Anda di halaman 1dari 7

Nama : Aris Dwi Saputro

NPM : 1206203131
Pranata Jawa
Tugas Resensi Buku Upacara Adat

RESENSI BUKU

Judul : Pandangan Masyarakat terhadap Upacara Perlon Unggahan di


Kecamatan Jatilawang , Kabupaten Banyumas

Penulis : Dra. Taryati

Editor : Dra. Christiyanti ariani, M. Hum

Penerbit : Kepel Press

Kota Penerbit : Yogyakarta

Tahun Terbit : 2005

Jumlah halaman : 78

Secara geografis Kecamatan Jatilawang terletak di bagian selatan dari wilayah


Kabupaten Banyumas. Kecamatan Jatilawang merupakan salah satu dari 27 kecamatan lainnya
dii Kabupaten Banyumas. Batas utara dari wilayah kecamatan ini adalah Kecamatan Purwojati,
batas timur adalah Kecamatan Rawalo, batas selatan adalah wilayah Kabupaten Cilacap, dan
batas barat adalah Kecamatan Wangon. Bentuk dari wilayah kecamatan ini adalah hampir empat
persegi panjang, dengan panjang ke arah utara selatan, sedang pusat pemerintahan kecamatannya
hampir tepat di tengah-tengah wilayahnya. Pusat pemerintahan kecamatan terletak pada aarah
barat daya dari ibukota kabupatennya, dengan jarak kurang lebih 30 Km, dan dari ibukota

1
propinsi yaitu Semarang berjarak kurang lebih 241 Km. Wilayah kecamatan Jatilawang ini
mudah dijangkau karena dilalui jalan raya antara Yogyakarta dan Bandung.

Pelapisan sosial yang ada di Kecamatan Jatilawang juga dipengaruhi oleh faktor agama.
Tingkat atau pellapisan sosial yang tertinggi adalah Kyai ( terutama yang memepunyai pengaruh
luas misal sampai tingkat kecamatan atau kabupaten ). Seorang kyai dianggap sebagai tokoh
panutan yang kedudukannya paling tinggi dan dihormati . kyai dalam kehidupan bermasyarakat
dijadikan panutan dan sebagai sumber pengetahuan tentang agama Islam. Di samping itu juga
tempat bertanya dan memecahkan masalah serta sebagai pemberi dana dalam berbagai
keperluan. Pemilik pondok pesantren pada umumnya adalah seorang kyai yang kaya raya, baik
berwujud sawah ladang ataupun memiliki usaha. Karena itu tergantung kyai lah mati hidupnya
pondok pesantren. Pelapisan sosial di bawah kyai adalah lurah terpilih dan aparat desa yang lain.
Selanjutnya adalah para takmir masjid dan tokoh masyarakat yang dianggap menguasai
pengetahuan kehidupan dan kemasyarakatan.

Sistem kekerabatan yang berlaku adalah patrilineal, yaitu menganggap garis keturunan
lebih diutamakan dari bapak. Mengenai kehidupan bermasyarakat sifatnya adalah gotong royong.
Bahasa sehari-hari yang diganakan oleh penduduk Jatilawang adalah bahasa Jawa yang
diungkapkan dengan dialek Banyumasan. Walaupun dalam bahasa Jawa mengenal tingkat,
dalam penggunaanya masyarakat Banyumas termasuk Kecamatan jatilawang lebih suka
menggunakan ragam bahasa ngoko atau ngoko andhap (khusunya bagi sesama orang Banyumas)
karena dirasa lebih akrab. Bahasa krama inggil digunakan pada saat-saat tertenyu saja. Kesenian
yang hidup di wilayah Jatilawang sama halnya dengan yang berkembang di Kabupaten
Banyumas pada umumnya. Beberapa kesenian tradisional yang telah lama tumbuh dan
berkembang dalam kehidupan masyarakat antara lain adalah Dhalang Jemblung, Angguk, Ebeg,
Calung, Boncis, Slawatan, Gendhing dan wayang gagarag Banyumasan, dagelan.

Disebut Perlon Unggahan berasal dari kata unggah yang artinya naik. Dalam hal ini
yang dimaksud naik adalah akan menaiki/memasuki bulan suci Ramadhan. Adapun latar
belakang dari penyelenggaraan upacara adat tradisional Perlon Unggahan pada dasaranya adalah
ungkapan penghormatan kepada leluhur. Sebagaimana halnya tradisi budaya Jawa pada
umumnya, pada saat menjelang bulan Ramadhan biasanya orang melakukan ziarah kubur, untuk
mengirim doa kepada leluhurnya yang sudah meninggal. Upacara Perlon Unggahan yang

2
dilaksanakan di Desa Pakuncen Kecamatan Jatilawang, kabupaten banyumas, leluhur yang
dimaksud adalah Ki Bonokeling. Ki Bonokeling adalah seorang tokoh yang berjasa dalam
kehidupan masyarakat tersebut, karena beliaulah masyarakat mengetahui berbagai ilmu dan
pengetahuan, khususnya ilmu pertanian, bercocok tanam, peternakan, perkawinan, kelahiran,
kematian, dan berbagai ilmu lainnya.Berdasarkan sumber Babad Pasirluhur, Ki Bonokeling
merupakan nama samaran dari Raden Banyak Thole, yaitu putra adipati di Kabupaten Pasirluhur
yang bernama Raden Banyak Belanak yang merupakan nama lain dari Pangeran Senopati
Mangkubumi I. Konon Raden Banyak Thole melarikan diri daari istana (kadipaten) karena
berselisih paham dengan orangtuanya (Raden Banyak Belanak) hingga dia tega membunuh
ayahnya dengan menguburnya hidup-hidup.

Babad Pasirluhur menyebutkan bahwa Raden Banyak Belanak adalah Adipati


Pasirluhur yang berkuasa pada tahun 1522. Beliau adalah seorang adipati yang sekaligus sebagai
tokoh penyebar agama Islam di wilayahnya, yaitu Kadipaten Pasirluhur, bahkan sampai di
wilayah Jawa bagian barat dan timur. Karena keberhasilannya dalam menyebarkan agama Islam,
Raden Banyak Belanak mendapat anugerah dari Sultan Demak ( Raden Patah ), yaitu diberi gelar
Pangeran Senopati Mangkubumi. Dalam hal ini sebutan Pangeran adalah sebagai penghargaan
bahwa beliau sudah dianggap “wali” sejajar dengan para penyebar agama Islam yang lain di
Kerajaan Demak. Setelah Raden Banyak Belanak beristri, ia pun dikaruniai seorang anak
bernama Raden Banyak Thole yang ternyata tidak mau memeluk dan menerima ajaran Islam dari
ayahnya. Setelah Raden Banyak Thole menjadi Adipati Anom menggantikan ayahnya, ia tetap
tidak mau menerima agama Islam. Hal ini terdengar oleh Kerajaan Demak, sehingga membuat
Raden Trenggono murka. Ia mengirinkan utusan untuk meyadarkan Adipati Anom, namun
Adipati Anom masih tidak mau sadar, maka pecahlah pertempuran antara Pasirluhur dan Demak.
Dalam peperangan tersebut Demak dibantu oleh pasukan dari Brebes dan pasukan dari kepatihan
Raden Banyak Geleh ( paman Raden Banyak Thole sendiri). Raden Banyak Thole kalah dan lari
ke arah pantai selatan. Sampai pada Cilacap Raden Banyak Thole menyamar sebagai Ki
Bonokeling dan ternyata ia menikah di sepanjang jalan ia melakukan pelarian sehingga
keturunannya ada di mana-mana. Dalam penyamarannya ia mendirikan masjid di berbagai
tempat dan melakukan kegiatan pertanian dan berternak, semua hal itu dilakukan agar pasukan
Demak yang mengejar terkelabuhi. Sampai pada saat terakhirnya ia pun malah memiliki banyak
pengikut karena beliau juga mengajarkan wiirid ‘ilmu’ di tempatnya menyamar sekaligus

3
bersembunyi. Inilah sejarah dari mengapa Perlon Unggahan dilaksanakan untuk meenghormati
Ki Bonokeling.

Tujuan dari diselenggarakannyan upacara adat Perlon Unggahan adalah untuk caos
dhahar (memberi persembahan) kepada Ki Bonokeling, serta untuk memohon berkah dan
keselamatan dalam rangka memasuki bulan suci Ramadhan ( bulan puasa ). Selain itu, pada saat
penyelenggaran upacara tradisional Perlon Unggahan tersebut juga merupakan wahana bagi para
anak cucu maupun para pengikut Ki Bonokeling untuk menyelenggarakan tasyakuran atau nazar
sebagai persembahan kepada Ki Bonokeling. Oleh karena itu selain untuk caos dhahar serta
berkah dan keselamatan, penyelenggaraan upacara adat tradisional Perlon Unggahan juga
sebagai persembahan tasyakuran serta ungkapan rasa terima kasih kepada Ki Bonokeling atas
limpahan rahmat berupa rejeki maupun terkabulnya permohonan yang diinginkan. Upacara
Perlon Unggahan diselenggarakan setiap satu tahun sekali yaitu pada bulan Sya’ban (Ruwah)
yang oleh masyarakat Desa pakuncen disebut Bulan Sadran. Adapun waktunya adalah pada hari
Jumat Kliwon atau Selasa Kliwon menjelang Bulan Ramadhan. Upacara adat berlangsung
selama tiga hari, yaitu rangkaian kegiatan upacara tersebut dimulai satu hari menjelang hari H
dan diakhiri pada satu hari sesudah hari H. tempat pelaksanaan Upacara Perlon Unggahan di
Desa Pakuncen adalah di Balai Pasamuan, Balai Malang, dan Balai Mangu. Balai Pasamuan
digunakan sebagai tempat menaruh sesaji. Balai Malang digunakan untuk menerima tamu dan
meletakkan barang yang dibawa oleh para tamu. Balai mangu digunakan sebagai tempat Upacara
berlangsung, yakni untuk menggelar barang-barang perlengkapan upacara dan sesaji yang
sebelumnya ditaruh terlebih dahulu di Balai Pasamuan.

Orang-orang yang menghadiri Upacara Perlon Unggahan adalah para anak keturunan Ki
Bonokeling dan para pengikut Ki Bonokeling. Di samping itu upacara ini juga dihadiri oleh
aparat pemerintah setempat, baik dari tingkat desa , kecamatan, maupun kabupaten. Upacara ini
dipimpin oleh ketua pemangku adat trah Bonokeling yang disebut Kyai Kunci, yang juga dibantu
oleh lima pembantu yang disebut Kyai Bedogol. Kyai bedogol sendiri juga mempunyai
pembantu yang mempunyai tugasnya masing-masing, antara lain; 1.Manggul (Patih), yang
bertugas mewakili Kyai Kunci atau Kyai Bedogol apabila berhalangan hadir atau apabila ada
tugas mempimpin Upacara Perlon Unggahan di desa lain, 2. Mandong, yang betugas menyajikan
makanan kepada Kyai Kunci dan Kyai Bedogol, 3. Gelar klasa, yang bertugas menggelarkan

4
tikar sebagai tempat duduk Kyai Kunci dan Kyai Bedogol, selain itu juga bertugas untuk
menyiapkan barang-barang perlengkapan upacara, 4. Onder atau Negari, yang bertugas untuk
menyajikan makanan kepada para kyai dan untuk para tamu undangan yang hadir, 5. Tundaga,
yang bertugas sebagai guru apabila ada warga baru yang ingin menjadi anggota adat, 6. Tukang
Ules, yang bertugas mengurus jenazah apabila ada warga yang meninggal, 7. Tukang Solor atau
Kebayan, yang bertugas menyampaikan undangan ke desa lain apabila akan diselenggarakan
Upacara Perlon Unggahan, 8. Pawedangan, yang bertugas memasak air untuk keperluan
upacara, 9. Pengangson, yang bertugas mengambil air untuk keperluan upacara, 10. Peberasan,
yang bertugas menyimpan dan mempersiapkan kebutuhan beras untuk upacara, 11. Emban, yang
bertugas untuk mengatur tamu untuk naik ke makam.

Sarana dan prasarana dalam upacara ini dibagi menjadi tiga jenis, antara lain; Sarana
dan prasarana untuk Pisowanan, Sarana dan prasarana untuk sesaji Ki Bonokeling, dan Sarana
dan prasarana untuk selamatan. Sarana dan prasarana untuk Pisowanan adalah kemenyan, dan
kembang telon, yang terdiri dari Mawar, Kantil, dan Kenanga. Sarana dan prasarana untuk sesaji
Ki Bonokeling terdiri dari ambeng, lauk pauk, becek, lemengan, sayur mebing, pisang raja,
pisang emas, pisang ambon, kue cucur, kelapa muda, rokok, gula jawa, gula batu, air kopi, air
putih, air kendi, jajan pasar, dan kedupan. Sarana dan prasarana untuk selametan terdiri dari nasi
ambeng lengkap dengan lauk pauk dan becek. Pakaian yang dikenakan dalam Upacara Perlon
Unggahan yakni kaum laki-laki mengenakan bebed, dan iket atau udheng. Sedangkan kaum
perempuan hanya mengenakan jarit, kemben, dan selendhang lawon.

Jalannya upacara dimulai dari kedatangan para peserta Upacara Perlon Unggahan. Para
peserta yang berasal dari daerahnya masing-masing dijemput oleh para pemuda Desa Pakuncen.
Dalam perjalanannya para peserta harus berjalan kaki sejauh apapun jaraknya dari tempat
mereka tinggal menuju ke tempat upacara,. Selain itu mereka diharuskan untuk melakukan tapa
bisu selama perjalanan. Sesampainya di Balai Pasamuan, Pakuncen menerima barang bawaan
yang dibawa oleh para peserta yakni barang-barang perlengkapan upacara. Selanjutnya pada
malam harinya dilaksanakan malam tirakatan sekitar pukul 24.00 WIB. Pada pagi harinya
dilaksanakan penyembelihan hewan kurban. Setelah hewan kurba disembelih, bagian kepala dan
tanduk diikat dijadikan satu untuk sesaji Ki Bonokeling. sedangkan sisa-sisa daging yang lain
dicuci dan dimasak untuk para peserta upacra tersebut. Kemudian dibuat ambeng besar untuk Ki

5
Ageng Bonokeling dan ambeng kecil untuk para peserta. Setelah itu para peserta mengambil
wudhu untuk pisowanan di makam Ki Bonokeling sekaligus meletakkan ambeng
besar.Selanjutnya dilakukan selametan sebagai rangkaian terakhir pada Upacara Perlon
Unggahan, pertama-tama dilakukan doa bersama dan selanjutnya makan bersama. Seusainya,
para peserta dapat kembali menuju rumah masing-masing dengan cara yang sama yakni harus
berjalan kaki, dan tetap melakukan tapa bisu.

Adapun pantangan yang harus ditaati dalam upacra ini antara lain; selama mengikuti
upacara ini para anak trah keturunan Ki Bonokeling harus mengenakan pakaian adat yang sudah
ditentukan, anak trah keturunan Ki Bonokeling tidak boleh melanggar tata cara maupun
ketentuan adat yang berlaku dalam komunitas trah Bonokeling, bagi para wanita yang sedang
berhalangan dilarang keras memasuki wilayah pemakaman Ki Bonokeling, dan para anak trah
keturunan Ki Bonokeling tidak boleh membeberkan segala sesuatu tentang kehidupan komunitas
adat tanpa seijin para pemangku adat.

Masyarakat Jawa memang tidak asing lagi dengan tradisi yang bersangkutan dengan
makam atau dengan meninggalnya seseorang. Tradisi yang berhubungan dengan meninggaalnya
seseorang antara lain adalah selamatan sahari hingga 3 hari, 7 hari, 40 hari, 100 hari, satu tahun,
dan tiga tahun. Sedang tradisi lain yang berhubungan dengan makam adalah membersihkan
kuburan secara bersama-sama yang disebut dengan sadranan atau nyadran dilakukan pada
menjelang puasa , jadi pada bulan Ruwah. Bagi masyarakat Jawa nyadran ini merupakan
kegiatan bersama masyarakat, dalam rangka menghormati leluhurnya. Yang dilakukan dalam
kegiatan ini adalah setelah membersihkan makam secara bersama-sama, kemudian kenduri di
tempat yang tidak jauh dari kawasan tersebut. Nasi yang telah didoakan dalam acara kenduri
tersebut sebagian dimakan dan sebagaian lainnya dibawa pulang. Oleh karena itu pandangan
masyarakat umum terhadap upacara tradisional Perlon Unggahan ini merupakan hal yang biasa.
Kegiatan ini hampir dilakukan oleh masyarakat umum lainnya apalagi waktu penyelenggaraan
upacara ini sama dengan waktu penyelenggaraan sadranan yakni pada bula Ruwah. Disamping
itu upacra ini mengandung nilai kegotong-royongan dan kebersamaan baik dalam trah Ki
Bonokeling maupun masyarakat sekitar daerah Pakuncen.

Bagi masyarakat pendukungnya upacra tradisional Perlon Unggahan adalah upacara


yang sangat penting dan harus diadakan. Kegiatan ini merupakan sesuatu yang sejak dahulu

6
dilaksanakan dan hingga kini secara turun-temurun selalu dilaksanakan. Upacara itu sudah
merupakan tradisi dan itu perintah dari leluhur atau pepunden yaitu Ki Bonokeling. Keturunan
Ki Bonokeling atau anak cucu, tidak seorang pun yang berani melanggar apalagi mereka yang
diberi tugas memimpin. Upacara ini dipimpin oleh seorang ketua pemangku adat yang disebut
Kyai Kunci dan dibantu lima orang pembantu yang disebut Kyai Bedogol. Menurut Kyai Kunci,
Upacara Perlon Unggahan diadakan untuk memohon ijin dan restu karena akan melaksanakan
kegiatan keagamaan yaitu berpuasa di bulan ramadhan. Sebagai anak keturunannya, wajib
apabila dalam menghadapi hal-hal yang dianggap penting, mohon ijin dan restu dari nenek
moyangnya. Upacara ini juga bertujuan untuk mengumpulkan anak cucu Ki Bonokeling yang
jumlahnya sangat banyak dan berada di berbagai tempat agar saling bersilaturahmi, dengan
demikian hubungan persaudaraan mereka tetap terjalin.

Buku ini secara umum memaparkan Upacara Perlon Unggahan dengan baik namun
secara garis besar buku ini lebih banyak mengulas Babad Pasirluhur terlalu panjang lebar dan
agak rumit memahaminya, dibandingkan prosesi acaranya secara rinci sangat lah kurang
pembahasannya. Ada lampiran foto-foto prosesi upacra tersebut di bagian belakang namun
fotonya hitam putih dan tidak jelas. Kemudian tidak adanya makna pada setiap jalannya Upacara
Perlon Unggahan yang diulas pada buku ini sehingga kurang dimengerti maksud dan tujuan dari
setiap rangkaian upacara ini. Dalam penjelasannya mengenai tempat pelaksanaan upacara ini pun
ada yang terlewatka yakni Balai Malang yang tidak disebutkan atau disinggung dalam jalannya
Upacara Perlon Unggahan. Sesaji-sesaji yang disebutkan pun juga tidak diberi makna, misalnya
mengapa harus menggunakan bunga telon (Mawar, Kantil, dan Kenanga).Pada bagian awal
digambarkan situasi dan kondisi dari Kecamatan jatilawang sehingga memudahkan pembaca
untuk lebih memahami bagaimana kondisi Kecamatan Jatilawang secara geografis, sosial, dan
budayanya. Pada bagian akhir diberi pandangan mengenai upacara adat ini yang cukup
membantu memahami makna dari pelaksanaan Perlon Unggahan, yakni dari pandangan
masyarakat umum dan pandangan dari masyarakat pendukung dari upacara tersebut.

Anda mungkin juga menyukai