Anda di halaman 1dari 6

PERMUKIMAN TRADISIONAL

DAYAK HALONG
Dipublikasi pada Januari 1, 2011 oleh H.M Noor Efrani

Rate This

1. Lokasi permukiman dayak halong

SK BUPATI BALANGAN TRADISIONAL HALAONG

Secara geografis, wilayah permukiman suku Dayak Halong berada pada bentangan
PegununganMeratus yang terletak diantara 11503555 sampai 11504743 Bujur Timur dan
0202532 sampai 0203526 Lintang Selatan. Kawasan permukiman tradisonal suku Dayak
Halong/Dhea ini tersebar hampir di wilayah 10 (sepuluh) desa, yang meliputi:Desa Binuang
Santang, Desa Marajai, Desa Mauya, Desa Mantuyan, Desa Tabuan,Desa Buntu Pilanduk,
Desa Kapul, Desa Ha uwai, Desa Liyu dan Desa Aniungan. Adapun total luas kesepuluh
desa yang menjadi kawasan permukiman Suku Dayak Halong tersebut mencapai sekitar
366,66 km2 atau 55,57% dari luas wilayah Kecamatan Halong, Kabupaten Balangan.
Kawasan permukiman suku Dayak Halong memiliki batas-batas sebagai berikut :
Sebelah timur berbatasan dengan wilayahKecamatanSungai Durian, Kabupaten Kotabaru;
Sebelah barat berbatasan dengan Desa Gunung Batu dan Desa Auh Kecamatan Awayan;
Sebelah utara berbatasan dengan Kecamatan Halong; dan
Sebelah selatan berbatasan dengan Kecamatan Sungai Durian, Kabupaten Kotabaru dan
Kecamatan Batang Alai Selatan, Kabupaten Hulu Sungai Tengah.
2. Ritual dan Upacara Adat
Warga suku Dayak di wilayah Kabupaten Balangan rutin menggelar upacara adat untuk
mengirim doa kepada roh para leluhurnya. Perhelatan yang termasuk langka dan jarang
digelar di Provinsi Kalimantan Selatan ini diberi nama adat Mambatur. Masyarakat
Kecamatan Halong mayoritas merupakan masyarakat Dayak yang disebut Dayak Halong
sesuai dengan nama lokasi daerah tempat tinggal mereka. Masyarakat Dayak Halong sangat
memegang teguh adat istiadat nenek moyang mereka, hal ini dapat dilihat dengan adanya
beberapa acara adat yang sering dilakasanaka masyarakat setempat seperti :
1. Aruh Membatur
Aruh Mambatur merupakan sebuah acara penghormatan atas keluarga yang telah meninggal
selama empat hari empat malam. Aruh Mambatur yang dilaksanakan untuk memperingati
seratus hari kematian memerlukan hewan kurban berupa kambing, sedangkan upacara Aruh
Mambatur yang ditujukan untuk memperingati seribu hari kematian memerlukan hewan
kerbau. Dalam prosesinya (pembuatan nisan) jika yang meninggal adalah petinggi adat,
misalnya ketua atau tokoh adat serta balian atau tabib, maka nisan (batur) diukir menyerupai
wajah manusia, kalau yang meninggal orang biasa, nisan cukup dipahat dengan bentuk bunga
atau tumbuhan.
2. Aruh Baharin
Aruh Baharin merupakan pesta syukuran yang dilakukan keluarga besar terdiri dari 25
keluarga karena hasil panen padi di pahumaan (perladangan) mereka berhasil dengan baik.
Pesta yang berlangsung tujuh hari itu terasa sakral karena para balian yang seluruhnya
delapan orang, setiap malam menggelar prosesi ritual pemanggilan roh leluhur untuk ikut
hadir dalam pesta tersebut dan menikmati sesaji yang dipersembahkan. Prosesi berlangsung
pada empat tempat pemujaan di balai yang dibangun dengan ukuran sekitar 10 meter x 10
meter. Prosesi puncak dari ritual ini terjadi pada malam ketiga hingga keenam di mana para
balian melakukan proses batandik (menari) mengelilingi tempat pemujaan. Para balian seperti
kerasukan saat batandik terus berlangsung hingga larut malam dengan diiringi bunyi gamelan
dan gong.

Suku Dayak Pitap merupakanMasyarakat AdatDayak yang biasanya dikategorikan sebagai


bagian dari suku Dayak Meratus atau suku Dayak Bukit yang mendiami Kecamatan Awayan,
Kabupaten Balangan. Suku Dayak Pitap merupakan sebutan bagi kelompok masyarakat yang
terikat secara keturunan dan aturan adat, mendiami kawasan disekitar hulu-hulu Sungai Pitap
dan anak sungai lainnya. Sungai Pitap tersebut sendiri awalnya bernama Sungai Kitab.
Menurut keyakinan mereka, ditanah merekalah turunnya kitab yang menjadi rebutan. Oleh
datu mereka supaya ajaran kitab tersebut selalu ada maka kitab tersebut ditelan/dimakan atau
dalam

istilah mereka dipitapkan, sehingga ajaran agama mereka akan selalu ada di hati dan di akal
pikiran. Kata kitab pun akhirnya berubah menjadi pitap sehingga nama sungai dan
masyarakat yang tinggal kawasan tersebut berubah menjadi Pitap. Sedangkan sebutan Dayak
mengacu pada kesukuan mereka. Oleh beberapa literatur mereka dimasukkan kedalam
rumpun Dayak Bukit, namun pada kenyataanya mereka lebih senang disebut sebagai orang
Pitap atau Dayak Pitap, ini juga terjadi pada daerah-daerah lain di Meratus.Para leluhur
masyarakat Dayak Pitap mula-mula tinggal di daerah Tanah Hidup, yaitu daerah perbatasan
antara Kabupaten Balangan dengan Kabupaten Kotabaru (dipuncak Pegunungan Meratus).
Tanah Hidup menjadi wilayah tanah keramat yang diyakini sebagai daerah asal mula leluhur
mereka hidup.
Secara administratif, permukiman Dayak Pitap berada di wilayah 3 desa yakni Desa Dayak
Pitap, Desa Langkap dan Desa Miyanau (1 RT) Kecamatan Awayan Kabupaten Balangan,
semula sebelum keluar Undang-Undang Nomortentang Pembentukan Kabupaten Tanah
Bumbu dan Kabupaten Balangan berada di Kabupaten Hulu Sungai Utara.Semula suku
Dayak Pitap memiliki pemerintahan sendiri dengan pusat pemerintahan berada di Langkap.
Dengan adanya peraturansistem pemerintahandesa pada tahun 1979, dibentuk pemerintahan
desa Dayak Pitap dengan pusat pemerintahan waktu itu berada di Langkap. Wilayah Dayak
Pitap terbagi terdiri dari 5

kampung besar yaitu :


1. Langkap
2. Iyam
3. Ajung
4. Panikin
5. Kambiyain

Kemudian pada tahun 1982 wilayah Dayak Pitap dibagi menjadi 5 desa, berdasarkan
Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 2 Tahun 1980 tentang Pedoman Pembentukan,
Pemecahan, Penyatuan dan Penghapusan Kelurahan sertaPeraturan Menteri Dalam Negeri
Nomor 4Tahun 1981 tentang Pembentukan, Pemecahan, Penyatuan dan Penghapusan Desa.
Selanjutnya berdasarkan SK Camat Tahun 1993Kampung Ajung digabung ke Iyam. Tahun
1998Kampung Iyam dan Kampung Kambiyain digabungkan jadi satu dengan Kampung
Ajung dengan pusat pemerintahan di Ajung Hilir.
Selain di Halong dayak Warukin, Tabalong ada juga upacara kematian disebut Mia atau
Mambatur, yaitu membuat tanda kubur dari

kayu ulin. Ritual tersebut memiliki beberapa tingkatan, antara lain berdasarkan lamanya
waktu dan pembiayaan. Upacara menguburkan satu hari disebut ngatang, yaitu membuat
kubur satu tingkat. Dalam kaitan ini, ada tradisi siwah pada hari ke-40 setelah kematian.
Pembuatan batur satu tingkat ini disebut juga wara atau mambatur kecil. Proses mambatur
ada pula yang dijalankan selama lima hari disertai dengan pengorbanan kerbau dan pendirian
balontang, yakni patung si warga yang meninggal. Prosesi itu biasanya dilaksanakan dengan
mengundang semua warga. Sebagai kelanjutan mambatur biasanya dilangsungkan
mambuntang sebagai upacara terakhir. Kepala Adat Desa Warukin Rumbun mengatakan, aruh
mambuntang yang sederhana disebut buntang pujamanta. Ritual ini h

anya mengorbankan kambing, babi, dan ayam.


Untuk ritual yang lebih bergengsi, buntang pujamea diwarnai dengan pengorbanan kerbau.
Perbedaan antara mambatur dan balontang adalah dari segi mantra dan balian atau rohaniwan
Kaharingan yang melaksanakannya. Perbedaan lain, patung balontang diarahkan ke barat
sebagai simbol arah alam kematian, sedangkan pada mambuntang patung diarahkan ke timur
sebagai simbol kehidupan.
Tarian Gintor dan Wadian I Balian terdapat di kecamatan Halong

Balian adalah sebutan upacara pengobatan pada Suku Dayak Balangan (bagian dari Suku
Dayak Maanyan) di Kabupaten Balangan dan Suku Dayak Bukit di Kalimantan Selatan. Suku
Dayak Balangan memiliki upacara balian bulat. Tradisi balian ini dibuat menjadi suatu atraksi
kesenian yang disebut Tari Tandik Balian. Bagi masyarakat Suku Dayak, khususnya di
wilayah pedalaman, komunikasi dengan roh leluhur menjadi salah satu ritual untuk menjaga
keseimbangan dengan alam. Komunikasi tersebut bisa dilakukan dengan ritual khusus yang
bisa dilakukan oleh orang-orang khusus.
Keseimbangan itu akan tercapai manakala komunikasi dengan lingkungan, tidak terputus.
Bahkan komunitas masyarakat Suku Dayak juga me

mercayai bahwa keseimbangan alam akan masih sangat terjaga ketika roh leluhur ikut
menjaganya. Kearifan Suku Dayak untuk menjaga lingkungan turun temurun sebenarnya
menjadi bagian dari kehidupan yang sudah dibina sejak dahulu. Hanya, egoisme dan alasan
untuk bertahan hidup menjadikan banyak sisi lingkungan harus dikalahkan. Berbagai masalah
pun timbul. Musibah serangan penyakit, malapetaka dan bencana alam pun terjadi. Tidak ada
lagi penghormatan terhadap leluhur untuk ikut menjaga, karena ulah manusia yang tak lagi
arif menjaga komunikasi. Balian, dipercaya memiliki kemampuan untuk berkomunikasi
dengan roh-roh leluhur. Komunikasi itu bisa melalui tarian atau komunikasi verbal. Tari
dipercaya menjadi media, dengan pukulan alat musik yang disajikan da

pat menjadi penghubung untuk sebuah pola komunikasi.


Masyarakat S

uku Dayak mengenal balian saat akan melakukan komunikasi dengan roh-roh leluhur.
Biasanya saat berkaitan dengan ritual penyembuhan penyakit, ritual untuk membersihkan
kampung dari berbagai kemungkinan petaka, atau berbagai keperluan lainnya. Balian juga
menjadi perantara hubungan antara pihak yang memerlukan bantuan untuk diobati atau
keperluan lainnya dengan roh-roh leluhur yang dipanggil dalam kaitannya dengan ritual
tersebut, sehingga keperluan untuk ritual itu bisa berjalan sesuai harapan.
Ritual yang dilakukan balian biasanya menggunakan media berupa tarian dan atau gerakan-
gerakan serta bunyi-bunyian tetabuhan dan peralatan musik

pengiring tarian yang dimainkan oleh para pemain musik dalam ritual tersebut. Karena itu,
ritual tersebut sangat akrab dengan kehidupan masyarakat Suku Dayak di wilayah pedalaman.
Lebih-lebih untuk tetap menjaga keseimbangan alam dan berbagai pola kehidupan yang
berlangsung di dunia fana ini.
Balian juga menjadi bagian dari sebuah ritual dan bertindak sebagai pawang atau basir
(perantara adat, Red) yang memiliki kemampuan untuk menjaga komunikasi dengan dunia
leluhur sehingga keseimbangan dapat terus terjaga dan terbina langgeng. Keseimbangan
antara kehidupan fana dan dunia para leluhur akan dapat terjaga manakala dua dunia yang
berlainan itu dapat saling menjaga keseimbang

an. Sejauh ini, manusia menjaga alam dan ritual leluhur dan leluhur pun akan menjaga
keseimbangan alam tempat manusia hidup.
Aruh Adat Baharin
Lima balian (tokoh adat) yang memimpin upacara ritual terlihat berlari kecil sambil
membunyikan gelang hiang (gelang terbuat dari tembaga kuningan) mengelilingi salah satu
tempat pemujaan di balai depan rumah milik Ayi, warga Desa Kapul, Kecamatan Halong,
Kabup

aten Balangan, Kalimantan Selatan.


Hampir semua warga Dayak setempat, bahkan warga dari beberapa kampung lainnya, hadir
mengikuti ritual adat tua yang masih dilestarikan dan dipertahankan di kecamatan yang
terletak sekitar 250 kilometer utara Banjarmasin, ibu kota Kalimantan Selatan. Mereka larut
menyaksikan para balian itu saat bamamang (membaca mantra) memanggil para dewa dan
leluhur.
Prosesi adat ini dikenal dengan Aruh Baharin, pesta syukuran yang dilakukan keluarga besar
terdiri dari 25 keluarga tersebut karena hasil panen padi di pahumaan (perladangan) mereka
berhasil dengan baik. Pesta yang berlangsung tujuh hari itu terasa sakral karena para balian

yang seluruhnya delapan orang itu setiap malam menggelar prosesi ritual pemanggilan roh
leluhur untuk ikut hadir dalam pesta tersebut dan menikmati sesaji yang dipersembahkan.
Prosesi berlangsung pada empat tempat pemujaan di balai yang dibangun sekitar 10 meter x
10 meter. Prosesi puncak dari ritual ini terjadi pada malam ketiga hingga keenam di mana
para balian melakukan proses batandik (menari) mengelilingi tempat pemujaan. Para balian
seperti kerasukan saat batandik terus berlangsung hingga larut malam dengan diiringi bunyi
gamelan dan gong.
Sebelum prosesi itu berlangsung, ibu-ibu dan remaja wanita yang secara khas mengenakan
tapih bahalai (kain batik) terlihat sibuk membersihkan ber

as, membuat ketupat, memasak sayur, serta memasak lemang yang menjadi pemandangan
awal kesibukan mempersiapk

an ritual ini. Sementara para lelaki terlihat mengenakan sentara parang dan mandau di
pinggang. Mereka bukan hendak berperang, tetapi itu harus dikenakan saat mereka
mempersiapkan janur pemujaan, mengangkut kayu bakar, dan memasak nasi. Kesibukan
memasak ini berlangsung setiap hari selama ritual berlangsung.
Sedangkan kegiatan proses Aruh Baharin, kata Narang, balian yang tinggal di Desa Kapul
dipersiapkan oleh para balian. Prosesi tersebut berlangsung beberapa hari karena ada
beberapa pemanggilan roh leluhur yang harus dilakukan sesuai jumlah tempat pemujaan.
Untuk r

itual pembuka, jelasnya, prosesinya disebut Balai Tumarang di mana pemanggilan roh
sejumlah raja, termasuk beberapa raja Jawa,

yang pernah memiliki kekuasaan hingga ke daerah mereka. Selanjutnya, melakukan ritual
Sampan Dulang atau Kelong. Ritual ini memanggil

leluhur Dayak, yakni Balian Jaya yang dikenal dengan sebutan Nini Uri. Berikutnya, Hyang
Lembang, ini proses ritual terkait dengan ra

ja- raja dari Kerajaan Banjar masa lampau.

Para balian itu kemudian juga melakukan ritual penghormatan Ritual Dewata, yakni
mengisahkan kembali Datu Mangku Raksa Jaya bertapa sehingga mampu menembus alam
dewa. Sedangkan menyangkut kejayaan para raja Dayak yang mampu memimpin sembilan
benua atau pulau dilakukan dalam prosesi Hyang Dusun. Pada ritual-ritual tersebut, prosesi
yang paling ditunggu warga adalah penyembelihan kerbau. Kali ini ada 5 kerbau. Berbeda
dengan permukiman Dayak lainnya yang biasa hewan utama kurban atau sesaji pada ritual
adat adalah babi, di desa ini justru hadangan atau kerbau.
Hadangan dipilih warga sini sudah sejak dulu karena bisa dinikmati siapa pun yang berbeda
agama. Bahkan, di kampung ini juga tidak ada yang memelihara babi, kata Yusdianto, warga
Desa Kapul yang menjadi guru agama Buddha di Banjarmasin. Namun, yang membedakan,
warga dan anak-anak berebut mengambil sebagian darah hewan itu kemudian
memoleskannya ke masing-masing badan mereka karena percaya bisa membawa
keselamatan. Daging kerbau itu menjadi santapan utama dalam pesta padi tersebut.
Baras hanyar (beras hasil panen) belum bisa dimakan sebelum dilakukan Aruh Baharin.
Ibaratnya, pesta ini kami bayar zakat seperti dalam Islam, kata Narang.
Sedangkan sebagian daging dimasukkan ke dalam miniatur kapal naga dan rumah adat serta
beberapa ancak (tempat sesajian) yang diarak balian untuk disajikan kepada dewa dan
leluhur.
Menjelang akhir ritual, para balian kembali memberkati semua sesaji yang isinya antara lain
ayam, ikan bakar, bermacam kue, batang tanaman, lemang, dan telur. Ada juga penghitungan
jumlah uang logam yang diberikan warga sebagai bentuk pembayaran pajak kepada leluhur
yang telah memberi mereka rezeki. Selanjutnya, semua anggota keluarga yang
menyelenggarakan ritual tersebut diminta meludahi beberapa batang tanaman yang diikat
menjadi satu seraya dilakukan pemberkatan oleh para balian. Ritual ini merupakan simbol
membuang segala yang buruk dan kesialan. Akhirnya sesaji dihanyutkan di Sungai Balangan
yang melewati kampung itu. Bagi masyarakat Dayak, ritual ini adalah ungkapan syukur dan
harapan agar musim tanam berikut panen padi berhasil baik.

Anda mungkin juga menyukai