema

2. Bangunan

- Bale bengong di areal parkir ukuran 3 m x 3 m


- Bale bengong di depan pura nandini
- Bale bengong di sisi Tenggara Bale Sabha wana
- Sekretariat yayasan di areal parkir 8m x 6 m
- Tempat pengolahan air gelas
- Kantin 7m x 3 m
- WC di areal parkir
- Bale sabha wana 14 m x 8 m
- Bale bengong 2 unit
- Monumen Siwanandi
- Monumen Ganesa
- Monumen Sri Markandeya

2.3 Klasifikasi Ilmiah Lembu (Sapi Putih):

Kingdom : Animalia

Filum : Chordata

Kelas : Mammalia

Ordo : Artiodactyla

Famili : Bovidae

Subfamili : Bovinae

Genus : Bos

Spesies :B. javanicus

2.4 Fungsi Lembu Putih dalam Upacara


Keberadaan Lembu Putih yang disakralkan di Desa Taro sangat erat

sekali kaitannya dengan perjalanan suci Ida Maha Rsi Markandheya dalam

menyebarkan agama Hindu dari Swarna Dwipa menuju Bali. Selain memiliki

fungsi penting dalam berbagai ritual Hindu, Lembu Putih juga

sangat bermanfaat untuk pengolahan bio-gas, bio-urine dan pupuk kompos

yang ramah lingkungan. Bahkan kotoran, air seni, air liur, air susu dan air

matanya dimanfaatkan sebagai sarana pengobatan alternatif. Konservasi

lembu putih dikelola di atas lahan seluas 2,5 hektar oleh Yayasan Lembu

Putih Taro. Di dalamnya ditanam berbagai macam tanaman obat, tanaman

untuk upacara, berbagai buah-buahan Bali, bunga-bungaan serta tanaman-

tanaman langka.
Masyarakat di desa Taro ini mempercayai bahwa lembu putih yang

merupakan tunggangan dewa siwa ini dapat menyembuhkan segala penyakit

baik medis maupun non medis melalui air mani, kotoran maupun air susunya.

Lembu ini sangat disucikan oleh masyarakat setempat karena merupakan

warisan leluhur yang keberadaannya sudah tidak banyak lagi. Lembu ini

selain menjadi obyek wisata juga digunakan untuk upacara keagamaan hindu

yaitu dengan menghadirkannya maka dianggap sudah menyucikan tempat

tersebut.

Manusia diciptakan tidak dapat terlepas dari alam semesta sehingga

keberadaan, kesejahteraan, kedamaian, keselarasan dan keharmonisan alam

semesta harus dijaga kesuburannya. Menjaga kesuburan alam semesta,

masyarakat desa Taro melaksanakan upacara Tawur Panca Wali Krama Agung

yang dilaksanakan di Pura Agung Gunung Raung. Upacara Tawur Panca Wali

Krama Agung banyak menggunakan binatang salah satunya adalah Lembu

putih. Lembu putih di dalam Tawur Panaca Wali karma Agung mempunyai

berbagai fungsi sebagai pelengkap upacara tersebut. Adapun fungsi dari

lembu putih pada upacara Tawur Panca Wali Krama Agung di Pura Agung

Gunung Raung adalaah sebagai berikut adalah :


a. Pertama, yaitu diambil air susunya atau yang disebut dengan mamineh

empehan lembu putih,


b. Kedua digunakan dalam upacara MAPEPADE wewalungan,
c. Ketiga sebagai Caru atau Tawur Panca Wali Krama Agung di Kahyagan

Jagat Pura Agung Besakih pada tahun 1979, dan caru/ Tawur panca Wali

Krama Agung di Kahyangan Jagat Pura Agung Gunung Rawung pada 21

Maret 2011. Untuk pura-pura yang lain sepanjang sepengetahuan penulis

tidak ditemukan penggunanya.


Selain digunakan dalam upacara Tawur Panca Wali Karma Lembu Putih

di Taro sering disertakan dalam upacara memukur untuk mapurwa daksina.

Upacara Mapurwadaksina, yakni prosesi (mapeed) bagi puṣpaśarīra (yang

dipangku atau dijunjung oleh anak cucu keturunannya, memakai bhusana

serba putih), dilakukan pada hari “H”, setelah upacāra Mapinton,

mengelilingi panggung Payajnan sebanyak 3 kali (dari arah Selatan ke arah

Timur) mengikuti jejak lembu putih (sapi gading), yang dituntun oleh

gembalanya, di atas hamparan kain putih, dilakukan secara khusuk , diiringi

gamelan gambang, saron atau selonding, gong gede, kidung, kakawin,

pembacaan parwa (Mahābhārata) dan Putrupasaji (biasa oleh Walaka senior).


Gambar 1. Lembu putih yang digunakan untuk upakara

Penggunaan lembu dalam upacara ini mengandung makna untuk

menurunkan roh leluhur yang akan diupacarakan berkenan turun hadir dalam

upacara, selanjutnya mengikuti jejak lembu putih (sapi gading) sebagai

simbol mengikuti jalan keTuhanan, karena lembu putih adalah kendaraan

Dewa Siwa. Melalui upacara ini dimohon kehadapan Sang Hyang Siwa

supaya leluhur yang diupacarakan dapat mencapai sorga, sthana Sang Hyang
Siwa di gunung Kailaśa di arah Timur Laut yang menjulang tinggi (Sudarma,

2014).

BAB III

PENUTUP

3.1 SIMPULAN

Sampai saat ini di Indonesia khususnya di Bali hampir sebagian besar

umat Hindu masih mengartikan dan mengutamakan bahwa yadnya adalah

upacara/ritual. Padahal upakara/ritual itu adalah salah satu bagian dari bentuk-

bentuk yadnya. Sangat sedikit Umat Hindu di Indonesia yang memberikan

proporsional untuk melaksanakan bentuk-bentuk yadnya yang lainnya.


Hindu memberikan keluasan kepada pemeluknya dalam beryadnya sesuai

dengan kondisi dan kemampuan yang ada dengan peluang kesempatan hasil

yang sama. Dengan demikian apapun bentuk yadnya yang kita lakukan

sepanjang sesuai dengan konsep Dharma maka akan memperoleh hasil yang
maksimal. Bali sendiri memiliki beraneka ragam jenis hewan yang bisa

digunakan sebagai hewan upakara salah satunga adalah lembu putih Taro.
Saat ini populasi lembu putih masih terbatas. Oleh karena itu upaya

pelestraiannya sangat perlu dilakukan. Pemeliharaan dan pengembangbiakan

hewan lembu putih sebagai sarana upakara dapat dijadikan peluang bagi

masyarakat desa Taro. Dimana Lembu Putih dapat menjadi hewan saran suci

upakara dan menjadi daya tarik bagi turis yang gemar dengan wisata religi,

sehingga sesari yang diperoleh dapat digunakan sebagai modal pengembangan

desa.

Dengan menjaga kelestarian Lembu Putih Taro, setiap ada upakara yang

membutuhkan lembu putih di Bali, maka kebutuhan akan lembu putih akan selalu

terpenuhi. Dalam pelaksanaannya pelestarian lembu putih harus didasari atas

Konsep Tri Hita Karana dan apabila diterapkan secara mantap, kreatif dan

dinamis akan mewujudkan kehidupan harmonis yang meliputi pembangunan

manusia seutuhnya, yang “astiti bakti” terhadap Tuhan Yang Maha Esa, cinta

kepada kelestarian lembu putih, lingkungan, serta rukun dan damai dengan

sesama.

3.2 SARAN

DAFTAR PUSTAKA

Sudarma, I.W. 2014. Makna Upacara Mamukur dan Mepandes. Available at


https://dharmavada.wordpress.com/2014/08/08/makna-upacara-mamukur/.
Diakses 24 April 2018.

Anda mungkin juga menyukai