Anda di halaman 1dari 28

YAYASAN PEMBINA LEMBAGA PENDIDIKAN DASAR & MENENGAH

PERSATUAN GURU REPUBLIK INDONESIA PROVINSI JAWA TIMUR


(YPLP DASMEN PGRI JAWA TIMUR)
SMA PGRI BATU
JL IMAM BONJOL III / 9 TELP.(0341)511482 BATU
Fax(0341)511482 Email : batusmapgri@yahoo.co.id
====================================================================
NAMA PESERTA DIDIK :……………………………..
KELAS : XI MIPA/ IPS
MATA PELAJARAN : BAHASA JAWA
Materi atau sub bab : Upacara Adat Jawa

10 Upacara Adat Jawa Timur yang Terkenal

Jawa Timur, salah satu daerah provinsi di Indonesia yang


memiliki ragam kekayaan budaya yang melimpah. Berbagai
etnis dan suku bangsa turut mendiami wilayah ini dengan
berbagai warna dan keunikannya masing-masing.
Pada artikel ini, kita akan sedikit mengulas upacara adat Jawa
Timur yang tentu memiliki keunikan dan ke-khas-an yang
menarik. Meski beberapa telah dipengaruhi oleh berbagai
budaya dari luar, upacara adat Jawa Timur masih memiliki
karakter yang khas dan patut untuk ditelusuri.

Berikut 10 upacara adat Jawa Timur yang berhasil kita rangkum


dari berbagai sumber yang terpercaya. Semoga manfaat!
1. Tahlilan Kemati

Tahlilan /dutaislam.com

Seperti yang telah umum diketahui, Islam merupakan agama


yang paling banyak dianut oleh masyarakat di Indonesia. Maka
tak heran kalau ada beragam budaya di Indonesia dipengaruhi
oleh nuansa yang Islami.

Salah satunya adalah tradisi Tahlilan. Dalam ajaran


Islam, tahlil adalah bacaan kalimat tauhid, yaitu la ilaaha
illallah yang berarti “tiada tuhan selain Allah”. Selain sebagai
kalimat syahadat, kalimat ini juga merupakan bacaan zikir yang
disyariatkan serta memiliki nilai yang besar dan paling utama.
Dalam kebudayaan Nusantara, khususnya kebudaayan Jawa
Timur, kalimat tahlil biasa digunakan dalam salah satu prosesi
budaya Tahlilan sebagai bacaan zikir untuk mendoakan orang
yang telah meninggal dunia.
Tahlilan sendiri adalah sebuah ritual untuk mendoakan orang
yang telah meninggal dunia dengan membaca Alquran
bersama, zikir bersama, dan membaca doa-doa tertentu, yang
diselenggarakan oleh pihak keluarga yang ditinggalkan.

Dalam acara Tahlilan tersebut, biasanya dihadiri oleh para


tetangga, kerabat, dan sanak keluarga besar. Tradisi ini akan
diadakan sebagai peringatan pada hari ke-1, ke-3, ke-7, ke-40,
ke-100, 1 tahunan, dan 3 tahun setelah hari kematian dari orang
yang meninggal tersebut.

Dalam sejarahnya, tradisi ini pertama kali diperkenalkan oleh


Walisongo dalam rangka penyebaran agama Islam pada
zamannya. Tradisi ini merupakan perpaduan antara budaya
Islam dengan budaya Hindu dimana dahulu memang terjadi
akulturasi budaya di kalangan masyarakat Jawa.

Sebelum kedatangan Walisongo di Nusantara, sebagian besar


masyarakat Jawa pada masa itu menganut agama Hindu karena
pengaruh kerajaan-kerajaan Hindu yang menguasai Pulau Jawa.
Dalam ajaran Hindu, terdapat ritual penghormatan untuk orang
yang meninggal pada peringatan hari ke-1, ke-3, ke-7, dan
seterusnya.
Sementara Walisongo menyebarkan agama Islam di Pulau Jawa
dengan cara pelan-pelan karena orang-orang Jawa pada masa
itu dinilai cenderung konservatif terhadap hal-hal baru. Maka
dari itu, agar dakwah Islam dapat diterima oleh masyarakat,
Walisongo menyelipkan nilai-nilai Islam dalam ritual ini dengan
mengisinya dengan doa-doa yang disyariatkan agama Islam.

Hingga saat ini, budaya ini masih biasa dilakukan di masyarakat


Islam Pulau Jawa. Meskipun tidak semua kalangan masyarakat
Islam Jawa melakukannya karena dinilai bukan bagian dari
syariat Islam.
2. Upacara Kasada Bromo

Kasodo
/global-news.co.id

Upacara Yadnya Kasada atau Kasodo merupakan tradisi adat


yang rutin dilaksanakan oleh masyarakat Suku Tengger yang
mendiami kawasan pegunungan Bromo-Tengger-Semeru, Jawa
Timur.
Tidak seperti masyarakat pemeluk Hindu pada umumnya yang
memiliki candi sebagai tempat ibadah, masyarakat Tengger
biasa melakukan upacara Kasada di Pura Luhur Poten yang
terletak di kaki Gunung Bromo.

Bagi orang Tengger, Gunung Bromo atau Brahma adalah


gunung suci. Upacara Kasada biasa dilakukan rutin setiap tahun
pada tengah malam hingga dini hari di bulan Kasodo
(kesepuluh) pada penanggalan Jawa. Selain sebagai
penghormatan terhadap leluhur, Upacara Kasada juga dilakukan
untuk mengangkat seorang tabib atau dukun di setiap desa.
Beberapa hari sebelum Upacara Kasada dimulai, masyarakat
akan mengerjakan sesajian yang berisi berbagai macam hasil
pertanian dan ternak. Pada malam upacara berlangsung,
mereka akan berbondong-bondong membawa ongkek yang
berisi sesaji-sesaji tersebut menuju pura.

Tepat pada tengah malam, upacara pelantikan dukun dan


pemberkatan umat di pura tersebut akan berlangsung. Selepas
upacara selesai, ongkek-ongkek yang berisi berbagai sesajian
tersebut akan dibawa dari kaki gunung menuju puncak gunung.

Sesampainya di puncak, mereka akan melemparkan sesajian-


sesajian tersebut ke kawah Gunung Bromo sebagai simbol
pengorbanan yang dilakukan oleh nenek moyang mereka.
Pengrobanan tersebut juga merupakan wujud terimakasih
mereka kepada Tuhan atas hasil pertanian dan ternak yang
melimpah,
3. Upacara Ruwatan

banggaaindonesia.blogspot.com

Ruwatan adalah salah satu upacara adat yang sejak dulu hingga


kini masih dilestarikan oleh masyarakat Jawa secara luas.
Kata ruwat sendiri berasal dari bahasa Jawa yang berarti
“membuang sial” atau “menyelamatkan orang dari gangguan
tertentu”.
Bentuk gangguan tersebut dapat berupa kelainan dari suatu
kondisi yang umum dalam sebuah keluarga atau dalam diri
seseorang. Gangguan yang harus diruwat adalah gangguan
yang berupa perbuatan yang dapat menimbulkan sial, celaka,
atau dampak sosial lainnya.

Bagi masyarakat Jawa, Ruwatan merupakan satu bentuk usaha


yang bertujuan agar kelak setelah menjalani upacara tersebut
seseorang dapat memperoleh berkah berupa keselamatan,
kesehatan, kedamaian, ketenteraman jiwa, kesejahteraan, dan
kebahagiaan bagi diri sendiri secara khusus maupun bagi
keluarga dalam lingkup yang lebih luas.

Pada pagelaran Pangruwatan Murwakala, biasa dilakukan


dengan pertunjukan wayang yang ditanggap oleh seorang
dalang khusus yang memiliki kemampuan dalam bidang
Ruwatan.

Dalam ritual tersebut, seorang bocah sukerto akan dipotong


rambutnya. Menurut kepercayaan Jawa, kesialan dan
kemalangan bocah tersebut sudah menjadi tanggungan dalang
karena bocah tersebut sudah menjadi anaknya.
Karena pagelaran wayang merupakan acara yang dianggap
sakral dan membutuhkan dana yang cukup banyak, maka
pelaksanaan Ruwatan dengan pagelaran wayang di masa
sekarang biasanya dilakukan dalam lingkup pedesaan atau
dusun,

Hingga sekarang, upacara adat Ruwatan ini masih dilakukan dan


dipercaya orang Jawa sebagai sarana pembebasan dan
pensucian manusia dari dosa atau kesalahannya yang
berdampak kesialan dalam hidupanya.

Dalam cerita wayang dengan lakon Murwakala pada upacara


Ruwatan di Jawa, dikatakan berkembang dari cerita Jawa kuno
yang isi pokoknya memuat masalah pensucian, yaitu
pembebasan dewa yang telah ternoda agar menjadi suci
kembali.

Maka dalam kepercayaan orang-orang Jawa, orang yang berada


dalam kondisi nandang sukerto atau berada dalam dosa atau
mengalami kesulitan batin, maka perlu mengadakan Ruwatan
agar menjadi suci kembali.
Dalam kata lain, meruwat adalah mengatasi atau menghindari
suatu kesusahan batin dengan cara mengadakan pertunjukan
atau ritual dengan media wayang kulit yang mengambil cerita
Murwakala.
4. Upacara Keduk Beji

Keduk Beji /sinarngawi.com

Upacara Keduk Beji merupakan salah satu tradisi yang biasa


diadakan setiap tahun di Desa Tawun, Kecamatan Kasreman,
Kabupaten Ngawi, Jawa Timur. Upacara ini biasanya
dilaksanakan setiap hari Selasa Kliwon menurut penanggalan
Jawa-Islam.
Kata Mbah Wo Supomo selaku Juru Silep dan sesepuh Desa
Tawun, tujuan upacara ini adalah untuk melestarikan adat
budaya Desa Tawun yang ada sejak zaman dulu. Inti dari
upacara Keduk Beji adalah penyilepan dan penggantian kendi
yang disimpan di pusat sumber air Beji yang berada di dalam
goa.

Menurut kepercayaan, kendi yang berada dalam sumber air Beji


harus diganti setiap tahunnya agar sumber air tetap terjaga
kebersihannya.

Sumber air Beji yang berada di Taman Wisata Tawun


merupakan sumber air yang begitu penting bagi masyarakat
sekitar. Air dari sumber tersebut biasa digunakan untuk minum,
pengairan sawah, dan sumber air Taman Tawun sendiri. Maka
dari itu, kebersihannya harus terus dijaga agar tidak mati.

Upacara Keduk Beji dimulai dengan melakukan pembersihan


kotoran di dalam sumber air Beji. Seluruh warga Desa Tawun
yang laki-laki akan turun ke sumber air untuk mengambil
sampah dan dedauan yang menumpuk selama setahun terakhir.

Selama pembersihan tersebut, kaum laki-laki yang berada di


dalam sumber air tersebut menari dan melakukan tradisi saling
pukul menggunakan ranting dengan diiringi tabuhan gendang.

Upacara dilanjutkan dengan prosesi penyilepan dan


penggantian kendi di dalam pusat sumber air. Orang yang
berhak menyelam dan mengganti kendi tersebut adalah dari
keturunan Eyang Ludro Joyo, yaitu seorang tokoh sesepuh desa
yang dipercaya dulu jasadnya menghilang di sumber air Beji
saat bertapa.

Lalu, upacara dilanjutkan dengan penyiraman air legen ke dalam


sumber air Beji dan penyeberangan sesaji dari arah timur ke
barat sumber. Upacara ditutup dengan selametan dan makan
bersama berkat dari gunungan lanang dan gunungan
wadon yang sudah disiapkan bagi warga untuk memperoleh
berkah.
Selain sebagai pelestarian sumber air, upacara Keduk Beji juga
merupakan ikon wisata budaya Kabupaten Ngawi. Bahkan
setiap upacara ini digelar, ribuan wisatawan dari berbagai
daerah sekitar ikut berkunjung ke Taman Tawun untuk
menyaksikan upacara ini.
5. Upacara Sandhur

Sandhur atau Dhamong Ghardam merupakan ritual yang biasa


dilakukan oleh masyarakat di dataran Madura, Jawa Timur, Ritus
ini berupa tarian yang dimaksudkan untuk memohon hujan,
menjamin sumur penuh dengan air, menghormati makam
keramat, membuang bahaya penyakit, atau mengenyahkan
musibah dan bencana.
Bentuk ritus ini berupa tarian dan nyanyian yang diiringi dengan
musik. Gerakannya tidak lebih dari penyesuaian irama tubuh
dengan gerakan tarian daerah setempat. Irama tubuh muncuk
secara spontan mengikuti irama nyanyian dan musik.

Dalam ritual tersebut, adakalanya beberapa peserta sampai


mengalami kesurupan sehingga pelaksanaannya membutuhkan
pawang atau dukun sebagai mediator dalam berhubungan dan
berdialog dengan makhluk dari alam lain.

Salah satu tempat yang biasa diadakan upacara Sandhur adalah


persimpangan jalan yang bertujuan untuk membuang
pengaruh-pengaruh negatif. Ritual tersebut biasanya akan
dipimpin oleh seorang dukun yang bertugas membacakan doa-
doa dalam bahasa Madura dan Arab.

Daerah-daerah yang memiliki ritual sekaligus kesenian seperti


ini hampir menyebar di dataran Madura bagian timur, seperti:
Batuputih, Pasongsongan, Guluk-Guluk, Desa Pakondang, Desa
Daramista, sampai di Saronggi, namun dengan bentuk ritus
yang berbeda-beda.

Upacara Sandhur merupakan bentuk tradisi yang mengandung


berbagai paduan unsur budaya, yaitu budaya Hindu, Budha,
Jawa, dan budaya Islam. Hal itu dapat ditunjukkan dari syair-
syair yang disenandungkan menggunakan bahasa Jawa kuno,
bahasa Madura, hingga bahasa Arab.

Meskipun memiliki tujuan yang sama, Sandhur dan Dhamong


Ghardam rupanya memiliki perbedaan yang terletak pada
prosesi pelaksanaannya. Sandhur lebih mengedepankan unsur
seni, dengan memadukan kepiawaian permainan musik, syair,
dan gerakan tarian. Sementara Dhamong Ghardam lebih
dominan dalam prosesi ritus-nya.

6. Larung Sembonyo

Larung Sembonyo /koranmemo.com


Larung Sembonyo adalah upacara adat sedekah laut yang telah
dilakukan secara turun temurun sejak zaman nenek moyang
oleh masyarakat lokal nelayan Pantai Prigi, Trenggalek, Jawa
Timur. Tradisi tersebut merupakan bentuk ungkapan rasa syukur
bagi masyarakat setempat atas hasil laut yang melimpah.
Selain itu, upacara Larung Sembonyo juga merupakan bentuk
permohonan akan keselamatan masyarakat nelayan Prigi ketika
mencari ikan di laut. Kebiasaan ini telah dilakukan sejak lama
dan menjadi bagian dari kebudayaan Kota Trenggalek, terutama
masyarakat pesisir Pantai Prigi.

Konon, upacara Larung Sembonyo ini lahir dari cerita rakyat


mengenai peristiwa gaib ketika seorang Tumenggung dan
pasukannya melakukan babat alas atau perluasan wilayah di
daerah tersebut. Cerita tersebut juga melahirkan mitos yang
berkembang di kalangan masyarakat pesisir Pantai Prigi.
Menurut kepercayaan masyarakat setempat, upacara Larung
Sembonyo juga merupakan bentuk rasa hormat kepada leluhur
yang telah membuka wilayah tersebut sebagai pemukiman.
Tumenggung Yudho Negoro dan keempat saudaranya
dianggap tokoh penting sebagai orang yang pertama kali
membuka lahan di daerah tersebut.

Ketika tradisi ini tidak dilaksanakan, masyarakat akan merasakan


ada sesuatu yang kurang. Dipercaya bahwa apabila upacara
adat ini tidak dilaksanakan, maka akan terjadi berbagai
kesulitan, seperti: gagal panen, tangkapan ikan yang sulit,
wabah penyakit, hingga bencana alam dan berbagai kesulitan
lainnya.

Pada tahun 1985, dikabarkan bahwa Upacara Larung Sembonyo


ini berkembang kembali dan diselenggarakan secara besar-
besaran, yang sebelumnya pernah berhenti karena kondisi
politik yang kurang mendukung. Sampai saat ini, tradisi ini telah
menjadi agenda rutin warga Trenggalek dan didukung oleh
pemerintah Kabupaten Trenggalek sebagai pelestarian budaya.

Upacara Larung Sembonyo biasa diselenggarakan pada Senin


Kliwon, bulan Selo, menurut penanggalan Jawa. Upacara ini juga
memiliki berbagai istilah lain, seperti: Sedekah Laut, Upacara
Adat Sembonyo, Mbucal Sembonyo, atau Bersih  Laut.
7. Upacara Dam Bagong

Dam Bagong /detik.com


Upacara Dam Bagong merupakan salah satu upacara adat Jawa
Timur, khususnya pada masyarakat Dam Bagong, Kelurahan
Ngantru, Kabupaten Trenggalek. Upacara ini berupa
persembahan kepala kerbau yang dilarung ke bendungan Dam
Bagong sebagai penghormatan terhadap seorang leluhur
pahlawan tani, Ki Ageng Menak Sopal.
Dikisahkan, Ki Ageng Menak Sopal dikenal sebagai seorang
pemuka agama yang berjuang meyebarkan Agama Islam di
daerah Trenggalek. Selain itu, beliau juga dianggap sebagai
pahlawan tani yang telah berjasa membangun pusat irigasi
persawahan dan membangun bendungan Dam Bagong.

Pelaksanaan upacara Dam Bagong ini diawali dengan


penyembelihan satu ekor kerbau. Daging kerbau tersebut
nantinya akan dibagikan kepada masyarakat. Sedangkan
kepalanya akan dilarung ke Sungai Bagong. Sebelum dilempar
ke bendungan, potongan kepala kerbau tersebut dan beberapa
tubuh lainnya akan diarak keliling kampung menuju makam Ki
Ageng Menak Sopal.

Dengan diadakannya upacara seperti ini, masyarakat setempat


berharap agar wilayahnya senantiasa mendapatkan kedamaian
dan ketenteraman.
8. Upacara Kebo-Keboan

Kebo-Keboan /medcom.id

Kebo-Keboan adalah sebuah tradisi yang biasa dilakukan oleh


masyarakat Suku Osing (Using) yang mendiami beberapa
wilayah di Kabupaten Banyuwangi, Jawa Timur.
Tradisi Kebo-Keboan sangat erat kaitannya dengan bidang
pertanian, yang dilaksanakan untuk meminta kesuburan tanah,
panen yang melimpah, serta terhindar dari malapetaka, baik
yang menimpa tanaman maupun manusia.
Menurut cerita yang berkembang, tradisi Kebo-Keboan ini
berawal ketika daerah Dusun Krajan mengalami pagebluk, yaitu
munculnya berbagai hama penyakit yang menyebabkan
matinya tanaman pertanian.
Untuk mengatasi bencana tersebut, seorang tokoh masyarakat
bernama Buyut Karti melakukan sebuah ritual dengan cara
menirukan perilaku seekor kerbau yang sedang membajak
sawah,

Rupanya, ritual tersebut dianggap mampu menjadi penghalau


dari berbagai macam bencana yang menimpa Dusun Krajan.
Dari situlah, tradisi Kebo-Keboan kemudian diadakan secara
rutin setiap tahun sekali.

Upacara Kebo-Keboan di Dusun Krajan ini biasa dilaksanakan


setiap tahun sekali, yaitu pada hari Minggu antara tanggal 1
sampai 10 Suro (tanpa melihat hari pasaran).

Menurut kepercayaan masyarakat Jawa, bulan Suro dianggap


sebagai bulan keramat. Sementara hari Minggu adalah hari
dimana masyarakat libur bekerja, sehingga dapat mengikuti
jalannya upacara tersebut.

Seminggu menjelang upacara Kebo-Keboan, biasanya


masyarakat Dusun Krajan akan mengadakan kegiatan gotong
royong membersihkan lingkungan rumah dan dusun.
Kemudian sehari sebelum upacara, ibu-ibu bersama-sama
mempersiapkan sesajian yang terdiri dari: tumpeng, peras, air
kendi, kinang ayu, aneka jenang, ingkung ayam, dan
sebagainya. Selain untuk acara selametan, seluruh sesajian
tersebut nantinya akan diletakkan di setiap perempatan jalan
Dusun Krajan.
Acara Kebo-Keboan dibuka dengan sebuah upacara sederhana
di Petaunan yang dihadiri oleh panitia, para tokoh, dan
beberapa warga Krajan. Upacara pembuka ini hanya berupa
kata sambutan, doa, dan dilanjutkan dengan makan bersama.

Lalu, upacara dilanjutkan dengan pawai ider bumi berkeliling


Dusun Krajan menuju bendungan air yang diikuti oleh para
tokoh, seorang pawang, dua pasang kebo-keboan, para
pembawa sesajian, dan para pemain musik hadrah dan
barongan.
Sesampainya di bendungan, jagatirta (petugas pengatur air)
segera membuka bendungan sehingga air mengalir ke
sepanjang jalan dusun yang sebelumnya telah ditanami palawija
oleh para pemuda.
Sementara para peserta upacara menuju ke area persawahan
milik warga Dusun Krajan. Di persawahan inilah, kebo-keboan
mulai memperlihatkan perilakunya yang menyerupai seekor
kerbau yang sedang membajak sawah dan berkubang.

Saat mereka berkubang, sebagian peserta upacara segera turun


ke sawah dan menanam benih padi. Setelah tertanam, para
peserta yang lain segera berebut untuk mengambil benih padi
yang baru saja ditanam tersebut. Benih-benih tersebut
dipercaya dapat dijadikan sebagai penolak bala, mendatangkan
keberuntungan, serta membawa berkah.

Di saat para peserta memperebutkan benih tersebut, para kebo-


keboan yang sebelumnya telah dimantrai sehingga kesurupan
tersebut akan segera mengejar para pengambil benih yang
dianggap sebagai pengganggu. Namun, kebo-keboan tersebut
tidak sampai mencelakai karena telah dikondisikan oleh
pawang.

Setelah selesai, para kebo-keboan tersebut disadarkan kembali


oleh sang pawang dan kembali ke Petaunan.
9. Upacara Seblang

Seblang /banyuwangibagus.com

Upacara Seblang adalah sebuah ritual yang biasa dilakukan oleh


masyarakat Suku Osing di Desa Bakungan dan Desa Olehsari,
Kecamatan Glagah, Banyuwangi. Ritual ini dilakukan untuk
keperluan bersih desa dan tolak bala, supaya lingkungan desa
dalam keadaan aman dan tentram.
Pelaksanaan ritual Seblang di dua desa tersebut memiliki
sejumlah perbedaan. Di Desa Olehsari, ritual ini dilaksanakan
seminggu setelah hari raya Idul Fitri dengan penari perempuan
yang masih perawan. Sedangkan di Desa Bakungan,
diselenggarakan seminggu setelah Idul Adha dengan penari
yang telah menopause.

Dalam ritual tersebut, sang penari akan menari selama tujuh


hari berturut-turut dalam kondisi kerasukan roh leluhur. Para
penarinya sendiri dipilih secara gaib oleh seorang gambuh atau
pawang, yang biasanya penari yang dipilih juga berasal dari
keturunan penari Seblang sebelumnya.
Ritual tari Seblang ini dimulai dengan sebuah upacara yang
dibuka oleh sang gambuh. Sang penari ditutup matanya oleh
kaum ibu-ibu yang berada di belakangnya, sembari memegang
sebuah tempeh (nampan bambu).
Sang gambuh lalu mengasapi sang penari dengan asap dupa
sembari membacakan mantra. Setelah sang penari
mengalami kejiman (kerasukan) yang ditandai dengan jatuhnya
tempeh yang dipegangnya, pertunjukan tari Seblang pun
dimulai.
Penari Seblang yang telah kejiman tersebut lalu menari-nari
dengan gerakan monoton, mata terpejam, serta mengikuti
arahan sang gambuh dan irama gendhing yang dimainkan.
Bahkan, sang penari sampai berkeliling desa sambil menari.
Setelah beberapa saat, penari Seblang tersebut melempar
selendang yang digulung ke arah penonton. Penonton yang
terkena lemparan selendang tersebut harus mau ikut menari
bersama si Seblang. Jika tidak, maka ia akan dikejar-kejar oleh
Seblang sampai mau menari.
10. Grebeg Suro Ponorogo

Grebeg Suro /nusadaily.com

Grebeg Suro adalah sebuah acara tradisi budaya tahunan


masyarakat Ponorogo dalam bentuk pesta rakyat. Berbagai
kesenian dan tradisi ditampilkan meliputi Festival Reog
Nasional, Pawa Lintas Sejarah dan Kirab Pusaka, dan Larungan
Risalah Doa di Telaga Ngebel.
Acara ini biasa dirayakan setiap tahun pada tanggal 1 Muharram
atau 1 Suro menurut kalender Jawa. Acara ini merupakan
kegiatan awal dalam menyambut Tahun Kunjungan Wisata Jawa
Timur setiap tahun.

Rangkaian acara Grebeg Suro biasanya diawali dengan prosesi


penyerahan pusaka ke makam bupati pertama Ponorogo. Lalu
disusul dengan pawai ratusan orang menuju pusat kota dengan
menunggang bendi dan kuda yang telah dihiasi.

Berikutnya, lalu ada Festival Reog Nasional di alun-alun Kota


Ponorogo. Puluhan grup reog di Jawa Timur, bahkan dari Kutai
Kartanegara, Jawa Tengah, Balikpapan, hingga Lampung, turut
tampil memeriahkan festival tersebut.

Dalam sejarahnya, acara Grebeg Suro Ponorogo ini berawal dari


kebiasaan masyarakat, terutama kalangan warok, yang setiap
malam 1 Suro mengadakan tirakatan semalam suntuk dengan
mengelilingi kota dan berhenti di alun-alun Ponorogo.

Sampai pada tahun 1987, Bupati kala itu, Soebarkah Poetro


Hadiwirjo, melihat fenomena ini dan melahirkan gagasan kreatif
untuk mewadahi kegiatan mereka dengan kegiatan yang
mengarah pada pelestarian budaya.

Bermula dari ditengarainya minat para pemuda yang mulai


luntur terhadap kesenian khas Ponorogo, diadakanlah Grebeg
Suro Ponorogo dan memasukkan kesenian reog di dalamnya.
***

Demikianlah ulasan 10 upacara adat Jawa Timur yang memukau


dan menarik. Mulai dari yang bernuansa tradisional, mistis,
hingga modern telah mewarnai ragam kesenian dan budaya
Jawa Timur.


Anda mungkin juga menyukai