Anda di halaman 1dari 4

Asmara Sri Huning Mustika Tuban

Sri huning mustiko Tuban


Labuh tresno lan saboyo pati
(Sri Huning mustika Tuban, berkorban demi cinta dan hingga rela mati)
Marang Raden Wiratmoyo
Kang wis prasoji hanambut branti
(Pada Reden Wiratmoyo, yang telah bersumpah dan berikrar janji)

Sri huning daton ngrahito


Kang rinipto kadange pribadi
(Sri Huning tidak menyangka, yang dipuja saudara sendiri)
Wiratmoyo putra niro
Sirolawe Adipati Tuban
(Wiratmoyo putranya Sirolawe Adipati Tuban)

Sri huning putrane abdi


Wongso pati nalikane uni
(Sri Huning anaknya abdi Wongso pati (pahlawan perang yang gugur) dikala itu)
Kapupuk ing madyo logo
Duk prang tandhing lawan minakjinggo
(Yang gugur dalam peperangan, saat perang tanding dengan Menakjinggo (Adipati Blambangan))

Katresnane wiratmoyo
Tinampi dene roro sri huning
(Cintanya Wiratmoyo, diterima oleh Sri Huning)
Senadyan wekasan niro
Prepateng lampus alabuh negoro
(Walaupun pada akhirnya, gugur membela negara)*
Sri Huning masih sibuk membelai setangkai bunga di genggaman tangannya. Mawar merah
pemberian Kanda Wiratmoyo itu kini semakin layu. Menjadi saksi kisah cinta terlarang
keduanya yang harus rela pupus digerus waktu. Mereka mengerti tidak ada jalan cinta bagi dua
saudara, mendengarnya saja sudah cukup miris, sungguh mimpi yang tak akan pernah jadi
kenyataan. Gadis ayu itu terkejut saat mengetahui Kanda Wiratmoyo ada di belakangnya.
Meskipun tanpa suara, namun bayangan lelaki yang amat dicintainya itu terpantul jelas dalam
kolam ikan yang tengah dihadapnya.
"Apa gerangan tujuanmu kemari Kanda, adakah titah dari Ayahanda atau Ibunda?" tanya Sri
Huning mengambil jarak dari lelaki itu.
"Tidak ada Dinda."
"Lalu mengapa kau masih menemuiku Kanda, bukankah kita sudah berjanji untuk tak bersua lagi
kecuali alasan keluarga?"
"Dinda... apakah kau masih mencintaiku?"
"Tentu saja tidak," jawabnya sambil memalingkan muka.
"Lalu mengapa Dinda masih menyimpan mawar pemberianku?"
"Ii... itu... itu karena dia cantik, aku tak tega membuangnya."
Raden Wiratmoyo tersenyum geli mendengar alasan itu, bagaimana mungkin mawar
yang sudah begitu layu masih dibilang cantik.
"Dinda, aku ingin menyampaikan sebuah berita," ujar Raden Wiratmoyo setelah terdiam
beberapa saat ia melanjutkan, "ini ada kaitannya dengan cinta kita."
"Sudahlah Kanda, bukankah sudah tak ada jalan lagi bagi kisah ini? aku tak ingin membahasnya
lagi," Sri Huning menjauh dari Raden Wiratmoyo dan duduk di sebuah bangku panjang.
"Dinda dengarkanlah terlebih dahulu, kemarin aku bertemu Ibunda dan sebuah rahasia besar baru
saja diungkapnya, ini perihal Dinda."
"Benarkah?"
Raden Wiratmoyo mengangguk sambil mendekati Sri Huning.
"Aku tak tahu apakah harus sedih atau bahagia untuk mengatakannya.” Raden Wiratmoyo
memandangi wajah gadis yang sudah dikaguminya sejak lama, tak tega rasanya untuk
menyampaikannya.
"Katakan saja Kanda."
"Dinda... Ibunda mengatakan bahwa sebenarnya Dinda Sri Huning adalah anak angkat."
"Maksudnya?" Sri Huning terbelalak mendengarkan kalimat itu.
"Apakah Dinda siap mendengarkan kebenarannya?"
"Bicaralah Kanda."
Sri Huning masih menyendiri di kamarnya, setelah mendengarkan berita itu perasaannya
campur aduk tak karuan. Ia baru saja mengetahui bahwa sebenarnya dirinya bukan anak dari
Adipati Tuban, Suralawe. Ayah kandungnya adalah seorang Abdi Penongsong (Pembawa
Payung) dari seseorang yang selama ini ia panggil Eyang. Saat perang, ketika Adipati
Ranggalawe diserang ribuan panah, sang ayah menggunakan payung itu untuk melindungi
tuannya. Tetapi tidak untuk Wongsopati, sehingga ia gugur tertusuk panah saat perang
Majapahit. Setelah kejadian itu, ibu kandungnya yang saat ini entah di mana menyerahkan Sri
Huning kecil kepada Ibunda Raden Wiratmoyo. Hal ini menjadikan dirinya menjadi adik bungsu
dari kedua putra Adipati Tuban, Raden Wiratmoyo dan Raden Wiratmoko.
Gadis ayu itu tak ingin terlalu larut dalam kesedihan, bukankah hal tersebut sudah
terlanjur terjadi. Sri Huning mencoba mengambil celah bahagia atas kenyataan pahit itu. Raden
Wiratmoyo mengatakan bahwa ia akan mempersuntingnya, artinya Sri Huning akan menjadi
menantu Suralawe dan ibu dari Adipati Tuban nantinya. Sebenarnya ada hal lain yang lebih
membahagiakan dari semua itu, tembok pemisah cinta Raden Wiratmoyo dan Sri Huning hancur
sudah, tak ada yang menghalangi keduanya untuk bersama.
Tak ingin membuang waktu lebih lama lagi keesokan harinya Raden Wiratmoyo dan Sri
Huning bergegas menemui Ayahanda. Dengan takzim Raden Wiratmoyo mengutarakan
keinginannya untuk merajut bahtera rumah tangga dengan Sri Huning. Ia pun menyampaikan
bahwa keduanya sudah mengetahui kebenaran bahwa mereka bukan saudara kandung.
Mendengar semuanya Ayahanda hanya terdiam. Raut mukanya tampak kebingungan. Waktu
berjalan tanpa pembicaraan. Tak sabar menanti jawaban, akhirnya Raden Wiratmoyo angkat
bicara.
"Mengapa ayah diam saja, adakah niat ayahanda untuk tidak merestui hubungan kami?"
"Maafkan aku anakku, bukan bagitu maksudku, tapi ayah sudah terlanjur melamar putri Adipati
Bojonegoro untuk menjadi istrimu.”
Raden Wiratmoyo terkejut, ia bahkan mengutarakan kekesalan hatinya sebab Ayahanda
tak menanyainya terlebih dahulu.
"Sungguh ayah tak tahu bahwa kau telah mencintai adikmu, maksud ayah Sri Huning. Maafkan
aku anakku."
Sementara Sri Huning hanya terdiam, meratapi cintanya yang kembali layu padahal baru
merekah beberapa jam yang lalu. Tak ada pemberontakan, keduanya tunduk terhadap titah
Ayahanda. Meski dalam hati terasa sakit, Sri Huning melepaskan kekasihnya untuk menikah
dengan wanita lain. Bahkan ia ikut mengantarkan Raden Wiratmoyo ke Kadipaten Bojonegoro
sebagai calon pengantin. Ditatapnya wajah lelaki yang amat dicintainya itu, sendu, Sri Huning
tahu hatinya pasti hancur berkeping-keping. Tak ingin membuatnya ragu, ia segera
menundukkan pandangannya.
Di tengah prosesi pernikahan, tiba-tiba datang pasukan dari Kadipaten Lamongan.
Rupanya mereka tak rela atas penolakan dari Kadipaten Bojonegoro. Bahkan mereka hendak
memboyong paksa Putri Kumala Retna, putri yang gagal dipinang oleh Adipati Lamongan. Tak
ingin membiarkan kekacauan dalam pernikahan orang yang dicintainya, Sri Huning ikut
berperang bersama para prajurit. Seluruh tenaga dan kemampuan ia kerahkan ketika berhadapan
langsung dengan Adipati Jala Sudibyo, namun takdir berkata lain, Sri Huning menyusul jejak
ayah kandungnya, gugur dalam peperangan membela keluarga Adipati Tuban.
Mendengar berita kematian pujaan hatinya di tangan Adipati Lamongan, Raden
Wiratmoyo geram. Dengan gelora kemarahan yang tidak terbendung lagi Raden Wiratmoyo
maju berperang. Namun sayang, dendamnya tak terbalaskan, sang pengeran menghembuskan
nafas terakhir di medan perang. Menemui sang kekasih yang sudah terlebih dahulu berpulang.
Orang tua mana lagi yang rela jika kedua anak yang sangat dicintainya direnggut dari
pelukannya secara tragis oleh orang yang sama. Kesedihan yang teramat dalam menyelimuti
Adipati Tuban dan istrinya. Tanpa keraguan Sang Adipati menyerang Adipati Lamongan.
Pertarungan sengit antara keduanya tidak dapat terelakkan lagi. Dengan kegigihan yang
dimilikinya Adipati Tuban akhirnya berhasil mengalahkan Adipati Jala Sudibyo.
Peperangan yang terjadi tidak menggagalkan niat Kadipaten Tuban dan Kadipaten
Bojonegoro untuk berbesan. Pada akhirnya, Putri Kumala Retna dinikahkan dengan sang putra
kedua, Raden Wiratmoko. Jasad Sri Huning dan Raden Wiratmoyo pun dimakamkan dengan
layak. Perjuangan keduanya untuk berkorban demi orang yang dicintai tak pernah lekang
dikenang. Sepertinya Dewa melihat ketulusan cinta itu, hingga setelah dipisahkan di dunia
mereka kembali dipertemukan di kehidupan yang lebih abadi. Merajut cinta yang tak pernah
mati.

*Lirik dan terjemah tembang Sri Huning diambil dari http://cahkenongo.blogspot.com/

Anda mungkin juga menyukai